Kritik dan Heteronomi Komunikasi
A
A
A
Gun Gun Heryanto Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
AKHIR-akhir ini media massa dan media sosial ramai memperbincangkan ragam kritik terhadap Jokowi baik pada program kerja pemerintah, partai pendukung, gaya kepemimpinan maupun pribadi. Kritik mencapai titik kulminasi seiring dengan konteks datangnya musim kontestasi elektoral 2019.
Ada kritik yang bersifat konstruktif, tetapi banyak juga kritik yang tak memadai sebagai pemantik dialektika akibat tak jelasnya logika dan data. Yang merisaukan adalah menguatnya fenomena pengkritik dan yang dikritik sama-sama abai dengan perdebatan cerdas dan membangun kultur demokrasi yang sehat berlandaskan etika, hukum, dan keadaban berpolitik.
Narasi Oposisi
Fenomena kritik sesungguhnya hal yang lumrah terjadi di negara demokrasi. Salah satu prinsip fundamental dalam demokrasi adalah kebebasan berekspresi. Universal Declaration of Human Right pada Sidang Umum PBB 10 Desember 1948 telah menjamin kemerdekaan berpikir, berkeyakinan, dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Konstitusi kita juga jelas dan tegas menjamin hal ini. Pada UUD 1945 Pasal 28 disebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Perlindungan atas kebebasan berpendapat ini juga terdapat pada UU No 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pada Pasal 1 disebutkan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian jelas dan tegas bahwa ciri utama berdemokrasi adalah kebebasan berpendapat yang dilindungi. Meski demikian hak seseorang termasuk hak menyampaikan pendapat dibatasi kewajibannya untuk menaati ragam peraturan perundang-undangan serta dibatasi oleh keberadaan hak orang lain.
Realitasnya, saat ini terjadi fenomena heteronomi komunikasi. Hal ini ditandai dengan para pihak yang terlibat dalam komunikasi baik sebagai pengkritik maupun yang dikritik kehilangan kemampuan untuk bertahan dari serangan informasi politik dan berada di bawah kekuasaan komunikasi politik (the power of political communication) yang sarat konflik. Narasi pengkritik maupun umpan balik yang dikritik tidak memunculkan ruang publik yang sehat melalui dialektika, tetapi justru kerap terjerembab pada pembunuhan karakter, delegitimasi, fitnah, dan nirintegritas.
Dari perspektif komunikasi politik, narasi oposisi harusnya memperhatikan beberapa hal. Pertama , selain substansi pesan dalam kritik, penting juga memahami komunikator yang menyampaikan kritik dan konteksnya. Misalnya kritik yang dilakukan Sandiaga Uno kepada pemerintahan Jokowi. Pada 10 Mei 2018, Sandi yang juga Wakil Gubernur DKI menyamakan pemerintahan Jokowi dengan pemerintahan Nazib Razak di Malaysia yang tidak berhasil memecahkan dua permasalahan utama, yakni lapangan kerja yang semakin sulit dan biaya hidup yang semakin tinggi.
Inti narasinya, pemerintahan Jokowi menggembar-gemborkan diri sebagai ekonomi ke-15 terbesar di dunia, tetapi faktanya masih banyak orang yang harus hidup dalam kesusahan dan sulit mendapatkan lapangan kerja. Jikapun substansinya benar, konteksnya tidak tepat dan tidak elegan, mengingat posisi Sandi selaku pengkritik saat ini berada dalam hierarki pemerintahan. Kritik seperti ini harusnya dilakukan sosok lain di Partai Gerindra maupun PKS.
Bagaimanapun sangat tidak etis jika seorang Sandiaga Uno yang Wakil Gubernur DKI mengkritik pemerintah pusat di mana dia berada dalam hierarkinya. Pada Pasal 91 ayat (1) UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan, gubernur adalah wakil pemerintah pusat untuk melaksanakan urusan pemerintahan daerah.
Kedua, narasi kritik oposisi kerap kehilangan koherensi. Contohnya kritik Amien Rais kepada Jokowi di beberapa kesempatan. Seorang teoretikus paradigma naratif Walter Fisher dalam bukunya Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action (1987) menulis tentang pentingnya membangun rasionalitas naratif. Baginya tak semua narasi memiliki power yang sama untuk bisa dipercayai. Dia mengidentifikasi dua hal prinsip dalam rasionalitas naratif, yakni koherensi (coherence) dan kebenaran (fidelity).
Ada tiga hal pokok dalam koherensi, yakni struktural, material, dan karakterologis. Koherensi struktural berpijak pada tingkatan di mana elemen-elemen dari sebuah narasi mengalir lancar, terasa benang merahnya oleh khalayak. Koherensi material merujuk pada tingkat kongruensi antara satu narasi dengan narasi lainnya yang berkaitan. Semakin banyak paradoks, semakin berpotensi tidak dipercayai.
Sosok Amien Rais memang memiliki koherensi karakterologis karena sejak era Soeharto hingga era Jokowi dia kerap mengkritik tajam pemerintah. Hanya saja kini kritiknya melemah signifikan pada koherensi struktural dan materialnya. Misalnya kritik soal pembagian sertifikat tanah oleh Jokowi pada banyak daerah yang dikritik Amien sebagai ngibul ! Sayangnya diksi ngibul dari Amien Rais tak disusul dengan penjelasan gamblang di mana dan seperti apa ngibul -nya. Artinya kritik tidak terdorong menjadi debat sehat berbasis logika dan data.
Narasi Penguasa
Dalam menanggapi kritik, orang-orang yang berada di lingkaran Jokowi juga kerap terkesan berlebihan dan di banyak kesempatan melakukan blunder. Misalnya saja pernyataan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan yang menyatakan bisa saja mencari dosa sosok senior yang menuduh Presiden Jokowi ngibul soal sertifikat tanah.
Luhut melayangkan ancaman terhadap sosok senior itu setelah Amien Rais menuduh Jokowi melakukan pengibulan saat membagi-bagikan sertifikat tanah. Tentu saja reaksi ini tidak tepat. Serangan terhadap sisi personal pengkritik bukanlah hakikat dari dialektika. Harusnya pemerintah mengajak Amien Rais adu data dan beradu argumentasi sehingga publik secara luas bisa mendapatkan informasi yang berharga.
Contoh lain dari sikap berlebihan adalah pemantauan dan pendataan ponsel dosen dan media sosial mahasiswa. Ide ini disampaikan oleh Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohammad Nasir saat menyikapi berkembangnya paham radikalisme di kampus-kampus. Respons Menristek Dikti ini berpotensi offside! Pendataan dan pemantauan nomor ponsel dosen serta media sosial mahasiswa merupakan reaksi berlebihan dan berpotensi melanggar privasi. Narasi semacam ini bisa menjadi teror bagi warga kampus, bukan menjadi solusi mendasar.
Kritik sangat diperlukan agar pemerintah selalu diingatkan. Kekuasaan tanpa kontrol cenderung menjadi otoriter dan korup. Inilah letak pentingnya perimbangan kekuasaan. Tapi pengkritik harusnya juga tidak terjebak hanya menjadi para pembenci (haters) yang selalu melihat apa pun yang dilakukan dan diucapkan pemerintah sebagai kesalahan.
Hal yang salah wajib dikritik dengan data, fakta, dan logika. Sementara program pemerintah yang jelas bermanfaat bagi orang banyak harus didukung dan diberi masukan secara konstruktif. Baik pengkritik maupun yang dikritik jangan pernah mengabaikan dan meremehkan nalar publik karena dalam diam sesungguhnya mereka memberi catatan!
dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
AKHIR-akhir ini media massa dan media sosial ramai memperbincangkan ragam kritik terhadap Jokowi baik pada program kerja pemerintah, partai pendukung, gaya kepemimpinan maupun pribadi. Kritik mencapai titik kulminasi seiring dengan konteks datangnya musim kontestasi elektoral 2019.
Ada kritik yang bersifat konstruktif, tetapi banyak juga kritik yang tak memadai sebagai pemantik dialektika akibat tak jelasnya logika dan data. Yang merisaukan adalah menguatnya fenomena pengkritik dan yang dikritik sama-sama abai dengan perdebatan cerdas dan membangun kultur demokrasi yang sehat berlandaskan etika, hukum, dan keadaban berpolitik.
Narasi Oposisi
Fenomena kritik sesungguhnya hal yang lumrah terjadi di negara demokrasi. Salah satu prinsip fundamental dalam demokrasi adalah kebebasan berekspresi. Universal Declaration of Human Right pada Sidang Umum PBB 10 Desember 1948 telah menjamin kemerdekaan berpikir, berkeyakinan, dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Konstitusi kita juga jelas dan tegas menjamin hal ini. Pada UUD 1945 Pasal 28 disebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Perlindungan atas kebebasan berpendapat ini juga terdapat pada UU No 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pada Pasal 1 disebutkan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian jelas dan tegas bahwa ciri utama berdemokrasi adalah kebebasan berpendapat yang dilindungi. Meski demikian hak seseorang termasuk hak menyampaikan pendapat dibatasi kewajibannya untuk menaati ragam peraturan perundang-undangan serta dibatasi oleh keberadaan hak orang lain.
Realitasnya, saat ini terjadi fenomena heteronomi komunikasi. Hal ini ditandai dengan para pihak yang terlibat dalam komunikasi baik sebagai pengkritik maupun yang dikritik kehilangan kemampuan untuk bertahan dari serangan informasi politik dan berada di bawah kekuasaan komunikasi politik (the power of political communication) yang sarat konflik. Narasi pengkritik maupun umpan balik yang dikritik tidak memunculkan ruang publik yang sehat melalui dialektika, tetapi justru kerap terjerembab pada pembunuhan karakter, delegitimasi, fitnah, dan nirintegritas.
Dari perspektif komunikasi politik, narasi oposisi harusnya memperhatikan beberapa hal. Pertama , selain substansi pesan dalam kritik, penting juga memahami komunikator yang menyampaikan kritik dan konteksnya. Misalnya kritik yang dilakukan Sandiaga Uno kepada pemerintahan Jokowi. Pada 10 Mei 2018, Sandi yang juga Wakil Gubernur DKI menyamakan pemerintahan Jokowi dengan pemerintahan Nazib Razak di Malaysia yang tidak berhasil memecahkan dua permasalahan utama, yakni lapangan kerja yang semakin sulit dan biaya hidup yang semakin tinggi.
Inti narasinya, pemerintahan Jokowi menggembar-gemborkan diri sebagai ekonomi ke-15 terbesar di dunia, tetapi faktanya masih banyak orang yang harus hidup dalam kesusahan dan sulit mendapatkan lapangan kerja. Jikapun substansinya benar, konteksnya tidak tepat dan tidak elegan, mengingat posisi Sandi selaku pengkritik saat ini berada dalam hierarki pemerintahan. Kritik seperti ini harusnya dilakukan sosok lain di Partai Gerindra maupun PKS.
Bagaimanapun sangat tidak etis jika seorang Sandiaga Uno yang Wakil Gubernur DKI mengkritik pemerintah pusat di mana dia berada dalam hierarkinya. Pada Pasal 91 ayat (1) UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan, gubernur adalah wakil pemerintah pusat untuk melaksanakan urusan pemerintahan daerah.
Kedua, narasi kritik oposisi kerap kehilangan koherensi. Contohnya kritik Amien Rais kepada Jokowi di beberapa kesempatan. Seorang teoretikus paradigma naratif Walter Fisher dalam bukunya Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action (1987) menulis tentang pentingnya membangun rasionalitas naratif. Baginya tak semua narasi memiliki power yang sama untuk bisa dipercayai. Dia mengidentifikasi dua hal prinsip dalam rasionalitas naratif, yakni koherensi (coherence) dan kebenaran (fidelity).
Ada tiga hal pokok dalam koherensi, yakni struktural, material, dan karakterologis. Koherensi struktural berpijak pada tingkatan di mana elemen-elemen dari sebuah narasi mengalir lancar, terasa benang merahnya oleh khalayak. Koherensi material merujuk pada tingkat kongruensi antara satu narasi dengan narasi lainnya yang berkaitan. Semakin banyak paradoks, semakin berpotensi tidak dipercayai.
Sosok Amien Rais memang memiliki koherensi karakterologis karena sejak era Soeharto hingga era Jokowi dia kerap mengkritik tajam pemerintah. Hanya saja kini kritiknya melemah signifikan pada koherensi struktural dan materialnya. Misalnya kritik soal pembagian sertifikat tanah oleh Jokowi pada banyak daerah yang dikritik Amien sebagai ngibul ! Sayangnya diksi ngibul dari Amien Rais tak disusul dengan penjelasan gamblang di mana dan seperti apa ngibul -nya. Artinya kritik tidak terdorong menjadi debat sehat berbasis logika dan data.
Narasi Penguasa
Dalam menanggapi kritik, orang-orang yang berada di lingkaran Jokowi juga kerap terkesan berlebihan dan di banyak kesempatan melakukan blunder. Misalnya saja pernyataan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan yang menyatakan bisa saja mencari dosa sosok senior yang menuduh Presiden Jokowi ngibul soal sertifikat tanah.
Luhut melayangkan ancaman terhadap sosok senior itu setelah Amien Rais menuduh Jokowi melakukan pengibulan saat membagi-bagikan sertifikat tanah. Tentu saja reaksi ini tidak tepat. Serangan terhadap sisi personal pengkritik bukanlah hakikat dari dialektika. Harusnya pemerintah mengajak Amien Rais adu data dan beradu argumentasi sehingga publik secara luas bisa mendapatkan informasi yang berharga.
Contoh lain dari sikap berlebihan adalah pemantauan dan pendataan ponsel dosen dan media sosial mahasiswa. Ide ini disampaikan oleh Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohammad Nasir saat menyikapi berkembangnya paham radikalisme di kampus-kampus. Respons Menristek Dikti ini berpotensi offside! Pendataan dan pemantauan nomor ponsel dosen serta media sosial mahasiswa merupakan reaksi berlebihan dan berpotensi melanggar privasi. Narasi semacam ini bisa menjadi teror bagi warga kampus, bukan menjadi solusi mendasar.
Kritik sangat diperlukan agar pemerintah selalu diingatkan. Kekuasaan tanpa kontrol cenderung menjadi otoriter dan korup. Inilah letak pentingnya perimbangan kekuasaan. Tapi pengkritik harusnya juga tidak terjebak hanya menjadi para pembenci (haters) yang selalu melihat apa pun yang dilakukan dan diucapkan pemerintah sebagai kesalahan.
Hal yang salah wajib dikritik dengan data, fakta, dan logika. Sementara program pemerintah yang jelas bermanfaat bagi orang banyak harus didukung dan diberi masukan secara konstruktif. Baik pengkritik maupun yang dikritik jangan pernah mengabaikan dan meremehkan nalar publik karena dalam diam sesungguhnya mereka memberi catatan!
(kri)