Mudik Ramah Lingkungan
A
A
A
Arif Budi Rahman Alumni Curtin University Sustainability Policy Institute, Perth-Australia
AKTIVITAS mudik selalu menjadi momentum tahunan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Perputaran uang yang meningkat diyakini mampu menggerakkan roda perekonomian warga. Mudik selalu berkonotasi dengan aliran dana dari kota ke daerah di mana para pemudik berasal. Apalagi tahun ini ada stimulus fiskal dari pemerintah berupa THR dan gaji ke-13.Tahun ini Kementerian Perhubungan memperkirakan akan ada kenaikan jumlah pemudik antara 10% hingga 15% dibandingkan tahun lalu. Seluruh moda transportasi baik darat, laut, udara, maupun kereta api (KA) diprediksi akan mengalami lonjakan. Namun, dengan pembukaan akses tol langsung Jakarta-Surabaya, mudik darat menggunakan kendaraan pribadi diprediksi bakal meningkat signifikan.
Selain aspek finansial, yang sering luput dari pantauan adalah potensi peningkatan timbulan sampah sepanjang musim mudik Lebaran. Terlebih lagi, seperti diketahui, mudik tahun ini lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya. Tidak bisa dimungkiri, pergerakan massal dalam waktu nyaris bersamaan selain berpotensi mengakibatkan kemacetan juga meningkatkan jumlah timbulan sampah. Sampah anorganik yang menyertai para pemudik seperti plastik minuman kemasan, kertas bekas pembungkus makanan cepat saji, dan produk rumah tangga lainnya bisa dipastikan ikut meningkat sepanjang arus mudik dan balik.
Diperkirakan akan ada setidaknya 19,5 juta pemudik tahun ini. Jika setiap orang menghasilkan sampah 0,5 kg per hari, diperkirakan terdapat 9.750 ton sampah yang dihasilkan para pemudik di sepanjang destinasi mereka menuju kampung halaman. Dengan asumsi penambahan tingkat konsumsi selama bulan puasa dan Lebaran sebesar 10% hingga 20%, total volume sampah per hari menjadi lebih tinggi lagi.
Pada saat bersamaan, kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola sampah baik pada tahap pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, hingga pembuangan akhir juga masih sangat minim. Misalnya, kemampuan armada angkut milik Dinas Kebersihan sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan terjadi defisit volume sampah terangkut, yakni sampah yang tidak terangkut ke tempat pembuangan akhir. Sebagai negara kepulauan, sampah plastik yang tidak terangkut biasanya bermuara di laut. Sampah ini sampai ke lautan melalui aliran sungai atau terbawa angin.
Menurut riset yang dilakukan Sustainable Waste Indonesia (SWI), sebanyak 24% sampah nasional masih tidak terkelola sehingga merusak keseimbangan ekosistem dan lingkungan karena tidak terkelola secara baik.
Tidak mengherankan jika kemudian dalam sebuah artikel di jurnal science bertitel “Plastic Waste Inputs From Land Into The Ocean” (2015), Jenna Jambeck dan kolega menjabarkan bahwa Indonesia termasuk kontributor utama pembuang limbah plastik ke laut. Indonesia, dengan penduduk tinggal di kawasan pesisir pantai mencapai 187,2 juta orang, berada pada peringkat kedua setelah China. Disusul kemudian oleh Filipina, Vietnam, dan Sri Lanka. Sampah plastik ini tidak saja membahayakan kehidupan makhluk laut, namun racun dari plastik tersebut juga berpotensi masuk ke tubuh manusia melalui makanan laut/seafood yang dikonsumsi.
Penelitian lain mengungkapkan bahwa setiap orang di Indonesia rata-rata menghasilkan sampah 700 kantong plastik saban tahun. Memang sejak mulai dipergunakan secara komersial pada era 1930-an dan 1940-an, plastik telah begitu mendominasi kehidupan masyarakat global saat ini. Data di AS mencatat bahwa pada 1960-an plastik hanya menyumbang sekitar 1% dari total sampah perkotaan. Pada 2005 sampah plastik telah meningkat menjadi 10%.
Mengingat esensi puasa adalah pengendalian diri, mengekang nafsu untuk menyampah seharusnya juga menjadi indikator kesuksesan puasa di level individu. Bagaimana caranya? Cara termudah tentu dengan konsep 3R, yakni mengurangi (reduce) dan memakai kembali (reuse) sampah nonorganik. Kemudian juga recycle (mendaur ulang) jika memungkinkan. Kesadaran masyarakat untuk memilah sampah antara organik dan anorganik seperti kertas, logam, kaca, tekstil, dan plastik menjadi ujung tombak tata kelola persampahan modern.
Dengan kecenderungan peningkatan volume sampah yang terus meninggi seiring pertumbuhan jumlah penduduk dan kemampuan daya beli, tata kelola sampah secara tradisional dengan prinsip kumpul-angkut-buang sudah tidak memadai lagi. Dengan konsep 3R sampah akan dikelola di tingkat rumah tangga atau pengumpul sebelum di buang ke tempat pemrosesan akhir (TPA).
Namun, ternyata pemahaman masyarakat tentang konsep reduce-reuse-recycle (3R) juga masih rendah. Menurut catatan BPS, kesadaran masyarakat untuk memilah sampah berkategori mudah membusuk dan tidak mudah membusuk masih sangat memprihatinkan. Data pada 2013 mencatat 76,31% penduduk tidak memilah sampah mereka. Angka ini justru naik pada satu tahun berikutnya menjadi 81,16%. Survei BPS juga menunjukkan bahwa pada 2014 dari total volume sampah yang diproduksi di Indonesia, hanya 8,75% yang dipilah kemudian dimanfaatkan.
Ini artinya, kepedulian warga terhadap pengelolaan sampah masih jauh dari ideal. Lemahnya kesadaran masyarakat ini pada gilirannya akan berujung pada sulitnya mendaur ulang sampah. Dengan pemilahan, beban TPA dalam mengelola sampah akan menjadi lebih ringan, bahkan bisa jadi hanya residunya yang dibuang ke TPA. Dengan demikian, daya tampung dan umur TPA juga bisa lebih lama.
Memang warga masyarakat sebagai penghasil utama sampah seyogianya turut berpartisipasi dalam tata kelola sampah. Cara paling bijak mengurangi sampah nonorganik seperti plastik adalah menekan konsumsi.
Bulan puasa ini merupakan momentum tepat meningkatkan kesalehan ekologis, yakni kepedulian terhadap kelestarian lingkungan. Berpuasa pada hakikatnya adalah melatih kedisiplinan individual dan proses pembenahan diri (self-regulation). Dengan puasa diharapkan ada praktik baik yang bisa tetap dipertahankan pasca-Ramadan.Jadi puasa tidak semata mengontrol impuls pribadi, namun juga meningkatkan kepedulian termasuk pada aspek lingkungan. Hal ini bisa beranjak dari level individu untuk ikut berperan aktif mengurangi dan mengelola sampah rumah tangga yang notabene merupakan kontributor terbesar total volume sampah di Indonesia.
AKTIVITAS mudik selalu menjadi momentum tahunan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Perputaran uang yang meningkat diyakini mampu menggerakkan roda perekonomian warga. Mudik selalu berkonotasi dengan aliran dana dari kota ke daerah di mana para pemudik berasal. Apalagi tahun ini ada stimulus fiskal dari pemerintah berupa THR dan gaji ke-13.Tahun ini Kementerian Perhubungan memperkirakan akan ada kenaikan jumlah pemudik antara 10% hingga 15% dibandingkan tahun lalu. Seluruh moda transportasi baik darat, laut, udara, maupun kereta api (KA) diprediksi akan mengalami lonjakan. Namun, dengan pembukaan akses tol langsung Jakarta-Surabaya, mudik darat menggunakan kendaraan pribadi diprediksi bakal meningkat signifikan.
Selain aspek finansial, yang sering luput dari pantauan adalah potensi peningkatan timbulan sampah sepanjang musim mudik Lebaran. Terlebih lagi, seperti diketahui, mudik tahun ini lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya. Tidak bisa dimungkiri, pergerakan massal dalam waktu nyaris bersamaan selain berpotensi mengakibatkan kemacetan juga meningkatkan jumlah timbulan sampah. Sampah anorganik yang menyertai para pemudik seperti plastik minuman kemasan, kertas bekas pembungkus makanan cepat saji, dan produk rumah tangga lainnya bisa dipastikan ikut meningkat sepanjang arus mudik dan balik.
Diperkirakan akan ada setidaknya 19,5 juta pemudik tahun ini. Jika setiap orang menghasilkan sampah 0,5 kg per hari, diperkirakan terdapat 9.750 ton sampah yang dihasilkan para pemudik di sepanjang destinasi mereka menuju kampung halaman. Dengan asumsi penambahan tingkat konsumsi selama bulan puasa dan Lebaran sebesar 10% hingga 20%, total volume sampah per hari menjadi lebih tinggi lagi.
Pada saat bersamaan, kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola sampah baik pada tahap pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, hingga pembuangan akhir juga masih sangat minim. Misalnya, kemampuan armada angkut milik Dinas Kebersihan sangat terbatas. Hal ini mengakibatkan terjadi defisit volume sampah terangkut, yakni sampah yang tidak terangkut ke tempat pembuangan akhir. Sebagai negara kepulauan, sampah plastik yang tidak terangkut biasanya bermuara di laut. Sampah ini sampai ke lautan melalui aliran sungai atau terbawa angin.
Menurut riset yang dilakukan Sustainable Waste Indonesia (SWI), sebanyak 24% sampah nasional masih tidak terkelola sehingga merusak keseimbangan ekosistem dan lingkungan karena tidak terkelola secara baik.
Tidak mengherankan jika kemudian dalam sebuah artikel di jurnal science bertitel “Plastic Waste Inputs From Land Into The Ocean” (2015), Jenna Jambeck dan kolega menjabarkan bahwa Indonesia termasuk kontributor utama pembuang limbah plastik ke laut. Indonesia, dengan penduduk tinggal di kawasan pesisir pantai mencapai 187,2 juta orang, berada pada peringkat kedua setelah China. Disusul kemudian oleh Filipina, Vietnam, dan Sri Lanka. Sampah plastik ini tidak saja membahayakan kehidupan makhluk laut, namun racun dari plastik tersebut juga berpotensi masuk ke tubuh manusia melalui makanan laut/seafood yang dikonsumsi.
Penelitian lain mengungkapkan bahwa setiap orang di Indonesia rata-rata menghasilkan sampah 700 kantong plastik saban tahun. Memang sejak mulai dipergunakan secara komersial pada era 1930-an dan 1940-an, plastik telah begitu mendominasi kehidupan masyarakat global saat ini. Data di AS mencatat bahwa pada 1960-an plastik hanya menyumbang sekitar 1% dari total sampah perkotaan. Pada 2005 sampah plastik telah meningkat menjadi 10%.
Mengingat esensi puasa adalah pengendalian diri, mengekang nafsu untuk menyampah seharusnya juga menjadi indikator kesuksesan puasa di level individu. Bagaimana caranya? Cara termudah tentu dengan konsep 3R, yakni mengurangi (reduce) dan memakai kembali (reuse) sampah nonorganik. Kemudian juga recycle (mendaur ulang) jika memungkinkan. Kesadaran masyarakat untuk memilah sampah antara organik dan anorganik seperti kertas, logam, kaca, tekstil, dan plastik menjadi ujung tombak tata kelola persampahan modern.
Dengan kecenderungan peningkatan volume sampah yang terus meninggi seiring pertumbuhan jumlah penduduk dan kemampuan daya beli, tata kelola sampah secara tradisional dengan prinsip kumpul-angkut-buang sudah tidak memadai lagi. Dengan konsep 3R sampah akan dikelola di tingkat rumah tangga atau pengumpul sebelum di buang ke tempat pemrosesan akhir (TPA).
Namun, ternyata pemahaman masyarakat tentang konsep reduce-reuse-recycle (3R) juga masih rendah. Menurut catatan BPS, kesadaran masyarakat untuk memilah sampah berkategori mudah membusuk dan tidak mudah membusuk masih sangat memprihatinkan. Data pada 2013 mencatat 76,31% penduduk tidak memilah sampah mereka. Angka ini justru naik pada satu tahun berikutnya menjadi 81,16%. Survei BPS juga menunjukkan bahwa pada 2014 dari total volume sampah yang diproduksi di Indonesia, hanya 8,75% yang dipilah kemudian dimanfaatkan.
Ini artinya, kepedulian warga terhadap pengelolaan sampah masih jauh dari ideal. Lemahnya kesadaran masyarakat ini pada gilirannya akan berujung pada sulitnya mendaur ulang sampah. Dengan pemilahan, beban TPA dalam mengelola sampah akan menjadi lebih ringan, bahkan bisa jadi hanya residunya yang dibuang ke TPA. Dengan demikian, daya tampung dan umur TPA juga bisa lebih lama.
Memang warga masyarakat sebagai penghasil utama sampah seyogianya turut berpartisipasi dalam tata kelola sampah. Cara paling bijak mengurangi sampah nonorganik seperti plastik adalah menekan konsumsi.
Bulan puasa ini merupakan momentum tepat meningkatkan kesalehan ekologis, yakni kepedulian terhadap kelestarian lingkungan. Berpuasa pada hakikatnya adalah melatih kedisiplinan individual dan proses pembenahan diri (self-regulation). Dengan puasa diharapkan ada praktik baik yang bisa tetap dipertahankan pasca-Ramadan.Jadi puasa tidak semata mengontrol impuls pribadi, namun juga meningkatkan kepedulian termasuk pada aspek lingkungan. Hal ini bisa beranjak dari level individu untuk ikut berperan aktif mengurangi dan mengelola sampah rumah tangga yang notabene merupakan kontributor terbesar total volume sampah di Indonesia.
(mhd)