Tantangan Dua Dekade Reformasi

Jum'at, 18 Mei 2018 - 08:31 WIB
Tantangan Dua Dekade...
Tantangan Dua Dekade Reformasi
A A A
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

WAKTU berlalu begitu cepat. Proses refor­masi telah berjalan 20 tahun sejak mo­mentum bersejarah tum­bang­nya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998. Tantangan demi tantangan dihadapi bangsa ini, seiring dengan dinamika sosial-politik yang kerap berubah. Kekuasaan tak lagi hegemonik seperti era Soeharto, seiring de­ngan berjalannya mekanisme pemilihan pemimpin nasional secara reguler lima tahunan.

Reformasi telah memung­kin­kan rakyat Indonesia memiliki kebebasan dalam meng­ekspre­si­kan pendapat, termasuk pilih­an politiknya, setelah fase ke­tertindasan dan bayang-bayang demokrasi semu (pseudo-democracy) era Orde Baru.

Daya Tahan
Ada sejumlah catatan yang membuat kita mesti hati-hati menjaga dan merawat daya tahan proses reformasi kita yang sudah berjalan dua dekade ini. Pertama, agenda kontestasi elektoral yang kerap me­lahir­kan wajah ganda. Satu wajah penuh harapan perbaikan, dan wajah lainnya penuh kegundah­an serta sisi gelap berburu ke­kuasaan.

Contoh nyata adalah Pilkada DKI 2017 yang menyita begitu banyak energi bangsa ini. Panasnya suasana politik tak hanya dirasakan oleh mereka yang tinggal di Jakarta, tetapi juga oleh warga di daerah-daerah lain. Pilkada serentak sudah berlangsung sejak 2015. Ada 269 daerah yang menye­lenggarakan pilkada pada 2015. Pada 2017 ada 101 daerah, dan 2018 ada 171 daerah.

Pilkada akan terus dihelat hingga serentak nasional. Pemilu legislatif dan pemilu presiden juga akan diselenggarakan dalam waktu bersamaan pada 2019. Agenda politik yang ber­impitan ini kerap melahirkan persoalan bawaan, yakni polar­isasi yang begitu tajam di tengah masyarakat akibat perbedaan pilihan. Situasi ini kerap me­lahirkan kerentanan antara lain sikap tak toleran dalam me­nyikapi perbedaan pandangan dan pilihan. Dampaknya, mun­cul saling curiga, saling me­nyalahkan, saling menjatuhkan yang jika dibiarkan terus-menerus bisa merusak tatanan.

Kedua, fenomena media massa dan media sosial yang sering kali turut memanaskan situasi, memprovokasi, men­stimu­lasi, dan memperbesar area potensi konflik warga melalui bingkai pemberitaan (political news framing) yang dikonsumsi, direproduksi, dan didistribusi­kan ke khalayak luas (one-to-many atau many-to-many communication).

Di media sosial juga tak kalah riuh rendah. Gelembung politik (bubble politic) memenuhi lini masa kanal-kanal sosial media warga. Kerentanan daya tahan terlihat dari berlimpahnya hoax, berita palsu (fakenews), dan ujaran kebencian (hate­speech) yang memprovokasi bahkan kerap menstimulasi konflik hori­zontal di tengah masyarakat. Pengguna internet yang jum­lahnya besar di Indonesia yakni 132 jutaan, dan berkem­bang­nya teknologi komunikasi ter­masuk gawai yang mudah di­jangkau warga lintas strata, me­nyebabkan terpaan media sosial begitu dahsyat dan signifikan pengaruhnya.

Ketiga, kepentingan para penunggang bebas (free rider) baik karena motif ekonomi, bisnis, maupun pribadi kerap mengelola situasi tidak nyaman dan tidak pasti. Di luar kelom­pok yang berebut kekuasaan di panggung yang legal, ada orang dan sekelompok orang yang terbiasa mengail di air keruh. Mereka memanfaatkan situasi yang terpolarisasi tajam di masyar­akat, untuk memak­simal­kan kepentingan mereka. Ada dua jenis kelompok orang seperti ini, yakni para pencari kepuasan (thrill seeker) dan organisasi kejahatan (organized crime).

Tipe pencari kepuasan biasanya melancarkan aksinya hanya untuk memenuhi ke­ingin­­annya untuk membuat situasi panas, runyam, chaos, apalagi konfliknya bersumber dari hoax, fakenews maupun ujaran kebencian yang mereka sebarkan. Jenis orang seperti ini sakit secara sosial, karena hasratnya merasa terpuaskan jika orang ramai-ramai meng­ikuti kehebohan yang dia cipta­kan, baik melalui media sosial maupun pesan berantai dari mulut ke mulut (word of mouth).

Sementara tipe organisasi kejahatan, sedari awal memang merancang ragam aktivitasnya untuk tindak kejahatan, misal­nya bisnis hitam hoax di media sosial yang dijalankan oleh kelompok Saracen. Teroris ter­masuk dalam kelompok ini, yang menebar teror secara teren­cana, sistematis, dan masif.

Keempat, kepentingan prag­matis dan transaksional para elite yang biasanya mengen­dali­kan akses kekuasaan di partai politik, birokrasi, dan kor­porasi. Kepentingan yang kerap tidak sejalan dengan bonnum commune atau kepentingan dan kebaikan bersama. Model po­litik kartel yang menutup akses kom­petisi secara sehat dan me­lahir­kan situasi demokrasi yang kolusif (collusive democracy).

Praktik seperti ini terlihat dari politik dinasti yang berlang­sung di banyak daerah. Penguasaan politik dari hulu ke hilir oleh segelintir orang me­nyebabkan praktik kekuasaan yang bersifat feodal, oligarkis, dan transak­sional.

Demokrasi yang Rentan
Refleksi dua dekade refor­masi ini harus serius diarahkan pada upaya mengatasi demo­krasi yang rentan. Menurut Juan Linz dan Alfred Stephen dalam bukunya Problems of Democratic Transition and Consolidation (1996), transisi dari satu rezim otoriter ke suatu rezim baru be­lum tentu menuju suatu peme­rintahan demo­kra­tis dan ma­syarakat berkeadab­an. Transisi yang tidak sem­purna dapat membuahkan pola demo­krasi yang rentan (unconsolidated democracy).

Laporan The Economist intelligence Unit menyimpulkan bahwa telah terjadi kemun­dur­an demokrasi di dunia sejak 2008. Meminjam istilah dari Alberto Olvera, dalam tulisan­nya The Elusive Democrac-Political Parties, Demo­cratic Institutions and Civil Society in Mexi­co/ Latin American (2010), saat ini sedang terjadi resesi demokrasi (democratic decline).

Penu­runan kualitas demokrasi ini me­ru­pa­kan kon­sekuensi dari lambatnya kon­solidasi, baik dari pe­mantapan kapasitas institusi demokrasi maupun kema­tang­­an budaya-politik, se­hingga demokrasi tidak mem­bawa panji-panji demokrasi. Keadaan yang disebut oleh Alberto Olvera sebagai elusive democracy saat menggamb­ar­kan kondisi demokrasi di Meksiko.

Hal ini juga terjadi di Indonesia. Saya setuju dengan Syarif Hidayat dan Abdul Malik Gismar dalam bukunya Refor­masi Setengah Matang (2010), yang menyebutkan bahwa salah satu kelemahan mendasar dari proses reformasi yang berlang­sung sejak 1998 adalah karena gerakan perubahan lebih ber­fokus pada upaya membangun dan memperbaiki institusi negara (state institutions).

Sementara itu, upaya untuk membangun dan memperkuat kapasitas negara (state capacity) cenderung tidak mendapatkan perhatian yang seimbang. Konsekuensinya, kehadiran negara dalam kehidupan se­hari-hari (state in practice) men­jadi samar-samar atau bahkan dalam beberapa kasus cende­rung “absen”.

Soal kapasitas negara untuk hadir dalam kehidupan sehari-hari rakyat ini yang mendesak diperbaiki sehingga tidak mem­perbesar kekecewaan yang mun­cul di masyarakat. Ketidak­puasan dan disonansi kognitif bisa berdampak pada hilangnya harapan (hope) dan keengganan masyarakat untuk berpartisi­pasi aktif dalam arus pem­bangunan yang direncanakan pemerintah.

Kerja keras pe­me­rintahan Jokowi atau siapa pun yang berkuasa setelahnya tidak akan berarti signifikan tanpa ketergerakan warga untuk berpartisipasi di dalamnya. Kepercayaan publik (public trust) menjadi kunci apakah bandul perjalanan reformasi menuju arah yang tepat atau sebaliknya hanya berputar-putar di labirin kekuasaan yang itu-itu saja.

Sejak 2017, demokrasi Indo­nesia menurut versi lem­baga Freedom House berwarna ku­ning yang artinya setengah be­bas (partly free). Setelah genap dua dekade reformasi tahun ini, seharusnya demo­krasi kita bisa kembali hijau yang artinya benar-benar bebas. Kualitas demokrasi kita diharapkan mem­baik bukan semata di sis­tem demokratik seperti hu­kum dan birokrasi pemerintahan, me­lainkan juga di etos demo­kratiknya seperti nilai-nilai demokratis yang tecermin di masyarakat luas.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0771 seconds (0.1#10.140)