Urgensi Ekonomi Hijau

Selasa, 05 Juni 2018 - 08:40 WIB
Urgensi  Ekonomi Hijau
Urgensi Ekonomi Hijau
A A A
Hari Lingkungan Hi­dup Sedunia (World Envi­ron­ment Day) di­pe­ri­ngati setiap 5 Juni. Setiap ta­hun, tema atau isu yang di­ang­kat oleh United Nation Envi­ron­ment Program (UNEP) da­lam peringatan Hari Ling­kungan Hidup (HLH) Sedunia masih seputar pembangunan berkelanjutan untuk kese­jah­te­ra­an masyarakat dunia.

Peringatan hari lingkungan hidup amat penting dimaknai ke­tika sejumlah negara di du­nia masih terus dibayangi an­cam­an krisis finansial global. Krisis ini bertambah berat ka­re­na tidak diikuti pem­ba­ngun­an yang berciri ekonomi hijau. Ini men­do­rong persoalan ber­tambah serius terkait dengan degradasi sumber daya alam, energi, ling­kungan dan pa­ngan.

Di Indo­ne­sia tantangan perwujudan eko­nomi hijau le­bih berat lagi di te­ngah model pem­bangunan yang dikem­bang­kan cenderung ber­si­fat eks­traktif terhadap sumber daya alam dan berjangka pen­dek. Upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pe­man­faat­an sumber daya alam se­ca­ra lestari masih jauh dari yang di­harapkan.

Pemanfaatan dan eks­ploi­tasi sumber daya alam yang me­ng­atasnamakan kesejahteraan hidup rakyat, namun tidak di­imbangi oleh upaya kon­ser­va­si, tampak mulai menampilkan dam­pak negatif terhadap ke­les­tarian lingkungan hidup. Isu pe­manasan global dan peru­bah­an iklim hanyalah sebagian dari se­kian banyak isu ling­kung­an yang demikian pelik un­tuk diper­ha­ti­kan yang tidak ha­nya bersifat lok­al tetapi glo­bal.

Pemanasan global, misal­nya, tidak hanya mengancam pembangunan ber­ke­lanjutan, tetapi juga menjadi mon­ster yang setiap saat dapat men­da­tang­kan bencana bagi hidup dan kehidupan manusia.

Kerusakan Lingkungan

Pemahaman terhadap pe­ru­sakan lingkungan hidup su­dah dimulai sejak 1960-an. Ta­hun 1972, PBB menyeleng­ga­ra­kan konferensi tentang ling­kungan hidup di Stockholm. Pembicaraan global tentang pembangunan berkelanjutan semakin kuat diperdengarkan setelah Konferensi Stockholm, yang mendorong diadakan KTT Pembangunan Berke­lan­jut­an di Johannesburg dan Kon­fe­rensi PBB tentang Pe­ru­bahan Iklim 2007 di Bali.

Sa­yang­nya, setelah KTT, keru­sak­an lingkungan hidup bukan berkurang, namun ber­tam­bah. Dampak ne­ga­tif­nya sudah dapat dira­sa­kan ma­sya­rakat, se­ca­ra khusus ma­sya­ra­kat petani.

Para petani di se­jum­lah dae­rah di In­do­ne­sia kerap meng­alami gagal panen karena mu­sim kemarau lebih lama di­ban­dingkan ta­hun-tahun se­be­lum­nya. Hal yang sama dira­sa­kan petani di sejumlah negara lain. Me­reka harus meng­ha­dapi ban­jir berkepan­jangan se­lama beberapa bulan sehingga pro­duksi pangan menurun.

Perubahan iklim memang sudah terjadi karena suhu per­mukaan laut naik secara ber­mak­na. Secara hipotetis, sem­a­kin tinggi suhu permukaan laut-yang diakibatkan ting­gi­nya kadar CO2 di selubung atmosfer-akan diikuti semakin sering terjadi angin topan.

Konsekuensi tingginya ka­dar CO2 di atmosfer adalah ter­bentuknya selimut rumah kaca yang menghalangi pantulan panas matahari, yang seha­rus­nya dipantulkan ke angkasa ter­tahan karena lapisan CO2 yang kian tebal. Penelitian me­nunjukkan selama 650.000 ta­hun kadar CO2 di atmosfer ti­dak pernah menyentuh level me­lebihi 300 ppm (part per million).

Namun saat ini sudah men­capai 400 ppm dan akan te­rus membuih mencapai 1.000 ppm apabila tidak dila­ku­kan mitigasi. Meningkatnya kadar CO2 mendorong suhu udara global kian meningkat.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Per­serikatan Bangsa-Bangsa me­nyebutkan, suhu rata-rata Bumi selama 100 tahun ter­akhir naik 0,74 derajat Celsius. Ke­naikan itu cukup untuk memicu lebih banyak badai di Atlantik Utara, mencairnya su­ngai es di muka bumi, peru­bah­an pola cuaca yang meme­nga­ruhi curah hujan dan muka air laut rata-rata naik 3,1 cm sela­ma 1993-2003.

Perubahan iklim yang ter­ja­di tidak bisa dimungkiri dise­bab­kan aktivitas manusia. Ne­gara-negara berkembang yang kurang berkontribusi terhadap produksi emisi gas rumah kaca, pada akhirnya justru menjadi pi­hak yang paling banyak ter­ke­na dampak perubahan iklim yang menimbulkan dampak sangat besar terhadap negara-negara berkembang, khusus­nya masyarakat miskin yang ada di dalamnya.

Sejumlah inisiatif telah di­usul­kan pemerintah Indonesia dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim 2007 di Nusa Dua, Bali untuk membantu mengatasi perubahan iklim. Salah satunya adalah program pengurangan emisi dari de­fo­restasi dan degradasi (Reduced Emisions from Deforestation and Degradation /REDD). De­for­es­ta­si merupakan penyebab mun­culnya pemanasan global yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.

Seiring dengan itu, program pengurangan emisi dari de­fo­restasi dan degradasi bisa ter­lak­sana jika dua syarat bisa di­pe­nuhi. Pertama, harus me­ning­katkan potensi produksi dengan cara yang ramah ling­kungan hidup; Kedua , men­ja­min terciptanya kesempatan yang merata dan adil bagi se­mua orang. Dalam per­kem­bang­annya maka kini dikenal istilah green economy atau eko­nomi hijau, khususnya dalam dunia bisnis.

Pilihan Terbaik

Ekonomi hijau (Green Eco­nomy) masih belum populer di Indonesia. Sejumlah negara ma­ju yang telah menerapkan eko­nomi hijau telah mem­be­ri­kan inovasi terdepan. Bukan ha­nya dari sisi teknologi, m­e­lain­kan juga dari sisi efisiensi energi (penghematan) dan ke­lestarian lingkungan. Ke de­pan, ekonomi hijau akan men­jadi pilihan terbaik bagi Indo­ne­sia, dalam rangka pem­ba­ngun­an yang pro-poor dan pro-growth tanpa merusak ling­­kungan.

Program model eko­nomi hijau yang se­dang diterapkan di Indonesia dalam bingkai pem­ba­ngun­an berke­lan­jut­­an ada­lah REDD. Program REDD ini diharapkan akan men­jadi “jembatan” bagi Indo­ne­sia un­tuk masuk dalam ruang eko­no­mi hijau yang men­janjikan pem­bangunan yang lebih ren­dah karbon.

Dengan program yang di­usulkan pemerintah, bela­kang­an ini yang mengajak selu­ruh rakyat melakukan gaya hi­dup hemat energi, Indonesia mem­butuhkan pembangunan ekonomi yang tidak business as usual, namun lebih pada green economy demi kemakmuran dan kesejahteraan tanpa mem­per­besar risiko kerusakan ling­kungan. Pembangunan eko­no­mi yang berkeadilan sama pen­tingnya dengan me­mi­ni­ma­li­sa­si kerusakan lingkungan.

Perubahan gaya hidup ma­nusia dari yang boros energi ke perilaku hemat energi akan me­nyelamatkan lingkungan hi­dup. Perubahan iklim sudah ter­jadi dan manusia harus meng­ubah gaya hidupnya bila ingin selamat. Konsumsi ener­gi berlebihan menjadi pe­nye­bab utama kerusakan ling­kung­an.

Sumber daya alam diek­sploitasi untuk memenuhi konsumsi yang diciptakan, bukan konsumsi yang lahir ka­rena kebutuhan dasar. Untuk memenuhi konsumsi itu, ba­han bakar fosil dieksploitasi dan tanah untuk pertanian di­ram­bah, kebun, hutan ta­nam­an industri, hingga bahan tam­bang.

Perilaku eksploitatif ini meningkatkan produksi gas ru­mah kaca seperti karbon di­ok­sida (CO2), metana, dan oksi­da nitrogen di udara. Panas sinar matahari terhalang oleh gas rumah kaca tak bisa lepas ke luar selimut atmosfer dan me­naikkan suhu bumi.

Pembangunan yang hanya semata business as usual telah mengakibatkan biaya ling­kung­an yang cukup mahal. Ini­sia­tif ekonomi hijau yang mulai ada di Indonesia masih diha­dang sejumlah tantangan da­lam penerapannya. Proses pro­duksi dan produk-produknya be­lum memiliki ciri-ciri ramah lingkungan dan menjadikan “hijau” sebagai salah satu kri­te­ria utama kemampuan daya saing bisnis.

Salah satu konsepsi eko­no­mi hijau dapat dilihat dari sis­tem biodigester yang meng­ha­silkan biogas. Limbah kotoran ter­nak yang semula tidak me­miliki nilai ekonomi bisa ber­me­tamorfosa menjadi energi ramah lingkungan dan men­da­tangkan penghasilan serta la­pangan kerja. Permasalahan ling­kungan apabila dikelola de­ngan pendekatan ekonomi hijau akan meraih manfaat eko­nomi dan juga sosial.

Ekonomi hijau mene­kan­kan aspek pelestarian ling­kung­an dan pertumbuhan eko­nomi secara bersamaan. Pro­gram ini dapat menjadi desain penyelesaian dan keber­lang­sungan pembangunan yang ber­kelanjutan sekaligus men­jadi solusi pengurangan dam­pak perubahan iklim.

Oleh karena itu, setiap ke­giatan pembangunan dalam bingkai ekonomi hijau harus memiliki kriteria daya saing yang menempatkan prinsip kelestarian lingkungan dalam se­tiap keputusan bisnisnya. Da­ya saing ini tidak hanya seba­tas pada ketersediaan sumber daya alam, kapital, dan ke­ma­ju­an teknologi saja, namun juga modal sumber daya manusia.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5508 seconds (0.1#10.140)