Multilateral Vs Bilateral
A
A
A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
Politik multilateralisme dalam konteks hubungan internasional menjadi semakin kuat dalam 20 tahun terakhir. Terutama semenjak runtuhnya Blok Timur dalam Perang Dingin dan semakin menguatnya organisasi-organisasi kerja sama, seperti WTO, badan-badan PBB, LSM, dan sebagainya.
Politik tersebut juga bisa berdiri karena didukung oleh basis ekonomi dunia yang semakin terintegrasi dalam rantai jaringan supply-chain. Produksi dunia tidak lagi terkonsentrasi di satu tempat atau negara, tetapi terpecah menjadi ribuan lokasi yang dihubungkan dengan revolusi teknologi informasi dan transportasi.
Negosiasi untuk sebuah kesepakatan tidak lagi antardua negara, tetapi antara berbagai negara karena objek yang dibicarakan lintas batas negara dan terjadi dalam waktu bersamaan.
Politik multilateral seakan menjadi given oleh para kepala negara di dunia. Semua negara merasa bahwa tidak akan ada negara yang bisa bertahan hanya dalam hubungan bilateral antara dua atau tiga negara. Sangat tidak mungkin untuk tidak aktif merumuskan kepentingan dalam negeri di dalam politik multilateral karena segala keputusan di tingkat multilateral (WTO, APEC, G-20, ASEAN) akan berdampak langsung pada politik di dalam negeri sebuah negara.
Donald Trump mungkin menjadi faktor yang membuat keyakinan ini mulai menjadi keraguan ketika ia terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat (AS). Donald Trump menjadi sorotan karena ia adalah kepala negara maju dan besar sehingga tidak mungkin mengelak menjadi sasaran kritikan atas kebijakan-kebijakan bilateral yang melawan arus politik internasional yang telah terjadi selama ini.
Namun demikian, fakta sesungguhnya ada banyak politisi nasionalis hingga ultranasionalis muncul di beberapa negara yang memiliki pemikiran sama. Ada sebagian besar dari politisi ultranasionalis berhasil menjadi kepala negara (Italia, Hungaria, Austria, dst) serta sebagian lagi menjadi oposisi keras.
Mereka menyalahkan pendekatan multilateral atas situasi negatif yang mereka hadapi di dalam negeri. Keluar dari multilateral dan kembali fokus dalam pendekatan bilateral seperti yang dilakukan Inggris menjadi impian dari para politisi ultranasionalis tersebut.
Pada kenyataannya tidak ada satu negara mengandalkan kemajuan dan keamanan negara mereka hanya dari pendekatan multilateral. Begitu pula sebaliknya, tidak ada negara yang bisa hidup hanya dari pendekatan bilateral.
Apa yang terjadi saat ini menurut saya adalah dinamika strategi dalam negeri masing-masing negara untuk mengantisipasi kompetisi, baik secara politik dan ekonomi. Salah satu contohnya adalah Rusia yang terpaksa harus menggunakan pendekatan bilateral kepada beberapa negara karena tertekan oleh tekanan internasional atas apa yang terjadi di Ukraina atau Krimea.
Amerika Serikat, Uni Eropa (UE), dan negara-negara lain serta organisasi internasional memberikan sanksi terhadap individu, bisnis, dan pejabat dari Rusia. Sanksi itu meliputi larangan penyediaan teknologi untuk eksplorasi minyak dan gas, larangan penyediaan kredit untuk perusahaan minyak Rusia dan bank-bank negara, serta larangan terhadap sejumlah produk tertentu.
Dalam kondisi terjepit itu, Rusia tidak berarti anti terhadap hubungan multilateral. Mereka sebaliknya justru membangun diplomasi publik sebagai kerangka kultural untuk bisa mendapatkan kepercayaan lagi dari dunia.
Salah satunya melalui perhelatan sejagat sepak bola di Rusia saat ini. Meskipun sempat terancam gagal karena ancaman boikot dan unjuk rasa oleh masyarakat serta sebagian negara-negara Eropa, Piala Dunia 2018 tetap berlangsung.
Rusia menginvestasikan sumber dayanya untuk memoles perhelatan ini menjadi diplomasi publik sukses. Dengan dana sebesar USD51 juta, bahkan jauh melebihi dana Olimpiade China, Rusia ingin membuktikan bahwa di tengah tekanan politik multilateral yang membuat ekonomi mereka kembang kempis, mereka tetap berjalan seperti biasa.
Apabila Rusia mencoba menarik simpati dunia, AS sebaliknya melakukan hal bertolak belakang. AS sebulan lalu telah mengundurkan diri dari United Nation Human Rights Council atau Dewan HAM PBB. Alasan yang disampaikan sebagai dasar pengunduran diri itu adalah tuduhan bahwa Dewan HAM PBB tidak lagi adil atau bias terhadap Israel.
Keluarnya AS dari Dewan HAM PBB menambah panjang catatan mundurnya dari kesepakatan-kesepakatan politik multilateral dalam panggung diplomasi. AS telah keluar dari perjanjian Perdagangan Bebas Trans Pasific (TPP), Kesepakatan Paris, Kesepakatan Nuklir Iran, dan UNESCO sejak Presiden Donald Trump menjabat.
Meskipun alasan keluarnya AS dari Dewan HAM PBB karena tuduhan negara lain tidak adil terhadap Israel. Namun saya menduga, alasan kepentingan dalam negeri, terutama efisiensi dalam ekonomi dan strategi kebijakan jangka pendek ke depan yang lebih mendorong keputusan mundur tersebut.
Perubahan strategi antara mengutamakan pendekatan bilateral atau multilateral harus menjadi pertimbangan Indonesia juga, karena terlepas kita setuju atau tidak setuju, dampaknya akan terasa pada ekonomi dan politik kita. AS dulu mungkin diuntungkan dengan pendekatan multilateral.
Pendekatan multilateral AS selama ini, khususnya dalam perdagangan adalah menawarkan insentif berupa penghapusan tarif yang kemudian dilanjutkan atau dipercepat dengan perjanjian bilateral untuk mengatur hal-hal lebih detail. AS sendiri sebagai target pasar memberikan imbalan keran ekspor bagi negara-negara yang setuju dengan mereka di tingkat regional maupun bilateral. Uni Eropa biasanya memberikan penghapusan tarif impor apabila negara-negara yang diajak bekerja sama setuju untuk membangun struktur hukum dan hukum persaingan bersama.
Pendekatan multilateral AS dan Eropa itu menekan negara-negara yang secara politik dan ekonomi tertutup seperti China dan negara-negara sosialis lainnya. Mereka kalah bersaing karena strategi pendekatan multilateral yang memang memberikan keuntungan komparatif dari sisi harga dan variasi produk yang bisa mengundang konsumsi warga dunia terus menerus.
China memahami peta tersebut sehingga mereka tidak langsung melompat memasuki arena tanpa persiapan. China tidak bisa mengikuti strategi multilateral seperti AS yang memberikan keran Ekspor karena mereka bukan negara tujuan ekspor.
China juga tidak bisa mengikuti strategi multilateral Eropa yang menekankan kerangka hukum karena bukan negara yang multinasional. Oleh sebab itu, China harus melakukan strategi multilateral yang berbeda.
Apa yang dilakukan China adalah membangun strategi multilateral yang bervariasi atau berbeda-beda di setiap negara. China memulai kerja sama semi-multilateral dan berskala kecil untuk memudahkan negosiasi ke beberapa negara.
Perdagangan kerja sama perdagangan bebas pertama yang dilakukan China adalah dengan Hong Kong dan Macau, negara-negara benua Afrika, dan negara-negara Dunia Ketiga. China kemudian bekerja sama berdagang bebas dengan negara maju seperti Selandia Baru dan mencoba bekerja sama multilateral yang lebih luas dengan ASEAN.Tahap demi tahap dari strategi itu memungkinkan China untuk lebih dalam mempelajari situasi dan menyusun antisipasi kepada mitra selanjutnya.
Seni dari kerja sama multilateral bukan hanya membicarakan masalah substansi kerja sama, tetapi juga keterampilan bernegosiasi, mengelola konflik, membangun hubungan, dan meningkatkan kepercayaan. Strategi itu telah menempatkan China siap berkompetisi dengan AS dan Eropa.
Donald Trump mungkin memiliki analisis dan pertimbangannya sendiri, terlepas benar atau salah bahwa bila AS tidak mengubah “aturan main” yang pernah dibuatnya sendiri, ekonomi AS mungkin akan tergilas oleh kemajuan China. Salah satu pendekatan rasional yang ada di depan matanya adalah kembali lagi menguatkan pendekatan bilateral.
Bagaimana Indonesia? Akankah mengikuti strategi multilateral AS, Eropa, atau China? Saya berharap para pemimpin politik kita, baik yang ada di pemerintahan dan di luar pemerintahan (oposisi) tidak “membeo” langkah-langkah negara lain dalam menyusun atau mengkritik kebijakan.
Setiap negara unik dan tidak sama. Perbedaan itu yang menghasilkan strategi berbeda pula dalam memenangkan persaingan. China dapat menyusun langkah yang lebih sistematis dan konsisten karena sistem politik mereka adalah sosialis/komunis.
Sistem itu memberi keuntungan pembangunan menjadi tersentralisasi dan berkelanjutan terlepas siapa pun yang menjadi pemimpin negara tersebut. Strategi itu tidak bisa diikuti oleh AS yang menganut demokrasi liberal dan Uni Eropa yang bercirikan sosial-demokrat. Masing-masing sistem politik dan ekonomi negara akan menghasilkan strategi yang akan menguntungkan buat mereka sendiri sehingga mereka tidak peduli, apakah negara lain memiliki strategi yang sama atau berbeda.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
Politik multilateralisme dalam konteks hubungan internasional menjadi semakin kuat dalam 20 tahun terakhir. Terutama semenjak runtuhnya Blok Timur dalam Perang Dingin dan semakin menguatnya organisasi-organisasi kerja sama, seperti WTO, badan-badan PBB, LSM, dan sebagainya.
Politik tersebut juga bisa berdiri karena didukung oleh basis ekonomi dunia yang semakin terintegrasi dalam rantai jaringan supply-chain. Produksi dunia tidak lagi terkonsentrasi di satu tempat atau negara, tetapi terpecah menjadi ribuan lokasi yang dihubungkan dengan revolusi teknologi informasi dan transportasi.
Negosiasi untuk sebuah kesepakatan tidak lagi antardua negara, tetapi antara berbagai negara karena objek yang dibicarakan lintas batas negara dan terjadi dalam waktu bersamaan.
Politik multilateral seakan menjadi given oleh para kepala negara di dunia. Semua negara merasa bahwa tidak akan ada negara yang bisa bertahan hanya dalam hubungan bilateral antara dua atau tiga negara. Sangat tidak mungkin untuk tidak aktif merumuskan kepentingan dalam negeri di dalam politik multilateral karena segala keputusan di tingkat multilateral (WTO, APEC, G-20, ASEAN) akan berdampak langsung pada politik di dalam negeri sebuah negara.
Donald Trump mungkin menjadi faktor yang membuat keyakinan ini mulai menjadi keraguan ketika ia terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat (AS). Donald Trump menjadi sorotan karena ia adalah kepala negara maju dan besar sehingga tidak mungkin mengelak menjadi sasaran kritikan atas kebijakan-kebijakan bilateral yang melawan arus politik internasional yang telah terjadi selama ini.
Namun demikian, fakta sesungguhnya ada banyak politisi nasionalis hingga ultranasionalis muncul di beberapa negara yang memiliki pemikiran sama. Ada sebagian besar dari politisi ultranasionalis berhasil menjadi kepala negara (Italia, Hungaria, Austria, dst) serta sebagian lagi menjadi oposisi keras.
Mereka menyalahkan pendekatan multilateral atas situasi negatif yang mereka hadapi di dalam negeri. Keluar dari multilateral dan kembali fokus dalam pendekatan bilateral seperti yang dilakukan Inggris menjadi impian dari para politisi ultranasionalis tersebut.
Pada kenyataannya tidak ada satu negara mengandalkan kemajuan dan keamanan negara mereka hanya dari pendekatan multilateral. Begitu pula sebaliknya, tidak ada negara yang bisa hidup hanya dari pendekatan bilateral.
Apa yang terjadi saat ini menurut saya adalah dinamika strategi dalam negeri masing-masing negara untuk mengantisipasi kompetisi, baik secara politik dan ekonomi. Salah satu contohnya adalah Rusia yang terpaksa harus menggunakan pendekatan bilateral kepada beberapa negara karena tertekan oleh tekanan internasional atas apa yang terjadi di Ukraina atau Krimea.
Amerika Serikat, Uni Eropa (UE), dan negara-negara lain serta organisasi internasional memberikan sanksi terhadap individu, bisnis, dan pejabat dari Rusia. Sanksi itu meliputi larangan penyediaan teknologi untuk eksplorasi minyak dan gas, larangan penyediaan kredit untuk perusahaan minyak Rusia dan bank-bank negara, serta larangan terhadap sejumlah produk tertentu.
Dalam kondisi terjepit itu, Rusia tidak berarti anti terhadap hubungan multilateral. Mereka sebaliknya justru membangun diplomasi publik sebagai kerangka kultural untuk bisa mendapatkan kepercayaan lagi dari dunia.
Salah satunya melalui perhelatan sejagat sepak bola di Rusia saat ini. Meskipun sempat terancam gagal karena ancaman boikot dan unjuk rasa oleh masyarakat serta sebagian negara-negara Eropa, Piala Dunia 2018 tetap berlangsung.
Rusia menginvestasikan sumber dayanya untuk memoles perhelatan ini menjadi diplomasi publik sukses. Dengan dana sebesar USD51 juta, bahkan jauh melebihi dana Olimpiade China, Rusia ingin membuktikan bahwa di tengah tekanan politik multilateral yang membuat ekonomi mereka kembang kempis, mereka tetap berjalan seperti biasa.
Apabila Rusia mencoba menarik simpati dunia, AS sebaliknya melakukan hal bertolak belakang. AS sebulan lalu telah mengundurkan diri dari United Nation Human Rights Council atau Dewan HAM PBB. Alasan yang disampaikan sebagai dasar pengunduran diri itu adalah tuduhan bahwa Dewan HAM PBB tidak lagi adil atau bias terhadap Israel.
Keluarnya AS dari Dewan HAM PBB menambah panjang catatan mundurnya dari kesepakatan-kesepakatan politik multilateral dalam panggung diplomasi. AS telah keluar dari perjanjian Perdagangan Bebas Trans Pasific (TPP), Kesepakatan Paris, Kesepakatan Nuklir Iran, dan UNESCO sejak Presiden Donald Trump menjabat.
Meskipun alasan keluarnya AS dari Dewan HAM PBB karena tuduhan negara lain tidak adil terhadap Israel. Namun saya menduga, alasan kepentingan dalam negeri, terutama efisiensi dalam ekonomi dan strategi kebijakan jangka pendek ke depan yang lebih mendorong keputusan mundur tersebut.
Perubahan strategi antara mengutamakan pendekatan bilateral atau multilateral harus menjadi pertimbangan Indonesia juga, karena terlepas kita setuju atau tidak setuju, dampaknya akan terasa pada ekonomi dan politik kita. AS dulu mungkin diuntungkan dengan pendekatan multilateral.
Pendekatan multilateral AS selama ini, khususnya dalam perdagangan adalah menawarkan insentif berupa penghapusan tarif yang kemudian dilanjutkan atau dipercepat dengan perjanjian bilateral untuk mengatur hal-hal lebih detail. AS sendiri sebagai target pasar memberikan imbalan keran ekspor bagi negara-negara yang setuju dengan mereka di tingkat regional maupun bilateral. Uni Eropa biasanya memberikan penghapusan tarif impor apabila negara-negara yang diajak bekerja sama setuju untuk membangun struktur hukum dan hukum persaingan bersama.
Pendekatan multilateral AS dan Eropa itu menekan negara-negara yang secara politik dan ekonomi tertutup seperti China dan negara-negara sosialis lainnya. Mereka kalah bersaing karena strategi pendekatan multilateral yang memang memberikan keuntungan komparatif dari sisi harga dan variasi produk yang bisa mengundang konsumsi warga dunia terus menerus.
China memahami peta tersebut sehingga mereka tidak langsung melompat memasuki arena tanpa persiapan. China tidak bisa mengikuti strategi multilateral seperti AS yang memberikan keran Ekspor karena mereka bukan negara tujuan ekspor.
China juga tidak bisa mengikuti strategi multilateral Eropa yang menekankan kerangka hukum karena bukan negara yang multinasional. Oleh sebab itu, China harus melakukan strategi multilateral yang berbeda.
Apa yang dilakukan China adalah membangun strategi multilateral yang bervariasi atau berbeda-beda di setiap negara. China memulai kerja sama semi-multilateral dan berskala kecil untuk memudahkan negosiasi ke beberapa negara.
Perdagangan kerja sama perdagangan bebas pertama yang dilakukan China adalah dengan Hong Kong dan Macau, negara-negara benua Afrika, dan negara-negara Dunia Ketiga. China kemudian bekerja sama berdagang bebas dengan negara maju seperti Selandia Baru dan mencoba bekerja sama multilateral yang lebih luas dengan ASEAN.Tahap demi tahap dari strategi itu memungkinkan China untuk lebih dalam mempelajari situasi dan menyusun antisipasi kepada mitra selanjutnya.
Seni dari kerja sama multilateral bukan hanya membicarakan masalah substansi kerja sama, tetapi juga keterampilan bernegosiasi, mengelola konflik, membangun hubungan, dan meningkatkan kepercayaan. Strategi itu telah menempatkan China siap berkompetisi dengan AS dan Eropa.
Donald Trump mungkin memiliki analisis dan pertimbangannya sendiri, terlepas benar atau salah bahwa bila AS tidak mengubah “aturan main” yang pernah dibuatnya sendiri, ekonomi AS mungkin akan tergilas oleh kemajuan China. Salah satu pendekatan rasional yang ada di depan matanya adalah kembali lagi menguatkan pendekatan bilateral.
Bagaimana Indonesia? Akankah mengikuti strategi multilateral AS, Eropa, atau China? Saya berharap para pemimpin politik kita, baik yang ada di pemerintahan dan di luar pemerintahan (oposisi) tidak “membeo” langkah-langkah negara lain dalam menyusun atau mengkritik kebijakan.
Setiap negara unik dan tidak sama. Perbedaan itu yang menghasilkan strategi berbeda pula dalam memenangkan persaingan. China dapat menyusun langkah yang lebih sistematis dan konsisten karena sistem politik mereka adalah sosialis/komunis.
Sistem itu memberi keuntungan pembangunan menjadi tersentralisasi dan berkelanjutan terlepas siapa pun yang menjadi pemimpin negara tersebut. Strategi itu tidak bisa diikuti oleh AS yang menganut demokrasi liberal dan Uni Eropa yang bercirikan sosial-demokrat. Masing-masing sistem politik dan ekonomi negara akan menghasilkan strategi yang akan menguntungkan buat mereka sendiri sehingga mereka tidak peduli, apakah negara lain memiliki strategi yang sama atau berbeda.
(poe)