Faktor-faktor di Balik Kemenangan
A
A
A
Firman Noor
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
PILKADA serentak 2018 baru saja berlalu. Beberapa lembaga survei telah merilis perkiraan hasil akhir dari kontestasi itu melalui hitung cepat atau quick count. Pengumuman resmi 171 pelaksanaan pilkada ini masih menunggu hasil penghitungan suara resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Terlepas dari siapa yang akan keluar sebagai pemenang, pilkada kali ini menegaskan kembali beberapa hal yang amat menentukan sebuah kemenangan. Tulisan ini akan membahas setidaknya lima hal yang berperan dalam menyukseskan seorang kandidat dalam sebuah kontestasi politik dalam pemilu atau pilkada.
Kelima hal ini jelas bukan sesuatu yang mutlak, namun setidaknya kelima hal ini tidak dapat diabaikan manakala kita mencoba menganalisis sebuah kemenangan (dan juga kekalahan) dalam sebuah kontestasi politik. Faktor pertama adalah figur kandidat itu sendiri. Masyarakat kita masih menghitung sosok figur dalam menentukan pilihannya. Dalam soal ini, kadang tampilan yang enak dilihat dan meyakinkan turut mempengaruhi pilihan.
Namun, yang terutama terkait dengan soal figur ini adalah rekam jejaknya. Masyarakat akan cenderung memilih kandidat yang dianggap bersih dari korupsi, berasal dari jalur keturunan yang baik, memiliki kedekatan primordial dengan diri mereka, atau punya banyak prestasi yang dapat dibanggakan. Beberapa kandidat yang terjerat atau tersangka kasus korupsi, termasuk di Pilgub Lampung misalnya, terbukti tidak mendapat simpati banyak dari pemilih.
Sosok yang cenderung merebut perhatian adalah juga yang tidak kontroversial atau suka menimbulkan keresahan dan santun, namun tidak berarti lemah atau tidak tegas. Selain itu, kandidat yang terlihat mudah didekati atau tidak terlalu formal juga lebih disukai. Begitu juga dengan mereka yang dianggap dekat dengan rakyat atau merakyat.
Di atas itu semua, figur yang lebih menjual adalah bukanlah sosok yang benar-benar asing. Para pemenang pilkada serentak mayoritas adalah sosok-sosok yang cukup familier di mata masyarakat pemilih. Akan menjadi sebuah kesulitan bagi para pengusungnya jika sosok ini relatif asing di mata masyarakat. Kasus pasangan Hasanah di Pilgub Jabar menunjukkan betapa tidak mudah mengusung figur yang tidak cukup familier.
Di sisi lain ada kandidat yang berhasil sukses dalam pilkada karena popularitasnya, meski dia tidak memiliki tim sukses yang militan atau sumber dana yang berlimpahan. Ini menjadi pelajaran berharga bahwa masalah tingkat pengetahuan publik atas sosok kandidat merupakan faktor yang sama sekali tidak dapat diabaikan.
Kedua, faktor mesin partai dan jaringan relawan yang solid dan berkomitmen. Kadang kala sosok yang tidak terlalu populer atau bahkan tidak termasuk yang diperhitungkan dapat membalikkan situasi. Ini terjadi karena ditopang oleh mesin partai yang kuat ditambah dengan jaringan relawan yang solid. Meski saat penulisan artikel ini belum ada keputusan resmi mengenai statusnya, kiprah pasangan Sudrajat-Syaikhu di Pilgub Jabar dapat menjadi contoh bagaimana peran penting dari mesin politik yang luar biasa.
Pelajaran yang dapat diambil adalah tak jarang tingkat keterpilihan seorang kandidat dapat dikerek sedemikian rupa oleh dukungan mesin politik dan jaringan relawan yang bekerja secara militan. Dapat diibaratkan di sini seorang pembalap dengan skill yang biasa saja namun memiliki kendaraan dengan mesin yang sangat baik, tetap berpeluang besar menjadi pemenang.
Sebaliknya, ada pula kasus-kasus di mana seorang kandidat yang didukung oleh banyak partai namun ternyata suara yang diperolehnya tidak menggembirakan. Kondisi ini bisa jadi disebabkan partai dan jaringan relawan sebagai sebuah bagian dari "political marketing" dan "public relation" pasif, tidak solid atau bahkan tidak bergerak sama sekali.
Apakah kedua hal itu cukup? Jelas tidak. Dalam pertarungan politik juga diperlukan kemampuan membangun rasa percaya dan kedekatan dengan konstituen. Seorang kandidat harus dapat dengan cerdas memahami nilai-nilai (values) yang dihormati untuk kemudian meleburkan atau mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai itu. Intinya, seorang kandidat tidak bisa terlalu jauh dari akar budaya masyarakat di tempat dia berkontestasi.
Pemahaman akan konteks atau wilayah pertarungan menjadi penting dan harus menjadi acuan dalam strategi pemenangan dan penguasaan peta politik. Dalam sebuah wilayah pemilihan yang luas, seorang kandidat harus lebih cermat dan hati-hati dalam membaca perbedaan karakter budaya masyarakat pemilih.
Terdapat kantong-kantong pemilih yang beragam yang tentu saja perlu didekati dengan pendekatan yang berbeda-beda pula. Strategi pasangan Ganjar-Yasin atau Khofifah-Emil yang mengombinasikan kalangan "nasionalis-santri" menjadi salah satu faktor yang membantu kemenangan.
Di sisi lain, para kandidat yang dipandang gagal untuk menghargai nilai-nilai yang dihormati kerap mendapat guncangan kepercayaan yang luar biasa yang kemudian memupuskan peluang kemenangannya. Sikap bersikeras untuk membuat jarak dengan karakteristik mayoritas terbukti hanya akan menyulitkan upaya-upaya tim sukses membangun citra positif.
Tuduhan klenik di Pilgub Jabar terbukti ampuh untuk menyudutkan pasangan Duo DM. Hal berikutnya (ketiga) adalah program dan agenda. Persoalan yang sebenarnya “rasional” ini memang pada umumnya tidak segera mendapat perhatian pemilih.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, program dan agenda yang diunggulkan oleh seorang kandidat ada dapat pula mencuri perhatian publik. Periode waktu kampanye yang cukup panjang, juga memberikan kesempatan bagi para pemilih untuk lebih menelisik dan melakukan perbandingan.
Seorang kandidat yang mampu mencuri perhatian dengan program-program yang inovatif, memberikan solusi dan sejalan dengan aspirasi atau kebutuhan masyarakat lebih memiliki peluang besar. Kasus kesuksesan Nurdin Abdullah di Pilgub Sulawesi Selatan dapat menjadi contohnya.
Sementara itu, tidak jarang sikap pemilih menjadi berubah karena tergiur dengan program-program yang ditawarkan. Agak mundur sedikit ke belakang, program-program menarik pasangan Anies-Sandi, di DKI Jakarta termasuk misalnya rumah dengan DP 0%, cukup mampu menyedot perhatian pemilih Jakarta terutama dari kalangan menengah ke bawah.
Selain faktor-faktor di atas, ada satu faktor lain yang juga tidak dapat diabaikan. Namun, faktor ini lebih bersifat di luar perkiraan atau tidak masuk prediksi. Faktor ini dapat disebut sebagai blessing in disguise atau “Faktor X”. Kasus yang terkait dengan faktor ini memang tidak banyak ditemui, namun berperan besar dalam memutar arah angin politik. Kemenangan Ahok yang nampak sudah di depan mata, tiba-tiba sirna karena “keseleo lidah” di Kepulauan Seribu dapat dilihat dari sisi ini.
Sebagai bandingannya adalah batalnya kemenangan Hillary Clinton yang sebenarnya sudah hampir pasti menjadi presiden. Ini semata karena adanya kesalahan pengiriman email dari salah seorang timses di menit-menit akhir menjelang hari pemilihan yang berujung pada pemeriksaan FBI yang akhirnya cukup memengaruhi sikap swing voters. "Faktor X" ini dapat dikatakan merupakan intervening variable, yang memang tidak selalu terjadi. Namun, beberapa kasus pemilihan kerap dapat dijawab sebagai dampak dari keberadaan faktor ini.
Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
PILKADA serentak 2018 baru saja berlalu. Beberapa lembaga survei telah merilis perkiraan hasil akhir dari kontestasi itu melalui hitung cepat atau quick count. Pengumuman resmi 171 pelaksanaan pilkada ini masih menunggu hasil penghitungan suara resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Terlepas dari siapa yang akan keluar sebagai pemenang, pilkada kali ini menegaskan kembali beberapa hal yang amat menentukan sebuah kemenangan. Tulisan ini akan membahas setidaknya lima hal yang berperan dalam menyukseskan seorang kandidat dalam sebuah kontestasi politik dalam pemilu atau pilkada.
Kelima hal ini jelas bukan sesuatu yang mutlak, namun setidaknya kelima hal ini tidak dapat diabaikan manakala kita mencoba menganalisis sebuah kemenangan (dan juga kekalahan) dalam sebuah kontestasi politik. Faktor pertama adalah figur kandidat itu sendiri. Masyarakat kita masih menghitung sosok figur dalam menentukan pilihannya. Dalam soal ini, kadang tampilan yang enak dilihat dan meyakinkan turut mempengaruhi pilihan.
Namun, yang terutama terkait dengan soal figur ini adalah rekam jejaknya. Masyarakat akan cenderung memilih kandidat yang dianggap bersih dari korupsi, berasal dari jalur keturunan yang baik, memiliki kedekatan primordial dengan diri mereka, atau punya banyak prestasi yang dapat dibanggakan. Beberapa kandidat yang terjerat atau tersangka kasus korupsi, termasuk di Pilgub Lampung misalnya, terbukti tidak mendapat simpati banyak dari pemilih.
Sosok yang cenderung merebut perhatian adalah juga yang tidak kontroversial atau suka menimbulkan keresahan dan santun, namun tidak berarti lemah atau tidak tegas. Selain itu, kandidat yang terlihat mudah didekati atau tidak terlalu formal juga lebih disukai. Begitu juga dengan mereka yang dianggap dekat dengan rakyat atau merakyat.
Di atas itu semua, figur yang lebih menjual adalah bukanlah sosok yang benar-benar asing. Para pemenang pilkada serentak mayoritas adalah sosok-sosok yang cukup familier di mata masyarakat pemilih. Akan menjadi sebuah kesulitan bagi para pengusungnya jika sosok ini relatif asing di mata masyarakat. Kasus pasangan Hasanah di Pilgub Jabar menunjukkan betapa tidak mudah mengusung figur yang tidak cukup familier.
Di sisi lain ada kandidat yang berhasil sukses dalam pilkada karena popularitasnya, meski dia tidak memiliki tim sukses yang militan atau sumber dana yang berlimpahan. Ini menjadi pelajaran berharga bahwa masalah tingkat pengetahuan publik atas sosok kandidat merupakan faktor yang sama sekali tidak dapat diabaikan.
Kedua, faktor mesin partai dan jaringan relawan yang solid dan berkomitmen. Kadang kala sosok yang tidak terlalu populer atau bahkan tidak termasuk yang diperhitungkan dapat membalikkan situasi. Ini terjadi karena ditopang oleh mesin partai yang kuat ditambah dengan jaringan relawan yang solid. Meski saat penulisan artikel ini belum ada keputusan resmi mengenai statusnya, kiprah pasangan Sudrajat-Syaikhu di Pilgub Jabar dapat menjadi contoh bagaimana peran penting dari mesin politik yang luar biasa.
Pelajaran yang dapat diambil adalah tak jarang tingkat keterpilihan seorang kandidat dapat dikerek sedemikian rupa oleh dukungan mesin politik dan jaringan relawan yang bekerja secara militan. Dapat diibaratkan di sini seorang pembalap dengan skill yang biasa saja namun memiliki kendaraan dengan mesin yang sangat baik, tetap berpeluang besar menjadi pemenang.
Sebaliknya, ada pula kasus-kasus di mana seorang kandidat yang didukung oleh banyak partai namun ternyata suara yang diperolehnya tidak menggembirakan. Kondisi ini bisa jadi disebabkan partai dan jaringan relawan sebagai sebuah bagian dari "political marketing" dan "public relation" pasif, tidak solid atau bahkan tidak bergerak sama sekali.
Apakah kedua hal itu cukup? Jelas tidak. Dalam pertarungan politik juga diperlukan kemampuan membangun rasa percaya dan kedekatan dengan konstituen. Seorang kandidat harus dapat dengan cerdas memahami nilai-nilai (values) yang dihormati untuk kemudian meleburkan atau mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai itu. Intinya, seorang kandidat tidak bisa terlalu jauh dari akar budaya masyarakat di tempat dia berkontestasi.
Pemahaman akan konteks atau wilayah pertarungan menjadi penting dan harus menjadi acuan dalam strategi pemenangan dan penguasaan peta politik. Dalam sebuah wilayah pemilihan yang luas, seorang kandidat harus lebih cermat dan hati-hati dalam membaca perbedaan karakter budaya masyarakat pemilih.
Terdapat kantong-kantong pemilih yang beragam yang tentu saja perlu didekati dengan pendekatan yang berbeda-beda pula. Strategi pasangan Ganjar-Yasin atau Khofifah-Emil yang mengombinasikan kalangan "nasionalis-santri" menjadi salah satu faktor yang membantu kemenangan.
Di sisi lain, para kandidat yang dipandang gagal untuk menghargai nilai-nilai yang dihormati kerap mendapat guncangan kepercayaan yang luar biasa yang kemudian memupuskan peluang kemenangannya. Sikap bersikeras untuk membuat jarak dengan karakteristik mayoritas terbukti hanya akan menyulitkan upaya-upaya tim sukses membangun citra positif.
Tuduhan klenik di Pilgub Jabar terbukti ampuh untuk menyudutkan pasangan Duo DM. Hal berikutnya (ketiga) adalah program dan agenda. Persoalan yang sebenarnya “rasional” ini memang pada umumnya tidak segera mendapat perhatian pemilih.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, program dan agenda yang diunggulkan oleh seorang kandidat ada dapat pula mencuri perhatian publik. Periode waktu kampanye yang cukup panjang, juga memberikan kesempatan bagi para pemilih untuk lebih menelisik dan melakukan perbandingan.
Seorang kandidat yang mampu mencuri perhatian dengan program-program yang inovatif, memberikan solusi dan sejalan dengan aspirasi atau kebutuhan masyarakat lebih memiliki peluang besar. Kasus kesuksesan Nurdin Abdullah di Pilgub Sulawesi Selatan dapat menjadi contohnya.
Sementara itu, tidak jarang sikap pemilih menjadi berubah karena tergiur dengan program-program yang ditawarkan. Agak mundur sedikit ke belakang, program-program menarik pasangan Anies-Sandi, di DKI Jakarta termasuk misalnya rumah dengan DP 0%, cukup mampu menyedot perhatian pemilih Jakarta terutama dari kalangan menengah ke bawah.
Selain faktor-faktor di atas, ada satu faktor lain yang juga tidak dapat diabaikan. Namun, faktor ini lebih bersifat di luar perkiraan atau tidak masuk prediksi. Faktor ini dapat disebut sebagai blessing in disguise atau “Faktor X”. Kasus yang terkait dengan faktor ini memang tidak banyak ditemui, namun berperan besar dalam memutar arah angin politik. Kemenangan Ahok yang nampak sudah di depan mata, tiba-tiba sirna karena “keseleo lidah” di Kepulauan Seribu dapat dilihat dari sisi ini.
Sebagai bandingannya adalah batalnya kemenangan Hillary Clinton yang sebenarnya sudah hampir pasti menjadi presiden. Ini semata karena adanya kesalahan pengiriman email dari salah seorang timses di menit-menit akhir menjelang hari pemilihan yang berujung pada pemeriksaan FBI yang akhirnya cukup memengaruhi sikap swing voters. "Faktor X" ini dapat dikatakan merupakan intervening variable, yang memang tidak selalu terjadi. Namun, beberapa kasus pemilihan kerap dapat dijawab sebagai dampak dari keberadaan faktor ini.
(maf)