Pembentukan Pansus Angket TKA Masih Alot
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah fraksi menilai pembentukan Panitia Khusus Angket Tenaga Kerja Asing (Pansus TKA) yang diinisiasi Fraksi Gerindra dan Fraksi PKS tidak diperlukan. Fraksi yang tak mendukung beralasan bahwa pemerintah telah menjelaskan Peraturan Presiden Nomor 20/2018 tentang Penggunaan TKA (Perpres TKA) secara lengkap dalam rapat kerja di Komisi IX DPR.
Usulan pembentukan Pansus TKA yang sedang bergulir di DPR itu bertujuan mengkritisi terbitnya Perpres TKA. Beberapa fraksi menilai penjelasan dari pemerintah sudah mencukupi. Misalnya yang disampaikan Fraksi Golkar serta PDIP.
"Dalam pandangan Fraksi Golkar, tidak melihat pelonggaran (TKA). Memang perlu kita perkuat struktur, infrastruktur untuk mempercepat waktu proses pengurusan TKA," kata Wakil Ketua Komisi IX Ikhsan Firdaus dalam diskusi yang bertajuk "Adu Kuat Pansus Angket TKA" di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (3/5/2018).
Politikus Partai Golkar itu menjelaskan, banyak hal positif dalam Perpres TKA tersebut. Di antaranya sistem online yang diperkuat, pengurusan izin TKA yang selama ini melalui banyak pintu menjadi lebih sederhana, termasuk rekomendasi teknis kementerian. "Ambil contoh misalnya penggunaan TKA yang ada di Kementerian ESDM yang selama ini memerlukan rekomendasi. ESDM memberikan satu pintu TKA dengan persyaratan yang cukup ketat," jelasnya.
Ikhsan mengakui, memang ada kelemahan dalam proses pengawasan TKA. Tim Pengawas Orang Asing (Timpora) yang ada di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) hanya bisa mengawasi pada pintu masuk. Selain itu adanya kebijakan bebas visa kunjungan membuat Timpora kewalahan.
"Karena itu kami di Komisi IX meminta pemerintah membentuk yang namanya Satgas (Satuan Tugas) Pengawasan Orang Asing. Ini yang perlu kita perkuat," ujarnya.
Menurutnya, Perpres TKA ini bulan berarti melonggarkan masuknya TKA ke Indonesia dan membuat banyaknya TKA ilegal dan buruh kasar asing berdatangan di berbagai daerah. Ikhsan menegaskan bahwa pembentukan Pansus TKA tidak diperlukan di DPR.
Sebelumnya Bendahara Fraksi PDIP Alex Indra Lukman menyatakan bahwa Pansus TKA belum terlalu diperlukan. Ko misi IX justru telah mengusulkan pembentukan satgas untuk menyelidiki TKA. "Kami memantau hasil rapat di Komisi IX. Seluruh kecurigaan sudah dijawab Menaker dan cukup menjelaskan dengan gamblang soal Perpres TKA tersebut. Maka menurut kami tidak perlu dibentuk pansus angket terkait hal itu," katanya.
Sementara itu Wakil Ketua DPR Koordinator Politik dan Keamanan (Korpolkam) Fadli Zon mengatakan, isu pengistimewaan TKA lewat Perpres 20/2018 menjadi isu hangat dalam May Day atau Hari Buruh. Karena buruh asing diistimewakan, sementara buruh lokal tidak. Bahkan subsidi buruh lokal dicabut oleh pemerintah. "Ada beberapa fakta dan data saya kira yang menjadi persoalan dalam tenaga kerja asing ini, yaitu tenaga kerja asing ini terutama yang ilegal dan tenaga kerja asing yang merupakan tenaga kerja kasar atau unskill labor," katanya dalam kesempatan yang sama.
Menurut Fadli, buruh kasar asing itu tidak seharusnya masuk ke Indonesia. Tapi kenyataannya, banyak buruh kasar asing ditemukan di sejumlah daerah. Dari data serikat pekerja Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), diketahui terdapat 170.000 unskill workers yang ada di dalam negeri.
Sementara pemerintah juga tidak mengetahui data buruh asing ilegal yang masuk. Dia menjelaskan, dalam data tahun 2016 dari Kemenkumham diketahui terdapat 7.787 pelanggaran keimigrasian. Dalam persoalan ketenagakerjaan ada 1.324 pelanggaran ketenagakerjaan. "Kita melihat bahwa masalah dari TKA ini ada beberapa hal. Yang pertama karena persoalan bebas visa dalam Perpres Nomor 21/2016," sebutnya.
Menurut Fadli Zon, banyaknya TKA ilegal di dalam negeri diakibatkan kebijakan bebas visa. Faktor lain adalah adanya tenking project di mana investor asing membawa buruh kasar dari negaranya ke dalam negeri. Ombudsman RI (ORI) pun telah merilis hasil temuannya mengenai TKA. "Jadi saya heran kalau ada yang mengatakan bahwa perpres ini memberikan ke apa namanya, lebih sulit buruh asing masuk. Yang ada justru melonggarkan masuk ke Indonesia dan mengambil jatah. Itu yang jadi masalah," ucap politikus Gerindra itu.
Dia menjelaskan, setidaknya ada tiga regulasi yang melonggarkan syarat penggunaan TKA. Pertama, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 16/2015 yang menghapuskan kewajiban TKA memiliki kemampuan berbahasa Indonesia. Memang di dalam perpres itu ada ketentuan perusahaan wajib memfasilitasi TKA terkait kemampuan bahasa. "Wajib memfasilitasi dengan kewajiban memiliki kemampuan berbahasa Indonesia dua hal yang berbeda," imbuhnya.
Kedua, pada Permenakertrans Nomor 35/2015, kewajiban merekrut 10 orang tenaga kerja lokal setiap 1 orang TKA dihapuskan. Adapun Perpres Nomor 20/2018 memuat izin menggunakan TKA yang prosesnya dipercepat menjadi dua hari saja. Sedangkan ketiga, ada faktor-faktor yang menjadi masalah dari sisi ekonomi. Potensi lapangan pekerjaan yang seharusnya bisa didapatkan oleh tenaga kerja lokal, misalnya, bakal diambil oleh tenaga kerja asing. "Dan mereka mendapatkan upah atau gaji yang lebih besar, bahkan rata-rata 3 kali lipat," sebutnya.
Usulan pembentukan Pansus TKA yang sedang bergulir di DPR itu bertujuan mengkritisi terbitnya Perpres TKA. Beberapa fraksi menilai penjelasan dari pemerintah sudah mencukupi. Misalnya yang disampaikan Fraksi Golkar serta PDIP.
"Dalam pandangan Fraksi Golkar, tidak melihat pelonggaran (TKA). Memang perlu kita perkuat struktur, infrastruktur untuk mempercepat waktu proses pengurusan TKA," kata Wakil Ketua Komisi IX Ikhsan Firdaus dalam diskusi yang bertajuk "Adu Kuat Pansus Angket TKA" di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (3/5/2018).
Politikus Partai Golkar itu menjelaskan, banyak hal positif dalam Perpres TKA tersebut. Di antaranya sistem online yang diperkuat, pengurusan izin TKA yang selama ini melalui banyak pintu menjadi lebih sederhana, termasuk rekomendasi teknis kementerian. "Ambil contoh misalnya penggunaan TKA yang ada di Kementerian ESDM yang selama ini memerlukan rekomendasi. ESDM memberikan satu pintu TKA dengan persyaratan yang cukup ketat," jelasnya.
Ikhsan mengakui, memang ada kelemahan dalam proses pengawasan TKA. Tim Pengawas Orang Asing (Timpora) yang ada di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) hanya bisa mengawasi pada pintu masuk. Selain itu adanya kebijakan bebas visa kunjungan membuat Timpora kewalahan.
"Karena itu kami di Komisi IX meminta pemerintah membentuk yang namanya Satgas (Satuan Tugas) Pengawasan Orang Asing. Ini yang perlu kita perkuat," ujarnya.
Menurutnya, Perpres TKA ini bulan berarti melonggarkan masuknya TKA ke Indonesia dan membuat banyaknya TKA ilegal dan buruh kasar asing berdatangan di berbagai daerah. Ikhsan menegaskan bahwa pembentukan Pansus TKA tidak diperlukan di DPR.
Sebelumnya Bendahara Fraksi PDIP Alex Indra Lukman menyatakan bahwa Pansus TKA belum terlalu diperlukan. Ko misi IX justru telah mengusulkan pembentukan satgas untuk menyelidiki TKA. "Kami memantau hasil rapat di Komisi IX. Seluruh kecurigaan sudah dijawab Menaker dan cukup menjelaskan dengan gamblang soal Perpres TKA tersebut. Maka menurut kami tidak perlu dibentuk pansus angket terkait hal itu," katanya.
Sementara itu Wakil Ketua DPR Koordinator Politik dan Keamanan (Korpolkam) Fadli Zon mengatakan, isu pengistimewaan TKA lewat Perpres 20/2018 menjadi isu hangat dalam May Day atau Hari Buruh. Karena buruh asing diistimewakan, sementara buruh lokal tidak. Bahkan subsidi buruh lokal dicabut oleh pemerintah. "Ada beberapa fakta dan data saya kira yang menjadi persoalan dalam tenaga kerja asing ini, yaitu tenaga kerja asing ini terutama yang ilegal dan tenaga kerja asing yang merupakan tenaga kerja kasar atau unskill labor," katanya dalam kesempatan yang sama.
Menurut Fadli, buruh kasar asing itu tidak seharusnya masuk ke Indonesia. Tapi kenyataannya, banyak buruh kasar asing ditemukan di sejumlah daerah. Dari data serikat pekerja Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), diketahui terdapat 170.000 unskill workers yang ada di dalam negeri.
Sementara pemerintah juga tidak mengetahui data buruh asing ilegal yang masuk. Dia menjelaskan, dalam data tahun 2016 dari Kemenkumham diketahui terdapat 7.787 pelanggaran keimigrasian. Dalam persoalan ketenagakerjaan ada 1.324 pelanggaran ketenagakerjaan. "Kita melihat bahwa masalah dari TKA ini ada beberapa hal. Yang pertama karena persoalan bebas visa dalam Perpres Nomor 21/2016," sebutnya.
Menurut Fadli Zon, banyaknya TKA ilegal di dalam negeri diakibatkan kebijakan bebas visa. Faktor lain adalah adanya tenking project di mana investor asing membawa buruh kasar dari negaranya ke dalam negeri. Ombudsman RI (ORI) pun telah merilis hasil temuannya mengenai TKA. "Jadi saya heran kalau ada yang mengatakan bahwa perpres ini memberikan ke apa namanya, lebih sulit buruh asing masuk. Yang ada justru melonggarkan masuk ke Indonesia dan mengambil jatah. Itu yang jadi masalah," ucap politikus Gerindra itu.
Dia menjelaskan, setidaknya ada tiga regulasi yang melonggarkan syarat penggunaan TKA. Pertama, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor 16/2015 yang menghapuskan kewajiban TKA memiliki kemampuan berbahasa Indonesia. Memang di dalam perpres itu ada ketentuan perusahaan wajib memfasilitasi TKA terkait kemampuan bahasa. "Wajib memfasilitasi dengan kewajiban memiliki kemampuan berbahasa Indonesia dua hal yang berbeda," imbuhnya.
Kedua, pada Permenakertrans Nomor 35/2015, kewajiban merekrut 10 orang tenaga kerja lokal setiap 1 orang TKA dihapuskan. Adapun Perpres Nomor 20/2018 memuat izin menggunakan TKA yang prosesnya dipercepat menjadi dua hari saja. Sedangkan ketiga, ada faktor-faktor yang menjadi masalah dari sisi ekonomi. Potensi lapangan pekerjaan yang seharusnya bisa didapatkan oleh tenaga kerja lokal, misalnya, bakal diambil oleh tenaga kerja asing. "Dan mereka mendapatkan upah atau gaji yang lebih besar, bahkan rata-rata 3 kali lipat," sebutnya.
(amm)