Rusuh di Mako Brimbob, Kepala Densus 88 Diminta Mundur
A
A
A
JAKARTA - Peristiwa kerusuhan dan penyanderaan di Markas Korps Brimob (Mako Brimob), Depok, telah berakhir. Dilaporkan enam orang menjadi korban dari peristiwa ini. Lima di antaranya merupakan anggota Polri yang gugur dan satu narapidana (napi) teroris tewas.
Merespons kejadian ini, Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF), Mustofa B Nahrawardaya turut berduka cita atas gugurnya anggota Polri.
"Innalillahi wainnailaihi raaji'uun. Sedih, mencekam, dan mengerikan. Itulah ungkapan kata-kata yang bisa diucapkan dalam dua hari ini. Bagaimana tidak. Ada 5 (lima) anggota polisi yang rata-rata dari Satuan Elite Densus 88, meninggal mengenaskan di tangan para narapidana terorisme," kata Mustofa, Kamis (10/5/2018).
"Bahkan untuk menunjukkan kegeraman para pelaku, narapidana bisa memamerkan jenazah korban melalui video yang mereka rekam. Lalu disebarkan melalui media sosial ke seluruh dunia. Lebih memalukan lagi, lokasi pembantaian, berada di Mako Brimob, dimana tempat ini dikenal publik sebagai area paling aman dan paling ketat bagi narapidana," tambahnya.
Mustofa mengungkapkan, dari kejadian ini menggambarkan bisa dibilang tidak ada sistem keamanan yang lebih canggih lagi dari Markas Densus 88 ini. Perlu dipertegas, ini jelas menampar wajah Polri, karena disaat yang bersamaan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian sedang di luar negeri mengisahkan keberhasilan Indonesia memberantas teroris.
"Tanpa mengurangi rasa duka yang mendalam terhadap para korban dalam tragedi Mako Brimob, gugurnya 5 anggota Polri sudah seharusnya dijadikan momen penting dalam rangka upaya membangun kepercayaan publik terhadap lembaga Kepolisian Republik Indonesia. Khususnya Densus 88," ucapnya.
(Baca juga: Seluruh Napi Teroris di Mako Brimob Telah Serahkan Diri)
Karena menurut Mustofa, tragedi di Mako Bromob bukanlah yang pertama kali. Tahun 2010, belasan orang (yang belakangan diketahui dijebak menjadi terduga teroris), terbukti juga dilatih menembak sebulan penuh di tempat yang sama oleh seorang disertir Polisi bernama Sofyan Tsauri.
Kata dia, latihan ini bisa berlangsung dengan aman di Mako Brimob, dan Sofyan Tsauri juga diketahui melakukan transaksi jual beli senjata secara gelap di tempat yang sama, senilai hampir setengah Milyar rupiah. Meski para pelaku telah mendapatkan hukuman, namun tetaplah ini menjadi noda hitam.
"Tampaknya kejadian berulang. Bedanya, kini para terpidana teroris yang memang sudah lama ditahan di sana, dengan mudahnya bisa membobol gudang senjata dan melumpuhkan dengan mudah para personil Densus 88, bahkan membunuh para aparat tersebut dengan cara sadis. Jika tidak ada masalah serius di Mako Brimob, tentu peristiwa mengerikan ini tidak bakal terjadi. Memang unsur dendam pasti ada, karena memang bagi para napi terorisme, anggota Densus 88 dianggap sebagai musuh bebuyutan mereka," tuturnya.
(Baca juga: Wiranto Yakinkan Pemerintah Tegas terhadap Terorisme)
Untuk itu menurutnya, perlu ada tradisi baru. Dalam rangka bentuk nyata pertanggungjawaban moral dan profesi, sangat penting bagi pejabat terkait melakukan bentuk pertanggungjawaban publik secara kasatmata, secara lelaki, bahkan dengan cara progresif.
"Karena dalam benak saya, dan mungkin juga dalam benak masyarakat, barangkali punya pikiran yang sama, sangatlah kecil kemungkinan Densus 88 dapat semudah itu dilumpuhkan. Karena itu, saya mengusulkan agar Kepala Densus 88 saat ini pula, menyatakan undur diri," pungkasnya.
Merespons kejadian ini, Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF), Mustofa B Nahrawardaya turut berduka cita atas gugurnya anggota Polri.
"Innalillahi wainnailaihi raaji'uun. Sedih, mencekam, dan mengerikan. Itulah ungkapan kata-kata yang bisa diucapkan dalam dua hari ini. Bagaimana tidak. Ada 5 (lima) anggota polisi yang rata-rata dari Satuan Elite Densus 88, meninggal mengenaskan di tangan para narapidana terorisme," kata Mustofa, Kamis (10/5/2018).
"Bahkan untuk menunjukkan kegeraman para pelaku, narapidana bisa memamerkan jenazah korban melalui video yang mereka rekam. Lalu disebarkan melalui media sosial ke seluruh dunia. Lebih memalukan lagi, lokasi pembantaian, berada di Mako Brimob, dimana tempat ini dikenal publik sebagai area paling aman dan paling ketat bagi narapidana," tambahnya.
Mustofa mengungkapkan, dari kejadian ini menggambarkan bisa dibilang tidak ada sistem keamanan yang lebih canggih lagi dari Markas Densus 88 ini. Perlu dipertegas, ini jelas menampar wajah Polri, karena disaat yang bersamaan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian sedang di luar negeri mengisahkan keberhasilan Indonesia memberantas teroris.
"Tanpa mengurangi rasa duka yang mendalam terhadap para korban dalam tragedi Mako Brimob, gugurnya 5 anggota Polri sudah seharusnya dijadikan momen penting dalam rangka upaya membangun kepercayaan publik terhadap lembaga Kepolisian Republik Indonesia. Khususnya Densus 88," ucapnya.
(Baca juga: Seluruh Napi Teroris di Mako Brimob Telah Serahkan Diri)
Karena menurut Mustofa, tragedi di Mako Bromob bukanlah yang pertama kali. Tahun 2010, belasan orang (yang belakangan diketahui dijebak menjadi terduga teroris), terbukti juga dilatih menembak sebulan penuh di tempat yang sama oleh seorang disertir Polisi bernama Sofyan Tsauri.
Kata dia, latihan ini bisa berlangsung dengan aman di Mako Brimob, dan Sofyan Tsauri juga diketahui melakukan transaksi jual beli senjata secara gelap di tempat yang sama, senilai hampir setengah Milyar rupiah. Meski para pelaku telah mendapatkan hukuman, namun tetaplah ini menjadi noda hitam.
"Tampaknya kejadian berulang. Bedanya, kini para terpidana teroris yang memang sudah lama ditahan di sana, dengan mudahnya bisa membobol gudang senjata dan melumpuhkan dengan mudah para personil Densus 88, bahkan membunuh para aparat tersebut dengan cara sadis. Jika tidak ada masalah serius di Mako Brimob, tentu peristiwa mengerikan ini tidak bakal terjadi. Memang unsur dendam pasti ada, karena memang bagi para napi terorisme, anggota Densus 88 dianggap sebagai musuh bebuyutan mereka," tuturnya.
(Baca juga: Wiranto Yakinkan Pemerintah Tegas terhadap Terorisme)
Untuk itu menurutnya, perlu ada tradisi baru. Dalam rangka bentuk nyata pertanggungjawaban moral dan profesi, sangat penting bagi pejabat terkait melakukan bentuk pertanggungjawaban publik secara kasatmata, secara lelaki, bahkan dengan cara progresif.
"Karena dalam benak saya, dan mungkin juga dalam benak masyarakat, barangkali punya pikiran yang sama, sangatlah kecil kemungkinan Densus 88 dapat semudah itu dilumpuhkan. Karena itu, saya mengusulkan agar Kepala Densus 88 saat ini pula, menyatakan undur diri," pungkasnya.
(maf)