Cawapres dari Parpol Koalisi Bisa Picu Keretakan

Selasa, 05 Juni 2018 - 17:04 WIB
Cawapres dari Parpol Koalisi Bisa Picu Keretakan
Cawapres dari Parpol Koalisi Bisa Picu Keretakan
A A A
JAKARTA - Hingga saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum memutuskan siapa yang akan mendampingi sebagai calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019.

Sejauh ini telah muncul wacana cawapres Jokowi dari internal partai politik (parpol), seperti yang disampaikan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar bahwa sudah ada kesepakatan di antara parpol koalisi.

Lantas, apa plus dan minusnya ketika Jokowi menggendeng cawapres dari internal parpol koalisi?

Direktur Eksekutif Indo Barometer Mohammad Qodari mengatakan, susah untuk mencari sisi positif apabila Jokowi menggandeng cawapres dari internal parpol koalisi.

Justru sebaliknya, kata Qodari, sisi negatifnya yang lebih besar. Setidaknya ada dua alasan besar yang dijadikan rujukan mengapa cawapres dari internal parpol koalisi justru menimbulkan efek negatif dan memicu disharmonis antarparpol anggota koalisi.

Pertama, Pilpres 2019 bakal digelar serentak dengan pemilihan legislatif (pileg). Artinya, jika cawapres berasal dari parpol pengusung maka dipastikan akan memberikan cocktial effect (efek ekor jas) bagi parpol pengusung.

Menurut dia, jika cawapres dari parpol tertentu maka akan menguntungkan parpol tersebut karena dipastikan elektoral parpol tersebut dalam pileg cenderung akan terdongkrak.

Alasan kedua, kata Qodari, ketika bicara Piplres 2019 maka tidak bisa lepas dari Pilpres 2024 mendatang. Artinya, karena Jokowi pada 2019 nanti maju untuk kedua kalinya sebagai capres petahana (incumbent) maka sosok yang nantinya terpilih sebagai wakil presiden di Pilpres 2019, sangat berpotensi maju sebagai capres kuat pada Pilpres 2024.

“Apalagi jika wapres tersebut usianya masih muda maka sangat mungkin pada 2024 akan maju sebagai capres,” ujar Qodari kepada KORAN SINDO.

Setidaknya dengan dua alasan tersebut, kata Qodari, bisa dijadikan gambaran titik lemah ketika Jokowi menggandeng cawapres dari internal parpol koalisi. ”Kalau cawapres dari parpol koalisi pasti akan menimbulkan kecemburuan,” tuturnya.

Menurut Qodari, kedua alasan tersebut sudah terkonfirmasi ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maju sebagai capres untuk kedua kalinya pada Pemilu 2009. Saat itu SBY yang maju sebagai incumbent lebih memilih mengandeng cawapres dari luar prpol, yakni Boediono yang mempunyai latar belakang di bidang ekonomi dan usianya juga tidak lagi muda.

”Situasi yang dialami Pak Jokowi saat ini sama dengan yang dialami Pak SBY pada saat maju untuk kedua kalinya sebagai capres,” katanya.

Lantas, cawapres dengan latar belakang seperti apa yang sebaiknya digandeng Jokowi?

Menurut Qodari hal itu tergantung isu yang berkembang. Kalau bicara saat ini maka isu yang paling mengemuka adalah isu ekonomi dan sentimen agama alias isu Islam.

Karena itu, kata dia, kalau masalah ekonomi dinilai menjadi isu yang paling dominan maka Jokowi bisa menggandeng cawapres seorang ekonom atau pengusaha. Jika isu Islam dianggap yang paling dominan maka tokoh yang digandeng bisa dari santri (ulama) atau tentara.

Ketika memilih tokoh Islam pun, menurut Qodari, sebaiknya dari kalangan Islam tengah. Misalnya bukan sebagai representasi langsung ormas Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah. “Bisa saja menggandeng Mahfud MD yang NU tapi juga HMI, atau Jimly Asshiddiqie yang dari ICMI, atau Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal,” katanya.

Opsi lain yaitu cawapres dari tentara. “Karena sejarah politik kita, Islam dengan TNI itu dekat, dan itu juga menjawab isu PKI,” paparnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4016 seconds (0.1#10.140)