Memacu Infrastruktur Berbasis Syariah
A
A
A
PEMBANGUNAN infrastruktur menjadi prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Keberadaan infrastruktur ini sebuah keniscayaan untuk mendorong kemajuan ekonomi secara lebih merata di seluruh wilayah Indonesia.
Saat ini infrastruktur Indonesia tidak saja semakin meningkat jumlahnya dan menjangkau banyak wilayah. Yang menarik adalah salah satunya didukung oleh semakin besarnya sumber keuangan berbasis syariah yang diterapkan pemerintah sejak 2013.
Pada 2018, pembiayaan sebagian infrastruktur jalan, jembatan dan sumber daya air akan didanai melalui Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp12,78 triliun. Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong perbankan syariah terus terlibat pada proyek-proyek infrastruktur.
Selain menggarap pembiayaan infrastruktur, OJK berharap perbankan syariah bisa menelurkan produk kreatif, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sehingga ke depan perbankan syariah bisa lebih dikenal masyarakat. Seiring dengan itu, perbankan syariah diharapkan bisa lebih maju dan berkembang lagi.
Lantas, mengapa pembiayaan syariah dipilih? Sesuai data pemerintah, porsi pembiayaan syariah untuk proyek infrastruktur masih kecil. Penyebabnya, banyak investor yang belum paham dengan istilah ekonomi syariah, para investor masih menahan diri untuk menggunakan pembiayaan syariah.
Seperti akad murabahah yang berarti perjanjian jual-beli antara kedua pihak dan margin yang sudah disepakati. Kemudian, ada lagi mudarabah yang berarti kontrak perkongsian antara pemilik modal dan pengelola modal yang nantinya akan menyalurkan modal tersebut.
Dengan istilah-istilah seperti itu, sulit untuk masyarakat umum khususnya investor untuk memahami skema syariah. Kurangnya porsi pembiayaan syariah nasional karena kebanyakan bank syariah di Indonesia masih tergolong kecil, yaitu termasuk kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU) 2 dengan modal inti Rp1 triliun hingga Rp5 triliun, sehingga tidak bisa ikut membiayai proyek infrastruktur yang memiliki nilai proyek besar. Sebagai solusinya, diperlukan lembaga pembiayaan yang dapat memimpin pembiayaan infrastruktur dengan skema syariah.
Namun, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo memastikan jumlah proyek infrastruktur yang dibiayai melalui SBSN semakin besar. Tahun ini Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan akan mengeluarkan SBSN senilai Rp22,53 triliun. Sukuk negara tersebut akan membiayai 587 proyek infrastruktur yang tersebar di 34 provinsi. Nilai sukuk negara pada 2018 naik dibandingkan 2017, yang mencapai Rp16,65 triliun.
Sumber dana infrastruktur berbasis syariah berpeluang semakin besar seiring upaya pemerintah membentuk Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk menginvestasikan dana haji di bidang infrastruktur. Ada dua opsi yaitu investasi langsung atau melalui pembiayaan surat utang berharga syariah atau sukuk.
Hingga akhir 2017, saldo dana haji dan dana abadi umat mencapai Rp99,3 triliun. Namun, hanya Rp36,7 triliun dana tersebut yang diinvestasikan di SBSN. Sisanya Rp62,6 triliun justru masih disimpan dalam deposito di perbankan syariah.
Solusi untuk meningkatkan pembiayaan syariah pada sektor infrastruktur yakni dengan membentuk lembaga baru yang fokus menangani pembiayaan infrastruktur. Tentunya dengan melibatkan berbagai pihak terkait, khususnya perbankan.
Selain itu, perlu dibuat regulasi yang jelas dan tegas agar perbankan syariah juga berfokus untuk membiayai infrastruktur. Pemerintah juga harus mengeluarkan kebijakan yang ramah terhadap produk-produk syariah sehingga perbankan syariah mampu bersaing dengan perbankan konvensional dalam hal pembiayaan infrastruktur.
Saat ini infrastruktur Indonesia tidak saja semakin meningkat jumlahnya dan menjangkau banyak wilayah. Yang menarik adalah salah satunya didukung oleh semakin besarnya sumber keuangan berbasis syariah yang diterapkan pemerintah sejak 2013.
Pada 2018, pembiayaan sebagian infrastruktur jalan, jembatan dan sumber daya air akan didanai melalui Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebesar Rp12,78 triliun. Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong perbankan syariah terus terlibat pada proyek-proyek infrastruktur.
Selain menggarap pembiayaan infrastruktur, OJK berharap perbankan syariah bisa menelurkan produk kreatif, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sehingga ke depan perbankan syariah bisa lebih dikenal masyarakat. Seiring dengan itu, perbankan syariah diharapkan bisa lebih maju dan berkembang lagi.
Lantas, mengapa pembiayaan syariah dipilih? Sesuai data pemerintah, porsi pembiayaan syariah untuk proyek infrastruktur masih kecil. Penyebabnya, banyak investor yang belum paham dengan istilah ekonomi syariah, para investor masih menahan diri untuk menggunakan pembiayaan syariah.
Seperti akad murabahah yang berarti perjanjian jual-beli antara kedua pihak dan margin yang sudah disepakati. Kemudian, ada lagi mudarabah yang berarti kontrak perkongsian antara pemilik modal dan pengelola modal yang nantinya akan menyalurkan modal tersebut.
Dengan istilah-istilah seperti itu, sulit untuk masyarakat umum khususnya investor untuk memahami skema syariah. Kurangnya porsi pembiayaan syariah nasional karena kebanyakan bank syariah di Indonesia masih tergolong kecil, yaitu termasuk kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU) 2 dengan modal inti Rp1 triliun hingga Rp5 triliun, sehingga tidak bisa ikut membiayai proyek infrastruktur yang memiliki nilai proyek besar. Sebagai solusinya, diperlukan lembaga pembiayaan yang dapat memimpin pembiayaan infrastruktur dengan skema syariah.
Namun, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo memastikan jumlah proyek infrastruktur yang dibiayai melalui SBSN semakin besar. Tahun ini Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan akan mengeluarkan SBSN senilai Rp22,53 triliun. Sukuk negara tersebut akan membiayai 587 proyek infrastruktur yang tersebar di 34 provinsi. Nilai sukuk negara pada 2018 naik dibandingkan 2017, yang mencapai Rp16,65 triliun.
Sumber dana infrastruktur berbasis syariah berpeluang semakin besar seiring upaya pemerintah membentuk Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk menginvestasikan dana haji di bidang infrastruktur. Ada dua opsi yaitu investasi langsung atau melalui pembiayaan surat utang berharga syariah atau sukuk.
Hingga akhir 2017, saldo dana haji dan dana abadi umat mencapai Rp99,3 triliun. Namun, hanya Rp36,7 triliun dana tersebut yang diinvestasikan di SBSN. Sisanya Rp62,6 triliun justru masih disimpan dalam deposito di perbankan syariah.
Solusi untuk meningkatkan pembiayaan syariah pada sektor infrastruktur yakni dengan membentuk lembaga baru yang fokus menangani pembiayaan infrastruktur. Tentunya dengan melibatkan berbagai pihak terkait, khususnya perbankan.
Selain itu, perlu dibuat regulasi yang jelas dan tegas agar perbankan syariah juga berfokus untuk membiayai infrastruktur. Pemerintah juga harus mengeluarkan kebijakan yang ramah terhadap produk-produk syariah sehingga perbankan syariah mampu bersaing dengan perbankan konvensional dalam hal pembiayaan infrastruktur.
(maf)