Santet-Hukum Mati Masih Diperdebatkan

Minggu, 03 Juni 2018 - 08:27 WIB
Santet-Hukum Mati Masih...
Santet-Hukum Mati Masih Diperdebatkan
A A A
JAKARTA - DPR mengklaim Revisi Undang- Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang menjadi payung hukum penindakan atas berbagai kejahatan di Indonesia sudah rampung 100%.

Namun, di balik kesiapan Panitia Kerja (Panja) membawa RUU KUHP ke sidang paripurna, terselip beberapa poin krusial yang diprediksi menimbulkan perdebatan.

Pasal kontroversial itu antara lain soal penerapan hukuman mati di Indonesia, tindak kejahatan santet, pasal pencabulan anak di bawah umur, dan perzinahan.

Menurut anggota Panja RUU KUHP Taufiqulhadi, pasal-pasal tersebut masih diperlukan masukan, kajian, dan pandangan mini per fraksi di DPR. Karena itu, seusai Hari Raya Idul Fitri, Panja RUU KUHP akan mendengarkan pernyataan dari masing-masing fraksi.

Apabila sudah ada keputusan dam kesepakatan, RUU KUHP itu akan dibawa ke sidang paripurna untuk disahkan menjadi undangundang. Dia berharap di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2018, RUU KUHP sudah bisa disahkan.

“Tinggal keputusan fraksi, misalnya hukuman mati setuju atau tidak. Sekali pertemuan nanti setelah Hari Raya sudah selesai. Sebelum Agustus, insyaallah kami bisa menyelesaikan hal tersebut, dan menurut saya Juni kami sudah bisa bawa ke paripurna,” ujar Taufiq di Jakarta kemarin.

Dia mengatakan, Panja sudah sepakat bahwa hukuman mati atas tindak pidana di Indonesia masih akan tetap diberlakukan. Tetapi, menurut anggota Komisi III DPR RI itu, Panja akan tetap meminta pendapat dari fraksifraksi di DPR dalam rapat pandangan mini nanti.

“Seperti hukuman mati itu tetap diberlakukan dalam konteks kami di Panja, tetapi kami harus tanyakan ke fraksi juga setuju atau tidak. Itu harus ada keputusan sejumlah pasal itu,” ucapnya.

Taufiq menjelaskan, pembahasan RUU KUHP sebetulnya sudah dibahas sejak lama. Namun, pembahasan ini belum rampung di DPR periode sebelumnya.

Maka, pembahasan undang-undang di periode baru harus dimulai dari awal lagi. Di periode ini, dia mengklaim sudah menyelesaikan RUU KUHP 100% dengan ratusan pasal di dalamnya. Karena itu, dia merasa percaya diri kelak payung hukum itu akan segera disahkan menjadi undangundang.

“Pengesahan RUU KUHP akan menjadi kado spesial Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2018 nanti dari DPR,” ungkapnya. Taufiq menilai sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengirim surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait penolakan RUU KUHP tidak etis.

“Sikap KPK tersebut menurut saya tidak etis sama sekali. Kalau dia adalah anggota lembaga, dia bukan pembuat undang-undang, tapi dia pelaksana undang-undang,” gugatnya. Menurut politikus NasDem ini, sikap lembaga antirasuah yang mengirim surat itu merupakan bentuk tekanan ke Kepala Negara.

Dia menegaskan, hal itu tidak seharusnya dilakukan oleh lembaga sekelas KPK. “Kalau mereka tidak setuju, ya keluar dari KPK, bukan memengaruhi Presiden,” tuturnya. Presiden, kata dia, merupakan pihak eksekutif yang menjadi sinergi utama dari legislatif dalam membuat suatu undang-undang.

Karena itu, Taufiq menyebut apabila dalam perjalanannya Presiden terpengaruh dengan dalil KPK, hal itu merusak ritme kerja dari Panja RUU KUHP. “Kalau misalnya dalam perjalanan tiba-tiba ada perubahan sikap dari Presiden, itu akan merusak ritme pekerjaan Panja,” keluhnya.

Sebaliknya, pengamat hukum Umar Husin menyebut sikap penolakan KPK dianggap sah dalam negara demokrasi. Namun, dia mengingatkan bahwa penolakan lembaga antirasuah tidak boleh berbelok ke bentuk ancaman.

“Apalagi menyandera Presiden, seakan-akan begini kalau tidak begini. Presiden itu pemimpin dipilih oleh rakyat, KPK itu instrumennya Presiden, polisi, jaksa, instrumennya eksekutif, jadi jangan mengancamancam,” tolak Umar.

Di sisi lain, dia meyakini bahwa tidak ada upaya pelemahan KPK dari DPR. “Saya jamin tidak akan ada pelemahan, tapi kalau Presiden menuruti, kalau Anda bayangkan, semua institusi mengancam pimpinan mau apa hilang wibawa negeri ini,” katanya.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif sebelumnya berpandangan, apabila pemerintah dan DPR tetap ngotot memasukkan tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP, maka tindakan itu bakal berakibat pada pelemahan dalam pemberantasan korupsi.Sebab, nantinya KPK akan dibatasi dalam hal memberangus praktik korupsi di Tanah Air. “Sementara dalam RUU KUHP tidak ada penegasan soal kewenangan lembaga KPK,” ujarnya. (Okezone)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7172 seconds (0.1#10.140)