Kapabilitas Calon Jadi Magnet di Pilkada

Sabtu, 07 Juli 2018 - 09:02 WIB
Kapabilitas Calon Jadi...
Kapabilitas Calon Jadi Magnet di Pilkada
A A A
Lia Anggia Nasution
Tenaga Pengajar di Kampus STIK-P Medan

PENYELENGGARAAN Pe­milihan Gu­ber­nur Sumatera Uta­ra (Pilgubsu) yang ber­langsung pada 27 Juni 2018 me­narik untuk dikaji. Hal ini di­se­babkan tingkat partisipasi po­li­tik masyarakat untuk ikut am­b­il bagian dalam pesta d­e­mo­krasi lokal tersebut cukup ting­gi.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumut merilis ting­kat partisipasi pemilih pada pil­gubsu kali ini mencapai 63,3% atau meningkat 16% di­ban­ding 2013 yang hanya 47%. Par­tisipasi pemilih ini juga lebih ting­gi dibanding Pilgubsu 2008 yang hanya 54%.
Tingginya partisipasi ma­sya­­rakat ini tentunya tidak ter­le­pas dari kapabilitas calon yang men­jadi magnet dalam pilkada.

Pa­sangan calon ini dapat di­se­but merupakan komunikator po­litik. Dan Nimmo dalam bu­ku­nya Komunikasi Politik, Ko­mu­ni­kator, Pesan dan Media (1989), menyebutkan ada ti­po­logi komunikator politik yang di­sebutnya sebagai komu­ni­ka­tor kunci (key communicators), yak­ni meliputi politisi, ko­mu­ni­ka­tor profesional, dan aktivis.

Disebutkan Dan Nimmo, po­li­tikus merupakan orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan p­e­me­ri­n­tah, tidak peduli dipilih, di­tun­juk atau pejabat karier, dan ti­dak mengindahkan apakah ja­bat­an itu eksekutif, legislatif, atau­pun yudikatif.
Sementara profesional ada­lah orang-orang yang mencari na­f­kahnya dengan ber­ko­mu­ni­ka­si karena keahliannya adalah berkomunikasi.

Mereka ini an­ta­ra lain pengamat politik dan lain­nya. Sementara itu, aktivis ad­a­lah komunikator politik uta­ma yang bertindak sebagai s­a­lur­an organisasional dan in­ter­per­sonal seperti lembaga sosial ma­syarakat (LSM) dan ke­lom­pok penekan di kalangan ma­sya­rakat. Pendapat Nimmo ini ba­nyak dikaitkan dengan ke­mam­puan komunikator politik se­bagai pemimpin opini dalam mem­bentuk atau mem­e­nga­ruhi opini publik.

Senada dengan Dan Nim­mo, me­nurut Hafied Cangara da­lam bu­kunya Komunikasi Po­li­tik, Kon­sep, Teori dan Strategi (2011), komunikator politik ada­­lah mereka-mereka yang da­­pat memberi informasi ten­tang hal-hal yang mengan­dung mak­na atau bobot po­li­tik, misalnya pre­siden, men­te­ri, anggota DPR, MPR, gu­ber­nur, bu­pati/ wa­li kota, DPRD, po­litisi, LSM, ser­ta kelompok pe­nekan dalam ma­syarakat yang bisa me­m­e­nga­ruhi ja­lan­nya pemerintahan.

Sebagai ujung tombak ak­ti­vi­­tas politik, tentu saja ko­mu­ni­­ka­tor politik harus memiliki ke­­mam­p­uan komunikasi yang baik secara verbal maupun non­­­­ver­bal. Dia harus dapat me­­­nyam­paikan gagasan ke­pa­da pub­lik dengan baik. Pe­san­nya ha­rus mudah diterima oleh pub­lik. Dia juga harus me­mi­liki lo­bi politik. Selain itu, se­orang ko­munikator politik ju­ga tidak bi­sa hanya mengandal­kan ber­bi­­cara karena pe­nam­pilan fisik, ber­pakaian, mi­mik muka, ge­rak­­an tangan, dan cara berjalan pun me­ru­pa­k­an bentuk ko­mu­ni­kasi non­ver­bal yang sama pentingnya.

Dalam pilgubsu kali ini, pe­ran pasangan calon sebagai ko­mu­nikator politik cukup sig­ni­fi­kan menarik masyarakat untuk da­tang ke TPS dan memilih. Hal ini dapat dilihat pada magnet ke­dua pasangan calon, yakni Edy Rahmayadi-Musa Ra­jeck­shah serta pasangan Djarot Sai­ful Hidayat-Sihar Sitorus. M­e­re­­ka menjadi fenomena baru di ka­langan masyarakat. Mes­ki­pun hanya dua pasangan calon yang bertarung, partisipasi ma­sya­rakat meningkat tajam.

Sementara kalau kita lihat da­ri pilgubsu sebelumnya, pa­sang­an calon yang bertarung cu­kup ramai. Pada 2013 ada li­ma pasangan calon, yakni G­a­tot Pu­jo Nugroho-Erry Nur­a­di, Ef­fen­di Simbolon- Dju­mi­ran Ab­di, Gus Irawan Pasa­ribu- Soe­kir­man, Amri Tam­bun­an-RE Naing­­go­lan, dan pa­sangan Chai­ruman Hara­hap-Fadly Nursal.

Begitu juga pada 2008, ter­da­­pat lima pasangan calon, yak­­ni Ali Umri-Maratua Si­man­­jun­tak, Tritamtomo-Sa­ha­la Benny Pasaribu, RE Sia­ha­an-Suherdi, Ab­dul Wahab Da­li­­munthe-Ra­den Muhammad Sya­fii, dan Sya­m­sul Arifin-Ga­tot Pujo Nugroho.

Menjadi komunikator po­li­tik tentunya tidak gampang. Dan Nimmo menyebutkan, ke­­­ba­nyakan politisi men­da­pat­­kan kesulitan besar untuk bi­sa di­kenal bahkan untuk mem­­pu­nyai citra. Kalau di­li­hat dari track record kedua pa­sang­an ca­lon dalam Pilgub 2018, ke­dua­nya cukup populer di kalangan masyarakat.

Letnan Jenderal TNI Edy Rah­­mayadi memiliki latar be­la­kang sebagai seorang perwira ting­gi TNI Angkatan Darat yang ditugaskan menjadi Pang­kos­trad menggantikan Jenderal TNI Mulyono yang telah men­jadi KSAD. Tak hanya itu, Edy Rahmayadi juga Ketua Umum PSSI untuk periode 2016-2020.

Begitu juga dengan latar be­la­kang Djarot Syaiful Hidayat. Le­laki berkacamata ini juga po­pu­ler bagi masyarakat karena sebelumnya dia pernah men­jabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2014-2017. Sebelumnya, dia juga per­nah menjabat sebagai Wali Kota Bl­i­tar untuk periode 2000-2005. Dia dipercaya rakyat Bli­tar untuk memimpin bahkan se­lama dua periode. Setelah itu Dja­rot mencoba per­un­tung­an­nya di DPR RI. Dan, dia pernah men­jadi anggota DPR RI pe­rio­de 2014-2019.

Kepopuleran ke­dua pasangan calon ini di­tam­bah sosok pasangan wakilnya yang keduanya masih muda, ener­gik, dan berprestasi tentu men­jadi daya pikat bagi ma­sya­ra­kat untuk mau menggunakan hak pilihnya. Kemampuan ber­ko­munikasi yang baik, pe­nga­l­a­man latar belakang yang mum­puni hingga program-program yang menyentuh masyarakat ten­tu saja menjadi pesan politik yang selebihnya menjadi mag­net bagi masyarakat terhadap Pi­lgub 2018.

Menghadapi Pileg
Berkaca dari pe­nye­leng­ga­ra­an Pilgubsu 2018 ini, maka pe­ran komunikator politik sangat pen­ting. Ditambah lagi dengan atur­an KPU yang baru kalau ca­lon legislatif juga harus me­mi­liki latar belakang yang bersih dari korupsi. Artinya, komunikator po­li­tik dalam pemilihan legislatif ti­dak hanya harus populer dan di­ke­nal dekat bagi masyarakat, me­miliki program yang benar-benar menyentuh kebutuhan ma­syarakat, tapi juga harus me­mi­liki latar belakang yang ber­sih dan baik.

Hal ini termaktub dalam Per­atur­an KPU Nomor 20/2018 ten­tang Pencalonan Anggota De­wan Perwakilan Rakyat, De­wan Perwakilan Rakyat Pro­vin­si, dan Dewan Perwakilan Rak­yat Daerah Kabupaten/Kota, khu­susnya Pasal 7 ayat 1 huruf g dan h, bahwa bakal calon tidak per­nah sebagai terpidana ber­da­sarkan putusan pengadilan ber­kekuatan hukum tetap yang di­an­cam dengan pidana penjara lima tahun dan bukan man­tan terpidana bandar narkoba, ke­jahatan seksual terhadap anak, serta korupsi.

Akhirul kalam, selamat ber­ta­rung bagi calon legislatif. Se­mo­ga aturan ini akan me­la­hir­kan dan meningkatkan ka­pa­bi­li­tas calon legislatif ke depan. Ja­di, semakin mencerminkan kua­litas pemilu yang lebih baik de­ngan partisipasi masyarakat yang antusias. Sehingga kita da­pat menggenggam ha­rapan un­t­uk melahirkan pe­mim­pin yang baik pula.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0690 seconds (0.1#10.140)