Faktor-faktor di Balik Kemenangan

Selasa, 03 Juli 2018 - 08:01 WIB
Faktor-faktor di Balik...
Faktor-faktor di Balik Kemenangan
A A A
Firman Noor
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

PILKADA
serentak 2018 baru saja ber­lalu. Beberapa lem­baga survei telah merilis perkiraan hasil akhir dari kontestasi itu melalui hitung cepat atau quick count. Peng­umuman resmi 171 pelak­sanaan pilkada ini masih me­nunggu hasil penghitungan suara resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Terlepas dari siapa yang akan keluar sebagai pemenang, pil­kada kali ini menegaskan kem­bali beberapa hal yang amat me­nentukan sebuah kemenangan. Tulisan ini akan membahas se­tidaknya lima hal yang berperan dalam menyukseskan seorang kan­didat dalam sebuah kon­testasi politik dalam pemilu atau pilkada.

Kelima hal ini jelas bukan sesuatu yang mutlak, namun setidaknya kelima hal ini tidak dapat diabaikan manakala kita mencoba menganalisis sebuah kemenangan (dan juga ke­kalah­a­n) dalam sebuah kontes­tasi politik. Faktor pertama adalah figur kandidat itu sendiri. Masyarakat kita masih meng­hitung sosok figur dalam me­nentukan pilihannya. Dalam soal ini, kadang tampilan yang enak dilihat dan me­yakinkan turut mempengaruhi pilihan.

Namun, yang terutama ter­kait dengan soal figur ini adalah rekam jejaknya. Masyarakat akan cenderung memilih kan­didat yang dianggap bersih dari korupsi, berasal dari jalur keturunan yang baik, memiliki kedekatan primordial dengan diri mereka, atau punya banyak prestasi yang dapat dibang­ga­kan. Beberapa kandidat yang terjerat atau tersangka kasus korupsi, termasuk di Pilgub Lampung misalnya, terbukti tidak mendapat simpati banyak dari pemilih.

Sosok yang cenderung merebut perhatian adalah juga yang tidak kontroversial atau suka menimbulkan keresahan dan santun, namun tidak berarti lemah atau tidak tegas. Selain itu, kandidat yang terlihat mudah didekati atau tidak terlalu formal juga lebih disukai. Begitu juga dengan mereka yang dianggap dekat dengan rakyat atau merakyat.

Di atas itu semua, figur yang lebih menjual adalah bukanlah sosok yang benar-benar asing. Para pemenang pilkada seren­tak mayoritas adalah sosok-sosok yang cukup familier di mata masyarakat pemilih. Akan menjadi sebuah kesulitan bagi para pengusungnya jika sosok ini relatif asing di mata masya­rakat. Kasus pasangan Hasanah di Pilgub Jabar menunjukkan betapa tidak mudah meng­usung figur yang tidak cukup familier.

Di sisi lain ada kandidat yang berhasil sukses dalam pilkada karena popularitasnya, meski dia tidak memiliki tim sukses yang militan atau sum­ber dana yang berlimpahan. Ini menjadi pelajaran berharga bahwa masalah tingkat penge­tahuan publik atas sosok kandidat merupakan faktor yang sama sekali tidak dapat diabaikan.

Kedua, faktor mesin partai dan jaringan relawan yang solid dan berkomitmen. Kadang kala sosok yang tidak terlalu populer atau bahkan tidak termasuk yang diperhitungkan dapat membalikkan situasi. Ini terjadi karena ditopang oleh mesin partai yang kuat ditambah dengan jaringan relawan yang solid. Meski saat penulisan artikel ini belum ada keputusan resmi mengenai statusnya, kiprah pasangan Sudrajat-Syaikhu di Pilgub Jabar dapat menjadi contoh bagaimana peran penting dari mesin politik yang luar biasa.

Pelajaran yang dapat di­ambil adalah tak jarang tingkat keterpilihan seorang kandidat dapat dikerek sedemikian rupa oleh dukungan mesin politik dan jaringan relawan yang be­kerja secara militan. Dapat di­i­baratkan di sini seorang pem­balap dengan skill yang biasa saja namun memiliki ken­dara­an dengan mesin yang sa­ngat baik, tetap ber­peluang besar menjadi pemenang.

Sebaliknya, ada pula kasus-kasus di mana se­orang kan­didat yang di­dukung oleh banyak par­tai namun ter­nyata suara yang diperoleh­nya tidak meng­gem­birakan. Kondisi ini bisa jadi disebabkan partai dan jaringan relawan sebagai sebuah bagian dari "political marketing" dan "public relation" pasif, tidak solid atau bahkan tidak bergerak sama sekali.

Apakah kedua hal itu cukup? Jelas tidak. Dalam pertarungan politik juga diperlukan kemam­p­uan membangun rasa percaya dan kedekatan dengan kon­stituen. Seorang kandidat harus dapat dengan cerdas mema­hami nilai-nilai (values) yang di­hormati untuk kemudian me­leburkan atau meng­identifi­kasi­kan dirinya dengan nilai-nilai itu. Intinya, seorang kan­didat tidak bisa terlalu jauh dari akar budaya masyarakat di tempat dia ber­kontestasi.

Pemahaman akan konteks atau wilayah pertarungan men­jadi penting dan harus menjadi acuan dalam strategi peme­nang­an dan penguasaan peta politik. Dalam sebuah wilayah pemilihan yang luas, seorang kandidat harus lebih cermat dan hati-hati dalam membaca perbedaan karakter budaya masyarakat pemilih.

Terdapat kantong-kantong pemilih yang beragam yang tentu saja perlu didekati dengan pendekatan yang berbeda-beda pula. Strategi pasangan Ganjar-Yasin atau Khofifah-Emil yang mengombinasikan kalangan "nasionalis-santri" menjadi salah satu faktor yang mem­bantu kemenangan.

Di sisi lain, para kan­didat yang dipandang gagal untuk menghargai nilai-nilai yang di­hormati kerap mendapat gun­cangan kepercayaan yang luar biasa yang kemudian memu­pus­kan peluang kemenang­an­nya. Sikap bersikeras untuk mem­buat jarak dengan karak­teristik mayoritas ter­bukti ha­nya akan me­nyulit­kan upaya-upaya tim sukses mem­bangun citra po­sitif.

Tuduhan kle­nik di Pilgub Jabar terbukti am­puh untuk menyu­dut­kan pa­sang­­an Duo DM. Hal berikutnya (ketiga) ada­lah program dan agenda. Per­soalan yang sebenarnya “rasio­nal” ini memang pada umum­nya tidak segera mendapat per­hatian pemilih.

Namun seiring dengan perjalanan waktu, pro­gram dan agenda yang di­ung­gulkan oleh seorang kandidat ada dapat pula mencuri per­hatian publik. Periode waktu kampanye yang cukup panjang, juga memberikan kesempatan bagi para pemilih untuk lebih menelisik dan melakukan per­bandingan.

Seorang kandidat yang mampu mencuri perhatian de­ngan program-program yang inovatif, memberikan solusi dan sejalan dengan aspirasi atau kebutuhan masyarakat lebih memiliki peluang besar. Kasus kesuksesan Nurdin Abdullah di Pilgub Sulawesi Selatan dapat menjadi con­tohnya.

Sementara itu, tidak jarang sikap pemilih men­jadi berubah karena ter­giur dengan program-program yang dita­war­kan. Agak mundur sedikit ke belakang, program-program menarik pasangan Anies-Sandi, di DKI Jakarta termasuk misalnya rumah dengan DP 0%, cukup mampu menyedot per­hatian pemilih Jakarta ter­utama dari kalangan mene­ngah ke bawah.

Selain faktor-faktor di atas, ada satu faktor lain yang juga tidak dapat diabaikan. Namun, faktor ini lebih bersifat di luar perkiraan atau tidak masuk prediksi. Faktor ini dapat di­sebut sebagai blessing in disguise atau “Faktor X”. Kasus yang ter­kait dengan faktor ini memang tidak banyak ditemui, namun berperan besar dalam memutar arah angin politik. Keme­nang­an Ahok yang nampak sudah di depan mata, tiba-tiba sirna ka­rena “keseleo lidah” di Ke­pulau­an Seribu dapat dilihat dari sisi ini.

Sebagai bandingannya adalah batalnya kemenangan Hillary Clinton yang sebenar­nya sudah hampir pasti menjadi presiden. Ini semata karena adanya kesalahan pengiriman email dari salah seorang timses di menit-menit akhir menjelang hari pemilihan yang berujung pada pemeriksaan FBI yang akhirnya cukup memengaruhi sikap swing voters. "Faktor X" ini dapat dikatakan merupakan intervening variable, yang me­mang tidak selalu terjadi. Na­mun, beberapa kasus pemilihan kerap dapat dijawab sebagai dampak dari keberadaan faktor ini.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0779 seconds (0.1#10.140)