Menjaring Ikan Tiruan
A
A
A
Abdul Halim
Penikmat Kuliner Laut,
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Jakarta
Orang Jepang gemar mengonsumsi aneka olahan tuna dalam bentuk sashimi, katsuobushi, dan tuna kalengan. Selain ukurannya yang besar dan cita rasanya yang dikenal lezat dan menyehatkan, tuna juga memiliki arti penting di dalam khazanah peradaban maritim Negeri Matahari Terbit itu. Saking bermanfaatnya, mereka menjuluki tuna sirip biru dengan sebutan raja tuna (magurono-o).
Kemasyhuran ikan tuna di Jepang dilatari jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki saat Perang Dunia II berlangsung pada 6 dan 9 Agustus 1945. Luluh lantaknya Negeri Sakura mendorong Kaisar Hirohito (1926-1989) untuk membangun kembali bangsanya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menggencarkan rakyatnya untuk mengonsumsi pangan perikanan terbaik. Hasilnya kini Jepang berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya seperti Amerika Serikat, China, dan Rusia.
Berkebalikan dengan Jepang, Indonesia justru disibukkan dengan perkara ditemukannya kaleng ikan sarden makarel yang tercemar cacing di Provinsi Jambi, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Banten, dan pelbagai daerah lain. Buntut dari temuan ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia telah mengumumkan hasil pengujiannya terhadap 541 sampel ikan dalam kemasan kaleng yang terdiri atas 66 merek.
Di dalam laporan yang dilansir BPOM pada 28 Maret 2018 dinyatakan bahwa 27 merek positif mengandung parasit cacing Anisakis sp., terdiri atas 16 merek produk impor seperti Dongwon, Hosen, dan Poh Sung, serta 11 merek produk dalam negeri yang menggunakan bahan baku impor. Ironisnya, 65% ikan makarel impor tersebut berasal dari China. Untuk itulah BPOM mengeluarkan surat perintah penarikan sekitar 22,45 juta ikan makarel kaleng impor dan 47.000 ikan kaleng merek dalam negeri per 29 Maret 2018. Inilah bencana pangan perikanan di negeri kelautan terbesar di dunia. Pertanyaannya, apa yang sesungguhnya tengah terjadi?
Sejak Kabinet Kerja dilantik pada 27 Oktober 2014, pemerintah berkeinginan memastikan kedaulatan negara di laut tidak dilanggar oleh kepentingan asing. Tak ayal, sebanyak 317 kapal pelaku illegal fishing telah ditenggelamkan antara Oktober 2014 hingga April 2017. Capaian ini bernilai positif apabila dibarengi dengan kemampuan pemerintah dalam menggerakkan sentra ekonomi kelautan dan perikanan rakyat. Sayangnya momentum ini kembali hilang ditelan ombak pencitraan. Alih-alih memajukan aktivitas perikanan rakyat, pemerintah justru memperpanjang polemik cantrang dan memperbesar angka pengangguran di sektor pengolahan ikan dan produk perikanan.
Tak hanya itu, di tengah anjloknya produksi garam nasional dan kian tingginya kuota impor, pemerintah malah mengalihkan kewenangan pengelolaan pergaraman nasional dari Kementerian Kelautan dan Perikanan ke Kementerian Perindustrian yang terbukti menabrak aturan perundang-undangan.
Lebih parah lagi, mandat Undang-Undang No 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam justru dimaknai sebatas pendistribusian kartu asuransi yang serbatanggung. Padahal, skema perlindungan dan pemberdayaan yang mesti dilakukan pemerintah kepada nelayan kecil, pembudi daya ikan, dan petambak garam tak terbatas pada asuransi.
Amburadulnya tata kelola kelautan dan perikanan sebagaimana dipertontonkan pemerintah belakangan ini telah diingatkan oleh Abdoel Kahar Moezakir di dalam sidang kedua Badan untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Indonesia Merdeka (Dokuritu Zyunbi Tyoosakai), 10-17 Juli 1945: "Apabila kita hendak menetapkan halaman rumah, maka pertama-tama yang penting bagi kita adalah kesanggupan kita akan memperhatikan halaman rumah tangga itu." Pada konteks inilah diperlukan kesungguhan penyelenggara negara untuk memuliakan hajat hidup nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam guna mengatasi berulangnya tragedi kaleng ikan sarden makarel yang tercemar parasit cacing. Lantas, bagaimana memulainya?
Pertama, sudah menjadi rahasia umum apabila pendataan hasil tangkapan ikan masih menjadi permasalahan mendasar di republik ini. Untuk menyelesaikan hal ini, sudah saatnya pemerintah membentuk Badan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (BWPP-NRI).
Dalam pelaksanaannya, BWPP-NRI bertugas untuk (a) memastikan jumlah armada penangkapan ikan yang bisa beroperasi di setiap WPP-NRI berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 47 Tahun 2016 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 86 Tahun 2016 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan; (b) melakukan pendataan hasil tangkapan ikan secara digital dan real time; dan (c) mengevaluasi pelaksanaan perizinan perikanan dan memberikan rekomendasi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan.
Kedua, lambannya proses pengurusan perizinan di sektor perikanan telah membuka peluang terjadinya praktik korupsi. Seperti diketahui, untuk menjalankan usaha perikanan, dibutuhkan sejumlah dokumen perizinan yang mesti diurus di Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perhubungan, yakni Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia (STKKI), SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan), SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan), SLO (Surat Laik Operasi), dan SPB (Surat Persetujuan Berlayar). Ironisnya, dibutuhkan waktu lebih dari 30 hari untuk mengurus dokumen-dokumen tersebut. Di sinilah pentingnya keberadaan Kantor Bersama Pengurusan Perizinan Perikanan di setiap sentra produksi perikanan dari Sabang sampai Merauke. Selain meningkatkan penerimaan negara, keberadaan kantor bersama ini bisa meningkatkan produktivitas perikanan rakyat.
Ketiga, menghubungkan instalasi pendukung aktivitas perikanan rakyat. Contohnya, Pelabuhan Perikanan Pondok Dadap di Kabupaten Malang yang tidak memiliki pasokan listrik reguler dari Perusahaan Listrik Negara. Ditambah lagi jauhnya jarak cold storage dengan permukiman nelayan. Alih-alih bersungguh-sungguh memajukan perikanan nasional, Menteri Kelautan dan Perikanan justru menghambur-hamburkan anggaran sebesar Rp552,990 miliar di dalam APBN 2016 dan 2017 untuk pembangunan Integrated Aquarium and Marine Research Institute (IAMaRI) di Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten Pulau Morotai di Maluku Utara.
Pada akhirnya, membereskan pekerjaan membenahi karut-marut perikanan nasional bisa tercapai apabila pemerintah memberi peluang seluas-luasnya kepada rakyatnya untuk memanfaatkan sumber daya perikanan dari Malaka ke Arafura dan berhenti menjadikan rakyat sebagai kuli di antara bangsa-bangsa lain. Terlebih lagi, 90% nelayan tradisional di republik yang diapit oleh dua samudra ini tak pernah menjaring ikan tiruan yang mengandung parasit cacing.
Seperti dikatakan oleh Bung Hatta, "Biarlah kita hidup dalam daerah lingkungan kita sendiri. Kita seumur hidup menentang imperialisme, janganlah kita memberi anjuran kepada pemuda kita, memberi semangat imperialisme, mau meluap keluar. Marilah kita mendidik pemuda kita, supaya semangat imperialisme meluap ke dalam, membereskan pekerjaan kita ke dalam, yang memang masih banyak harus diperkuat dan disempurnakan."
Penikmat Kuliner Laut,
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Jakarta
Orang Jepang gemar mengonsumsi aneka olahan tuna dalam bentuk sashimi, katsuobushi, dan tuna kalengan. Selain ukurannya yang besar dan cita rasanya yang dikenal lezat dan menyehatkan, tuna juga memiliki arti penting di dalam khazanah peradaban maritim Negeri Matahari Terbit itu. Saking bermanfaatnya, mereka menjuluki tuna sirip biru dengan sebutan raja tuna (magurono-o).
Kemasyhuran ikan tuna di Jepang dilatari jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki saat Perang Dunia II berlangsung pada 6 dan 9 Agustus 1945. Luluh lantaknya Negeri Sakura mendorong Kaisar Hirohito (1926-1989) untuk membangun kembali bangsanya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menggencarkan rakyatnya untuk mengonsumsi pangan perikanan terbaik. Hasilnya kini Jepang berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya seperti Amerika Serikat, China, dan Rusia.
Berkebalikan dengan Jepang, Indonesia justru disibukkan dengan perkara ditemukannya kaleng ikan sarden makarel yang tercemar cacing di Provinsi Jambi, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Banten, dan pelbagai daerah lain. Buntut dari temuan ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia telah mengumumkan hasil pengujiannya terhadap 541 sampel ikan dalam kemasan kaleng yang terdiri atas 66 merek.
Di dalam laporan yang dilansir BPOM pada 28 Maret 2018 dinyatakan bahwa 27 merek positif mengandung parasit cacing Anisakis sp., terdiri atas 16 merek produk impor seperti Dongwon, Hosen, dan Poh Sung, serta 11 merek produk dalam negeri yang menggunakan bahan baku impor. Ironisnya, 65% ikan makarel impor tersebut berasal dari China. Untuk itulah BPOM mengeluarkan surat perintah penarikan sekitar 22,45 juta ikan makarel kaleng impor dan 47.000 ikan kaleng merek dalam negeri per 29 Maret 2018. Inilah bencana pangan perikanan di negeri kelautan terbesar di dunia. Pertanyaannya, apa yang sesungguhnya tengah terjadi?
Sejak Kabinet Kerja dilantik pada 27 Oktober 2014, pemerintah berkeinginan memastikan kedaulatan negara di laut tidak dilanggar oleh kepentingan asing. Tak ayal, sebanyak 317 kapal pelaku illegal fishing telah ditenggelamkan antara Oktober 2014 hingga April 2017. Capaian ini bernilai positif apabila dibarengi dengan kemampuan pemerintah dalam menggerakkan sentra ekonomi kelautan dan perikanan rakyat. Sayangnya momentum ini kembali hilang ditelan ombak pencitraan. Alih-alih memajukan aktivitas perikanan rakyat, pemerintah justru memperpanjang polemik cantrang dan memperbesar angka pengangguran di sektor pengolahan ikan dan produk perikanan.
Tak hanya itu, di tengah anjloknya produksi garam nasional dan kian tingginya kuota impor, pemerintah malah mengalihkan kewenangan pengelolaan pergaraman nasional dari Kementerian Kelautan dan Perikanan ke Kementerian Perindustrian yang terbukti menabrak aturan perundang-undangan.
Lebih parah lagi, mandat Undang-Undang No 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam justru dimaknai sebatas pendistribusian kartu asuransi yang serbatanggung. Padahal, skema perlindungan dan pemberdayaan yang mesti dilakukan pemerintah kepada nelayan kecil, pembudi daya ikan, dan petambak garam tak terbatas pada asuransi.
Amburadulnya tata kelola kelautan dan perikanan sebagaimana dipertontonkan pemerintah belakangan ini telah diingatkan oleh Abdoel Kahar Moezakir di dalam sidang kedua Badan untuk Menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Indonesia Merdeka (Dokuritu Zyunbi Tyoosakai), 10-17 Juli 1945: "Apabila kita hendak menetapkan halaman rumah, maka pertama-tama yang penting bagi kita adalah kesanggupan kita akan memperhatikan halaman rumah tangga itu." Pada konteks inilah diperlukan kesungguhan penyelenggara negara untuk memuliakan hajat hidup nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam guna mengatasi berulangnya tragedi kaleng ikan sarden makarel yang tercemar parasit cacing. Lantas, bagaimana memulainya?
Pertama, sudah menjadi rahasia umum apabila pendataan hasil tangkapan ikan masih menjadi permasalahan mendasar di republik ini. Untuk menyelesaikan hal ini, sudah saatnya pemerintah membentuk Badan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (BWPP-NRI).
Dalam pelaksanaannya, BWPP-NRI bertugas untuk (a) memastikan jumlah armada penangkapan ikan yang bisa beroperasi di setiap WPP-NRI berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 47 Tahun 2016 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 86 Tahun 2016 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan; (b) melakukan pendataan hasil tangkapan ikan secara digital dan real time; dan (c) mengevaluasi pelaksanaan perizinan perikanan dan memberikan rekomendasi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan.
Kedua, lambannya proses pengurusan perizinan di sektor perikanan telah membuka peluang terjadinya praktik korupsi. Seperti diketahui, untuk menjalankan usaha perikanan, dibutuhkan sejumlah dokumen perizinan yang mesti diurus di Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perhubungan, yakni Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia (STKKI), SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan), SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan), SLO (Surat Laik Operasi), dan SPB (Surat Persetujuan Berlayar). Ironisnya, dibutuhkan waktu lebih dari 30 hari untuk mengurus dokumen-dokumen tersebut. Di sinilah pentingnya keberadaan Kantor Bersama Pengurusan Perizinan Perikanan di setiap sentra produksi perikanan dari Sabang sampai Merauke. Selain meningkatkan penerimaan negara, keberadaan kantor bersama ini bisa meningkatkan produktivitas perikanan rakyat.
Ketiga, menghubungkan instalasi pendukung aktivitas perikanan rakyat. Contohnya, Pelabuhan Perikanan Pondok Dadap di Kabupaten Malang yang tidak memiliki pasokan listrik reguler dari Perusahaan Listrik Negara. Ditambah lagi jauhnya jarak cold storage dengan permukiman nelayan. Alih-alih bersungguh-sungguh memajukan perikanan nasional, Menteri Kelautan dan Perikanan justru menghambur-hamburkan anggaran sebesar Rp552,990 miliar di dalam APBN 2016 dan 2017 untuk pembangunan Integrated Aquarium and Marine Research Institute (IAMaRI) di Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten Pulau Morotai di Maluku Utara.
Pada akhirnya, membereskan pekerjaan membenahi karut-marut perikanan nasional bisa tercapai apabila pemerintah memberi peluang seluas-luasnya kepada rakyatnya untuk memanfaatkan sumber daya perikanan dari Malaka ke Arafura dan berhenti menjadikan rakyat sebagai kuli di antara bangsa-bangsa lain. Terlebih lagi, 90% nelayan tradisional di republik yang diapit oleh dua samudra ini tak pernah menjaring ikan tiruan yang mengandung parasit cacing.
Seperti dikatakan oleh Bung Hatta, "Biarlah kita hidup dalam daerah lingkungan kita sendiri. Kita seumur hidup menentang imperialisme, janganlah kita memberi anjuran kepada pemuda kita, memberi semangat imperialisme, mau meluap keluar. Marilah kita mendidik pemuda kita, supaya semangat imperialisme meluap ke dalam, membereskan pekerjaan kita ke dalam, yang memang masih banyak harus diperkuat dan disempurnakan."
(zik)