Kapabilitas Calon Jadi Magnet di Pilkada
A
A
A
Lia Anggia Nasution
Tenaga Pengajar di Kampus STIK-P Medan
PENYELENGGARAAN Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) yang berlangsung pada 27 Juni 2018 menarik untuk dikaji. Hal ini disebabkan tingkat partisipasi politik masyarakat untuk ikut ambil bagian dalam pesta demokrasi lokal tersebut cukup tinggi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumut merilis tingkat partisipasi pemilih pada pilgubsu kali ini mencapai 63,3% atau meningkat 16% dibanding 2013 yang hanya 47%. Partisipasi pemilih ini juga lebih tinggi dibanding Pilgubsu 2008 yang hanya 54%.
Tingginya partisipasi masyarakat ini tentunya tidak terlepas dari kapabilitas calon yang menjadi magnet dalam pilkada.
Pasangan calon ini dapat disebut merupakan komunikator politik. Dan Nimmo dalam bukunya Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan dan Media (1989), menyebutkan ada tipologi komunikator politik yang disebutnya sebagai komunikator kunci (key communicators), yakni meliputi politisi, komunikator profesional, dan aktivis.
Disebutkan Dan Nimmo, politikus merupakan orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, tidak peduli dipilih, ditunjuk atau pejabat karier, dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif.
Sementara profesional adalah orang-orang yang mencari nafkahnya dengan berkomunikasi karena keahliannya adalah berkomunikasi.
Mereka ini antara lain pengamat politik dan lainnya. Sementara itu, aktivis adalah komunikator politik utama yang bertindak sebagai saluran organisasional dan interpersonal seperti lembaga sosial masyarakat (LSM) dan kelompok penekan di kalangan masyarakat. Pendapat Nimmo ini banyak dikaitkan dengan kemampuan komunikator politik sebagai pemimpin opini dalam membentuk atau memengaruhi opini publik.
Senada dengan Dan Nimmo, menurut Hafied Cangara dalam bukunya Komunikasi Politik, Konsep, Teori dan Strategi (2011), komunikator politik adalah mereka-mereka yang dapat memberi informasi tentang hal-hal yang mengandung makna atau bobot politik, misalnya presiden, menteri, anggota DPR, MPR, gubernur, bupati/ wali kota, DPRD, politisi, LSM, serta kelompok penekan dalam masyarakat yang bisa memengaruhi jalannya pemerintahan.
Sebagai ujung tombak aktivitas politik, tentu saja komunikator politik harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik secara verbal maupun nonverbal. Dia harus dapat menyampaikan gagasan kepada publik dengan baik. Pesannya harus mudah diterima oleh publik. Dia juga harus memiliki lobi politik. Selain itu, seorang komunikator politik juga tidak bisa hanya mengandalkan berbicara karena penampilan fisik, berpakaian, mimik muka, gerakan tangan, dan cara berjalan pun merupakan bentuk komunikasi nonverbal yang sama pentingnya.
Dalam pilgubsu kali ini, peran pasangan calon sebagai komunikator politik cukup signifikan menarik masyarakat untuk datang ke TPS dan memilih. Hal ini dapat dilihat pada magnet kedua pasangan calon, yakni Edy Rahmayadi-Musa Rajeckshah serta pasangan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus. Mereka menjadi fenomena baru di kalangan masyarakat. Meskipun hanya dua pasangan calon yang bertarung, partisipasi masyarakat meningkat tajam.
Sementara kalau kita lihat dari pilgubsu sebelumnya, pasangan calon yang bertarung cukup ramai. Pada 2013 ada lima pasangan calon, yakni Gatot Pujo Nugroho-Erry Nuradi, Effendi Simbolon- Djumiran Abdi, Gus Irawan Pasaribu- Soekirman, Amri Tambunan-RE Nainggolan, dan pasangan Chairuman Harahap-Fadly Nursal.
Begitu juga pada 2008, terdapat lima pasangan calon, yakni Ali Umri-Maratua Simanjuntak, Tritamtomo-Sahala Benny Pasaribu, RE Siahaan-Suherdi, Abdul Wahab Dalimunthe-Raden Muhammad Syafii, dan Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho.
Menjadi komunikator politik tentunya tidak gampang. Dan Nimmo menyebutkan, kebanyakan politisi mendapatkan kesulitan besar untuk bisa dikenal bahkan untuk mempunyai citra. Kalau dilihat dari track record kedua pasangan calon dalam Pilgub 2018, keduanya cukup populer di kalangan masyarakat.
Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi memiliki latar belakang sebagai seorang perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang ditugaskan menjadi Pangkostrad menggantikan Jenderal TNI Mulyono yang telah menjadi KSAD. Tak hanya itu, Edy Rahmayadi juga Ketua Umum PSSI untuk periode 2016-2020.
Begitu juga dengan latar belakang Djarot Syaiful Hidayat. Lelaki berkacamata ini juga populer bagi masyarakat karena sebelumnya dia pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2014-2017. Sebelumnya, dia juga pernah menjabat sebagai Wali Kota Blitar untuk periode 2000-2005. Dia dipercaya rakyat Blitar untuk memimpin bahkan selama dua periode. Setelah itu Djarot mencoba peruntungannya di DPR RI. Dan, dia pernah menjadi anggota DPR RI periode 2014-2019.
Kepopuleran kedua pasangan calon ini ditambah sosok pasangan wakilnya yang keduanya masih muda, energik, dan berprestasi tentu menjadi daya pikat bagi masyarakat untuk mau menggunakan hak pilihnya. Kemampuan berkomunikasi yang baik, pengalaman latar belakang yang mumpuni hingga program-program yang menyentuh masyarakat tentu saja menjadi pesan politik yang selebihnya menjadi magnet bagi masyarakat terhadap Pilgub 2018.
Menghadapi Pileg
Berkaca dari penyelenggaraan Pilgubsu 2018 ini, maka peran komunikator politik sangat penting. Ditambah lagi dengan aturan KPU yang baru kalau calon legislatif juga harus memiliki latar belakang yang bersih dari korupsi. Artinya, komunikator politik dalam pemilihan legislatif tidak hanya harus populer dan dikenal dekat bagi masyarakat, memiliki program yang benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat, tapi juga harus memiliki latar belakang yang bersih dan baik.
Hal ini termaktub dalam Peraturan KPU Nomor 20/2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, khususnya Pasal 7 ayat 1 huruf g dan h, bahwa bakal calon tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara lima tahun dan bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, serta korupsi.
Akhirul kalam, selamat bertarung bagi calon legislatif. Semoga aturan ini akan melahirkan dan meningkatkan kapabilitas calon legislatif ke depan. Jadi, semakin mencerminkan kualitas pemilu yang lebih baik dengan partisipasi masyarakat yang antusias. Sehingga kita dapat menggenggam harapan untuk melahirkan pemimpin yang baik pula.
Tenaga Pengajar di Kampus STIK-P Medan
PENYELENGGARAAN Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) yang berlangsung pada 27 Juni 2018 menarik untuk dikaji. Hal ini disebabkan tingkat partisipasi politik masyarakat untuk ikut ambil bagian dalam pesta demokrasi lokal tersebut cukup tinggi.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumut merilis tingkat partisipasi pemilih pada pilgubsu kali ini mencapai 63,3% atau meningkat 16% dibanding 2013 yang hanya 47%. Partisipasi pemilih ini juga lebih tinggi dibanding Pilgubsu 2008 yang hanya 54%.
Tingginya partisipasi masyarakat ini tentunya tidak terlepas dari kapabilitas calon yang menjadi magnet dalam pilkada.
Pasangan calon ini dapat disebut merupakan komunikator politik. Dan Nimmo dalam bukunya Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan dan Media (1989), menyebutkan ada tipologi komunikator politik yang disebutnya sebagai komunikator kunci (key communicators), yakni meliputi politisi, komunikator profesional, dan aktivis.
Disebutkan Dan Nimmo, politikus merupakan orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, tidak peduli dipilih, ditunjuk atau pejabat karier, dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif.
Sementara profesional adalah orang-orang yang mencari nafkahnya dengan berkomunikasi karena keahliannya adalah berkomunikasi.
Mereka ini antara lain pengamat politik dan lainnya. Sementara itu, aktivis adalah komunikator politik utama yang bertindak sebagai saluran organisasional dan interpersonal seperti lembaga sosial masyarakat (LSM) dan kelompok penekan di kalangan masyarakat. Pendapat Nimmo ini banyak dikaitkan dengan kemampuan komunikator politik sebagai pemimpin opini dalam membentuk atau memengaruhi opini publik.
Senada dengan Dan Nimmo, menurut Hafied Cangara dalam bukunya Komunikasi Politik, Konsep, Teori dan Strategi (2011), komunikator politik adalah mereka-mereka yang dapat memberi informasi tentang hal-hal yang mengandung makna atau bobot politik, misalnya presiden, menteri, anggota DPR, MPR, gubernur, bupati/ wali kota, DPRD, politisi, LSM, serta kelompok penekan dalam masyarakat yang bisa memengaruhi jalannya pemerintahan.
Sebagai ujung tombak aktivitas politik, tentu saja komunikator politik harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik secara verbal maupun nonverbal. Dia harus dapat menyampaikan gagasan kepada publik dengan baik. Pesannya harus mudah diterima oleh publik. Dia juga harus memiliki lobi politik. Selain itu, seorang komunikator politik juga tidak bisa hanya mengandalkan berbicara karena penampilan fisik, berpakaian, mimik muka, gerakan tangan, dan cara berjalan pun merupakan bentuk komunikasi nonverbal yang sama pentingnya.
Dalam pilgubsu kali ini, peran pasangan calon sebagai komunikator politik cukup signifikan menarik masyarakat untuk datang ke TPS dan memilih. Hal ini dapat dilihat pada magnet kedua pasangan calon, yakni Edy Rahmayadi-Musa Rajeckshah serta pasangan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus. Mereka menjadi fenomena baru di kalangan masyarakat. Meskipun hanya dua pasangan calon yang bertarung, partisipasi masyarakat meningkat tajam.
Sementara kalau kita lihat dari pilgubsu sebelumnya, pasangan calon yang bertarung cukup ramai. Pada 2013 ada lima pasangan calon, yakni Gatot Pujo Nugroho-Erry Nuradi, Effendi Simbolon- Djumiran Abdi, Gus Irawan Pasaribu- Soekirman, Amri Tambunan-RE Nainggolan, dan pasangan Chairuman Harahap-Fadly Nursal.
Begitu juga pada 2008, terdapat lima pasangan calon, yakni Ali Umri-Maratua Simanjuntak, Tritamtomo-Sahala Benny Pasaribu, RE Siahaan-Suherdi, Abdul Wahab Dalimunthe-Raden Muhammad Syafii, dan Syamsul Arifin-Gatot Pujo Nugroho.
Menjadi komunikator politik tentunya tidak gampang. Dan Nimmo menyebutkan, kebanyakan politisi mendapatkan kesulitan besar untuk bisa dikenal bahkan untuk mempunyai citra. Kalau dilihat dari track record kedua pasangan calon dalam Pilgub 2018, keduanya cukup populer di kalangan masyarakat.
Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi memiliki latar belakang sebagai seorang perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang ditugaskan menjadi Pangkostrad menggantikan Jenderal TNI Mulyono yang telah menjadi KSAD. Tak hanya itu, Edy Rahmayadi juga Ketua Umum PSSI untuk periode 2016-2020.
Begitu juga dengan latar belakang Djarot Syaiful Hidayat. Lelaki berkacamata ini juga populer bagi masyarakat karena sebelumnya dia pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2014-2017. Sebelumnya, dia juga pernah menjabat sebagai Wali Kota Blitar untuk periode 2000-2005. Dia dipercaya rakyat Blitar untuk memimpin bahkan selama dua periode. Setelah itu Djarot mencoba peruntungannya di DPR RI. Dan, dia pernah menjadi anggota DPR RI periode 2014-2019.
Kepopuleran kedua pasangan calon ini ditambah sosok pasangan wakilnya yang keduanya masih muda, energik, dan berprestasi tentu menjadi daya pikat bagi masyarakat untuk mau menggunakan hak pilihnya. Kemampuan berkomunikasi yang baik, pengalaman latar belakang yang mumpuni hingga program-program yang menyentuh masyarakat tentu saja menjadi pesan politik yang selebihnya menjadi magnet bagi masyarakat terhadap Pilgub 2018.
Menghadapi Pileg
Berkaca dari penyelenggaraan Pilgubsu 2018 ini, maka peran komunikator politik sangat penting. Ditambah lagi dengan aturan KPU yang baru kalau calon legislatif juga harus memiliki latar belakang yang bersih dari korupsi. Artinya, komunikator politik dalam pemilihan legislatif tidak hanya harus populer dan dikenal dekat bagi masyarakat, memiliki program yang benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat, tapi juga harus memiliki latar belakang yang bersih dan baik.
Hal ini termaktub dalam Peraturan KPU Nomor 20/2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, khususnya Pasal 7 ayat 1 huruf g dan h, bahwa bakal calon tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara lima tahun dan bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, serta korupsi.
Akhirul kalam, selamat bertarung bagi calon legislatif. Semoga aturan ini akan melahirkan dan meningkatkan kapabilitas calon legislatif ke depan. Jadi, semakin mencerminkan kualitas pemilu yang lebih baik dengan partisipasi masyarakat yang antusias. Sehingga kita dapat menggenggam harapan untuk melahirkan pemimpin yang baik pula.
(thm)