Media di Antara Perang Virtual dan Reproduksi Kekerasan

Selasa, 22 Mei 2018 - 08:15 WIB
Media di Antara Perang...
Media di Antara Perang Virtual dan Reproduksi Kekerasan
A A A
Fajar Kurniawan Jurnalis Utama, Ketua IJTI Jakarta Raya Periode 2013-2017

LEDAKAN bom yang meng­guncang tiga gereja dan Pol­res­tabes Surabaya ser­ta penyerangan Pol­da Riau sontak membuat ge­ger dunia maya. Kecepatan in­for­masi yang tak terbendung ju­ga membuat reaksi yang bera­gam dalam dunia nyata. Media merupakan refleksi dari fakta sosial yang berisi mengenai wa­cana masyarakat (public dis­cour­se). Dialektika antara dunia ma­ya dan dunia nyata terus ber­lang­sung dan mencapai sum­bu­nya pada era digital. Castells (2000) menyebutnya sebagai “key feature of social morphology”. Teknologi internet me­mung­kinkan pengoperasian lokal sesuai dengan kehendak pri­ba­di atau kelompok sehingga mam­pu meningkatkan efek­ti­vi­tas jaringan terhadap struk­tur hierarkis korporasi media. Konsekuensinya adalah terda­pat ragam wacana berita soal te­r­­orisme, bahkan simpang siur.

Spontanitas Informasi vs Logika Struktur Media

Jaringan informasi (net­work) memungkinkan pola ko­mu­nikasi yang berjalan secara egaliter. Komunikasi seperti ini memberikan sebuah pola ko­mu­nikasi yang menyebar ke ber­bagai arah melampaui sekat-sekat struktur yang ada pada lapisan sosial masyarakat. Spon­­ta­nitas dan banalitas di lapangan sering kali tanpa kon­trol dan sensor media.

Apa yang tersajikan, baik ber­upa foto dan video terduga teroris yang ditembak aparat, hingga kucuran darah korban keluar-masuk dalam jejaring media sosial pertemanan. Di sinilah justru reproduksi ke­keras­an yang nyata tanpa saringan terjadi. Tentu saja hal ini berbeda dengan peliputan me­dia berita mainstream se­perti I-News, tvOne, Metro TV, Kompas TV, dan media daring yang menayangkan berita me­nge­nai teroris yang relatif pro­por­sional dan elegan.

Beberapa kali siaran lang­sung dan liputan media mains­tream menyensor hal yang tak pantas untuk dilihat tanpa me­ngurangi sebuah esensi berita. Upaya sensor dan pengambilan setting lokasi ini adalah upaya untuk meminimalisasi repro­duksi kekerasan di dunia maya yang kian jauh dari etika dan moral.

Perang Melawan Hoax dan Terorisme

Beredarnya informasi dan beberapa video teroris justru di­komentari secara liar dan banal tanpa ada ujungnya. Ber­da­sar­kan fakta tersebut, kehadiran media televisi berita resmi se­perti I-News, tvOne, MetroTV, Kompas TV, maupun media da­ring, sekali lagi masih dibu­tuh­kan dan menjadi penting untuk meluruskan berita dan infor­masi agar tidak terlalu melebar dan menggelinding ke mana-mana tanpa arah yang jelas. Pem­be­ri­ta­an dan peliputan mengenai aksi terorisme tidak selalu menjadi hal yang buruk selama berpa­tok­an pada plat­form yang jelas. Hal ini diper­lu­kan bahwa aksi teror itu adalah nyata dan bukan seka­dar pem­be­ritaan yang dilebih-lebihkan (hyperrealistis) (Selu Marga­retha, 2006).

Hoax dan pemberitaan tero­ris yang simpang siur, menurut Peter L Berger (2000), bisa mem­buat konstruksi sosial atas realitas yang ada. Dengan kata lain, informasi yang tidak jelas yang direproduksi dan dise­bar­luaskan oleh masyarakat men­cip­takan realitas sosial subjektif yang belum tentu sesuai dengan realitas yang sebenarnya.

Melihat berbagai kejadian teror yang ada di Indonesia, su­lit untuk menolak bahwa sudah semakin melekat (embededness) antara masyarakat dan media. Meskipun berkali-kali men­da­pat­kan informasi dari grup per­te­manan WhatsApp, beberapa kali juga muncul link dari ber­bagai informasi media yang bisa ditebak bukanlah produk jur­na­lis­tik. Simbiosis antara teroris dan media mungkin masih bisa diterima dalam kadar tertentu, karena jaringan teroris pasti akan puas melihat penderitaan orang lain atas aksi mereka. Na­mun media juga memiliki cara kerja sendiri yang tidak sepe­nuh­nya dimanfaatkan oleh ke­lompok teroris. Dengan pem­be­ritaan yang ada, masyarakat akan cepat mengerti titik-titik mana yang berbahaya dan di­ang­gap rawan sehingga men­ja­di­kan masyarakat lebih was­pada.

Trajektori Media Di Masa Depan

Media televisi seperti I-News, tvOne, MetroTV, Kompas TV ten­tu memiliki trajektori (arah yang sistematis) dan analisis berita digital yang tepat di masa depan. Pemberitaan mengenai tero­ris­me akan selalu mewarnai pemb­e­ri­taan di media digital di masa yang akan datang setiap terjadi kasus teror. Meskipun terdapat beberapa kalangan yang ingin menghentikan pem­beritaan me­ngenai aksi teroris, hal itu tentu tidak efektif karena selama ada ketidakadilan dan belum ter­wu­jud­nya kesejah­te­ra­an masya­ra­kat teroris akan selalu ada dalam berbagai wujud dan bentuk.

Media seharusnya mampu memberikan informasi se­hing­ga mampu memberikan gam­bar­an dan realitas sosial objek­tif. Pada saat berita hoaks dengan cepat menyebar di lini masa sosial me­dia, media seharusnya mampu dijadikan rujukan un­tuk mem­va­lidasi data dan infor­masi yang ada. Akhirnya waktu jugalah yang akan menguji se­jauh mana masyarakat akan per­caya pada media. Selama masyarakat ma­sih mengakses, maka berarti sejauh itu juga masyarakat masih percaya pada media. Semakin beragam lintas diferensiasi dan stratifikasi sosial masyarakat yang meng­akses media maka semakin terpercaya dan semakin ber­kualitas media tersebut. Ke de­pan, masyarakat akan se­ma­kin rasional dalam melihat fakta objektif atas belantara infor­masi yang ada.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1090 seconds (0.1#10.140)