Perang Dagang, Dimulai!

Kamis, 21 Juni 2018 - 08:29 WIB
Perang Dagang, Dimulai!
Perang Dagang, Dimulai!
A A A
Dinna Wisnu, Ph.D
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

AMERIKA Serikat (AS) telah mengumumkan tarif sebesar 25% atas produk-produk impor dari China dengan total nilai USD50 miliar atau senilai Rp700 triliun hari Jumat minggu lalu. Tarif ini terutama menyasar produk-produk teknologi yang dimiliki perusahaan AS di China. Ada sekitar 1.300 produk yang ditargetkan menerima tarif baru ini seperti televisi layar datar, perangkat medis, bagian pesawat, telepon genggam, komputer, solar panel, baterai dan seterusnya. Tarif ini akan akan mulai berlaku tanggal 6 Juli bulan depan.

Tidak perlu menunggu berhari-hari, China membalas mengenakan tarif sebesar 25% juga terhadap 659 produk-produk impor dari AS ke China yang bila dijumlahkan mencapai jumlah yang sama yaitu sekitar USD50 miliar. Produk-produk itu antara lain kedelai, jagung, gandum, beras, sorgum, daging sapi, daging babi, unggas, ikan, produk susu, kacang dan sayuran, mobil dan produk perikanan/kelautan.

Tindakan balasan dari China akan dilanjutkan dengan pembalasan berikutnya. Departemen Perdagangan AS sedang mengindentifikasi produk-produk impor China senilai USD200 miliar untuk mendapatkan tarif tambahan 10% apabila China melakukan pembalasan. China pun mengancam akan melakukan hal serupa bila ada tambahan tindakan tarif dari AS.

Para analis dan ekonom dunia bersilang pendapat tentang kebijakan tersebut. Ada yang mengutuk tetapi ada juga yang mendukung. Sebagian besar mereka yang mengutuk secara umum adalah mereka yang berasal dari luar AS. Mereka berpendapat bahwa tarif rendah akan berujung pada integrasi ekonomi dunia yang lebih intim dan masif, dan itu adalah baik.

Mukhisa Kituyi, Sekretaris Jenderal Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), mengatakan bahwa tarif yang rendah, disertai dengan kemajuan teknologi, mendorong ekspansi luar biasa perdagangan global. Pada tahun 1960, persentase perdagangan sebagai bagian dari PDB dunia adalah 24% namun hari ini hampir 60%. Ia mengatakan bahwa ekspansi perdagangan telah mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan rumah tangga di seluruh dunia. Perdagangan dunia adalah faktor kunci di balik menguatnya perkonomian negara-negara Selatan dengan efek pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan perubahan sosial yang positif. Pertumbuhan itu mengangkat 1 miliar orang keluar dari kemiskinan hanya dalam waktu dua dekade.

Di sisi lain, pendapat yang mendukung kebijakan perang dagang Presiden AS Donald Trump lebih menitikberatkan kepada kedaulatan ekonomi AS terhadap China. Fareed Zakaria, seorang kolumnis AS, menyatakan dukungannya terhadap kebijakan Trump bila hal itu terkait perdagangan dengan China. Pendapatnya merujuk kepada laporan U.S. Trade Representative’s Report to Congress yang menjabarkan bahwa China telah gagal memberlakukan reformasi ekonomi yang dijanjikan, menggunakan cara formal dan informal untuk menghalangi akses perusahaan asing untuk dapat bersaing di pasar China.

Laporan itu mengkonfirmasi bahwa dalam beberapa tahun terakhir pemerintah China telah meningkatkan intervensi dalam ekonomi, terutama dengan mengeruk keuntungan dari perusahaan asing di sana. Semua ini secara langsung bertentangan dengan komitmen Beijing ketika bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 2001. Fareed mengatakan bahwa ia tidak suka dengan cara Trump tetapi cara lain yang dicoba oleh pemerintah sebelumnya ternyata tidak berhasil.

Saya pikir kita akan banyak mendengar pendapat yang mendukung dan mengutuk kebijakan perang tarif tersebut. Namun yang lebih penting adalah posisi kita sendiri menyikapi perubahan tersebut dan masalahnya kedua pendapat yang bertentangan itu tidak sepenuhnya benar dan juga tidak sepenuhnya salah. Di satu sisi, kita perlu mengakui bahwa perdagangan bebas yang selama ini berjalan tidak 100% mendatangkan kebaikan. Ada yang merugikan dan menguntungkan ekonomi negara dan masyarakat kita. Secara umum, pertumbuhan ekonomi kita memang diuntungkan atas perdagangan bebas. Hal itu ditunjukkan dengan angka pertumbuhan ekonomi yang rata-rata di atas 5%.

Integrasi dengan pasar dunia membuat produk-produk ekspor kita bisa mendatangkan devisa dalam bentuk dolar yang sangat menggiurkan seperti produk minyak kelapa sawit (CPO) Meski demikian, kita juga harus mengorbankan kelestarian lingkungan demi mendorong ekspor tersebut. Janji bahwa CPO kita akan diberi harga yang lebih tinggi apabila menjalankan perkebunan yang berbasis lingkungan ternyata tidak terpenuhi oleh negara Barat dan Eropa.

Kompetisi tetap menurut hukum pasar. Selain produk agrikultur, komoditas mineral dan fosil juga menyumbangkan terhadap krisis lingkungan di beberapa provinsi. Upah pekerja kita pun harus kompetitif dengan negara lain agar dapat menarik bagi investasi hingga akhirnya malah terlalu rendah untuk standar hidup berkualitas. Artinya, kita tidak mengalami fair trade di mana fokus utama ekonomi untuk menghilangkan kemiskinan seharusnya menjadi perhatian bersama semua pihak yang terlibat.

Saya merasa semua negara sedang menghitung ulang langkah dan strategi untuk menghadapi dinamika perang tarif yang mungkin berlanjut kepada perang dagang antara AS-China ini dan tidak ada solusi yang benar-benar permanen. Dilema yang kita hadapi mungkin juga dialami oleh nengara-negara lain. Kita masih belum yakin benar apakah perang dagang ini akan berlangsung dalam jangka panjang atau jangka pendek. Kebijakan proteksionis Trump bisa jadi berlaku jangka pendek karena secara internal di AS sendiri Trump masih mengkonsolidasikan kekuatan dan kepercayaan dari sekutu-sekutunya agar tidak terjebak dalam impeachment. Kebijakan ini bisa berjangka panjang apabila langkah-langkahnya ternyata menimbulkan dampak positif di dalam negeri seperti pertumbuhan lapangan pekerjaan, ekonomi, rendahnya inflasi dan lain sebagainya.

Langkah pragmatis yang bisa dilakukan saat ini sambil menunggu trend menuju kebijakan proteksionis Trump terkonfirmasi adalah membangun kerjasama dan pengertian baik bilateral dan multilateral kepada mitra-mitra Indonesia. Indonesia harus memanfaatkan momentum jangka pendek sebelum kita dapat memastikan ada momentum yang berjangka panjang. Contoh adalah bekerjasama daripada berkompetisi dengan Malaysia dalam menyusun strategi mengisi kelangkaan minyak nabati di China sebagai akibat naiknya tarif atas produk-produk kacang kedelai dari AS. Indonesia juga mungkin bisa mendapatkan harga murah dari negara-negara produsen baja untuk kepentingan infrastruktur karena oversupply akibat pengenaan tarif baja dan aluminium oleh AS.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0903 seconds (0.1#10.140)