Indonesia Darurat Radikalisme?

Rabu, 06 Juni 2018 - 06:23 WIB
Indonesia Darurat Radikalisme?
Indonesia Darurat Radikalisme?
A A A
Abdul Mu'ti

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah; Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

SEJAK bom bunuh diri di Surabaya, Den­sus 88 Antiteror te­rus memburu ke­lom­pok radikal. Seperti men­da­pat­kan mandat baru, langkah Den­sus terlihat semakin gencar se­te­lah DPR mengesahkan UU An­ti­terorisme. Densus bahkan mulai masuk ke kampus-kam­pus.Publik pun bertanya-tanya. Seberapa besarkah pengaruh dan kekuatan kelompok ra­di­kal? Mengapa sasaran selalu or­ganisasi-organisasi Islam? Be­nar­kah kampus telah men­ja­di sarang kelompok radikal? Apa­­kah Indonesia sudah me­ng­alami darurat radikalisme?

Multidimensi Radikalisme

Apa yang dilakukan Densus bisa membentuk opini bahwa Is­lam identik dengan ra­di­ka­lisme. Pemberantasan tero­ris­me dan radikalisme bisa di­mak­­nai sebagai perang dan per­­mu­suhan terhadap umat Is­lam. Sung­guh sangat dis­a­yangkan jika persepsi dan opini tersebut be­nar adanya.

Radikalisme memiliki akar dan ekspresi yang mul­ti­di­mensi. Pertama, akar teologis. Ra­dikalisme bermula dari pe­mahaman agama yang sempit dan hitam-putih, misalnya pe­ma­haman mengenai ke­be­nar­an (al-haq). Mereka berpenda­pat hanya ada satu kebenaran tunggal dan absolut yang ber­asal dari Tuhan. Selain yang ber­asal dari Tuhan adalah ke­ba­tilan (al-batil ).

Kelompok ra­dikal tidak hanya menolak, te­tapi juga memerangi kebatilan sebagai ke­wajiban agama. Ka­rena itu, ke­lompok radikal mem­­bangkang pemerintah dan se­mua produk hukum buat­an ma­nusia. Mereka memiliki sistem politik, hukum, dan pe­me­rin­tahan berdasarkan atas agama. Pemahaman radikal ini te­r­da­pat pada berbagai aga­ma. Yang membedakan adalah bentuk, tingkat, dan strategi ekspre­si­nya.

Kedua, radikalisme bisa dise­babkan oleh alasan-alasan po­litik. Radikalisme politik di­ge­rakkan oleh idealisme atau aliran politik tertentu. Be­be­rapa negara dalam sejarah po­li­tik modern dibangun ber­da­sar­kan ideologi politik ter­ten­tu. Be­berapa di antaranya ada­lah Republik Rakyat China, Rusia, dan Korea Utara yang ber­ha­luan komunis. Sejarah politik In­donesia mencatat pem­be­ron­ta­kan partai ko­mu­nis untuk mengganti Pancasila dengan komunisme.

Termasuk dalam radi­ka­lis­me ideologis adalah paham su­perioritas kelas, misalnya su­perioritas kulit putih atas ku­lit berwarna. Su­pe­rio­ritas ke­las melahirkan rasisme dalam ber­ba­gai ekspresinya se­perti dis­kri­mi­na­si rasial, pem­ber­sih­an etnis, dan per­bu­dakan ma­nusia.

Ketiga, ra­di­ka­lisme yang di­la­ku­kan karena alasan-alas­an pragmatis. Radikalisme me­ru­pa­kan ekspresi per­la­wanan atas ke­ti­dakadilan politik, hu­kum, ekonomi, ke­bu­da­yaan, dan so­sial yang di­la­kukan oleh pe­me­rintah.

Eks­presi yang pa­ling la­zim adalah separatisme. Ra­di­kalisme pra­g­matis tumbuh su­bur di tengah ketimpangan eko­nomi, ke­pin­cangan politik, do­minasi bu­daya oleh satu ke­lom­pok, atau kekecewaan ter­hadap suatu kebijakan. Seharusnya Densus dan apa­ratur keamanan melihat per­soalan radikalisme dengan pers­pektif yang komprehensif dan jernih. Radikalisme memi­li­ki akar dan motif yang ber­beda-beda, tidak bisa dan tidak boleh gebyah-uyah (genera­li­sa­si) dengan kacamata kuda.

Pendekatan Semesta Partisipatif

Berulang kali Densus mem­buru ke­lom­pok radikal dengan dalih melindungi ma­syarakat dari ancaman tero­ris­me dan me­negakkan ke­dau­latan ne­gara dari separatisme. Ar­gu­men yang di­b­a­ngun ada­lah li­ne­aritas ra­di­kalisme de­ngan te­­rorisme dan se­pa­ra­tisme. Se­­cara teo­re­tis dan em­piris, ar­gumen Den­sus sangat le­mah, bahkan me­ngan­dung kon­­tra­diksi dalam yang mudah di­patahkan.

Awalnya, ra­di­ka­lis­me selalu di­kait­­kan dengan sa­­la­fisme, wa­ha­bis­me, dan Al-Qae­da. Be­la­ka­ngan, banyak pe­laku te­ro­risme ada­­lah ke­­­lompok ahlus sun­­­nah yang ter­­kait dengan ISIS. Tesis awal, tero­ris­me di­kait­kan de­ngan faktor eko­no­mi, khu­sus­nya ke­mis­kinan. Kini qaul qadim (tesis lama) ti­dak ber­laku. Penelitian me­nun­jukkan ra­di­ka­lisme ber­kem­bang di ka­langan k­elas me­ne­ngah atas yang mapan secara eko­no­mi dan berpen­di­dik­an tinggi.

Muncullah qaul jadid (te­sis baru) bahwa radikalisme ber­kembang karena faktor teo­logi dan ideologi. Ra­di­kalisme dan te­rorisme lebih ba­nyak di­se­babkan oleh mindset bukan money. Persoalan ideologi dan ­ke­yakinan tidak bisa diselesaikan dengan bedil, tetapi dalil. Demi ideo­logi seseorang rela mati. Se­bagian bahkan ber­ke­ya­kinan bah­wa kematian me­ru­pakan per­­juangan yang sem­purna. Ideo­logi ti­dak akan per­­nah mati di ujung be­la­ti, tidak lan­cung di tiang gantung.

Jika itu masalahnya, lang­kah-langkah Densus yang me­ngedepankan kekuatan sen­ja­ta untuk meredam ra­di­kalisme ma­hasiswa adalah masalah ter­sendiri. Walaupun sah secara legal, sulit diterima secara in­te­lektual. Ideologi harus di­ka­lahkan dengan kon­ter ideologi, bukan dengan tangan besi. Per­soalan mindset seharusnya di­selesaikan de­ngan mind­full­ness, bukan sen­jata laras.

Karena itu, terhadap gejala radikalisme di kampus yang me­libatkan aka­de­misi tidak bi­sa dise­le­sai­kan dengan amu­­nisi. Tidak bisa juga de­ngan me­me­cat atau me­me­n­ja­rakan pe­ja­bat. Lang­kah ter­sebut justru bisa kon­tra­produktif. Karena terkesan di­za­limi, masyarakat ke­lom­pok ra­dikal justru mem­per­oleh simpati.

Yang di­pe­r­­lukan adalah pen­­dekatan semesta par­ti­si­pa­tif. Ra­di­ka­lisme dan te­ro­ri­sme ada­lah ma­sa­lah bersama, bu­kan pe­me­rintah atau apa­ratur ke­aman­an saja. Di­per­lukan lang­­kah-lang­kah mem­ba­ngun ke­sa­da­r­an dan ko­mit­men ko­lektif se­luruh kekuatan bang­sa. Be­be­rapa waktu lalu, Badan In­te­lijen Negara (BIN) me­nye­but 39% ma­hasiswa ter­papar radi­ka­lis­me. Sayangnya, polisi dan BIN me­milih bicara ke media dari­pada kepada pim­pin­­an kam­pus. Semestinya apa­­rat bisa berbagi data dan me­­la­kukan silent ope­ra­tion di­iku­ti dengan pem­bi­na­an ber­sa­ma secara ilmiah dan ala­miah.

Pembinaan mahasiswa juga perlu lebih ditingkatkan. Pen­di­dikan Pancasila dan Ke­war­ga­ne­garaan perlu diperkuat tidak hanya secara isi, tetapi juga nilai dan karakter. Nilai dan karakter Pancasila melekat pada semua mata kuliah dan pada sistem serta perilaku se­luruh sivitas akademik dan ling­kungan kam­pus. Per­gu­ru­an tinggi juga bisa bekerja sama dengan ormas dan organisasi ekstra kampus. Se­la­ma ini per­semaian paham ra­di­kal lebih banyak terjadi di luar kampus melalui organisasi ke­ma­ha­sis­waan ekstra kampus.

Siapa pun yang peduli de­ngan masa depan Indonesia ti­dak ada alasan untuk me­no­le­ransi, apalagi mendukung ra­di­kalisme dan terorisme. Usaha-usaha pemerintah dan apa­ra­tur keamanan untuk men­ce­gah dan memberantas te­ro­ri­sme perlu disambut dan di­per­kuat. Akan tetapi, pemerintah dan polisi tidak bekerja sendiri. Per­lu melibatkan semua pihak untuk berpartisipasi. Selain itu, pemerintah juga perlu me­ng­evaluasi dan mawas diri. Ra­di­ka­lisme dan te­ro­ris­me ber­se­ma­yam bukan semata karena teo­logi tetapi juga soal eksis­ten­si, jati diri, dan harga diri.

Indonesia masih terlalu kuat un­tuk tumbang karena ra­d­i­ka­lis­me dan terorisme. Ber­­­le­bih­an jika ada yang ber­pen­da­pat Indonesia darurat ra­di­ka­lisme dan terorisme. Fondasi dan kul­tur sosial dan spiritual yang mo­derat masih cukup kuat. Tidak perlu ope­rasi m­i­li­ter di kampus untuk membuat ra­dikalisme mam­pus. Wa­lau­pun perlu wak­tu, pendekatan hu­manis de­ngan soft power tam­paknya le­bih strategis.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4569 seconds (0.1#10.140)