Menjaring Ikan Tiruan

Senin, 07 Mei 2018 - 08:31 WIB
Menjaring Ikan Tiruan
Menjaring Ikan Tiruan
A A A
Abdul Halim
Penikmat Kuliner Laut,
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Jakarta

Orang Jepang gemar mengonsumsi ane­ka olahan tuna dalam bentuk sashi­mi, katsuobushi, dan tuna ka­lengan. Selain ukurannya yang besar dan cita rasanya yang dikenal lezat dan menyehatkan, tuna juga memiliki arti penting di dalam khazanah peradaban maritim Negeri Matahari Terbit itu. Saking bermanfaatnya, me­reka menjuluki tuna sirip biru dengan sebutan raja tuna (magurono-o).

Kemasyhuran ikan tuna di Jepang dilatari jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Na­ga­saki saat Perang Dunia II berlangsung pada 6 dan 9 Agustus 1945. Luluh lantaknya Negeri Sakura mendorong Kaisar Hiro­hi­to (1926-1989) untuk membangun kembali bangsanya. Salah satu upaya yang dila­ku­kan adalah menggencarkan rak­yatnya untuk mengonsumsi pangan perikanan terbaik. Ha­silnya kini Jepang berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju lain­nya seperti Amerika Serikat, China, dan Rusia.

Berkebalikan dengan Je­pang, Indonesia justru disi­buk­kan dengan perkara dite­mu­kan­nya kaleng ikan sarden ma­karel yang tercemar cacing di Pro­vinsi Jambi, Provinsi Nang­groe Aceh Darussalam, Provinsi Banten, dan pelbagai daerah lain. Buntut dari temuan ini, Ba­dan Pengawas Obat dan Ma­kan­an (BPOM) Republik Indonesia telah mengumumkan hasil peng­ujiannya terhadap 541 sam­pel ikan dalam kemasan ka­leng yang terdiri atas 66 merek.

Di dalam laporan yang di­lan­sir BPOM pada 28 Maret 2018 dinyatakan bahwa 27 merek po­sitif mengandung parasit cacing Anisakis sp., terdiri atas 16 me­rek produk impor seperti Dong­won, Hosen, dan Poh Sung, ser­ta 11 merek produk dalam negeri yang menggunakan bahan ba­ku impor. Ironisnya, 65% ikan makarel impor tersebut ber­asal dari China. Untuk itulah BPOM mengeluarkan surat perintah penarikan sekitar 22,45 juta ikan makarel kaleng impor dan 47.000 ikan kaleng merek da­lam negeri per 29 Maret 2018. Inilah bencana pangan per­ikan­an di negeri kelautan terbesar di dunia. Pertanyaannya, apa yang se­sung­guhnya tengah terjadi?

Sejak Kabinet Kerja dilantik pada 27 Oktober 2014, pe­me­rin­tah berkeinginan memas­ti­kan kedaulatan negara di laut tid­ak dilanggar oleh kepen­ting­an asing. Tak ayal, sebanyak 317 kapal pelaku illegal fishing telah ditenggelamkan antara Okto­ber 2014 hingga April 2017. Ca­paian ini bernilai positif apabila dibarengi dengan kemampuan pemerintah da­lam meng­ge­rak­kan sentra ekonomi kelautan dan per­ikanan rakyat. Sayang­nya momentum ini kembali hi­lang ditelan ombak pen­ci­traan. Alih-alih memajukan aktivitas perikanan rakyat, pemerintah justru memperpanjang po­le­mik cantrang dan mem­per­be­sar angka pe­ng­ang­guran di sek­tor pengo­lahan ikan dan produk per­ikanan.

Tak hanya itu, di tengah anjlok­nya produksi ga­ram na­sional dan kian ting­ginya kuota impor, pe­merintah malah meng­alihkan kewe­nang­an pengelolaan per­ga­ram­an nasional dari Ke­men­terian Kelautan dan Perikanan ke Kementerian Per­industrian yang terbukti me­nabrak aturan perundang-undangan.

Lebih parah lagi, mandat Undang-Undang No 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pem­berdayaan Nelayan, Pem­bu­di daya Ikan, dan Petambak Garam justru dimaknai sebatas pendistribusian kartu asuransi yang serbatanggung. Padahal, skema perlindungan dan pemberdayaan yang mesti dila­ku­kan pemerintah kepada ne­la­yan kecil, pembudi daya ikan, dan petambak garam tak ter­­batas pada asuransi.

Amburadulnya tata kelola ke­lautan dan perikanan seba­gai­ma­na dipertontonkan pe­me­rintah belakangan ini telah di­ingatkan oleh Abdoel Kahar Moezakir di dalam sidang kedua Badan untuk Menyelidiki Usa­ha-Usaha Persiapan Indonesia Merdeka (Dokuritu Zyunbi Tyoo­sakai), 10-17 Juli 1945: "Apabila kita hendak menetapkan ha­lam­an rumah, maka pertama-tama yang penting bagi kita adalah kesanggupan kita akan memperhatikan halaman ru­mah tangga itu." Pada konteks inilah diperlukan kesungguhan penyelenggara negara untuk memuliakan hajat hidup nela­yan tradisional, perem­puan ne­la­yan, pembudi daya ikan, dan petambak garam guna meng­atasi berulangnya tragedi ka­leng ikan sarden makarel yang tercemar parasit cacing. Lantas, bagaimana memulainya?

Pertama, sudah menjadi ra­ha­sia umum apabila pendataan hasil tangkapan ikan masih menjadi permasalahan men­da­sar di republik ini. Untuk me­nye­lesaikan hal ini, sudah saat­nya pemerintah membentuk Badan Wilayah Pengelolaan Pe­rikanan Negara Republik Indo­ne­sia (BWPP-NRI).

Dalam pelaksanaannya, BWPP-NRI bertugas untuk (a) memastikan jumlah armada penangkapan ikan yang bisa beroperasi di setiap WPP-NRI berdasarkan Keputusan Men­teri Kelautan dan Perikanan No 47 Tahun 2016 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tang­kapan yang Diperboleh­kan, dan Ting­kat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Per­ikanan Negara Republik Indo­nesia dan Kepu­tusan Men­teri Kelautan dan Perikanan No 86 Tahun 2016 tentang Pro­duk­ti­vitas Kapal Penangkap Ikan; (b) mel­ak­u­kan pendataan hasil tang­kap­an ikan secara digital dan real time; dan (c) me­nge­va­luasi pe­laksanaan perizinan per­ikan­an dan memberikan re­ko­men­dasi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan.

Kedua, lambannya proses pe­ngurusan perizinan di sektor perikanan telah mem­buka pe­luang terjadinya prak­tik ko­rup­si. Seperti diketahui, untuk men­jalankan usaha per­ikanan, dibutuhkan sejumlah dokumen perizinan yang mesti diurus di Kementerian Ke­lautan dan Per­ikanan dan Kementerian Per­hu­bung­an, yakni Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indo­nesia (STKKI), SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan), SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan), SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan), SLO (Surat Laik Operasi), dan SPB (Surat Persetujuan Ber­la­yar). Ironisnya, dibutuhkan wak­tu lebih dari 30 hari untuk mengurus dokumen-dokumen tersebut. Di sinilah pentingnya keberadaan Kantor Bersama Pengurusan Perizinan Perikanan di setiap sentra produksi per­ikanan dari Sabang sampai Merauke. Selain meningkatkan penerimaan negara, kebera­da­an kantor bersama ini bisa me­ningkatkan produktivitas per­ikanan rakyat.

Ketiga, menghubungkan ins­ta­lasi pendukung aktivitas perikanan rakyat. Contohnya, Pelabuhan Perikanan Pondok Dadap di Kabupaten Malang yang tidak memiliki pasokan listrik reguler dari Perusahaan Listrik Negara. Ditambah lagi jauh­nya jarak cold storage d­e­ngan permukiman nelayan. Alih-alih bersungguh-sungguh me­ma­jukan perikanan na­sio­nal, Menteri Kelautan dan Per­ikanan justru menghambur-hamburkan anggaran sebesar Rp552,990 miliar di dalam APBN 2016 dan 2017 untuk pem­bangunan Integrated Aqua­rium and Marine Research Ins­ti­tute (IAMaRI) di Kabupaten Pang­andaran, Provinsi Jawa Ba­rat, dan Kabupaten Pulau Mo­rotai di Maluku Utara.

Pada akhirnya, mem­be­res­kan pekerjaan membenahi ka­rut-marut perikanan nasional bisa tercapai apabila peme­rin­tah memberi peluang seluas-luas­nya kepada rakyatnya un­tuk memanfaatkan sumber da­ya perikanan dari Malaka ke Ara­fura dan berhenti menja­di­kan rakyat sebagai kuli di antara bangsa-bangsa lain. Terlebih lagi, 90% nelayan tradisional di republik yang diapit oleh dua samudra ini tak pernah menjaring ikan tiruan yang meng­andung parasit cacing.

Seperti dikatakan oleh Bung Hatta, "Biarlah kita hidup da­lam daerah lingkungan kita sen­diri. Kita seumur hidup me­nen­tang imperialisme, janganlah kita memberi anjuran kepada pemuda kita, memberi se­ma­ngat imperialisme, mau meluap keluar. Marilah kita mendidik pemuda kita, supaya semangat imperialisme meluap ke dalam, membereskan pekerjaan kita ke dalam, yang memang masih ba­nyak harus diperkuat dan disem­purnakan."
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6749 seconds (0.1#10.140)