Menjaga Efek Artidjo
A
A
A
Rio Christiawan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
HAKIM Agung Artidjo Alkostar memasuki masa pensiun pada Selasa, 22 Mei 2018. Masa pensiun tersebut mengacu pada Pasal 11 huruf b Undang-Undang Mahkamah Agung (UU MA) yang menyatakan bahwa ketua, wakil ketua, ketua muda MA diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul MA karena telah berusia 70 tahun. Hakim Agung Artidjo Alkostar bukan saja berhenti dengan hormat, tetapi berhenti dengan terhormat.
Pemahaman berhenti dengan hormat tentu berbeda dengan berhenti dengan terhormat. Hakim Agung Artidjo pantas disebut berhenti dengan terhormat karena selama masa tugasnya lebih dari 18 tahun di MA dia selalu menjaga integritas dan kehormatan seorang hakim meskipun lembaga MA termasuk lembaga yang penuh “godaan”. MA juga termasuk paling sering menjadi target operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK). Namun Artidjo mampu menjaga kehormatannya hingga masa pensiun dengan tetap menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Tentu pensiunnya Artidjo di satu sisi dapat dilihat sebagai momentum yang buruk karena dalam peradilan di Indonesia nyaris tidak ada lagi hakim agung yang benar-benar menjaga roh Dewi Themis sebagai dewi keadilan yang menjaga bangsa dari ketidakadilan tanpa pandang bulu. Bisa juga dilihat sebaliknya, pensiunnya hakim agung Artidjo ini dipandang meninggalkan legasi yang positif bagi penegakan hukum di Indonesia untuk kemudian dilanjutkan oleh penerusnya.
Efek Artidjo
Ketika Hakim Agung Artidjo diangkat menjadi ketua muda MA bidang pidana, legasi positif yang sesungguhnya ditinggalkan adalah efek jera. Setelah Artidjo memperberat sekaligus memiskinkan sederet koruptor antara lain Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Akil Mochtar, dia terus konsisten ketika mengadili perkara peninjauan kembali mantan Gubernur DKI Jakarta. Efek jera yang ditinggalkan Artidjo ini merupakan manifestasi dari law as a toll of social engineering. Artinya putusan-putusan hakim Artidjo membuat orang benar-benar jera melakukan perbuatan pidana, khususnya korupsi.
Selama ini dalam paradigma hukum pidana, efek jera terjadi ketika pelaku tindak pidana mendapatkan hukumannya, tetapi efek Artidjo terjadi justru kepada pihak lain sehingga pihak lain tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Sesungguhnya ini adalah fenomena yang positif setelah sebelumnya paradigma masyarakat selalu menganggap bahwa dalam putusan kasasi akan terjadi pengurangan hukuman, ditambah lagi rasa pesimisme masyarakat terhadap integritas lembaga MA sebagaimana sering disaksikan masyarakat secara visual terkait OTT KPK pada oknum MA.
Ketegasan Artidjo tampak dengan banyaknya terpidana, khususnya terpidana korupsi, yang menarik kembali berkas upaya hukum kasasi ketika mengetahui bahwa hakim agung yang akan mengadilinya adalah Artidjo. Dalam dunia peradilan memang hakim adalah wakil Tuhan, tetapi adagium itu sudah lama terlupakan dengan banyaknya oknum hakim yang terjerumus dalam hedonisme dengan menggadaikan integritasnya. Tapi berhadapan dengan Artidjo para terpidana atau (calon) terpidana sama takutnya dengan berhadapan dengan Tuhan sehingga sesungguhnya adagium bahwa hakim adalah wakil Tuhan itu masih benar adanya.
Secara kelembagaan MA penting menjaga efek Artidjo sehingga sedikit demi sedikit dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap dunia peradilan, khususnya terhadap MA sebagai benteng peradilan terakhir bagi para pencari keadilan. Sebaliknya, jika efek Artidjo ini tidak dijaga, pensiunnya hakim agung Artidjo akan menjadi momentum bagi para terpidana khususnya terpidana tindak pidana korupsi untuk mengajukan upaya kasasi maupun peninjauan kembali dan menjadikan momentum tersebut untuk lolos maupun meringankan hukuman dengan cara-cara yang koruptif. Dan, ini akan membuat masyarakat kembali apatis kepada MA.
Selain itu secara kelembagaan MA harus terus menjaga efek Artidjo dengan terus melakukan evaluasi untuk perbaikan internal. Efek Artidjo ini tidak dapat dijaga hanya oleh lembaga MA saja, tetapi memerlukan lembaga lain dari proses perekrutan hakim agung hingga pengawasan hakim. Guna mencari hakim agung penerus Artidjo yang sepaham dan mampu meneruskan efek Artidjo, Komisi Yudisial harus melakukan seleksi dengan kehati-hatian sehingga calon yang diajukan kepada DPR RI kesemuanya memiliki integritas yang baik. Namun tak kalah penting, KPK harus mengawal proses perekrutan hakim agung pengganti Artidjo sehingga tidak terjadi upaya lobi-lobi.
Menjaga efek Artidjo ini penting karena MA akan banyak menghadapi kasus-kasus besar dan akan bermuara pada upaya hukum kasasi ataupun peninjauan kembali di MA. Jika efek Artidjo ini pudar oleh hedonisme, sesungguhnya situasi ini sangat berbahaya bagi peradilan karena baik pelaku kejahatan maupun masyarakat akan kembali pada paradigma lama, yaitu upaya hukum kasasi dan atau peninjauan kembali akan dapat meloloskan dari hukuman atau hukuman pasti lebih ringan jika melakukan upaya hukum kasasi. Paradigma semacam ini yang akan kembali membuat masyarakat apatis terhadap rasa keadilan.
Tujuan Pencegahan
Publik sering memersepsikan efek Artidjo sebagai efek penindakan, tetapi dalam konteks penegakan hukum sesungguhnya efek Artidjo adalah pencegahan yang sesungguhnya memiliki dampak yang lebih luas daripada sekadar penindakan. Sebab kejahatan tidak akan terjadi jika upaya preventif berjalan dengan optimal. Penegakan hukum yang optimal akan membuat masyarakat jera dan enggan melakukan tindak pidana. Sesungguhnya selain memberi kepastian hukum pada putusan yang tegas dan tidak mengenal kompromi, efek jera pada upaya preventif ini akan menghasilkan kemanfaatan.
Putusan yang tegas dan tidak pandang bulu dalam perspektif pencegahan akan meminimalisasi niat pelaku kejahatan karena telah menyaksikan visualisasi atas hukuman yang tegas dan memiskinkan untuk pelaku tindak pidana korupsi. Putusan yang baik akan mencegah terulangnya kejahatan sehingga dengan pencegahan yang berhasil sesungguhnya kejahatan tersebut telah lenyap.
Gustav Radbruch mendefinisikan putusan yang baik harus memenuhi kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Putusan yang baik itu akan mencegah terulangnya kejahatan dan akan membuat masyarakat kembali pada tatanan hidup yang baik. Dengan demikian dapat dipahami mengapa hakim (yang baik) dipersepsikan sebagai wakil Tuhan karena hakim (yang baik) akan melindungi seluruh rakyat dari kejahatan sehingga terwujud tatanan hidup yang baik dan keadilan tecermin bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Efek pencegahan akan muncul dari putusan yang baik, putusan yang baik akan muncul dari hakim (yang baik) sehingga hukum benar-benar mampu berfungsi untuk melindungi seluruh masyarakat.
HAKIM Agung Artidjo Alkostar memasuki masa pensiun pada Selasa, 22 Mei 2018. Masa pensiun tersebut mengacu pada Pasal 11 huruf b Undang-Undang Mahkamah Agung (UU MA) yang menyatakan bahwa ketua, wakil ketua, ketua muda MA diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul MA karena telah berusia 70 tahun. Hakim Agung Artidjo Alkostar bukan saja berhenti dengan hormat, tetapi berhenti dengan terhormat.
Pemahaman berhenti dengan hormat tentu berbeda dengan berhenti dengan terhormat. Hakim Agung Artidjo pantas disebut berhenti dengan terhormat karena selama masa tugasnya lebih dari 18 tahun di MA dia selalu menjaga integritas dan kehormatan seorang hakim meskipun lembaga MA termasuk lembaga yang penuh “godaan”. MA juga termasuk paling sering menjadi target operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK). Namun Artidjo mampu menjaga kehormatannya hingga masa pensiun dengan tetap menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Tentu pensiunnya Artidjo di satu sisi dapat dilihat sebagai momentum yang buruk karena dalam peradilan di Indonesia nyaris tidak ada lagi hakim agung yang benar-benar menjaga roh Dewi Themis sebagai dewi keadilan yang menjaga bangsa dari ketidakadilan tanpa pandang bulu. Bisa juga dilihat sebaliknya, pensiunnya hakim agung Artidjo ini dipandang meninggalkan legasi yang positif bagi penegakan hukum di Indonesia untuk kemudian dilanjutkan oleh penerusnya.
Efek Artidjo
Ketika Hakim Agung Artidjo diangkat menjadi ketua muda MA bidang pidana, legasi positif yang sesungguhnya ditinggalkan adalah efek jera. Setelah Artidjo memperberat sekaligus memiskinkan sederet koruptor antara lain Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Akil Mochtar, dia terus konsisten ketika mengadili perkara peninjauan kembali mantan Gubernur DKI Jakarta. Efek jera yang ditinggalkan Artidjo ini merupakan manifestasi dari law as a toll of social engineering. Artinya putusan-putusan hakim Artidjo membuat orang benar-benar jera melakukan perbuatan pidana, khususnya korupsi.
Selama ini dalam paradigma hukum pidana, efek jera terjadi ketika pelaku tindak pidana mendapatkan hukumannya, tetapi efek Artidjo terjadi justru kepada pihak lain sehingga pihak lain tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Sesungguhnya ini adalah fenomena yang positif setelah sebelumnya paradigma masyarakat selalu menganggap bahwa dalam putusan kasasi akan terjadi pengurangan hukuman, ditambah lagi rasa pesimisme masyarakat terhadap integritas lembaga MA sebagaimana sering disaksikan masyarakat secara visual terkait OTT KPK pada oknum MA.
Ketegasan Artidjo tampak dengan banyaknya terpidana, khususnya terpidana korupsi, yang menarik kembali berkas upaya hukum kasasi ketika mengetahui bahwa hakim agung yang akan mengadilinya adalah Artidjo. Dalam dunia peradilan memang hakim adalah wakil Tuhan, tetapi adagium itu sudah lama terlupakan dengan banyaknya oknum hakim yang terjerumus dalam hedonisme dengan menggadaikan integritasnya. Tapi berhadapan dengan Artidjo para terpidana atau (calon) terpidana sama takutnya dengan berhadapan dengan Tuhan sehingga sesungguhnya adagium bahwa hakim adalah wakil Tuhan itu masih benar adanya.
Secara kelembagaan MA penting menjaga efek Artidjo sehingga sedikit demi sedikit dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap dunia peradilan, khususnya terhadap MA sebagai benteng peradilan terakhir bagi para pencari keadilan. Sebaliknya, jika efek Artidjo ini tidak dijaga, pensiunnya hakim agung Artidjo akan menjadi momentum bagi para terpidana khususnya terpidana tindak pidana korupsi untuk mengajukan upaya kasasi maupun peninjauan kembali dan menjadikan momentum tersebut untuk lolos maupun meringankan hukuman dengan cara-cara yang koruptif. Dan, ini akan membuat masyarakat kembali apatis kepada MA.
Selain itu secara kelembagaan MA harus terus menjaga efek Artidjo dengan terus melakukan evaluasi untuk perbaikan internal. Efek Artidjo ini tidak dapat dijaga hanya oleh lembaga MA saja, tetapi memerlukan lembaga lain dari proses perekrutan hakim agung hingga pengawasan hakim. Guna mencari hakim agung penerus Artidjo yang sepaham dan mampu meneruskan efek Artidjo, Komisi Yudisial harus melakukan seleksi dengan kehati-hatian sehingga calon yang diajukan kepada DPR RI kesemuanya memiliki integritas yang baik. Namun tak kalah penting, KPK harus mengawal proses perekrutan hakim agung pengganti Artidjo sehingga tidak terjadi upaya lobi-lobi.
Menjaga efek Artidjo ini penting karena MA akan banyak menghadapi kasus-kasus besar dan akan bermuara pada upaya hukum kasasi ataupun peninjauan kembali di MA. Jika efek Artidjo ini pudar oleh hedonisme, sesungguhnya situasi ini sangat berbahaya bagi peradilan karena baik pelaku kejahatan maupun masyarakat akan kembali pada paradigma lama, yaitu upaya hukum kasasi dan atau peninjauan kembali akan dapat meloloskan dari hukuman atau hukuman pasti lebih ringan jika melakukan upaya hukum kasasi. Paradigma semacam ini yang akan kembali membuat masyarakat apatis terhadap rasa keadilan.
Tujuan Pencegahan
Publik sering memersepsikan efek Artidjo sebagai efek penindakan, tetapi dalam konteks penegakan hukum sesungguhnya efek Artidjo adalah pencegahan yang sesungguhnya memiliki dampak yang lebih luas daripada sekadar penindakan. Sebab kejahatan tidak akan terjadi jika upaya preventif berjalan dengan optimal. Penegakan hukum yang optimal akan membuat masyarakat jera dan enggan melakukan tindak pidana. Sesungguhnya selain memberi kepastian hukum pada putusan yang tegas dan tidak mengenal kompromi, efek jera pada upaya preventif ini akan menghasilkan kemanfaatan.
Putusan yang tegas dan tidak pandang bulu dalam perspektif pencegahan akan meminimalisasi niat pelaku kejahatan karena telah menyaksikan visualisasi atas hukuman yang tegas dan memiskinkan untuk pelaku tindak pidana korupsi. Putusan yang baik akan mencegah terulangnya kejahatan sehingga dengan pencegahan yang berhasil sesungguhnya kejahatan tersebut telah lenyap.
Gustav Radbruch mendefinisikan putusan yang baik harus memenuhi kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Putusan yang baik itu akan mencegah terulangnya kejahatan dan akan membuat masyarakat kembali pada tatanan hidup yang baik. Dengan demikian dapat dipahami mengapa hakim (yang baik) dipersepsikan sebagai wakil Tuhan karena hakim (yang baik) akan melindungi seluruh rakyat dari kejahatan sehingga terwujud tatanan hidup yang baik dan keadilan tecermin bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Efek pencegahan akan muncul dari putusan yang baik, putusan yang baik akan muncul dari hakim (yang baik) sehingga hukum benar-benar mampu berfungsi untuk melindungi seluruh masyarakat.
(kri)