Inflasi dan Motif Ekonomi THR
A
A
A
Asriana Ariyanti
Statistisi di Badan Pusat Statistik Bogor
Alumni The Australian National
University (ANU) Canberra
Apa yang ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia pada pertengahan menjelang akhir bulan puasa? Selain Lebaran itu sendiri, tentu saja tunjangan hari raya (THR) menjadi sesuatu yang sangat dinantikan. Tahun ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pemberian THR pada Aparatur Sipil Negara (ASN), Non-PNS pada Lembaga Nonstruktural, serta bagi Pensiunan.
Suatu kebijakan yang memberikan rona bahagia pada semua pegawai di bidang pemerintahan. Jika biasanya hanya pegawai swasta yang menikmati THR sebesar take home pay, maka pada tahun ini ASN, pegawai non-PNS dan pensiunan juga menerima sebesar take home pay.
THR dan Inflasi
Setiap bulan puasa dan Lebaran, inflasi menjadi kata yang sering diucapkan masyarakat awam, terutama di kalangan pedagang sebagai dalih kenaikan harga yang mereka berlakukan. Mengapa selalu ada inflasi di setiap bulan puasa dan Lebaran?
Inflasi yang sering disebut ini adalah bersumber dari sisi permintaan (demand push inflation). Harga akan perlahan mengalami peningkatan seiring dengan lonjakan perubahan permintaan di pasar. Pada kondisi ini akan tercipta equilibrium dengan kondisi tingkat harga dari sisi konsumen yang rela dibayarkan dengan tingkat harga dari sisi produsen pada tingkat toleransi profit tertentu, yang berdasarkan ekspektasi harga dan tingkat keuntungan di masa mendatang. Jika tidak dibarengi dengan pengamanan dari sisi stok barang, lonjakan kenaikan harga bisa tidak terkendali.
Hal-hal memengaruhi lonjakan permintaan selama bulan puasa dan Lebaran itu sendiri sangat beragam. Terjadi pembelian kebutuhan pokok, peningkatan konsumsi makanan jadi, pakaian, aksesori, transportasi, komunikasi, serta kebutuhan lainnya meningkat signifikan.
Selain pola konsumerisme yang mengalami perubahan drastis, ekspektasi akan turunnya bonus atau THR serta pendapatan lainnya menjadi faktor yang memengaruhi peningkatan dari sisi permintaan pasar.
Biasanya, jumlah THR akan lebih besar daripada pendapatan rutin bulanan. Karena THR diberikan tanpa potongan-potongan rutin, maka masyarakat berekspektasi bahwa pada bulan puasa dan Lebaran akan menerima uang hingga dua atau tiga kali lipat. Hal inilah menyebabkan perubahan keseimbangan money supply bergeser dan meningkatkan elasticity sehingga harga-harga juga mengalami kenaikan untuk mencapai equilibrium baru.
Oleh karena itu, inflasi yang meningkat pada bulan puasa dan Lebaran dipengaruhi dua hal, yaitu sisi perubahan demand dan perubahan money supply. Faktor penting yang perlu dikendalikan agar peningkatan harga tidak melampaui ekspektasi pasar adalah dengan pengendalian pola konsumerisme masyarakat dan pemanfaatan THR. Bukan hanya sebagai instrumen pembayaran yang meningkatkan money supply, tapi lebih menjadi savings atau tabungan masyarakat.
THR bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan bergesernya equilibrium money supply selama bulan puasa dan Lebaran. Dana segar yang diperoleh dari pinjaman lembaga-lembaga finansial, seperti bank, pegadaian, dan koperasi, juga berpengaruh besar terhadap keseimbangan jumlah uang beredar.
Motif Ekonomi THR
Banyak pihak yang menganggap pemberian THR sebagai pemicu utama inflasi. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena ada faktor-faktor lain yang berpengaruh nyata pada gejolak inflasi selama bulan puasa dan Lebaran tahun ini. Jika pada tahun-tahun sebelumnya inflasi mencapai 0,69% pada bulan Ramadan, maka pemerintah berhasil mengendalikan inflasi pada periode sama tahun ini pada Mei 2018 di level 0,21%.
Pengendalian inflasi sangat perlu dilakukan tidak hanya mengantisipasi lonjakan konsumsi masyarakat serta adanya dampak THR, tapi juga pada faktor-faktor lain yang sudah lebih dulu memengaruhi inflasi saat memasuki bulan puasa. Faktor pelemahan nilai rupiah, kenaikan tarif dasar listrik serta kenaikan harga bahan bakar nonsubsidi menjadi faktor-faktor sangat penting diperhitungkan.
Awal puasa dan Lebaran yang jatuh di awal bulan menyebabkan inflasi tidak hanya terjadi lonjakan pada satu bulan saja, tapi lebih terbagi ke Mei dan Juni. Hal ini cukup menguntungkan dalam pengambilan kebijakan penanggulangan lonjakan inflasi. Gejolak inflasi yang berfluktuasi karena peningkatan permintaan, apalagi dengan adanya ekspektasi akan turunnya THR, dapat diredam dengan penjaminan ketersediaan stok kebutuhan masyarakat pada level aman. Jika stok permintaan barangnya adalah produksi dalam negeri, maka volatility nilai tukar tidak menjadi faktor penyumbang inflasi.
Motif ekonomi THR untuk memenuhi dana segar masyarakat akan peningkatan kebutuhan selama bulan puasa dan Lebaran menjadi sesuatu yang sulit tercapai saat ekspektasi terhadap THR melampaui pola konsumerismenya. Kondisi sebaliknya akan terjadi, yaitu terjadinya peningkatan hutang atau pinjaman masyarakat karena lebih besar pasak daripada tiang.
Menurut Ndiame Diop (2016), ekonom Bank Dunia untuk wilayah Asia Pasifik, jika pemberian THR bisa dianalogikan dengan penyaluran bantuan tunai untuk masyarakat kurang mampu, maka penyaluran setiap Rp1 akan mempercepat penurunan kemiskinan sebesar 2,5 kali dibandingkan pemberian bantuan dalam bentuk beras miskin. Dengan analog ini, seharusnya THR berpotensi besar sebagai salah satu faktor yang signifikan dalam menurunkan kemiskinan.
Selain itu, dengan terjaganya inflasi pada Juni diiringi adanya peningkatan kemampuan masyarakat dengan THR, maka terjadi peningkatan daya beli masyarakat. Secara makro, hal ini meningkatkan agregat konsumsi rumah tangga. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, peningkatan konsumsi rumah tangga tentu saja menjadi sinyal positif bagi Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) kuartal II.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, memprediksikan selama triwulan II/2018 perekonomian akan tumbuh mendekati level 5,15%. Peningkatan pendapatan masyarakat karena THR menjadi stimulus positif bagi pertumbuhan ekonomi kuartal II yang lebih cepat dibandingkan kuartal I.
Walaupun peningkatan konsumsi rumah tangga menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi, tapi perlu suatu proses perubahan pola konsumsi masyarakat berkaitan dengan THR yang diterima. Masyarakat hendaknya mulai menyisihkan sebagian THR-nya untuk ditabung. Hal ini akan berdampak pada pengendalian inflasi secara otomatis karena tidak adanya lonjakan permintaan barang maupun jumlah uang beredar. Selain itu, THR tidak lagi hanya bermotif pemenuhan kebutuhan konsumsi, tetapi juga akan meningkatkan savings.
Memanfaatkan THR dengan bijaksana menjadi PR bersama bagi masyarakat dan pemerintah. Masyarakat hendaknya tidak berfoya-foya dengan konsumsi berlebihan setelah menerima THR. Pemerintah juga perlu menyiapkan satgas khusus untuk memantau gejolak harga agar tetap terkendali serta menjamin kecukupan ketersediaan barang di pasar sehingga dapat memenuhi permintaan masyarakat. Kecuali itu, pemerintah juga menciptakan sistem yang menarik untuk masyarakat sehingga mereka mau menabung dan berinvestasi dengan uang THR-nya. Selamat Berhari Raya.
Statistisi di Badan Pusat Statistik Bogor
Alumni The Australian National
University (ANU) Canberra
Apa yang ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia pada pertengahan menjelang akhir bulan puasa? Selain Lebaran itu sendiri, tentu saja tunjangan hari raya (THR) menjadi sesuatu yang sangat dinantikan. Tahun ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pemberian THR pada Aparatur Sipil Negara (ASN), Non-PNS pada Lembaga Nonstruktural, serta bagi Pensiunan.
Suatu kebijakan yang memberikan rona bahagia pada semua pegawai di bidang pemerintahan. Jika biasanya hanya pegawai swasta yang menikmati THR sebesar take home pay, maka pada tahun ini ASN, pegawai non-PNS dan pensiunan juga menerima sebesar take home pay.
THR dan Inflasi
Setiap bulan puasa dan Lebaran, inflasi menjadi kata yang sering diucapkan masyarakat awam, terutama di kalangan pedagang sebagai dalih kenaikan harga yang mereka berlakukan. Mengapa selalu ada inflasi di setiap bulan puasa dan Lebaran?
Inflasi yang sering disebut ini adalah bersumber dari sisi permintaan (demand push inflation). Harga akan perlahan mengalami peningkatan seiring dengan lonjakan perubahan permintaan di pasar. Pada kondisi ini akan tercipta equilibrium dengan kondisi tingkat harga dari sisi konsumen yang rela dibayarkan dengan tingkat harga dari sisi produsen pada tingkat toleransi profit tertentu, yang berdasarkan ekspektasi harga dan tingkat keuntungan di masa mendatang. Jika tidak dibarengi dengan pengamanan dari sisi stok barang, lonjakan kenaikan harga bisa tidak terkendali.
Hal-hal memengaruhi lonjakan permintaan selama bulan puasa dan Lebaran itu sendiri sangat beragam. Terjadi pembelian kebutuhan pokok, peningkatan konsumsi makanan jadi, pakaian, aksesori, transportasi, komunikasi, serta kebutuhan lainnya meningkat signifikan.
Selain pola konsumerisme yang mengalami perubahan drastis, ekspektasi akan turunnya bonus atau THR serta pendapatan lainnya menjadi faktor yang memengaruhi peningkatan dari sisi permintaan pasar.
Biasanya, jumlah THR akan lebih besar daripada pendapatan rutin bulanan. Karena THR diberikan tanpa potongan-potongan rutin, maka masyarakat berekspektasi bahwa pada bulan puasa dan Lebaran akan menerima uang hingga dua atau tiga kali lipat. Hal inilah menyebabkan perubahan keseimbangan money supply bergeser dan meningkatkan elasticity sehingga harga-harga juga mengalami kenaikan untuk mencapai equilibrium baru.
Oleh karena itu, inflasi yang meningkat pada bulan puasa dan Lebaran dipengaruhi dua hal, yaitu sisi perubahan demand dan perubahan money supply. Faktor penting yang perlu dikendalikan agar peningkatan harga tidak melampaui ekspektasi pasar adalah dengan pengendalian pola konsumerisme masyarakat dan pemanfaatan THR. Bukan hanya sebagai instrumen pembayaran yang meningkatkan money supply, tapi lebih menjadi savings atau tabungan masyarakat.
THR bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan bergesernya equilibrium money supply selama bulan puasa dan Lebaran. Dana segar yang diperoleh dari pinjaman lembaga-lembaga finansial, seperti bank, pegadaian, dan koperasi, juga berpengaruh besar terhadap keseimbangan jumlah uang beredar.
Motif Ekonomi THR
Banyak pihak yang menganggap pemberian THR sebagai pemicu utama inflasi. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena ada faktor-faktor lain yang berpengaruh nyata pada gejolak inflasi selama bulan puasa dan Lebaran tahun ini. Jika pada tahun-tahun sebelumnya inflasi mencapai 0,69% pada bulan Ramadan, maka pemerintah berhasil mengendalikan inflasi pada periode sama tahun ini pada Mei 2018 di level 0,21%.
Pengendalian inflasi sangat perlu dilakukan tidak hanya mengantisipasi lonjakan konsumsi masyarakat serta adanya dampak THR, tapi juga pada faktor-faktor lain yang sudah lebih dulu memengaruhi inflasi saat memasuki bulan puasa. Faktor pelemahan nilai rupiah, kenaikan tarif dasar listrik serta kenaikan harga bahan bakar nonsubsidi menjadi faktor-faktor sangat penting diperhitungkan.
Awal puasa dan Lebaran yang jatuh di awal bulan menyebabkan inflasi tidak hanya terjadi lonjakan pada satu bulan saja, tapi lebih terbagi ke Mei dan Juni. Hal ini cukup menguntungkan dalam pengambilan kebijakan penanggulangan lonjakan inflasi. Gejolak inflasi yang berfluktuasi karena peningkatan permintaan, apalagi dengan adanya ekspektasi akan turunnya THR, dapat diredam dengan penjaminan ketersediaan stok kebutuhan masyarakat pada level aman. Jika stok permintaan barangnya adalah produksi dalam negeri, maka volatility nilai tukar tidak menjadi faktor penyumbang inflasi.
Motif ekonomi THR untuk memenuhi dana segar masyarakat akan peningkatan kebutuhan selama bulan puasa dan Lebaran menjadi sesuatu yang sulit tercapai saat ekspektasi terhadap THR melampaui pola konsumerismenya. Kondisi sebaliknya akan terjadi, yaitu terjadinya peningkatan hutang atau pinjaman masyarakat karena lebih besar pasak daripada tiang.
Menurut Ndiame Diop (2016), ekonom Bank Dunia untuk wilayah Asia Pasifik, jika pemberian THR bisa dianalogikan dengan penyaluran bantuan tunai untuk masyarakat kurang mampu, maka penyaluran setiap Rp1 akan mempercepat penurunan kemiskinan sebesar 2,5 kali dibandingkan pemberian bantuan dalam bentuk beras miskin. Dengan analog ini, seharusnya THR berpotensi besar sebagai salah satu faktor yang signifikan dalam menurunkan kemiskinan.
Selain itu, dengan terjaganya inflasi pada Juni diiringi adanya peningkatan kemampuan masyarakat dengan THR, maka terjadi peningkatan daya beli masyarakat. Secara makro, hal ini meningkatkan agregat konsumsi rumah tangga. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, peningkatan konsumsi rumah tangga tentu saja menjadi sinyal positif bagi Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) kuartal II.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, memprediksikan selama triwulan II/2018 perekonomian akan tumbuh mendekati level 5,15%. Peningkatan pendapatan masyarakat karena THR menjadi stimulus positif bagi pertumbuhan ekonomi kuartal II yang lebih cepat dibandingkan kuartal I.
Walaupun peningkatan konsumsi rumah tangga menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi, tapi perlu suatu proses perubahan pola konsumsi masyarakat berkaitan dengan THR yang diterima. Masyarakat hendaknya mulai menyisihkan sebagian THR-nya untuk ditabung. Hal ini akan berdampak pada pengendalian inflasi secara otomatis karena tidak adanya lonjakan permintaan barang maupun jumlah uang beredar. Selain itu, THR tidak lagi hanya bermotif pemenuhan kebutuhan konsumsi, tetapi juga akan meningkatkan savings.
Memanfaatkan THR dengan bijaksana menjadi PR bersama bagi masyarakat dan pemerintah. Masyarakat hendaknya tidak berfoya-foya dengan konsumsi berlebihan setelah menerima THR. Pemerintah juga perlu menyiapkan satgas khusus untuk memantau gejolak harga agar tetap terkendali serta menjamin kecukupan ketersediaan barang di pasar sehingga dapat memenuhi permintaan masyarakat. Kecuali itu, pemerintah juga menciptakan sistem yang menarik untuk masyarakat sehingga mereka mau menabung dan berinvestasi dengan uang THR-nya. Selamat Berhari Raya.
(maf)