Urgensi Pengarusutamaan Moderasi Agama
A
A
A
Imam Safe'i
Direktur Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama RI
SELAMA 72 tahun merdeka, pelbagai problem kebangsaan datang silih berganti menguji eksistensi kita sebagai sebuah bangsa. Pelbagai tantangan dan hambatan tersebut berhasil kita lewati bersama dengan segala pengorbanan.
Dewasa ini tantangan kebangsaan kita tidak mengalami masa surut. Hanya, kompleksitas problem kebangsaan berubah seiring perubahan waktu yang berefek pada perubahan ekonomi, sosial, dan politik. Terorisme, konflik politik, ancaman ideologi transnasional, dan radikalisme agama adalah beberapa problem mutakhir yang kerap menguji rasa kebangsaan kita.
Di sisi lain, kebebasan informasi menyebabkan semua ideologi memiliki cukup ruang untuk tumbuh dan berkembang. Saat ini suara-suara yang berusaha menafikan eksistensi kita sebagai sebuah bangsa dan negara muncul dengan lebih terbuka.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan warisan founding father bangsa sebagai ijtihad menyatukan bangsa Indonesia yang beragam mulai dipertanyakan keabsahannya. Maka itu, tidak mengherankan jika di akhir-akhir ini sering kita mendengar istilah NKRI adalah thogut, demokrasi adalah kafir, dan sebagainya yang berusaha mendelegitimasi bentuk negara Indonesia.
Istilah-istilah tersebut tidak hanya menggambarkan gagasan semata, tetapi juga merepresentasikan gerakan yang ingin mengubah sistem berbangsa dan bernegara yang sudah kita jalani. Pada tingkat tertentu, aspirasi tersebut akan mengancam eksistensi bangsa kita.
Sementara itu, realitas keislaman terancam dengan infiltrasi radikalisme agama dan penguatan ideologi takfiri. Radikalisme agama telah menjadi gejala umum di pelbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Radikalisme Islam sendiri tidak datang tiba-tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial-budaya yang oleh kalangan tertentu dianggap merugikan Islam.
Secara politik, kelompok ini menganggap umat Islam bukan hanya tidak diuntungkan oleh sistem politik yang berkembang, tetapi juga merasa dirugikan. Sebagai gerakan keagamaan dan gerakan politik, radikalisme di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari maraknya gerakan yang sama di Timur Tengah seperti Taliban, al-Qaidah, ISIS, dan menjadi spirit yang signifikan dalam menginspirasi radikalisme di Indonesia.
Problem terkini lain yang berkembang terkait keislaman adalah menguatnya ideologi takfiri. Ideologi ini bermuara pada sikap ghuluw (ekstrem) dalam memegang pemahaman terhadap teks agama. Secara taktis, ideologi takfiri berusaha menafikan kelompok Islam lain yang berbeda dengan pemahaman kelompoknya, baik dalam persoalan fikih, teologi, hingga pilihan politik.
Kekuatan sosial media (the power of social media) pada akhir-akhir ini membuat ideologi yang mengancam kebangsaan dan keislaman kita lebih luas bergerak. Dunia maya menjadi media pelbagai kelompok untuk menyebarkan ide dan gagasan dengan lebih mudah.
Generasi muda sebagai pengguna media sosial menjadi sasaran empuk penyebaran ideologi Islam radikal dan ekstrem. Pelbagai penelitian menunjukkan peningkatan potensi radikalisme di kalangan remaja dan siswa. Dari konteks inilah, pentingnya peranan guru khususnya guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah dalam membentengi siswa dari ideologi radikal dan ekstrem.
Peran Guru PAI
Tanggung jawab guru PAI idealnya tidak hanya pada penguatan akademis, tetapi juga harus memberikan perhatian terhadap sikap keberagamaan peserta didiknya. Tren yang berkembang saat ini adalah semangat keberagamaan yang tinggi, tetapi tidak diiringi dengan pemahaman agama yang memadai sehingga yang terjadi adalah fenomena fanatisme terhadap agama tanpa diimbangi ilmu. Tidak jarang hal ini justru membuat pembelaan agama yang dilakukan dengan melanggar nilai-nilai agama.
Dalam pelbagai kesempatan, Menteri Agama RI menyampaikan agar pendidikan Islam memberikan porsi bagi penguatan moderasi Islam. Moderasi Islam adalah penerjemahan dari Islam rahmatan lilíalamin.
Islam moderat merupakan Islam yang mengambil jalan tengah, tidak ekstrem kanan, tidak ekstrem kiri, tidak radikal, namun juga tidak liberal. Sikap moderat (tawasut) merupakan ciri dari sikap keberagamaan umat Islam sesuai dengan pesan Alquran yang mendeklarasikan umat Islam sebagai ummatan wasatan (umat pertengahan/moderat). Umat yang tidak mengambil sikap ekstremisme dan tindakan yang melampaui batas.
Penguatan moderasi Islam menjadi hal yang mendesak melihat fenomena masifnya perkembangan ideologi radikal dan takfiri. Sebab, hal ini dapat mengganggu keharmonisan masyarakat dan menimbulkan problem kebangsaan yang besar pada masa yang akan datang.
Untuk itu, generasi muda harus diberikan wawasan yang memadai tentang keislaman yang senapas dengan kebangsaan. Islam yang tidak mempertentangkan agama dan negara, tetapi menempatkannya dalam posisi yang saling mengisi sebagaimana sudah dirumuskan oleh ulama pendiri bangsa.
Selama ini Direktorat Pendidikan Agama Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama telah melakukan pelbagai upaya untuk melatih para guru menjadi agen pengarusutamaan transformasi moderasi Islam yang akan mengantarkan pemahaman yang kritis, reflektif, terbuka, dan toleran melalui pengembangan ranah kognisi, afeksi, dan motorik. Hal itu diwujudkan dengan pengembangan nilai-nilai keagamaan Islam yang moderat sebagai aktualisasi visi Islam rahmatan lil alamin (ISRA).
Direktorat Pendidikan Agama Islam menyadari betul bahwa peran guru menempati posisi sentral yang sangat penting dan strategis dalam menanamkan pemahaman moderat. Dalam konteks itu, guru yang mengerti falsafah pendidikan dan tidak berpandangan tunggal dalam keberagaman dapat memainkan peran penting dalam membina anak didik.
Secara sederhana, guru yang moderat adalah guru yang mampu memberikan pemahaman yang tidak tunggal dan tidak bersifat doktriner sehingga tidak mudah menganggap pandangan pihak lain menyimpang. Guru adalah panutan yang menjunjung perdamaian dan menghargai perbedaan.
Dialog dan diskusi menjadi jembatan penghubung sebagai persemaian moderasi agama yang dilakukan oleh guru. Dialog dan diskusi yang dilakukan oleh guru tidak bersifat memaksa, tapi sebagai bahan untuk memperkaya pengetahuan. Hal ini diwujudkan sebagai evaluasi agar para siswa tidak teracuni dan tak terobsesi oleh yang terbenar (the only truth) dan kuasa (power).
Untuk mewujudkan hal itu, guru dituntut untuk memberikan atmosfer pembelajaran yang mengajarkan tentang toleransi. Guru adalah narasumber yang moderat yang menjadi delegasi untuk menguatkan ikhtiar pembumian moderasi agama.
Dengan kata lain, guru merupakan perwujudan dari persemaian suatu sistem yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena menjadi bagian peletak dasar pengertian dan konsep moral dalam diri siswa. Adapun jalur yang bisa dilakukan oleh guru dalam pengarusutamaan Pendidikan Agama Islam yang moderat dapat dilakukan dengan dua jalur yaitu moderasi wacana dan moderasi perilaku.
Moderasi wacana menjadi strategi dalam penguatan sikap moderat mulai pemikiran dan ideologi dengan menampilkan sikap tawasuth dalam perjuangan menyebarkan syiar Islam, terbuka terhadap ajaran, ideologi, kepercayaan, dan sebagainya. Sementara moderasi perilaku menjadi strategi dalam penguatan sikap moderat yang ditindaklanjuti dengan perilaku toleran terhadap pihak lain yang berbeda pandangan.
Direktur Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama RI
SELAMA 72 tahun merdeka, pelbagai problem kebangsaan datang silih berganti menguji eksistensi kita sebagai sebuah bangsa. Pelbagai tantangan dan hambatan tersebut berhasil kita lewati bersama dengan segala pengorbanan.
Dewasa ini tantangan kebangsaan kita tidak mengalami masa surut. Hanya, kompleksitas problem kebangsaan berubah seiring perubahan waktu yang berefek pada perubahan ekonomi, sosial, dan politik. Terorisme, konflik politik, ancaman ideologi transnasional, dan radikalisme agama adalah beberapa problem mutakhir yang kerap menguji rasa kebangsaan kita.
Di sisi lain, kebebasan informasi menyebabkan semua ideologi memiliki cukup ruang untuk tumbuh dan berkembang. Saat ini suara-suara yang berusaha menafikan eksistensi kita sebagai sebuah bangsa dan negara muncul dengan lebih terbuka.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan warisan founding father bangsa sebagai ijtihad menyatukan bangsa Indonesia yang beragam mulai dipertanyakan keabsahannya. Maka itu, tidak mengherankan jika di akhir-akhir ini sering kita mendengar istilah NKRI adalah thogut, demokrasi adalah kafir, dan sebagainya yang berusaha mendelegitimasi bentuk negara Indonesia.
Istilah-istilah tersebut tidak hanya menggambarkan gagasan semata, tetapi juga merepresentasikan gerakan yang ingin mengubah sistem berbangsa dan bernegara yang sudah kita jalani. Pada tingkat tertentu, aspirasi tersebut akan mengancam eksistensi bangsa kita.
Sementara itu, realitas keislaman terancam dengan infiltrasi radikalisme agama dan penguatan ideologi takfiri. Radikalisme agama telah menjadi gejala umum di pelbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Radikalisme Islam sendiri tidak datang tiba-tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial-budaya yang oleh kalangan tertentu dianggap merugikan Islam.
Secara politik, kelompok ini menganggap umat Islam bukan hanya tidak diuntungkan oleh sistem politik yang berkembang, tetapi juga merasa dirugikan. Sebagai gerakan keagamaan dan gerakan politik, radikalisme di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari maraknya gerakan yang sama di Timur Tengah seperti Taliban, al-Qaidah, ISIS, dan menjadi spirit yang signifikan dalam menginspirasi radikalisme di Indonesia.
Problem terkini lain yang berkembang terkait keislaman adalah menguatnya ideologi takfiri. Ideologi ini bermuara pada sikap ghuluw (ekstrem) dalam memegang pemahaman terhadap teks agama. Secara taktis, ideologi takfiri berusaha menafikan kelompok Islam lain yang berbeda dengan pemahaman kelompoknya, baik dalam persoalan fikih, teologi, hingga pilihan politik.
Kekuatan sosial media (the power of social media) pada akhir-akhir ini membuat ideologi yang mengancam kebangsaan dan keislaman kita lebih luas bergerak. Dunia maya menjadi media pelbagai kelompok untuk menyebarkan ide dan gagasan dengan lebih mudah.
Generasi muda sebagai pengguna media sosial menjadi sasaran empuk penyebaran ideologi Islam radikal dan ekstrem. Pelbagai penelitian menunjukkan peningkatan potensi radikalisme di kalangan remaja dan siswa. Dari konteks inilah, pentingnya peranan guru khususnya guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah dalam membentengi siswa dari ideologi radikal dan ekstrem.
Peran Guru PAI
Tanggung jawab guru PAI idealnya tidak hanya pada penguatan akademis, tetapi juga harus memberikan perhatian terhadap sikap keberagamaan peserta didiknya. Tren yang berkembang saat ini adalah semangat keberagamaan yang tinggi, tetapi tidak diiringi dengan pemahaman agama yang memadai sehingga yang terjadi adalah fenomena fanatisme terhadap agama tanpa diimbangi ilmu. Tidak jarang hal ini justru membuat pembelaan agama yang dilakukan dengan melanggar nilai-nilai agama.
Dalam pelbagai kesempatan, Menteri Agama RI menyampaikan agar pendidikan Islam memberikan porsi bagi penguatan moderasi Islam. Moderasi Islam adalah penerjemahan dari Islam rahmatan lilíalamin.
Islam moderat merupakan Islam yang mengambil jalan tengah, tidak ekstrem kanan, tidak ekstrem kiri, tidak radikal, namun juga tidak liberal. Sikap moderat (tawasut) merupakan ciri dari sikap keberagamaan umat Islam sesuai dengan pesan Alquran yang mendeklarasikan umat Islam sebagai ummatan wasatan (umat pertengahan/moderat). Umat yang tidak mengambil sikap ekstremisme dan tindakan yang melampaui batas.
Penguatan moderasi Islam menjadi hal yang mendesak melihat fenomena masifnya perkembangan ideologi radikal dan takfiri. Sebab, hal ini dapat mengganggu keharmonisan masyarakat dan menimbulkan problem kebangsaan yang besar pada masa yang akan datang.
Untuk itu, generasi muda harus diberikan wawasan yang memadai tentang keislaman yang senapas dengan kebangsaan. Islam yang tidak mempertentangkan agama dan negara, tetapi menempatkannya dalam posisi yang saling mengisi sebagaimana sudah dirumuskan oleh ulama pendiri bangsa.
Selama ini Direktorat Pendidikan Agama Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama telah melakukan pelbagai upaya untuk melatih para guru menjadi agen pengarusutamaan transformasi moderasi Islam yang akan mengantarkan pemahaman yang kritis, reflektif, terbuka, dan toleran melalui pengembangan ranah kognisi, afeksi, dan motorik. Hal itu diwujudkan dengan pengembangan nilai-nilai keagamaan Islam yang moderat sebagai aktualisasi visi Islam rahmatan lil alamin (ISRA).
Direktorat Pendidikan Agama Islam menyadari betul bahwa peran guru menempati posisi sentral yang sangat penting dan strategis dalam menanamkan pemahaman moderat. Dalam konteks itu, guru yang mengerti falsafah pendidikan dan tidak berpandangan tunggal dalam keberagaman dapat memainkan peran penting dalam membina anak didik.
Secara sederhana, guru yang moderat adalah guru yang mampu memberikan pemahaman yang tidak tunggal dan tidak bersifat doktriner sehingga tidak mudah menganggap pandangan pihak lain menyimpang. Guru adalah panutan yang menjunjung perdamaian dan menghargai perbedaan.
Dialog dan diskusi menjadi jembatan penghubung sebagai persemaian moderasi agama yang dilakukan oleh guru. Dialog dan diskusi yang dilakukan oleh guru tidak bersifat memaksa, tapi sebagai bahan untuk memperkaya pengetahuan. Hal ini diwujudkan sebagai evaluasi agar para siswa tidak teracuni dan tak terobsesi oleh yang terbenar (the only truth) dan kuasa (power).
Untuk mewujudkan hal itu, guru dituntut untuk memberikan atmosfer pembelajaran yang mengajarkan tentang toleransi. Guru adalah narasumber yang moderat yang menjadi delegasi untuk menguatkan ikhtiar pembumian moderasi agama.
Dengan kata lain, guru merupakan perwujudan dari persemaian suatu sistem yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena menjadi bagian peletak dasar pengertian dan konsep moral dalam diri siswa. Adapun jalur yang bisa dilakukan oleh guru dalam pengarusutamaan Pendidikan Agama Islam yang moderat dapat dilakukan dengan dua jalur yaitu moderasi wacana dan moderasi perilaku.
Moderasi wacana menjadi strategi dalam penguatan sikap moderat mulai pemikiran dan ideologi dengan menampilkan sikap tawasuth dalam perjuangan menyebarkan syiar Islam, terbuka terhadap ajaran, ideologi, kepercayaan, dan sebagainya. Sementara moderasi perilaku menjadi strategi dalam penguatan sikap moderat yang ditindaklanjuti dengan perilaku toleran terhadap pihak lain yang berbeda pandangan.
(whb)