Media di Antara Perang Virtual dan Reproduksi Kekerasan
A
A
A
Fajar Kurniawan Jurnalis Utama, Ketua IJTI Jakarta Raya Periode 2013-2017
LEDAKAN bom yang mengguncang tiga gereja dan Polrestabes Surabaya serta penyerangan Polda Riau sontak membuat geger dunia maya. Kecepatan informasi yang tak terbendung juga membuat reaksi yang beragam dalam dunia nyata. Media merupakan refleksi dari fakta sosial yang berisi mengenai wacana masyarakat (public discourse). Dialektika antara dunia maya dan dunia nyata terus berlangsung dan mencapai sumbunya pada era digital. Castells (2000) menyebutnya sebagai “key feature of social morphology”. Teknologi internet memungkinkan pengoperasian lokal sesuai dengan kehendak pribadi atau kelompok sehingga mampu meningkatkan efektivitas jaringan terhadap struktur hierarkis korporasi media. Konsekuensinya adalah terdapat ragam wacana berita soal terorisme, bahkan simpang siur.
Spontanitas Informasi vs Logika Struktur Media
Jaringan informasi (network) memungkinkan pola komunikasi yang berjalan secara egaliter. Komunikasi seperti ini memberikan sebuah pola komunikasi yang menyebar ke berbagai arah melampaui sekat-sekat struktur yang ada pada lapisan sosial masyarakat. Spontanitas dan banalitas di lapangan sering kali tanpa kontrol dan sensor media.
Apa yang tersajikan, baik berupa foto dan video terduga teroris yang ditembak aparat, hingga kucuran darah korban keluar-masuk dalam jejaring media sosial pertemanan. Di sinilah justru reproduksi kekerasan yang nyata tanpa saringan terjadi. Tentu saja hal ini berbeda dengan peliputan media berita mainstream seperti I-News, tvOne, Metro TV, Kompas TV, dan media daring yang menayangkan berita mengenai teroris yang relatif proporsional dan elegan.
Beberapa kali siaran langsung dan liputan media mainstream menyensor hal yang tak pantas untuk dilihat tanpa mengurangi sebuah esensi berita. Upaya sensor dan pengambilan setting lokasi ini adalah upaya untuk meminimalisasi reproduksi kekerasan di dunia maya yang kian jauh dari etika dan moral.
Perang Melawan Hoax dan Terorisme
Beredarnya informasi dan beberapa video teroris justru dikomentari secara liar dan banal tanpa ada ujungnya. Berdasarkan fakta tersebut, kehadiran media televisi berita resmi seperti I-News, tvOne, MetroTV, Kompas TV, maupun media daring, sekali lagi masih dibutuhkan dan menjadi penting untuk meluruskan berita dan informasi agar tidak terlalu melebar dan menggelinding ke mana-mana tanpa arah yang jelas. Pemberitaan dan peliputan mengenai aksi terorisme tidak selalu menjadi hal yang buruk selama berpatokan pada platform yang jelas. Hal ini diperlukan bahwa aksi teror itu adalah nyata dan bukan sekadar pemberitaan yang dilebih-lebihkan (hyperrealistis) (Selu Margaretha, 2006).
Hoax dan pemberitaan teroris yang simpang siur, menurut Peter L Berger (2000), bisa membuat konstruksi sosial atas realitas yang ada. Dengan kata lain, informasi yang tidak jelas yang direproduksi dan disebarluaskan oleh masyarakat menciptakan realitas sosial subjektif yang belum tentu sesuai dengan realitas yang sebenarnya.
Melihat berbagai kejadian teror yang ada di Indonesia, sulit untuk menolak bahwa sudah semakin melekat (embededness) antara masyarakat dan media. Meskipun berkali-kali mendapatkan informasi dari grup pertemanan WhatsApp, beberapa kali juga muncul link dari berbagai informasi media yang bisa ditebak bukanlah produk jurnalistik. Simbiosis antara teroris dan media mungkin masih bisa diterima dalam kadar tertentu, karena jaringan teroris pasti akan puas melihat penderitaan orang lain atas aksi mereka. Namun media juga memiliki cara kerja sendiri yang tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh kelompok teroris. Dengan pemberitaan yang ada, masyarakat akan cepat mengerti titik-titik mana yang berbahaya dan dianggap rawan sehingga menjadikan masyarakat lebih waspada.
Trajektori Media Di Masa Depan
Media televisi seperti I-News, tvOne, MetroTV, Kompas TV tentu memiliki trajektori (arah yang sistematis) dan analisis berita digital yang tepat di masa depan. Pemberitaan mengenai terorisme akan selalu mewarnai pemberitaan di media digital di masa yang akan datang setiap terjadi kasus teror. Meskipun terdapat beberapa kalangan yang ingin menghentikan pemberitaan mengenai aksi teroris, hal itu tentu tidak efektif karena selama ada ketidakadilan dan belum terwujudnya kesejahteraan masyarakat teroris akan selalu ada dalam berbagai wujud dan bentuk.
Media seharusnya mampu memberikan informasi sehingga mampu memberikan gambaran dan realitas sosial objektif. Pada saat berita hoaks dengan cepat menyebar di lini masa sosial media, media seharusnya mampu dijadikan rujukan untuk memvalidasi data dan informasi yang ada. Akhirnya waktu jugalah yang akan menguji sejauh mana masyarakat akan percaya pada media. Selama masyarakat masih mengakses, maka berarti sejauh itu juga masyarakat masih percaya pada media. Semakin beragam lintas diferensiasi dan stratifikasi sosial masyarakat yang mengakses media maka semakin terpercaya dan semakin berkualitas media tersebut. Ke depan, masyarakat akan semakin rasional dalam melihat fakta objektif atas belantara informasi yang ada.
LEDAKAN bom yang mengguncang tiga gereja dan Polrestabes Surabaya serta penyerangan Polda Riau sontak membuat geger dunia maya. Kecepatan informasi yang tak terbendung juga membuat reaksi yang beragam dalam dunia nyata. Media merupakan refleksi dari fakta sosial yang berisi mengenai wacana masyarakat (public discourse). Dialektika antara dunia maya dan dunia nyata terus berlangsung dan mencapai sumbunya pada era digital. Castells (2000) menyebutnya sebagai “key feature of social morphology”. Teknologi internet memungkinkan pengoperasian lokal sesuai dengan kehendak pribadi atau kelompok sehingga mampu meningkatkan efektivitas jaringan terhadap struktur hierarkis korporasi media. Konsekuensinya adalah terdapat ragam wacana berita soal terorisme, bahkan simpang siur.
Spontanitas Informasi vs Logika Struktur Media
Jaringan informasi (network) memungkinkan pola komunikasi yang berjalan secara egaliter. Komunikasi seperti ini memberikan sebuah pola komunikasi yang menyebar ke berbagai arah melampaui sekat-sekat struktur yang ada pada lapisan sosial masyarakat. Spontanitas dan banalitas di lapangan sering kali tanpa kontrol dan sensor media.
Apa yang tersajikan, baik berupa foto dan video terduga teroris yang ditembak aparat, hingga kucuran darah korban keluar-masuk dalam jejaring media sosial pertemanan. Di sinilah justru reproduksi kekerasan yang nyata tanpa saringan terjadi. Tentu saja hal ini berbeda dengan peliputan media berita mainstream seperti I-News, tvOne, Metro TV, Kompas TV, dan media daring yang menayangkan berita mengenai teroris yang relatif proporsional dan elegan.
Beberapa kali siaran langsung dan liputan media mainstream menyensor hal yang tak pantas untuk dilihat tanpa mengurangi sebuah esensi berita. Upaya sensor dan pengambilan setting lokasi ini adalah upaya untuk meminimalisasi reproduksi kekerasan di dunia maya yang kian jauh dari etika dan moral.
Perang Melawan Hoax dan Terorisme
Beredarnya informasi dan beberapa video teroris justru dikomentari secara liar dan banal tanpa ada ujungnya. Berdasarkan fakta tersebut, kehadiran media televisi berita resmi seperti I-News, tvOne, MetroTV, Kompas TV, maupun media daring, sekali lagi masih dibutuhkan dan menjadi penting untuk meluruskan berita dan informasi agar tidak terlalu melebar dan menggelinding ke mana-mana tanpa arah yang jelas. Pemberitaan dan peliputan mengenai aksi terorisme tidak selalu menjadi hal yang buruk selama berpatokan pada platform yang jelas. Hal ini diperlukan bahwa aksi teror itu adalah nyata dan bukan sekadar pemberitaan yang dilebih-lebihkan (hyperrealistis) (Selu Margaretha, 2006).
Hoax dan pemberitaan teroris yang simpang siur, menurut Peter L Berger (2000), bisa membuat konstruksi sosial atas realitas yang ada. Dengan kata lain, informasi yang tidak jelas yang direproduksi dan disebarluaskan oleh masyarakat menciptakan realitas sosial subjektif yang belum tentu sesuai dengan realitas yang sebenarnya.
Melihat berbagai kejadian teror yang ada di Indonesia, sulit untuk menolak bahwa sudah semakin melekat (embededness) antara masyarakat dan media. Meskipun berkali-kali mendapatkan informasi dari grup pertemanan WhatsApp, beberapa kali juga muncul link dari berbagai informasi media yang bisa ditebak bukanlah produk jurnalistik. Simbiosis antara teroris dan media mungkin masih bisa diterima dalam kadar tertentu, karena jaringan teroris pasti akan puas melihat penderitaan orang lain atas aksi mereka. Namun media juga memiliki cara kerja sendiri yang tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh kelompok teroris. Dengan pemberitaan yang ada, masyarakat akan cepat mengerti titik-titik mana yang berbahaya dan dianggap rawan sehingga menjadikan masyarakat lebih waspada.
Trajektori Media Di Masa Depan
Media televisi seperti I-News, tvOne, MetroTV, Kompas TV tentu memiliki trajektori (arah yang sistematis) dan analisis berita digital yang tepat di masa depan. Pemberitaan mengenai terorisme akan selalu mewarnai pemberitaan di media digital di masa yang akan datang setiap terjadi kasus teror. Meskipun terdapat beberapa kalangan yang ingin menghentikan pemberitaan mengenai aksi teroris, hal itu tentu tidak efektif karena selama ada ketidakadilan dan belum terwujudnya kesejahteraan masyarakat teroris akan selalu ada dalam berbagai wujud dan bentuk.
Media seharusnya mampu memberikan informasi sehingga mampu memberikan gambaran dan realitas sosial objektif. Pada saat berita hoaks dengan cepat menyebar di lini masa sosial media, media seharusnya mampu dijadikan rujukan untuk memvalidasi data dan informasi yang ada. Akhirnya waktu jugalah yang akan menguji sejauh mana masyarakat akan percaya pada media. Selama masyarakat masih mengakses, maka berarti sejauh itu juga masyarakat masih percaya pada media. Semakin beragam lintas diferensiasi dan stratifikasi sosial masyarakat yang mengakses media maka semakin terpercaya dan semakin berkualitas media tersebut. Ke depan, masyarakat akan semakin rasional dalam melihat fakta objektif atas belantara informasi yang ada.
(mhd)