Menjaga Efek Artidjo

Sabtu, 26 Mei 2018 - 07:11 WIB
Menjaga Efek Artidjo
Menjaga Efek Artidjo
A A A
Rio Christiawan Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

HAKIM Agung Arti­djo Alkostar me­ma­suki masa pen­siun pada Selasa, 22 Mei 2018. Masa pensiun ter­sebut mengacu pada Pasal 11 huruf b Undang-Undang Mah­ka­mah Agung (UU MA) yang me­nyatakan bahwa ketua, wa­kil ketua, ketua muda MA di­ber­hentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul MA karena telah ber­usia 70 tahun. Hakim Agung Artidjo Alkostar bukan saja ber­henti dengan hormat, te­tapi berhenti dengan ter­hor­mat.

Pemahaman berhenti de­ngan hormat tentu berbeda de­ngan berhenti dengan ter­hor­mat. Hakim Agung Artidjo pan­tas disebut berhenti de­ngan terhormat karena selama ma­sa tugasnya lebih dari 18 ta­hun di MA dia selalu menjaga integritas dan kehormatan se­orang hakim meskipun lem­ba­ga MA termasuk lembaga yang penuh “godaan”. MA juga ter­ma­suk paling sering menjadi tar­get operasi tangkap tangan Ko­misi Pemberantasan Ko­rup­si (OTT KPK). Namun Arti­djo mampu menjaga kehor­mat­­annya hingga masa pen­siun dengan tetap me­negak­kan hukum tanpa pandang bulu.

Tentu pensiunnya Artidjo di satu sisi dapat dilihat sebagai mo­men­tum yang buruk karena dalam pera­dil­an di Indonesia nyaris tidak ada lagi hakim agung yang be­nar-benar men­ja­ga roh Dewi The­mis sebagai dewi keadilan yang menjaga bangsa dari ke­ti­dakadilan tan­pa pandang bulu. Bisa juga di­li­hat sebaliknya, pen­siunnya ha­kim agung Arti­djo ini di­pan­dang mening­gal­kan legasi yang positif bagi pe­negakan hukum di Indonesia untuk kemudian dilanjutkan oleh penerusnya.

Efek Artidjo

Ketika Hakim Agung Arti­djo diangkat menjadi ketua mu­da MA bidang pidana, legasi po­sitif yang sesungguhnya di­tinggalkan adalah efek jera. Se­telah Artidjo memperberat se­ka­li­gus memiskinkan sederet ko­ruptor antara lain Anas Urba­ningrum, Angelina Son­dakh, Akil Mochtar, dia terus kon­sisten ketika mengadili per­kara peninjauan kembali man­tan Gubernur DKI Ja­karta. Efek jera yang diting­gal­kan Artidjo ini merupakan ma­ni­festasi dari law as a toll of social engineering. Artinya putusan-pu­tusan hakim Artidjo mem­buat orang benar-benar jera melakukan perbuatan pidana, khususnya korupsi.

Selama ini dalam para­dig­ma hukum pidana, efek jera ter­jadi ketika pelaku tindak pi­da­na mendapatkan hukuman­nya, tetapi efek Artidjo terjadi jus­tru kepada pihak lain se­hing­ga pihak lain tidak mela­ku­kan perbuatan yang melanggar hukum. Sesungguhnya ini ada­lah fenomena yang positif sete­lah sebelumnya paradigma ma­sya­rakat ­selalu menganggap bah­wa dalam putusan kasasi akan terjadi pengurangan hu­kuman, ditambah lagi rasa pe­si­misme masyarakat terhadap integritas lembaga MA seba­gai­mana sering disaksikan ma­syarakat secara visual terkait OTT KPK pada oknum MA.

Ketegasan Artidjo tampak dengan banyaknya terpidana, khususnya terpidana korupsi, yang menarik kembali berkas upaya hukum kasasi ketika me­ngetahui bahwa hakim agung yang akan mengadilinya ada­lah Artidjo. Dalam dunia pera­dil­an memang hakim adalah wa­kil Tuhan, tetapi adagium itu sudah lama terlupakan de­ngan banyaknya oknum hakim yang terjerumus dalam hedo­nis­me dengan menggadaikan integritasnya. Tapi berha­dap­an dengan Artidjo para ter­pi­da­na atau (calon) terpidana sama takutnya dengan berhadapan dengan Tuhan sehingga se­sung­guhnya adagium bahwa hakim adalah wakil Tuhan itu masih benar adanya.

Secara kelembagaan MA penting menjaga efek Artidjo sehingga sedikit demi sedikit dapat mengembalikan keper­ca­ya­an publik terhadap dunia peradilan, khususnya terhadap MA sebagai benteng peradilan ter­akhir bagi pa­ra pencari ke­adil­­an. Sebalik­nya, jika efek Ar­ti­djo ini tidak di­ja­ga, pen­siun­nya ha­kim agung Arti­djo akan menjadi mo­­men­tum bagi para terpidana khu­­­sus­nya ter­pi­dana tin­dak pi­dana ko­rup­si un­tuk meng­aju­kan upaya ka­sa­si mau­­pun pe­nin­jau­an kembali dan menjadikan mo­men­tum ter­sebut untuk lolos mau­pun me­ringan­kan hukuman de­ngan cara-cara yang ko­rup­tif. Dan, ini akan membuat masya­ra­kat kem­­bali apatis kepada MA.

Selain itu secara kelem­ba­ga­an MA harus terus menjaga efek Artidjo dengan terus me­la­kukan evaluasi untuk per­baik­an internal. Efek Artidjo ini tidak dapat dijaga hanya oleh lembaga MA saja, tetapi memerlukan lembaga lain dari proses perek­rutan hakim agung hingga peng­awasan ha­kim. Guna men­cari hakim agung penerus Arti­djo yang se­paham dan mampu mene­rus­kan efek Artidjo, Ko­mi­si Yu­di­sial harus mela­ku­kan seleksi de­ngan kehati-hatian sehing­ga calon yang diajukan kepada DPR RI kesemuanya memiliki integritas yang baik. Namun tak kalah penting, KPK harus mengawal proses pe­rekrut­an hakim agung peng­gan­ti Arti­djo sehingga tidak ter­ja­di upa­ya lobi-lobi.

Menjaga efek Artidjo ini penting karena MA akan ba­nyak menghadapi kasus-kasus besar dan akan bermuara pada upaya hukum kasasi ataupun pe­ninjauan kembali di MA. Jika efek Artidjo ini pudar oleh hedonisme, sesungguhnya si­tuasi ini sangat berbahaya bagi peradilan karena baik pelaku kejahatan maupun masya­ra­kat akan kembali pada para­dig­ma lama, yaitu upaya hukum kasasi dan atau peninjauan kembali akan dapat melo­los­kan dari hukuman atau hu­kum­an pasti lebih ringan jika melakukan upaya hukum ka­sasi. Paradigma semacam ini yang akan kembali membuat masyarakat apatis terhadap rasa keadilan.

Tujuan Pencegahan

Publik sering memersep­si­kan efek Artidjo sebagai efek pe­nindakan, tetapi dalam kon­teks penegakan hukum se­sung­guhnya efek Artidjo ada­lah pencegahan yang sesung­guh­nya memiliki dampak yang lebih luas daripada sekadar pe­nindakan. Sebab kejahatan ti­dak akan terjadi jika upaya pre­ventif berjalan dengan op­ti­mal. Penegakan hukum yang opti­mal akan membuat ma­sya­rakat jera dan enggan me­la­ku­kan tindak pidana. Sesung­guh­nya selain memberi kepastian hu­kum pada putusan yang te­gas dan tidak mengenal kom­promi, efek jera pada upaya preventif ini akan meng­hasil­kan kemanfaatan.

Putusan yang tegas dan ti­dak pandang bulu dalam per­spektif pencegahan akan me­mi­nimalisasi niat pelaku keja­hat­an karena telah menyak­si­kan visualisasi atas hukuman yang tegas dan memiskinkan untuk pelaku tindak pidana ko­rupsi. Putusan yang baik akan mencegah terulangnya keja­hat­an sehingga dengan pen­ce­gahan yang berhasil sesung­guh­nya kejahatan tersebut telah lenyap.

Gustav Radbruch mendefi­ni­sikan putusan yang baik ha­rus memenuhi kepastian hu­kum, kemanfaatan, dan ke­adil­an. Putusan yang baik itu akan mencegah terulangnya keja­hat­an dan akan membuat ma­syarakat kembali pada tatanan hidup yang baik. Dengan de­mi­kian dapat dipahami mengapa hakim (yang baik) dipersep­si­kan sebagai wakil Tuhan ka­re­na hakim (yang baik) akan me­lin­dungi seluruh rakyat dari kejahatan sehingga terwujud tatanan hidup yang baik dan keadilan tecermin bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali. Efek pencegahan akan muncul dari putusan yang baik, putusan yang baik akan muncul dari hakim (yang baik) sehingga hu­kum benar-benar mampu ber­fungsi untuk melindungi se­lu­ruh masyarakat.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1690 seconds (0.1#10.140)