Mudik Ramah Lingkungan

Kamis, 07 Juni 2018 - 07:30 WIB
Mudik Ramah Lingkungan
Mudik Ramah Lingkungan
A A A
Arif Budi Rahman Alumni Curtin University Sustainability Policy Institute, Perth-Australia

AKTIVITAS mudik se­lalu menjadi mo­mentum tahunan untuk men­dong­krak pertumbuhan ekonomi. Perputaran uang yang me­ningkat diyakini mampu menggerakkan roda perekonomian warga. Mudik selalu ber­kono­tasi dengan aliran dana dari kota ke daerah di mana para pemudik berasal. Apalagi tahun ini ada stimulus fiskal dari pemerintah berupa THR dan gaji ke-13.Tahun ini Kementerian Per­hubungan memperkirakan akan ada kenaikan jumlah pemudik antara 10% hingga 15% di­ban­dingkan tahun lalu. Seluruh moda transportasi baik darat, laut, udara, maupun kereta api (KA) diprediksi akan mengalami lonjakan. Namun, dengan pembukaan akses tol langsung Jakarta-Surabaya, mudik darat menggunakan kendaraan pri­badi diprediksi bakal meningkat signifikan.

Selain aspek finansial, yang sering luput dari pantauan adalah potensi peningkatan timbulan sampah sepanjang musim mudik Lebaran. Ter­lebih lagi, seperti di­ketahui, mudik tahun ini lebih panjang dari tahun-tahun sebe­lumnya. Tidak bisa dimungkiri, per­ge­rak­an massal dalam waktu nyari­s bersamaan selain ber­potensi mengakibatkan kema­cet­an juga meningkatkan jum­lah timbulan sampah. Sampah an­organik yang menyertai para pe­mudik seperti plastik mi­num­an kemasan, kertas bekas pem­bung­kus makanan cepat saji, dan produk rumah tangga lainnya bisa dipastikan ikut me­ningkat sepanjang arus mudik dan balik.

Diperkirakan akan ada se­tidaknya 19,5 juta pemudik tahun ini. Jika setiap orang menghasilkan sampah 0,5 kg per hari, diperkirakan terdapat 9.750 ton sampah yang di­hasil­kan para pemudik di sepanjang destinasi mereka menuju kam­pung halaman. Dengan asumsi penambahan tingkat konsumsi selama bulan puasa dan Lebaran sebesar 10% hing­ga 20%, total volume sampah per hari menjadi lebih tinggi lagi.

Pada saat bersamaan, ke­mampuan pemerintah daerah dalam mengelola sampah baik pada tahap pengumpulan, peng­angkutan, pengolahan, hingga pembuangan akhir juga masih sangat minim. Misalnya, ke­mam­puan armada angkut milik Dinas Kebersihan sangat ter­batas. Hal ini mengakibat­kan terjadi defisit volume sam­pah terangkut, yakni sampah yang tidak terangkut ke tempat pem­buangan akhir. Sebagai negara kepulauan, sampah plastik yang tidak terangkut biasa­nya ber­muara di laut. Sam­pah ini sampai ke lautan melalui alir­an sungai atau ter­­bawa angin.

Me­nurut riset yang di­lakukan Sus­tain­able Waste Indo­nesia (SWI), se­banyak 24% sampah nasio­nal ma­sih tidak ter­ke­lola sehingga me­­ru­sak kese­imbang­an ekosistem dan ling­kungan karena tidak ter­kelola se­cara baik.

Tidak meng­he­rankan jika kemu­dian dalam sebuah artikel di jurnal science bertitel “Plastic Waste Inputs From Land Into The Ocean” (2015), Jenna Jambeck dan kolega menjabarkan bahwa Indonesia termasuk kontributor utama pembuang limbah plastik ke laut. Indo­nesia, dengan pen­duduk tinggal di ka­wasan pe­sisir pantai mencapai 187,2 juta orang, berada pada pering­kat kedua se­telah China. Disusul kemudian oleh Fili­pina, Viet­nam, dan Sri Lanka. Sampah plas­tik ini tidak saja mem­bahayakan kehidup­an makhluk laut, na­mun racun dari plas­tik tersebut juga ber­potensi ma­suk ke tubuh manusia melalui makanan laut/seafood yang di­konsumsi.

Penelitian lain meng­ung­kap­kan bahwa setiap orang di Indonesia rata-rata menghasil­kan sampah 700 kantong plastik saban tahun. Memang sejak mulai dipergunakan se­cara komersial pada era 1930-an dan 1940-an, plastik telah begitu mendominasi kehidup­an masyarakat global saat ini. Data di AS mencatat bahwa pada 1960-an plastik hanya menyumbang sekitar 1% dari total sampah perkotaan. Pada 2005 sampah plastik telah meningkat menjadi 10%.

Mengingat esensi puasa adalah pengendalian diri, me­ngekang nafsu untuk menyam­pah seharusnya juga menjadi indikator kesuksesan puasa di level individu. Bagaimana cara­nya? Cara termudah tentu de­ngan konsep 3R, yakni me­ngu­rangi (reduce) dan me­makai kem­bali (reuse) sampah non­organik. Kemudian juga recycle (mendaur ulang) jika me­mung­kinkan. Kesadaran masyarakat untuk memilah sampah antara organik dan an­organik seperti kertas, logam, kaca, tekstil, dan plastik men­jadi ujung tombak tata kelola persampahan modern.

Dengan kecenderungan peningkatan volume sampah yang terus meninggi seiring pertumbuhan jumlah pen­duduk dan kemampuan daya beli, tata kelola sampah secara tradisional dengan prinsip kumpul-angkut-buang sudah tidak memadai lagi. Dengan konsep 3R sampah akan di­kelola di tingkat rumah tangga atau pengumpul sebelum di buang ke tempat pemrosesan akhir (TPA).

Namun, ternyata pema­ham­­an masyarakat tentang kon­sep reduce-reuse-recycle (3R) juga ma­sih rendah. Menurut catat­an BPS, kesadaran masyarakat untuk memilah sampah ber­kategori mudah membusuk dan tidak mudah membusuk masih sangat mem­priha­tin­kan. Data pada 2013 mencatat 76,31% penduduk tidak me­milah sampah mereka. Angka ini justru naik pada satu tahun berikutnya menjadi 81,16%. Survei BPS juga menunjukkan bahwa pada 2014 dari total volume sampah yang di­produksi di Indonesia, hanya 8,75% yang dipilah kemudian dimanfaatkan.

Ini artinya, kepedulian warga terhadap pengelolaan sampah masih jauh dari ideal. Lemahnya kesadaran masya­ra­kat ini pada gilir­an­nya akan ber­ujung pada sulitnya men­daur ulang sam­pah. Dengan pemi­lah­an, beban TPA dalam menge­lola sampah akan menjadi lebih ringan, bahkan bisa jadi hanya residunya yang dibuang ke TPA. Dengan de­mi­kian, daya tam­pung dan umur TPA juga bisa lebih lama.

Memang war­ga masyarakat se­bagai penghasil uta­ma sam­pah se­yo­gianya turut ber­parti­sipasi dalam tata kelola sam­pah. Cara pa­ling bijak mengu­rangi sampah non­orga­nik seperti plastik adalah menekan konsumsi.

Bulan puasa ini merupakan momentum tepat me­ning­kat­kan kesalehan ekologis, yakni kepedulian terhadap keles­tari­an lingkungan. Berpuasa pada hakikatnya adalah me­latih kedisiplinan individual dan proses pembenahan diri (self-regulation). Dengan puasa di­harapkan ada praktik baik yang bisa tetap diper­tahankan pasca-Ramadan.Jadi puasa tidak se­mata mengontrol impuls pri­badi, namun juga mening­kat­kan kepedulian termasuk pada aspek ling­kungan. Hal ini bisa beranjak dari level individu untuk ikut berperan aktif me­ngurangi dan mengelola sam­pah rumah tangga yang nota­bene merupakan kontributor ter­besar total volume sampah di Indonesia.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5620 seconds (0.1#10.140)