Setelah Teror Surabaya, What Next?

Senin, 14 Mei 2018 - 09:30 WIB
Setelah Teror Surabaya, What Next?
Setelah Teror Surabaya, What Next?
A A A
H Amidhan Shaberah
Ketua MUI (1995-2015), Komnas HAM (2002-2007)

INDONESIA
kembali diguncang terorisme. Minggu (13/5) bom meledak di tiga gereja di Surabaya ketika umat Nasrani sedang beribadah. Korban pun bergelimpangan. Sebanyak 13 orang tewas. Lima puluh lebih lainnya luka-luka.

Pemerintah mengutuk pengeboman gereja itu. Semua pimpinan agama dan elemen masyarakat juga mengutuk perbuatan biadab itu. Tragedi Surabaya mengingatkan kita, bangsa Indonesia, bahwa ideologi terorisme terus tumbuh. Upaya pemberantasan dan pencegahan terorisme, termasuk program deradikalisasi terhadap terpidana kasus terorisme, tampaknya belum berhasil sepenuhnya.

Sebelum tragedi Surabaya meledak, sepekan sebelumnya, peristiwa terorisme yang mengejutkan terjadi di Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) Kelapa Dua, Depok, Jabar. Peristiwa terorisme (8/5/18) itu, ironisnya, terjadi di sebuah penjara yang notabene merupakan Markas Komando Brigade Mobil, pasukan elite kepolisian. Tragis, dalam peristiwa itu, gugur lima polisi. Para teroris, yang menguasai senjata yang dirampas dari pasukan Brimob, membunuh lima anggota Polri dan melukai beberapa orang lainnya.

Masyarakat Indonesia marah. Publik di medsos berteriak, kenapa para teroris masih dikasihani? Kenapa mereka tidak dibunuh saja? Tak usah hiraukan HAM karena teroris itu sendiri yang menghancurkan HAM. Semua itu menggambarkan, betapa masyarakat Indonesia amat membenci terorisme, apa pun alasannya. Apa pun ideologinya. Presiden Jokowi menyatakan, bangsa Indonesia tidak takut terhadap terorisme. Bangsa Indonesia harus bisa mengalahkan terorisme.

Ketika publik sedang marah, tiba-tiba muncul tragedi Surabaya. Jelas, kemarahan publik terhadap gerombolan teroris makin meluap. Di medsos, publik minta pemerintah dan DPR segera menyelesaikan Undang-Undang Antiterorisme untuk mencegah dan mengatasi semua kemungkinan muncul aksi terorisme.

Sayang, tampaknya UU Terorisme itu, sejauh ini, berjalan tertatih-tatih di DPR karena ada beberapa perbedaan pendapat yang masih elementer di Senayan. Terutama menyangkut kategori terorisme, gejala terorisme, fenomena terorisme, dan pencegahan terorisme yang debatable. Senayan tampaknya kalah peka dibanding publik yang merasa tersakiti dan terzalimi oleh peristiwa-peristiwa terorisme (yang makin keras dan tak terduga).

Tragedi Surabaya dan Mako Brimob, sekali lagi, menunjukkan bahwa ideologi terorisme belum mati di Indonesia. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) 2011-2014 Ansyaad Mbai menyatakan ideologi terorisme sulit dihentikan di Indonesia. Karena itu, kemunculan terorisme juga sulit dibendung. Seperti pepohonan, jika berada di “tanah” yang subur, niscaya akan tumbuh baik. Di tanah yang subur ini, akar-akarnya akan terus menguat dan mampu menyuplai makanan ke pohon tadi. Hal itu serupa dengan tumbuh kembangnya terorisme. Karena itu, untuk memberantas terorisme, kita perlu menghilangkan lahan itu dan memotong akar-akarnya. Keduanya harus merupakan satu paket. Lahannya dihilangkan, akarnya dipotong!

Akar Terorisme
Kalau kita telusuri, sekurang-kurangnya, ada enam masalah yang menyebabkan akar-akar terorisme terus berkembang. Pertama, warisan sejarah. Ya, warisan sejarah panjang sosial-politik di dunia, termasuk di Indonesia dan Asia Tenggara, ternyata masih menumbuhkan akar-akar terorisme. Masalahnya, sejarah sosial-politik di mana pun terkait dengan masalah kekuasaan. Dalam perebutan kekuasaan, pasti ada yang menang dan kalah. Yang menang akan mendominasi, sedangkan yang kalah akan tereliminasi. Dalam hal tumbuh kembangnya terorisme, warisan sejarah itu bisa bersifat lokal, regional, maupun global. Secara lokal misalnya warisan sejarah perebutan kekuasaan antara penjajah Belanda dengan kerajaan-kerajaan Nusantara. Belanda misalnya sering menjuluki para pejuang kemerdekaan sebagai teroris. Ini jelas sepihak. Kemudian secara nasional misalnya sejarah perebutan kekuasaan antara DI TII melawan Pemerintah Republik Indonesia. Di tingkat regional, pertentangan antara komunisme dan agama, bahkan antara ideologi komunisme moderat dan ekstrem–misalnya di kawasan Indo China dan Asia Tenggara–memunculkan terorisme. Dan, sejarah di tingkat global, sejak zaman Perang Romawi, Perang Salib, dan Perang Dunia- semuanya menyisakan lahan dan akar terorisme. Dari gambaran itu, terorisme lahir sebagai warisan sejarah.

Kedua, terorisme muncul sebagai perlawanan kelompok yang lemah dan tertindas menghadapi kelompok dominan untuk melakukan perubahan. Terorisme semacam ini terjadi di mana-mana, terutama di negara-negara yang demokra­sinya tidak berkembang di mana suara minoritas tertindas, tidak mendapatkan tempat. Perjuangan bangsa Chechnya atau Ukraina yang “memisahkan” diri dari dominasi Soviet/Rusia (sekarang) misalnya bisa menimbulkan terorisme. Di Eropa kelompok-kelompok yang merasa tertindas dan ingin melakukan perubahan muncul di Jerman, Spanyol, dan Inggris. Alasan mereka sama: ingin perubahan agar mereka tidak tertindas. Dan, gerakan-gerakan kelompok ini pun sering disebut-sebut sebagai gerakan terorisme.

Ketiga, gerakan terorisme sebagai protes atas ketidakadilan dunia. Fenomena ini terjadi di Timur Tengah, terutama di Palestina. Bangsa Palestina yang telah tinggal di wilayah Timur Tengah selama ratusan tahun “terusir” dari negaranya. Di wilayah mereka itulah kemudian berdiri negara Yahudi Israel. Eksistensi bangsa Yahudi di tanah bangsa Palestina ini didukung Inggris dan Amerika sampai sekarang. Terorisme yang muncul di Timur Tengah (Palestina) inilah–yang semula berakar dari ada ketidakadilan dunia dalam perseteruan dengan Israel, kemudian merambat ke mana-mana. Bahkan dianggap sebagai terorisme berwajah Islam. Padahal, perang dan terorisme yang terjadi di Timur Tengah dalam hal ini di Palestina dan Israel sebenarnya merupakan dampak ketidakadilan yang dipicu oleh pendudukan wilayah bangsa Palestina oleh bangsa Israel.

Keempat, akar terorisme yang muncul dari ideologi keagamaan yang sempit. Terorisme semacam ini tidak hanya muncul dari kalangan Islam, tapi juga Kristen (Inggris), Hindu (India), dan Buddha (Myanmar). Mereka menjadi teroris karena memahami agama secara partikular dan sempit. Di Islam misalnya muncul organisasi-organisasi “Jihadis” yang ingin mendirikan negara Islam sesuai pemahaman mereka. Sejarah politik Indonesia pekat dengan masalah tersebut–mulai dari kasus Kartosuwiryo dengan Darul Islam (DI)-nya sampai NII Kelompok Abu Bakar Ba’asyir. Mereka secara sempit memahami Alquran yang–konon–menyuruh membentuk negara Islam. Mereka memahami Alquran menurut kemauan mereka untuk melegitimasi terorisme. Imam Samudera, perancang Bom Bali I yang menewaskan ratusan orang, merasa tidak bersalah karena apa yang dilakukannya adalah menjalankan perintah Allah untuk membunuh orang kafir. Dan, orang kafir yang dimaksud adalah bangsa Amerika dan Inggris khususnya, dan bangsa Barat umumnya. Ini karena me­reka telah melakukan kezaliman terhadap umat Islam, khususnya di Afghanistan dan Palestina.

Kelima, faktor psikologis. Tak sedikit tindakan terorisme muncul akibat gangguan psikologis. Gangguan psikologis ini bisa muncul akibat ketidakpuasan kepada situasi sosial, ekonomi, dan politik. Ada yang merasa terasing dari kehidupan, merasa terbuang dari kelompoknya, dan merasa tercerabut dari akar sosialnya. Akibatnya, mereka mengalami gangguan psikosomatis. Bukan tidak mungkin, teroris-teroris yang tampak berani mati sesungguhnya adalah orang yang sakit secara psikologis. Sarlito Wirawan, psikolog UI, misalnya menganggap para teroris ini adalah pengidap gangguan kejiwaan. Sikap mereka yang anti­sosial jelas merupakan gejala penyakit psikologis.

Keenam, terorisme muncul sebagai dampak teori konspirasi (persekongkolan). Teori konspirasi berusaha menjelaskan bahwa penyebab tertinggi dari satu atau serangkaian peristiwa (pada umumnya peristiwa politik, sosial, dan ekonomi) adalah suatu “rangkaian rekayasa” yang direncanakan diam-diam oleh sekelompok orang atau organisasi yang sangat berkuasa atau berpengaruh. Teori konspirasi menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah merupakan hasil dari rekayasa orang-orang atau organisasi tertentu di belakang layar. Misalnya setiap ada gejolak ekonomi dan keuangan di dunia, penyebabnya pasti Yahudi. Krisis ekonomi dunia pada 1997 di dunia yang menyebabkan hancurnya perekonomian Indonesia, penyebabnya Yahudi. Dan, yang namanya Yahudi adalah identik dengan Amerika dan Inggris.

Teori konspirasi ini jika dibesar-besarkan bisa memunculkan benih-benih terorisme. Karena itu, untuk menghilangkan terorisme, perlu ada strategi komprehensif melalui pendekatan ideologi, pendidikan, dan kebudayaan kepada seluruh elemen bangsa. Tanpa itu, deradikalisasi dan deideologisasi terorisme sulit dilenyapkan.

Dari perspektif tumbuhnya ideologi terorisme, kemudian kita bertanya: what next setelah tragedi Surabaya dan Mako Brimob? Itulah tantangan bangsa Indonesia. Tantangan kita semua. Dan, satu hal kita, bangsa Indonesia, harus berani menghadapi aksi terorisme. Jangan pernah takut. Jangan pernah menyerah! Allah di pihak kita! l
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8090 seconds (0.1#10.140)