Urgensi Ekonomi Hijau
A
A
A
Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day) diperingati setiap 5 Juni. Setiap tahun, tema atau isu yang diangkat oleh United Nation Environment Program (UNEP) dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup (HLH) Sedunia masih seputar pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat dunia.
Peringatan hari lingkungan hidup amat penting dimaknai ketika sejumlah negara di dunia masih terus dibayangi ancaman krisis finansial global. Krisis ini bertambah berat karena tidak diikuti pembangunan yang berciri ekonomi hijau. Ini mendorong persoalan bertambah serius terkait dengan degradasi sumber daya alam, energi, lingkungan dan pangan.
Di Indonesia tantangan perwujudan ekonomi hijau lebih berat lagi di tengah model pembangunan yang dikembangkan cenderung bersifat ekstraktif terhadap sumber daya alam dan berjangka pendek. Upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan.
Pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya alam yang mengatasnamakan kesejahteraan hidup rakyat, namun tidak diimbangi oleh upaya konservasi, tampak mulai menampilkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan hidup. Isu pemanasan global dan perubahan iklim hanyalah sebagian dari sekian banyak isu lingkungan yang demikian pelik untuk diperhatikan yang tidak hanya bersifat lokal tetapi global.
Pemanasan global, misalnya, tidak hanya mengancam pembangunan berkelanjutan, tetapi juga menjadi monster yang setiap saat dapat mendatangkan bencana bagi hidup dan kehidupan manusia.
Kerusakan Lingkungan
Pemahaman terhadap perusakan lingkungan hidup sudah dimulai sejak 1960-an. Tahun 1972, PBB menyelenggarakan konferensi tentang lingkungan hidup di Stockholm. Pembicaraan global tentang pembangunan berkelanjutan semakin kuat diperdengarkan setelah Konferensi Stockholm, yang mendorong diadakan KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg dan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim 2007 di Bali.
Sayangnya, setelah KTT, kerusakan lingkungan hidup bukan berkurang, namun bertambah. Dampak negatifnya sudah dapat dirasakan masyarakat, secara khusus masyarakat petani.
Para petani di sejumlah daerah di Indonesia kerap mengalami gagal panen karena musim kemarau lebih lama dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal yang sama dirasakan petani di sejumlah negara lain. Mereka harus menghadapi banjir berkepanjangan selama beberapa bulan sehingga produksi pangan menurun.
Perubahan iklim memang sudah terjadi karena suhu permukaan laut naik secara bermakna. Secara hipotetis, semakin tinggi suhu permukaan laut-yang diakibatkan tingginya kadar CO2 di selubung atmosfer-akan diikuti semakin sering terjadi angin topan.
Konsekuensi tingginya kadar CO2 di atmosfer adalah terbentuknya selimut rumah kaca yang menghalangi pantulan panas matahari, yang seharusnya dipantulkan ke angkasa tertahan karena lapisan CO2 yang kian tebal. Penelitian menunjukkan selama 650.000 tahun kadar CO2 di atmosfer tidak pernah menyentuh level melebihi 300 ppm (part per million).
Namun saat ini sudah mencapai 400 ppm dan akan terus membuih mencapai 1.000 ppm apabila tidak dilakukan mitigasi. Meningkatnya kadar CO2 mendorong suhu udara global kian meningkat.
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan, suhu rata-rata Bumi selama 100 tahun terakhir naik 0,74 derajat Celsius. Kenaikan itu cukup untuk memicu lebih banyak badai di Atlantik Utara, mencairnya sungai es di muka bumi, perubahan pola cuaca yang memengaruhi curah hujan dan muka air laut rata-rata naik 3,1 cm selama 1993-2003.
Perubahan iklim yang terjadi tidak bisa dimungkiri disebabkan aktivitas manusia. Negara-negara berkembang yang kurang berkontribusi terhadap produksi emisi gas rumah kaca, pada akhirnya justru menjadi pihak yang paling banyak terkena dampak perubahan iklim yang menimbulkan dampak sangat besar terhadap negara-negara berkembang, khususnya masyarakat miskin yang ada di dalamnya.
Sejumlah inisiatif telah diusulkan pemerintah Indonesia dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim 2007 di Nusa Dua, Bali untuk membantu mengatasi perubahan iklim. Salah satunya adalah program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (Reduced Emisions from Deforestation and Degradation /REDD). Deforestasi merupakan penyebab munculnya pemanasan global yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Seiring dengan itu, program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi bisa terlaksana jika dua syarat bisa dipenuhi. Pertama, harus meningkatkan potensi produksi dengan cara yang ramah lingkungan hidup; Kedua , menjamin terciptanya kesempatan yang merata dan adil bagi semua orang. Dalam perkembangannya maka kini dikenal istilah green economy atau ekonomi hijau, khususnya dalam dunia bisnis.
Pilihan Terbaik
Ekonomi hijau (Green Economy) masih belum populer di Indonesia. Sejumlah negara maju yang telah menerapkan ekonomi hijau telah memberikan inovasi terdepan. Bukan hanya dari sisi teknologi, melainkan juga dari sisi efisiensi energi (penghematan) dan kelestarian lingkungan. Ke depan, ekonomi hijau akan menjadi pilihan terbaik bagi Indonesia, dalam rangka pembangunan yang pro-poor dan pro-growth tanpa merusak lingkungan.
Program model ekonomi hijau yang sedang diterapkan di Indonesia dalam bingkai pembangunan berkelanjutan adalah REDD. Program REDD ini diharapkan akan menjadi “jembatan” bagi Indonesia untuk masuk dalam ruang ekonomi hijau yang menjanjikan pembangunan yang lebih rendah karbon.
Dengan program yang diusulkan pemerintah, belakangan ini yang mengajak seluruh rakyat melakukan gaya hidup hemat energi, Indonesia membutuhkan pembangunan ekonomi yang tidak business as usual, namun lebih pada green economy demi kemakmuran dan kesejahteraan tanpa memperbesar risiko kerusakan lingkungan. Pembangunan ekonomi yang berkeadilan sama pentingnya dengan meminimalisasi kerusakan lingkungan.
Perubahan gaya hidup manusia dari yang boros energi ke perilaku hemat energi akan menyelamatkan lingkungan hidup. Perubahan iklim sudah terjadi dan manusia harus mengubah gaya hidupnya bila ingin selamat. Konsumsi energi berlebihan menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan.
Sumber daya alam dieksploitasi untuk memenuhi konsumsi yang diciptakan, bukan konsumsi yang lahir karena kebutuhan dasar. Untuk memenuhi konsumsi itu, bahan bakar fosil dieksploitasi dan tanah untuk pertanian dirambah, kebun, hutan tanaman industri, hingga bahan tambang.
Perilaku eksploitatif ini meningkatkan produksi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), metana, dan oksida nitrogen di udara. Panas sinar matahari terhalang oleh gas rumah kaca tak bisa lepas ke luar selimut atmosfer dan menaikkan suhu bumi.
Pembangunan yang hanya semata business as usual telah mengakibatkan biaya lingkungan yang cukup mahal. Inisiatif ekonomi hijau yang mulai ada di Indonesia masih dihadang sejumlah tantangan dalam penerapannya. Proses produksi dan produk-produknya belum memiliki ciri-ciri ramah lingkungan dan menjadikan “hijau” sebagai salah satu kriteria utama kemampuan daya saing bisnis.
Salah satu konsepsi ekonomi hijau dapat dilihat dari sistem biodigester yang menghasilkan biogas. Limbah kotoran ternak yang semula tidak memiliki nilai ekonomi bisa bermetamorfosa menjadi energi ramah lingkungan dan mendatangkan penghasilan serta lapangan kerja. Permasalahan lingkungan apabila dikelola dengan pendekatan ekonomi hijau akan meraih manfaat ekonomi dan juga sosial.
Ekonomi hijau menekankan aspek pelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi secara bersamaan. Program ini dapat menjadi desain penyelesaian dan keberlangsungan pembangunan yang berkelanjutan sekaligus menjadi solusi pengurangan dampak perubahan iklim.
Oleh karena itu, setiap kegiatan pembangunan dalam bingkai ekonomi hijau harus memiliki kriteria daya saing yang menempatkan prinsip kelestarian lingkungan dalam setiap keputusan bisnisnya. Daya saing ini tidak hanya sebatas pada ketersediaan sumber daya alam, kapital, dan kemajuan teknologi saja, namun juga modal sumber daya manusia.
Peringatan hari lingkungan hidup amat penting dimaknai ketika sejumlah negara di dunia masih terus dibayangi ancaman krisis finansial global. Krisis ini bertambah berat karena tidak diikuti pembangunan yang berciri ekonomi hijau. Ini mendorong persoalan bertambah serius terkait dengan degradasi sumber daya alam, energi, lingkungan dan pangan.
Di Indonesia tantangan perwujudan ekonomi hijau lebih berat lagi di tengah model pembangunan yang dikembangkan cenderung bersifat ekstraktif terhadap sumber daya alam dan berjangka pendek. Upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari masih jauh dari yang diharapkan.
Pemanfaatan dan eksploitasi sumber daya alam yang mengatasnamakan kesejahteraan hidup rakyat, namun tidak diimbangi oleh upaya konservasi, tampak mulai menampilkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan hidup. Isu pemanasan global dan perubahan iklim hanyalah sebagian dari sekian banyak isu lingkungan yang demikian pelik untuk diperhatikan yang tidak hanya bersifat lokal tetapi global.
Pemanasan global, misalnya, tidak hanya mengancam pembangunan berkelanjutan, tetapi juga menjadi monster yang setiap saat dapat mendatangkan bencana bagi hidup dan kehidupan manusia.
Kerusakan Lingkungan
Pemahaman terhadap perusakan lingkungan hidup sudah dimulai sejak 1960-an. Tahun 1972, PBB menyelenggarakan konferensi tentang lingkungan hidup di Stockholm. Pembicaraan global tentang pembangunan berkelanjutan semakin kuat diperdengarkan setelah Konferensi Stockholm, yang mendorong diadakan KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg dan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim 2007 di Bali.
Sayangnya, setelah KTT, kerusakan lingkungan hidup bukan berkurang, namun bertambah. Dampak negatifnya sudah dapat dirasakan masyarakat, secara khusus masyarakat petani.
Para petani di sejumlah daerah di Indonesia kerap mengalami gagal panen karena musim kemarau lebih lama dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal yang sama dirasakan petani di sejumlah negara lain. Mereka harus menghadapi banjir berkepanjangan selama beberapa bulan sehingga produksi pangan menurun.
Perubahan iklim memang sudah terjadi karena suhu permukaan laut naik secara bermakna. Secara hipotetis, semakin tinggi suhu permukaan laut-yang diakibatkan tingginya kadar CO2 di selubung atmosfer-akan diikuti semakin sering terjadi angin topan.
Konsekuensi tingginya kadar CO2 di atmosfer adalah terbentuknya selimut rumah kaca yang menghalangi pantulan panas matahari, yang seharusnya dipantulkan ke angkasa tertahan karena lapisan CO2 yang kian tebal. Penelitian menunjukkan selama 650.000 tahun kadar CO2 di atmosfer tidak pernah menyentuh level melebihi 300 ppm (part per million).
Namun saat ini sudah mencapai 400 ppm dan akan terus membuih mencapai 1.000 ppm apabila tidak dilakukan mitigasi. Meningkatnya kadar CO2 mendorong suhu udara global kian meningkat.
Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan, suhu rata-rata Bumi selama 100 tahun terakhir naik 0,74 derajat Celsius. Kenaikan itu cukup untuk memicu lebih banyak badai di Atlantik Utara, mencairnya sungai es di muka bumi, perubahan pola cuaca yang memengaruhi curah hujan dan muka air laut rata-rata naik 3,1 cm selama 1993-2003.
Perubahan iklim yang terjadi tidak bisa dimungkiri disebabkan aktivitas manusia. Negara-negara berkembang yang kurang berkontribusi terhadap produksi emisi gas rumah kaca, pada akhirnya justru menjadi pihak yang paling banyak terkena dampak perubahan iklim yang menimbulkan dampak sangat besar terhadap negara-negara berkembang, khususnya masyarakat miskin yang ada di dalamnya.
Sejumlah inisiatif telah diusulkan pemerintah Indonesia dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim 2007 di Nusa Dua, Bali untuk membantu mengatasi perubahan iklim. Salah satunya adalah program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (Reduced Emisions from Deforestation and Degradation /REDD). Deforestasi merupakan penyebab munculnya pemanasan global yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Seiring dengan itu, program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi bisa terlaksana jika dua syarat bisa dipenuhi. Pertama, harus meningkatkan potensi produksi dengan cara yang ramah lingkungan hidup; Kedua , menjamin terciptanya kesempatan yang merata dan adil bagi semua orang. Dalam perkembangannya maka kini dikenal istilah green economy atau ekonomi hijau, khususnya dalam dunia bisnis.
Pilihan Terbaik
Ekonomi hijau (Green Economy) masih belum populer di Indonesia. Sejumlah negara maju yang telah menerapkan ekonomi hijau telah memberikan inovasi terdepan. Bukan hanya dari sisi teknologi, melainkan juga dari sisi efisiensi energi (penghematan) dan kelestarian lingkungan. Ke depan, ekonomi hijau akan menjadi pilihan terbaik bagi Indonesia, dalam rangka pembangunan yang pro-poor dan pro-growth tanpa merusak lingkungan.
Program model ekonomi hijau yang sedang diterapkan di Indonesia dalam bingkai pembangunan berkelanjutan adalah REDD. Program REDD ini diharapkan akan menjadi “jembatan” bagi Indonesia untuk masuk dalam ruang ekonomi hijau yang menjanjikan pembangunan yang lebih rendah karbon.
Dengan program yang diusulkan pemerintah, belakangan ini yang mengajak seluruh rakyat melakukan gaya hidup hemat energi, Indonesia membutuhkan pembangunan ekonomi yang tidak business as usual, namun lebih pada green economy demi kemakmuran dan kesejahteraan tanpa memperbesar risiko kerusakan lingkungan. Pembangunan ekonomi yang berkeadilan sama pentingnya dengan meminimalisasi kerusakan lingkungan.
Perubahan gaya hidup manusia dari yang boros energi ke perilaku hemat energi akan menyelamatkan lingkungan hidup. Perubahan iklim sudah terjadi dan manusia harus mengubah gaya hidupnya bila ingin selamat. Konsumsi energi berlebihan menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan.
Sumber daya alam dieksploitasi untuk memenuhi konsumsi yang diciptakan, bukan konsumsi yang lahir karena kebutuhan dasar. Untuk memenuhi konsumsi itu, bahan bakar fosil dieksploitasi dan tanah untuk pertanian dirambah, kebun, hutan tanaman industri, hingga bahan tambang.
Perilaku eksploitatif ini meningkatkan produksi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), metana, dan oksida nitrogen di udara. Panas sinar matahari terhalang oleh gas rumah kaca tak bisa lepas ke luar selimut atmosfer dan menaikkan suhu bumi.
Pembangunan yang hanya semata business as usual telah mengakibatkan biaya lingkungan yang cukup mahal. Inisiatif ekonomi hijau yang mulai ada di Indonesia masih dihadang sejumlah tantangan dalam penerapannya. Proses produksi dan produk-produknya belum memiliki ciri-ciri ramah lingkungan dan menjadikan “hijau” sebagai salah satu kriteria utama kemampuan daya saing bisnis.
Salah satu konsepsi ekonomi hijau dapat dilihat dari sistem biodigester yang menghasilkan biogas. Limbah kotoran ternak yang semula tidak memiliki nilai ekonomi bisa bermetamorfosa menjadi energi ramah lingkungan dan mendatangkan penghasilan serta lapangan kerja. Permasalahan lingkungan apabila dikelola dengan pendekatan ekonomi hijau akan meraih manfaat ekonomi dan juga sosial.
Ekonomi hijau menekankan aspek pelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi secara bersamaan. Program ini dapat menjadi desain penyelesaian dan keberlangsungan pembangunan yang berkelanjutan sekaligus menjadi solusi pengurangan dampak perubahan iklim.
Oleh karena itu, setiap kegiatan pembangunan dalam bingkai ekonomi hijau harus memiliki kriteria daya saing yang menempatkan prinsip kelestarian lingkungan dalam setiap keputusan bisnisnya. Daya saing ini tidak hanya sebatas pada ketersediaan sumber daya alam, kapital, dan kemajuan teknologi saja, namun juga modal sumber daya manusia.
(nag)