Pelajaran dari Pilkada Makassar
A
A
A
PILKADA Serentak 2018 pada 27 Juni lalu menyajikan cukup banyak kejutan. Satu di antaranya kemenangan kolom kosong di Pilkada Kota Makassar. Mengejutkan karena ini pertama kalinya pasangan calon kalah oleh kolom kosong sejak calon tunggal muncul pertama kali di Pilkada Serentak 2015.
Hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar pada Sabtu (7/7) malam menyatakan kolom kosong meraih dukungan suara 300.795 atau 53,23%, sedangkan pasangan calon tunggal Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi (Appi-Cicu) yang didukung sepuluh partai politik (parpol) hanya meraih 264.245 suara atau 46,77%. Atas hasil tersebut, KPU Makassar juga menetapkan bahwa pilkada di ibu kota Sulawesi Selatan tersebut kembali akan digelar pada 2020.
Kemenangan kolom kosong di pilkada adalah peristiwa politik fenomenal. Betapa tidak, kolom kosong yang sejatinya tidak memiliki “tim sukses” dan dengan kampanye yang tidak semasif pasangan calon justru lebih dipilih rakyat. Peristiwa ini memberi banyak pelajaran, terutama bagi parpol. Kejadian di Makassar ini sesungguhnya bukan hanya kekalahan bagi pasangan calon tunggal. Pihak yang disebut-sebut seharusnya menanggung malu lebih besar adalah parpol. Di Makassar pasangan calon tunggal memborong hampir semua partai yang ada, yakni Golkar, NasDem, PAN, PKS, PPP, PDI-P, Hanura, PBB, Gerindra, dan PKPI. Hanya Demokrat yang tidak tergabung dalam barisan koalisi ini.
Belakangan, muncul tudingan dari kubu calon tunggal di Makassar bahwa Wali Kota M Ramdhan Pomanto ikut “bekerja“ membantu kemenangan kolom kosong. Wali kota nonaktif yang akrab disapa Danny ini gagal maju di pilkada setelah KPU mendiskualifikasinya. Pencalonan Danny hingga akhirnya dicoret KPU penuh dengan drama.
Ada pula yang menyebut kemenangan kolom kosong di Makassar sesungguhnya tidak alamiah karena suara itu datang dari pendukung petahana yang kecewa akibat calonnya batal maju. Rakyat disebut menghukum calon tunggal dengan ramai-ramai memilih kolom kosong.
Terlepas dari asumsi-asumsi tersebut, faktanya calon tunggal yang didukung penuh sepuluh parpol kalah dengan telak. Ada dua hal yang menarik disimak di balik kejadian ini.
Pertama , kemenangan kolom kosong kian menegaskan pandangan bahwa parpol memang tidak berpengaruh signifikan dalam membantu kemenangan di pilkada. Rakyat memilih bukan karena preferensi parpol pendukung, melainkan karena melihat figur calon. Dan, ketika calon tunggal yang disuguhkan parpol juga bukan sosok yang kuat, dia tidak akan dipilih.
Kedua, rakyat mulai memiliki kemandirian dalam berpolitik. Mereka mencoba lepas dari hegemoni parpol. Selama ini parpol kadang dengan seenaknya mengusung calon, tidak peduli apakah memiliki kapasitas yang memadai atau tidak. Seseorang bisa saja diusung di pilkada karena memiliki modal untuk “membeli” kendaraan politik. Rakyat akhirnya tidak diberi banyak pilihan dan “terpaksa” memilih calon berdasarkan selera parpol.
Calon tunggal sudah memicu pro-kontra sejak 2015. Saat Undang-Undang Pilkada diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), hakim konstitusi memutuskan bahwa calon tunggal sah dan diperbolehkan sepanjang ada upaya sungguh-sungguh dari penyelenggara pilkada untuk menghadirkan lebih dari satu calon. Satu di antaranya memperpanjang pendaftaran.
Meski konstitusional, kasus kolom kosong memenangi pilkada tetap terasa “janggal”. Setiap pilkada sebaiknya bisa langsung menghasilkan pasangan kepala daerah yang dipilih mayoritas rakyat. Itu demi menjamin kesinambungan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Sebaiknya jangan lagi memberi kesempatan kolom kosong untuk bertarung, apalagi sampai menang. Jika kolom kosong menang, maka daerah bersangkutan dipastikan akan dipimpin penjabat sementara untuk jangka waktu yang cukup panjang.
Perlu dipikirkan oleh pembuat undang-undang bagaimana agar dibuat aturan yang efektif demi mencegah kemunculan calon tunggal di pilkada. Usulan yang sejak dulu mengemuka antara lain perlunya pembatasan dukungan parpol kepada satu pasangan calon. Jangan ada calon yang memborong parpol hanya karena punya modal elektabilitas dan didukung finansial yang kuat. Namun, usulan baik ini selalu mentah karena ditolak parpol setiap kali UU Pilkada direvisi di DPR. Kemenangan kolom kosong di Makassar seyogianya memberikan pelajaran kepada parpol agar tidak lagi egois dalam merumuskan aturan.
Apakah akan ada perubahan pada UU Pilkada, khususnya soal aturan calon tunggal setelah kejadian ini? Kita tunggu bersama.
Hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar pada Sabtu (7/7) malam menyatakan kolom kosong meraih dukungan suara 300.795 atau 53,23%, sedangkan pasangan calon tunggal Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi (Appi-Cicu) yang didukung sepuluh partai politik (parpol) hanya meraih 264.245 suara atau 46,77%. Atas hasil tersebut, KPU Makassar juga menetapkan bahwa pilkada di ibu kota Sulawesi Selatan tersebut kembali akan digelar pada 2020.
Kemenangan kolom kosong di pilkada adalah peristiwa politik fenomenal. Betapa tidak, kolom kosong yang sejatinya tidak memiliki “tim sukses” dan dengan kampanye yang tidak semasif pasangan calon justru lebih dipilih rakyat. Peristiwa ini memberi banyak pelajaran, terutama bagi parpol. Kejadian di Makassar ini sesungguhnya bukan hanya kekalahan bagi pasangan calon tunggal. Pihak yang disebut-sebut seharusnya menanggung malu lebih besar adalah parpol. Di Makassar pasangan calon tunggal memborong hampir semua partai yang ada, yakni Golkar, NasDem, PAN, PKS, PPP, PDI-P, Hanura, PBB, Gerindra, dan PKPI. Hanya Demokrat yang tidak tergabung dalam barisan koalisi ini.
Belakangan, muncul tudingan dari kubu calon tunggal di Makassar bahwa Wali Kota M Ramdhan Pomanto ikut “bekerja“ membantu kemenangan kolom kosong. Wali kota nonaktif yang akrab disapa Danny ini gagal maju di pilkada setelah KPU mendiskualifikasinya. Pencalonan Danny hingga akhirnya dicoret KPU penuh dengan drama.
Ada pula yang menyebut kemenangan kolom kosong di Makassar sesungguhnya tidak alamiah karena suara itu datang dari pendukung petahana yang kecewa akibat calonnya batal maju. Rakyat disebut menghukum calon tunggal dengan ramai-ramai memilih kolom kosong.
Terlepas dari asumsi-asumsi tersebut, faktanya calon tunggal yang didukung penuh sepuluh parpol kalah dengan telak. Ada dua hal yang menarik disimak di balik kejadian ini.
Pertama , kemenangan kolom kosong kian menegaskan pandangan bahwa parpol memang tidak berpengaruh signifikan dalam membantu kemenangan di pilkada. Rakyat memilih bukan karena preferensi parpol pendukung, melainkan karena melihat figur calon. Dan, ketika calon tunggal yang disuguhkan parpol juga bukan sosok yang kuat, dia tidak akan dipilih.
Kedua, rakyat mulai memiliki kemandirian dalam berpolitik. Mereka mencoba lepas dari hegemoni parpol. Selama ini parpol kadang dengan seenaknya mengusung calon, tidak peduli apakah memiliki kapasitas yang memadai atau tidak. Seseorang bisa saja diusung di pilkada karena memiliki modal untuk “membeli” kendaraan politik. Rakyat akhirnya tidak diberi banyak pilihan dan “terpaksa” memilih calon berdasarkan selera parpol.
Calon tunggal sudah memicu pro-kontra sejak 2015. Saat Undang-Undang Pilkada diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), hakim konstitusi memutuskan bahwa calon tunggal sah dan diperbolehkan sepanjang ada upaya sungguh-sungguh dari penyelenggara pilkada untuk menghadirkan lebih dari satu calon. Satu di antaranya memperpanjang pendaftaran.
Meski konstitusional, kasus kolom kosong memenangi pilkada tetap terasa “janggal”. Setiap pilkada sebaiknya bisa langsung menghasilkan pasangan kepala daerah yang dipilih mayoritas rakyat. Itu demi menjamin kesinambungan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Sebaiknya jangan lagi memberi kesempatan kolom kosong untuk bertarung, apalagi sampai menang. Jika kolom kosong menang, maka daerah bersangkutan dipastikan akan dipimpin penjabat sementara untuk jangka waktu yang cukup panjang.
Perlu dipikirkan oleh pembuat undang-undang bagaimana agar dibuat aturan yang efektif demi mencegah kemunculan calon tunggal di pilkada. Usulan yang sejak dulu mengemuka antara lain perlunya pembatasan dukungan parpol kepada satu pasangan calon. Jangan ada calon yang memborong parpol hanya karena punya modal elektabilitas dan didukung finansial yang kuat. Namun, usulan baik ini selalu mentah karena ditolak parpol setiap kali UU Pilkada direvisi di DPR. Kemenangan kolom kosong di Makassar seyogianya memberikan pelajaran kepada parpol agar tidak lagi egois dalam merumuskan aturan.
Apakah akan ada perubahan pada UU Pilkada, khususnya soal aturan calon tunggal setelah kejadian ini? Kita tunggu bersama.
(pur)