Ketika Mudik ke Jawa
A
A
A
M Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Pengurus Pusat HIPIIS
SAYA sekadar berbagi kenangan. Sudah puluhan tahun saya mudik ke Jawa, ke sekitar Solo. Selama itu, saya selalu menggunakan jalan darat. Mula-mula naik bis. Tentu butuh perjuangan mendapat kursi di tengah ribuan calon penumpang di Pulogadung atau Lebak Bulus ketika itu. Tak sebatas itu, pernahlah kami ditelantarkan di tengah jalan. Pernah juga naik kereta api. Saya antre sejak pagi buta untuk memperoleh tiket yang baru bisa dipakai sebulan kemudian. Kemudian, dalam beberapa tahun belakangan kami pakai mobil pribadi. Dengan begitu, nyaris setiap tahun saya menangkap nuansa mudik di jalan. Pernahlah pula, kami dari Jakarta ke Solo 30 jam.
Mudik ke Jawa tampaknya akan terus menjadi sorotan utama media. Seolah-olah peristiwa mudik di Indonesia itu bukan sekadar mudik ke Jawa. Kata Jawa sebagai penyederhanaan terhadap mereka yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, lazim diucapkan orang Betawi atau yang lain yang tinggal di Jakarta. Terhadap Jawa yang dipersempit maknanya itu, saya suka protes, kok sepertinya Jakarta ada di luar Jawa. Namun, lama-lama saya bisa memahami ketika ditanya, “Mau mudik ke Jawa Mas?”
Mudik ke Jawa, yang memperoleh porsi sangat besar di pemberitaan media itu, rasa-rasanya eksklusif, bahkan adakalanya terasa absurd. Eksklusif karena informasi kondisi jalan, tentu saja terutama jalan tol yang terus berkembang, hampir muncul setiap detik di televisi. Para reporter melaporkan dari berbagai sudut tol. Televisi-televisi Indonesia ramai memberitakan kemacetan atau sebaliknya kelancaran. Lancar kalau harinya masih jauh dari Idul Fitri. Macet kalau mendekati hari H. Di antara itu, puncak-puncak kemacetan mudik dirasakan. Saya biasanya mencerap suasana sepanjang jalan sebagai manusia pengembara yang siap menghadapi kondisi darurat apa pun.
Absurd karena, banyak orang nekat untuk mudik. Tentulah perjalanan kami selalu dikepung ribuan sepeda motor. Suatu pemandangan yang lazim bertahun-tahun para pesepeda motor yang dipadati tas, istri dan anak, kalau bukan bayi. Lautan sepeda motor dan mobil-mobil yang “berkonde”, membawa bekal tas dan kardus-kardus di atasnya bak pasukan perang yang tengah konvoi “long march”. Pada zaman ponsel pintar dewasa ini, salah satu hiburan mereka, yaitu selfie (swafoto).
Saya orang Jawa yang tinggal di Jakarta sejak pertengahan 1990-an. Tentu saya generasi yang lebih baru ketimbang tetangga-tetangga yang sudah eksis di Ibu Kota sejak 1960-an. Masa kecil dan remaja saya di Jawa. Dari suatu desa yang terkepung sawah di kawasan eks-Keresidenan Surakarta, saya harus naik sepeda menuju kota kecil Delanggu, selanjutnya naik bis ke Solo ketika SMA. Dengan corak Keislaman Muhammadiyah, saya kos di lingkungan NU di Mangkuyudan Solo.
Itu memperkaya pengalaman kultural Ramadan dan Lebaran saya di Jawa. Saya menangkap suasana sub-kultur berbeda. Desa agraris dan kota, modernitas dan tradisionalitas dari sisi pendekatan keagamaan. Ketika saya kos di suatu langgar kecil tetapi ramai orang sembahyang, rakaat tarawihnya lebih banyak ketimbang yang saya alami di desa. Idiom-idiom dan ilustrasi nasihat-nasihat keagamaan juga sering berbeda. Misalnya, ketika di desa, anak-anak muda bergotong royong setiap sore di masjid menimba sumur mengisi kolah penampung air wudu. Di kota, hal semacam itu tak terjadi karena semua telah dibereskan marbot yang tinggal pencet mesin air.
Dari kegiatan mengisi kolah, guru madrasah saya mengilustrasikan agar jangan suka main klaim dengan mengatakan, “Kalau bukan aku yang isi kolah, para jamaah keteteran wudunya”. Kata-kata itu wujud kesombongan sehingga yang mengucapkan tak jadi dapat ganjaran pahala, kecuali sekadar kelelahan saja. Di kota, nasihat dengan ilustrasi seperti itu tak muncul lagi, kecuali lazim dikaitkan dengan benda-benda modern. Misalnya, seorang penceramah di SMA saya dulu menjelaskan agar orang kaya jangan sombong. Kalaulah dia punya mobil banyak, maka hal itu kan sesungguhnya sekadar besi seng alias gembreng dicat.
Namun, tradisi darusan (tadarus), semaan, membaca Alquran bergantian pascasembahyang tarawih hingga larut malam, samalah adanya. Di desa, anak-anak merasa belum dianggap dewasa manakala tak bisa membaca Alquran pada malam tadarus. Mereka harus giat sekolah madrasah agar bisa ngaji dan ikut tadarus. Bagaimana dengan Lebaran atau dalam khazanah orang Jawa, disebut bakdho itu?
Tak sekadar baju baru, masa kecil saya mengidentifikasi bakdho sebagai kumpulan mobil orang Jakarta yang memenuhi jalan sempit desa. Juga momentum “ujung” alias silaturahim kepada kerabat dan tetangga. Di antara para keluarga besar atau bani, mereka menggelar acara khusus, ahlen . Ada penceramah yang mengingatkan hakikat Idul Fitri dan pentingnya persaudaraan. Bahkan tetangga saya yang non-muslim pun menyelenggarakan acara semacam itu. Para tokoh Islam kami moderat dan akomodatif.
Kalaupun dikaitkan pengategorian Clifford Geerzt, maka apakah yang santri, setengah atau bukan santri, larutlah mereka dalam suasana kultural perayaan, silaturahim, kegembiraan. Lebaran puncak usai sembahyang Id di Jawa, masih disambung lagi bakdho kupat alias Lebaran ketupat. Ketupat itu simbolisasi pengakuan salah atau khilaf, “kupat, kulo lepat”. Mengantar ketupat ke tetangga kiri-kanan itu silaturahim saling memaafkan.
Terkait mobil di jalan-jalan, sering dia jadi tontonan. Maklum mobil pun jarang lewat jalan desa, kecuali sepeda, sepeda motor, dan andong. Untuk melihat mobil-mobil, kami harus menembus jalan yang dikelilingi sawah-sawah menuju jalan besar, jalan Gupermen merujuk jalan yang konon dibikin Belanda. Yang mengesankan lagi, kami berjumpa dengan anak-anak kota yang tak bisa berbahasa Jawa, sementara kami tak lancar berbahasa Indonesia. Kami biasanya saling heran dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Biasanya ada yang tanya kepada anak Jakarta, Ancol itu seperti apa.
Yang khas di desa kami setiap Lebaran ada yang nanggap wayang kulit. Lebaran pun adalah pertunjukan wayang yang dikerubuti penonton, pedagang, dan yang lain. Para tokoh wayang membayang berkelebat-kelebat, bahkan saat sekadar di bawah sorot lampu petromaks.
Yang paling membahagiakan, kalau bukan mengharukan, ketika kami berjumpa orang tua. Serasalah menenteramkan, betapa kerinduan terobati. Itulah puncak perjuangan mudik yang berat, berjumpa dengan sosok yang tersembul dalam doa sederhana, tapi mendalam, “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku, ketika masih kecil”. Bagi yang orang tuanya masih hidup, tak sia-sialah mudik Lebaran. Bagi yang orang tuanya sudah meninggal, tak ada salahnya momentum Lebaran dipakai ziarah, tak sekadar ketika nyadran.
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Pengurus Pusat HIPIIS
SAYA sekadar berbagi kenangan. Sudah puluhan tahun saya mudik ke Jawa, ke sekitar Solo. Selama itu, saya selalu menggunakan jalan darat. Mula-mula naik bis. Tentu butuh perjuangan mendapat kursi di tengah ribuan calon penumpang di Pulogadung atau Lebak Bulus ketika itu. Tak sebatas itu, pernahlah kami ditelantarkan di tengah jalan. Pernah juga naik kereta api. Saya antre sejak pagi buta untuk memperoleh tiket yang baru bisa dipakai sebulan kemudian. Kemudian, dalam beberapa tahun belakangan kami pakai mobil pribadi. Dengan begitu, nyaris setiap tahun saya menangkap nuansa mudik di jalan. Pernahlah pula, kami dari Jakarta ke Solo 30 jam.
Mudik ke Jawa tampaknya akan terus menjadi sorotan utama media. Seolah-olah peristiwa mudik di Indonesia itu bukan sekadar mudik ke Jawa. Kata Jawa sebagai penyederhanaan terhadap mereka yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, lazim diucapkan orang Betawi atau yang lain yang tinggal di Jakarta. Terhadap Jawa yang dipersempit maknanya itu, saya suka protes, kok sepertinya Jakarta ada di luar Jawa. Namun, lama-lama saya bisa memahami ketika ditanya, “Mau mudik ke Jawa Mas?”
Mudik ke Jawa, yang memperoleh porsi sangat besar di pemberitaan media itu, rasa-rasanya eksklusif, bahkan adakalanya terasa absurd. Eksklusif karena informasi kondisi jalan, tentu saja terutama jalan tol yang terus berkembang, hampir muncul setiap detik di televisi. Para reporter melaporkan dari berbagai sudut tol. Televisi-televisi Indonesia ramai memberitakan kemacetan atau sebaliknya kelancaran. Lancar kalau harinya masih jauh dari Idul Fitri. Macet kalau mendekati hari H. Di antara itu, puncak-puncak kemacetan mudik dirasakan. Saya biasanya mencerap suasana sepanjang jalan sebagai manusia pengembara yang siap menghadapi kondisi darurat apa pun.
Absurd karena, banyak orang nekat untuk mudik. Tentulah perjalanan kami selalu dikepung ribuan sepeda motor. Suatu pemandangan yang lazim bertahun-tahun para pesepeda motor yang dipadati tas, istri dan anak, kalau bukan bayi. Lautan sepeda motor dan mobil-mobil yang “berkonde”, membawa bekal tas dan kardus-kardus di atasnya bak pasukan perang yang tengah konvoi “long march”. Pada zaman ponsel pintar dewasa ini, salah satu hiburan mereka, yaitu selfie (swafoto).
Saya orang Jawa yang tinggal di Jakarta sejak pertengahan 1990-an. Tentu saya generasi yang lebih baru ketimbang tetangga-tetangga yang sudah eksis di Ibu Kota sejak 1960-an. Masa kecil dan remaja saya di Jawa. Dari suatu desa yang terkepung sawah di kawasan eks-Keresidenan Surakarta, saya harus naik sepeda menuju kota kecil Delanggu, selanjutnya naik bis ke Solo ketika SMA. Dengan corak Keislaman Muhammadiyah, saya kos di lingkungan NU di Mangkuyudan Solo.
Itu memperkaya pengalaman kultural Ramadan dan Lebaran saya di Jawa. Saya menangkap suasana sub-kultur berbeda. Desa agraris dan kota, modernitas dan tradisionalitas dari sisi pendekatan keagamaan. Ketika saya kos di suatu langgar kecil tetapi ramai orang sembahyang, rakaat tarawihnya lebih banyak ketimbang yang saya alami di desa. Idiom-idiom dan ilustrasi nasihat-nasihat keagamaan juga sering berbeda. Misalnya, ketika di desa, anak-anak muda bergotong royong setiap sore di masjid menimba sumur mengisi kolah penampung air wudu. Di kota, hal semacam itu tak terjadi karena semua telah dibereskan marbot yang tinggal pencet mesin air.
Dari kegiatan mengisi kolah, guru madrasah saya mengilustrasikan agar jangan suka main klaim dengan mengatakan, “Kalau bukan aku yang isi kolah, para jamaah keteteran wudunya”. Kata-kata itu wujud kesombongan sehingga yang mengucapkan tak jadi dapat ganjaran pahala, kecuali sekadar kelelahan saja. Di kota, nasihat dengan ilustrasi seperti itu tak muncul lagi, kecuali lazim dikaitkan dengan benda-benda modern. Misalnya, seorang penceramah di SMA saya dulu menjelaskan agar orang kaya jangan sombong. Kalaulah dia punya mobil banyak, maka hal itu kan sesungguhnya sekadar besi seng alias gembreng dicat.
Namun, tradisi darusan (tadarus), semaan, membaca Alquran bergantian pascasembahyang tarawih hingga larut malam, samalah adanya. Di desa, anak-anak merasa belum dianggap dewasa manakala tak bisa membaca Alquran pada malam tadarus. Mereka harus giat sekolah madrasah agar bisa ngaji dan ikut tadarus. Bagaimana dengan Lebaran atau dalam khazanah orang Jawa, disebut bakdho itu?
Tak sekadar baju baru, masa kecil saya mengidentifikasi bakdho sebagai kumpulan mobil orang Jakarta yang memenuhi jalan sempit desa. Juga momentum “ujung” alias silaturahim kepada kerabat dan tetangga. Di antara para keluarga besar atau bani, mereka menggelar acara khusus, ahlen . Ada penceramah yang mengingatkan hakikat Idul Fitri dan pentingnya persaudaraan. Bahkan tetangga saya yang non-muslim pun menyelenggarakan acara semacam itu. Para tokoh Islam kami moderat dan akomodatif.
Kalaupun dikaitkan pengategorian Clifford Geerzt, maka apakah yang santri, setengah atau bukan santri, larutlah mereka dalam suasana kultural perayaan, silaturahim, kegembiraan. Lebaran puncak usai sembahyang Id di Jawa, masih disambung lagi bakdho kupat alias Lebaran ketupat. Ketupat itu simbolisasi pengakuan salah atau khilaf, “kupat, kulo lepat”. Mengantar ketupat ke tetangga kiri-kanan itu silaturahim saling memaafkan.
Terkait mobil di jalan-jalan, sering dia jadi tontonan. Maklum mobil pun jarang lewat jalan desa, kecuali sepeda, sepeda motor, dan andong. Untuk melihat mobil-mobil, kami harus menembus jalan yang dikelilingi sawah-sawah menuju jalan besar, jalan Gupermen merujuk jalan yang konon dibikin Belanda. Yang mengesankan lagi, kami berjumpa dengan anak-anak kota yang tak bisa berbahasa Jawa, sementara kami tak lancar berbahasa Indonesia. Kami biasanya saling heran dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Biasanya ada yang tanya kepada anak Jakarta, Ancol itu seperti apa.
Yang khas di desa kami setiap Lebaran ada yang nanggap wayang kulit. Lebaran pun adalah pertunjukan wayang yang dikerubuti penonton, pedagang, dan yang lain. Para tokoh wayang membayang berkelebat-kelebat, bahkan saat sekadar di bawah sorot lampu petromaks.
Yang paling membahagiakan, kalau bukan mengharukan, ketika kami berjumpa orang tua. Serasalah menenteramkan, betapa kerinduan terobati. Itulah puncak perjuangan mudik yang berat, berjumpa dengan sosok yang tersembul dalam doa sederhana, tapi mendalam, “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku, ketika masih kecil”. Bagi yang orang tuanya masih hidup, tak sia-sialah mudik Lebaran. Bagi yang orang tuanya sudah meninggal, tak ada salahnya momentum Lebaran dipakai ziarah, tak sekadar ketika nyadran.
(wib)