Federer dan Marvel
A
A
A
ADA dua hal menarik pada Koran Sindo edisi 8 Mei 2018 kemarin. Pertama adalah artikel tentang petenis gaek Roger Federer dan artikel tentang kunci sukses perusahaan film, Marvel. Kedua artikel tersebut bisa menjadi inspirasi bagi seseorang (personal) atau organisasi (perusahaan) untuk bisa terus tumbuh.
Federer mewakili olahragawan (personal ) dan Marvel mewakili perusahaan. Keduanya saat ini bisa dikatakan sukses meski banyak tantangan yang harus dihadapi. Keduanya sama-sama menyadari kekurangannya dan mengakali kekurangan tersebut sehingga masih bisa bersaing. Akhirnya keduanya tidak hanya mampu bertahan dengan keterbatasan, namun tumbuh pesat.
Federer, di tengah makin sengitnya persaingan, harus cerdik menentukan langkah.
Usia yang sudah tak muda lagi, 36 tahun, Federer wajib memastikan asupan gizi, pemilihan turnamen, serta disiplin latihan agar tetap bisa bicara banyak di pentas Grand Slam. Pada suatu kesempatan dia juga mengakui, kecepatan bukan lagi menjadi andalan dia. Sehingga dia fokus pada kekuatan yang lain seperti akurasi dan yang lain. Federer menyadari tentang kekuataan dia di saat umur sudah tidak muda lagi. Federer bisa mengukur dirinya sendiri sehingga dia bisa menentukan strategi latihan untuk menghadapi kompetisi yang ketat.
Begitu juga dengan Marvel. Bisnis mereka berjaya pada era 1980 an dengan komik beberapa action figure. Penjualan komik mencapai jutaan kopi dan mendunia. Namun di mendekati tahun 2000 bisnis mereka meredup bahkan nyaris bangkrut. Nilai saham mereka turun drastis dan banyak investor yang menarik diri.
Tak hanya itu, perbankan juga enggan memberikan pinjaman untuk mengembangkan bisnisnya. Hingga akhirnya mereka menyadari bahwa mereka harus mengubah bisnis dari berjualan komik hingga memproduksi film. Hasilnya, Marvel menjadi perusahaan film yang mendunia. Produk-produk mereka saat ini menghiasi gedung-gedung bioskop dunia dan selalu menjadi box office.
Melihat keduanya, dari kajian strategi bisnis adalah bisa mengukur kekuatan internal dan eksternal. Hal yang terpenting adalah bagaimana Federer dan Marvel bisa mengukur kekuatan internal dan melakukan perubahan. Keberanian untuk melakukan perubahan di internal inilah yang membuat mereka tidak hanya mampu bertahan tapi mengungguli lawan-lawannya. Selain berani melakukan perubahan internal, mereka juga berhasil melihat kekuatan di luar dengan baik.
Dengan mengukur kekuatan eksternal mereka bisa mengukur pula perubahan internal seperti apa yang harus dilakukan. Sekali lagi, hasilnya cukup fantastis. Federer di usianya yang mencapai 36 mampu bersaing dengan petenis muda. Marvel pun mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan film besar.
Di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu saat ini atau di saat disrupsi, organisasi ataupun personal harus bisa mengukur dirinya dan menyeimbangkan dengan kondisi eksternal. Bagi seseorang, tentu kemampuan yang ada saat ini harus bisa diukur dan ditambahi agar fit dengan kebutuhan eksternal. Begitu juga dengan organisasi atau perusahaan.
Organisasi laba harus berani mengambil risiko agar bisa bertahan atau bahkan mengungguli perusahaan lainnya di tengah kondisi yang tidak pasti. Yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian melihat ke dalam dan melakukan perubahan. Setelah itu, ukur kondisi di luar dan sesuaikan dengan perubahan yang ada.
Satu hal yang harus dihindari adalah menyalahkan keadaan baik internal maupun eksternal. Sikap menyalahkan adalah sikap menyerah dengan keadaan. Sikap menyalahkan pihak lain adalah sikap arogan yang sangat tidak produktif. Semestinya, personal atau organisasi mawas diri atau instropeksi diri agar mengetahui kembali kekuatan dan kelemahan. Jika menyalahkan pihak luar artinya mereka terlalu jumawa bahwa hanya dirinya yang benar. Banyak yang paham tentang ini namun banyak pula yang justru tidak menyadari.
Federer dan Marvel telah mengajari kita bagaimana harus bisa bertahan dengan kekuatan internal dan mampu dengan jernih melihat kekuatan eksternal. Ini sangat menginspirasi personal dan organisasi. Keduanya bisa menjadi contoh bagi kita jika ingin menjadi lebih baik. Hasilnya, bukan hanya mampu bertahan tapi juga lebih baik dari sebelumnya. Maukah kita melakukan instropeksi diri, jika ingin lebih baik semestinya mau.
(thm)
Federer mewakili olahragawan (personal ) dan Marvel mewakili perusahaan. Keduanya saat ini bisa dikatakan sukses meski banyak tantangan yang harus dihadapi. Keduanya sama-sama menyadari kekurangannya dan mengakali kekurangan tersebut sehingga masih bisa bersaing. Akhirnya keduanya tidak hanya mampu bertahan dengan keterbatasan, namun tumbuh pesat.
Federer, di tengah makin sengitnya persaingan, harus cerdik menentukan langkah.
Usia yang sudah tak muda lagi, 36 tahun, Federer wajib memastikan asupan gizi, pemilihan turnamen, serta disiplin latihan agar tetap bisa bicara banyak di pentas Grand Slam. Pada suatu kesempatan dia juga mengakui, kecepatan bukan lagi menjadi andalan dia. Sehingga dia fokus pada kekuatan yang lain seperti akurasi dan yang lain. Federer menyadari tentang kekuataan dia di saat umur sudah tidak muda lagi. Federer bisa mengukur dirinya sendiri sehingga dia bisa menentukan strategi latihan untuk menghadapi kompetisi yang ketat.
Begitu juga dengan Marvel. Bisnis mereka berjaya pada era 1980 an dengan komik beberapa action figure. Penjualan komik mencapai jutaan kopi dan mendunia. Namun di mendekati tahun 2000 bisnis mereka meredup bahkan nyaris bangkrut. Nilai saham mereka turun drastis dan banyak investor yang menarik diri.
Tak hanya itu, perbankan juga enggan memberikan pinjaman untuk mengembangkan bisnisnya. Hingga akhirnya mereka menyadari bahwa mereka harus mengubah bisnis dari berjualan komik hingga memproduksi film. Hasilnya, Marvel menjadi perusahaan film yang mendunia. Produk-produk mereka saat ini menghiasi gedung-gedung bioskop dunia dan selalu menjadi box office.
Melihat keduanya, dari kajian strategi bisnis adalah bisa mengukur kekuatan internal dan eksternal. Hal yang terpenting adalah bagaimana Federer dan Marvel bisa mengukur kekuatan internal dan melakukan perubahan. Keberanian untuk melakukan perubahan di internal inilah yang membuat mereka tidak hanya mampu bertahan tapi mengungguli lawan-lawannya. Selain berani melakukan perubahan internal, mereka juga berhasil melihat kekuatan di luar dengan baik.
Dengan mengukur kekuatan eksternal mereka bisa mengukur pula perubahan internal seperti apa yang harus dilakukan. Sekali lagi, hasilnya cukup fantastis. Federer di usianya yang mencapai 36 mampu bersaing dengan petenis muda. Marvel pun mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan film besar.
Di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu saat ini atau di saat disrupsi, organisasi ataupun personal harus bisa mengukur dirinya dan menyeimbangkan dengan kondisi eksternal. Bagi seseorang, tentu kemampuan yang ada saat ini harus bisa diukur dan ditambahi agar fit dengan kebutuhan eksternal. Begitu juga dengan organisasi atau perusahaan.
Organisasi laba harus berani mengambil risiko agar bisa bertahan atau bahkan mengungguli perusahaan lainnya di tengah kondisi yang tidak pasti. Yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian melihat ke dalam dan melakukan perubahan. Setelah itu, ukur kondisi di luar dan sesuaikan dengan perubahan yang ada.
Satu hal yang harus dihindari adalah menyalahkan keadaan baik internal maupun eksternal. Sikap menyalahkan adalah sikap menyerah dengan keadaan. Sikap menyalahkan pihak lain adalah sikap arogan yang sangat tidak produktif. Semestinya, personal atau organisasi mawas diri atau instropeksi diri agar mengetahui kembali kekuatan dan kelemahan. Jika menyalahkan pihak luar artinya mereka terlalu jumawa bahwa hanya dirinya yang benar. Banyak yang paham tentang ini namun banyak pula yang justru tidak menyadari.
Federer dan Marvel telah mengajari kita bagaimana harus bisa bertahan dengan kekuatan internal dan mampu dengan jernih melihat kekuatan eksternal. Ini sangat menginspirasi personal dan organisasi. Keduanya bisa menjadi contoh bagi kita jika ingin menjadi lebih baik. Hasilnya, bukan hanya mampu bertahan tapi juga lebih baik dari sebelumnya. Maukah kita melakukan instropeksi diri, jika ingin lebih baik semestinya mau.
(thm)