Wasatiyyat Islam
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
TANGGAL 1–3 Mei 2018 kemarin telah diselenggarakan High-Level Consultation of World Muslim Scholars on Wasatiyyat Islam bertempat di Bogor, dihadiri sekitar 40 utusan negara sahabat, di samping para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia. Peristiwa ini menjadi berita penting karena acara ini dibuka oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor dan ditutup oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Yang juga menarik adalah kehadiran Grand Syaikh Al-Azhar Mesir, Syekh Ahmad Muhammad Ath-Thayeb, yang dikenal sebagai ikon ulama yang mempromosikan Islam wasatiyyah, yang sering diterjemahkan sebagai Islam moderat atau Islam jalan tengah (middle path).
Salah satu alasan yang mendasari diselenggarakannya acara ini adalah muncul dari keprihatinan melihat gejala Islam phobia akibat terjadinya gerakan radikalisme-ekstremisme serta terorisme yang mengatasnamakan Islam, yang telah berakibat munculnya konflik dan peperangan sesama umat Islam seperti terlihat di Timur Tengah. Meski di Indonesia terdapat kelompok-kelompok ekstrem, bahkan jaringan teroris, Indonesia dikenal paling berhasil menjinakkan gerakan terorisme bila dibandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah.
Sebagai sesama masyarakat Islam, Indonesia merasa prihatin melihat kejadian ini dan kemudian mengundang para ulama dunia untuk melihat dari dekat bagaimana kehidupan beragama di wilayah Nusantara yang dikenal memiliki tradisi gotong-royong, toleran, dan dialog baik antarsesama umat Islam yang berbeda mazhab maupun dialog lintas agama.
Pengalaman Indonesia dalam hal implementasi Islam wasatiyyah ini disampaikan dalam forum itu, lalu para peserta diminta memberikan masukan dan pengayaan, baik pada tataran konsep maupun praktik di negara masing-masing. Sesungguhnya Islam wasatiyyah memiliki dasar normatif-teologis yang tercantum dalam Alquran (Albaqarah : 143) dan juga pernah dibuktikan dalam sejarah semasa abad tengah. Islam begitu toleran, akomodatif, dan apresiatif terhadap budaya luar, di samping Islam membuktikan dirinya sebagai penggerak peradaban.
Dalam konteks Indonesia, Islam wasatiyyah itu juga terlihat dari bagaimana kehadiran Islam ke Nusantara dengan damai. Sampai sekarang warisan Hindu-Buddha seperti Candi Borobudur dan Prambanan dipelihara dengan apik baik oleh pemerintah maupun masyarakat sekitar yang beragama Islam. Masyarakat Islam pun ikut menjaga kelestarian tradisi Hindu Bali dan beberapa aliran kepercayaan lokal.
Yang paling fenomenal dan historis adalah pembentukan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sebuah pertemuan dan kompromi antara Islamisme, nasionalisme, dan modernisme.
Ini merupakan jalan tengah (middle path), sebuah ijtihad dan eksperimentasi sejarah untuk mengakomodasi penduduk Nusantara yang sangat plural ini di mana semua warga negara memiliki kedudukan sama di depan hukum. Tak terkecuali umat Islam yang merupakan mayoritas warga negara dan memiliki saham politik sangat besar dalam memperjuangkan kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Sebuah catatan kecil, di samping keputusan politik Presiden Joko Widodo, acara ini berhasil tak lepas dari kinerja Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Umat Beragama yang dikomandoi Din Syamsuddin. Dia sudah lama membangun jaringan tokoh-tokoh agama di tingkat dunia, baik muslim maupun nonmuslim, sehingga dengan mudah menghadirkan mereka.
Secara politis, tentu saja ini menambah kredit bagi Jokowi yang selama ini oleh sebagian orang dinilai anti-Islam, sementara di kalangan dunia Islam namanya justru semakin dikenal. Di atas itu semua, ketika dunia Islam mengagumi kerukunan umat beragama di Indonesia, sebaiknya martabat dan posisi agama sebagai pilar peradaban mesti kita jaga bersama.
Islam sangat peduli politik, terutama dalam aspek moralitas berpolitik. Sebuah pendekatan high-politics, bukan menyeret Islam dalam persaingan politik yang vulgar dan tidak bermoral.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
TANGGAL 1–3 Mei 2018 kemarin telah diselenggarakan High-Level Consultation of World Muslim Scholars on Wasatiyyat Islam bertempat di Bogor, dihadiri sekitar 40 utusan negara sahabat, di samping para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia. Peristiwa ini menjadi berita penting karena acara ini dibuka oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor dan ditutup oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Yang juga menarik adalah kehadiran Grand Syaikh Al-Azhar Mesir, Syekh Ahmad Muhammad Ath-Thayeb, yang dikenal sebagai ikon ulama yang mempromosikan Islam wasatiyyah, yang sering diterjemahkan sebagai Islam moderat atau Islam jalan tengah (middle path).
Salah satu alasan yang mendasari diselenggarakannya acara ini adalah muncul dari keprihatinan melihat gejala Islam phobia akibat terjadinya gerakan radikalisme-ekstremisme serta terorisme yang mengatasnamakan Islam, yang telah berakibat munculnya konflik dan peperangan sesama umat Islam seperti terlihat di Timur Tengah. Meski di Indonesia terdapat kelompok-kelompok ekstrem, bahkan jaringan teroris, Indonesia dikenal paling berhasil menjinakkan gerakan terorisme bila dibandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah.
Sebagai sesama masyarakat Islam, Indonesia merasa prihatin melihat kejadian ini dan kemudian mengundang para ulama dunia untuk melihat dari dekat bagaimana kehidupan beragama di wilayah Nusantara yang dikenal memiliki tradisi gotong-royong, toleran, dan dialog baik antarsesama umat Islam yang berbeda mazhab maupun dialog lintas agama.
Pengalaman Indonesia dalam hal implementasi Islam wasatiyyah ini disampaikan dalam forum itu, lalu para peserta diminta memberikan masukan dan pengayaan, baik pada tataran konsep maupun praktik di negara masing-masing. Sesungguhnya Islam wasatiyyah memiliki dasar normatif-teologis yang tercantum dalam Alquran (Albaqarah : 143) dan juga pernah dibuktikan dalam sejarah semasa abad tengah. Islam begitu toleran, akomodatif, dan apresiatif terhadap budaya luar, di samping Islam membuktikan dirinya sebagai penggerak peradaban.
Dalam konteks Indonesia, Islam wasatiyyah itu juga terlihat dari bagaimana kehadiran Islam ke Nusantara dengan damai. Sampai sekarang warisan Hindu-Buddha seperti Candi Borobudur dan Prambanan dipelihara dengan apik baik oleh pemerintah maupun masyarakat sekitar yang beragama Islam. Masyarakat Islam pun ikut menjaga kelestarian tradisi Hindu Bali dan beberapa aliran kepercayaan lokal.
Yang paling fenomenal dan historis adalah pembentukan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sebuah pertemuan dan kompromi antara Islamisme, nasionalisme, dan modernisme.
Ini merupakan jalan tengah (middle path), sebuah ijtihad dan eksperimentasi sejarah untuk mengakomodasi penduduk Nusantara yang sangat plural ini di mana semua warga negara memiliki kedudukan sama di depan hukum. Tak terkecuali umat Islam yang merupakan mayoritas warga negara dan memiliki saham politik sangat besar dalam memperjuangkan kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Sebuah catatan kecil, di samping keputusan politik Presiden Joko Widodo, acara ini berhasil tak lepas dari kinerja Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Umat Beragama yang dikomandoi Din Syamsuddin. Dia sudah lama membangun jaringan tokoh-tokoh agama di tingkat dunia, baik muslim maupun nonmuslim, sehingga dengan mudah menghadirkan mereka.
Secara politis, tentu saja ini menambah kredit bagi Jokowi yang selama ini oleh sebagian orang dinilai anti-Islam, sementara di kalangan dunia Islam namanya justru semakin dikenal. Di atas itu semua, ketika dunia Islam mengagumi kerukunan umat beragama di Indonesia, sebaiknya martabat dan posisi agama sebagai pilar peradaban mesti kita jaga bersama.
Islam sangat peduli politik, terutama dalam aspek moralitas berpolitik. Sebuah pendekatan high-politics, bukan menyeret Islam dalam persaingan politik yang vulgar dan tidak bermoral.
(poe)