Buwas dan Tantangan Baru Bulog
A
A
A
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan (2010-sekarang), penulis buku "Ironi Negeri Beras"
PENUNJUKAN Budi Waseso sebagai direktur utama Perum Bulog menggantikan Djarot Kusumayakti telah mengakhiri spekulasi siapa pucuk pimpinan baru Bulog. Akhir spekulasi ini penting untuk memastikan seluruh jajaran Bulog dalam bekerja dan mengemban tugas-tugas penting yang sudah menunggu di depan mata.
Seperti yang disampaikan Kementerian BUMN, Buwas-panggilan Budi Waseso, yang berkarakter tegas, tidak kompromi, pernah memimpin organisasi yang kompleks (BNN dan Bareskrim Polri), dan kaya pengalaman lapangan, diharapkan memperkuat Bulog.
Tak ada yang salah dengan alasan itu. Yang pasti, karena persoalan pangan yang menjadi tanggung jawab utama Bulog merupakan hal baru, Buwas harus banyak belajar dan menyerap banyak informasi, baik dari internal maupun stakeholders pangan lainnya. Persoalan pangan amat kompleks, bahkan multikompleks.
Melibatkan banyak pelaku. Sering kali persoalan yang terjadi, berada di luar kewenangan Bulog. Pangan juga erat terkait dengan pasar. Karakter pasar pangan amat sensitif. Kebijakan yang menciptakan ketidakpastian baru harus dihindari. Diperlukan keluwesan dalam bekerja dan bertindak.
Ramadan tinggal beberapa hari lagi, sementara saat ini harga-harga pangan masih bertahan tinggi. Keinginan Presiden Joko Widodo agar harga pangan turun menjelang Ramadan belum tercapai. Sebagai nakhoda baru Bulog, Buwas tidak punya kemewahan berlama-lama belajar. Dia harus segera mengonsolidasikan tim dan memetakan persoalan yang dihadapi.
PR memastikan pasokan dan menstabilkan harga pangan sebelum dan saat Ramadan perlu aksi segera. Tidak bisa menunggu. Mungkin karena ini di level eksekutif, pergantian dirut hanya diikuti pergantian direktur keuangan. Tentu agar tugas-tugas terkait persoalan pasokan dan stabilisasi harga pangan, tetap berjalan seperti yang ada.
Di luar perlunya memahami ketahanan pangan dengan segala dimensinya secara utuh, yang paling krusial adalah keharusan Buwas untuk mengenali tantangan Bulog yang berubah. Ini penting agar dia bisa bekerja optimal. Pertama, perubahan kebijakan pemerintah terkait tugas pelayanan publik (public service obligation).
Beras untuk rakyat miskin (raskin) yang berubah jadi rastra atau beras sejahtera, secara gradual diganti jadi bantuan pangan nontunai (BPNT). Jangkauan BPNT diperluas dari 1,2 juta keluarga penerima manfaat (KPM) pada 2017 menjadi 10 juta KPM pada Agustus 2018.
Perubahan ini membuat jumlah penerima rastra berkurang drastis: dari 14,2 juta rumah tangga tinggal 5,4 juta. Akibatnya, kuota penyaluran rastra berkurang drastis, dari 2,5-3 juta ton pada 2017 tinggal 960.000 ton pada Agustus 2018. Pengurangan itu membuat portofolio PSO yang ditangani Bulog cuma tinggal sepertiga.
Sejalan keinginan pemerintah untuk mengubah semua bantuan jadi transfer tunai secara daring, di tahun-tahun berikutnya jumlah PSO itu bakal terus menyusut dan hanya menyisakan daerah-daerah 3T: tertinggal, terisolasi, dan terluar. Saat itu terjadi rastra hanya tinggal cerita.
Bagi Bulog, perubahan itu jadi genting karena tugas-tugas PSO selama ini menyita hampir seluruh energi awak BUMN tersebut. Ketika tugas-tugas PSO dikempiskan, agar tetap eksis, mau tidak mau Bulog harus mengembangkan dan bisa bertumpu pada usaha komersial sendiri.
Masalahnya, kebijakan pemerintah yang bersifat ad hoc, pragmatis, dan berubah-ubah dalam tempo amat cepat, membuat manajemen sulit beradaptasi, apalagi harus mengembangkan usaha komersial. Meskipun telah dirintis sejak puluhan tahun lalu, divisi komersial belum bisa jadi andalan. Mungkin baru 15% dari seluruh usaha Bulog.
Lewat BPNT dan bantuan sosial rastra, secara teoretis tidak ada lagi penyaluran beras bersubsidi yang dalam setahun bisa mencapai 2,5-3,4 juta ton. Karena itu, jadi tidak relevan dan tidak logis menugaskan Bulog menyerap gabah/ beras produksi petani domestik, seperti yang diwajibkan pemerintah saat ini.
Akan dikemanakan beras serapan domestik itu? Beras selain bersifat bulky juga mudah rusak. Tanpa outlet penyaluran yang jelas dan pasti, menugaskan Bulog menyerap gabah/beras petani bisa dipastikan bakal membuat BUMN ini pelan-pelan bangkrut. Buwas mesti memahami betul hal ini.
Kedua, tugas Bulog semakin luas. Menurut Perpres 48/ 2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional, Bulog tidak hanya bertugas menjaga ketersediaan pangan, tapi juga harus mengamankan harga di tingkat produsen dan konsumen.
Cakupan pangan yang ditangani diperluas, yaitu beras, jagung, dan kedelai, serta (bersama BUMN lain bisa menangani) gula, minyak goreng, bawang merah, terigu, cabai, daging sapi, daging ayam, dan telur ayam. Bidang usaha tak hanya logistik, tapi juga diperluas ke produksi, perdagangan dan jasa, serta industri berbasis pangan.
Beras, kedelai, jagung, gula pasir, daging sapi, tepung terigu, dan minyak goreng bukan hal baru bagi Bulog. Sementara cabai, bawang merah, daging ayam ras, dan telur ayam merupakan komoditas baru. Sepanjang era Reformasi, Bulog pernah mendapatkan penugasan menangani pangan di luar beras, seperti daging sapi, bawang merah, dan kedelai. Namun, penugasan itu sifatnya hangat-hangat tahi ayam. Pemerintah ribut saat harga melonjak tinggi. Setelah harga turun, pemerintah lupa dan penugasan ditiadakan.
Selain itu, penugasan baru kepada Bulog untuk menstabilkan harga pelbagai pangan itu mengabaikan dua instrumen penting: harga (atas dan bawah) dan cadangan. Tanpa pengaturan harga (atas dan bawah) dan cadangan, menstabilkan harga pangan sulit dilakukan, bahkan sesuatu yang amat muskil. Itu artinya, meskipun tugas PSO terkait beras pelan-pelan telah ditiadakan, Bulog tetap dibebani fungsi-fungsi sosial yang menyangkut kepentingan dan pelayanan publik, sesuatu yang tidak masuk akal.
Bagai buah simalakama, situasi ini membuat manajemen Bulog berada pada posisi serbasalah. Bila fungsi-fungsi sosial bisa dipenuhi, manajemen bakal menuai pujian. Masalahnya, menunaikan fungsi-fungsi sosial itu potensial membuat Bulog merugi, bahkan bangkrut dalam jangka panjang. Sebaliknya, jika manajemen abai pada fungsi-fungsi sosial, dan lebih mengurusi fungsi komersial, maka Bulog bakal menuai kecaman publik (juga pemerintah).
Mendayung di antara dua situasi sulit itu membuat kursi yang diduduki Buwas amat panas: tiap saat bisa diganti. Diganti bukan semata karena tak becus, tapi karena kebijakan pemerintah yang membuat mereka terjerat situasi serbasulit.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan (2010-sekarang), penulis buku "Ironi Negeri Beras"
PENUNJUKAN Budi Waseso sebagai direktur utama Perum Bulog menggantikan Djarot Kusumayakti telah mengakhiri spekulasi siapa pucuk pimpinan baru Bulog. Akhir spekulasi ini penting untuk memastikan seluruh jajaran Bulog dalam bekerja dan mengemban tugas-tugas penting yang sudah menunggu di depan mata.
Seperti yang disampaikan Kementerian BUMN, Buwas-panggilan Budi Waseso, yang berkarakter tegas, tidak kompromi, pernah memimpin organisasi yang kompleks (BNN dan Bareskrim Polri), dan kaya pengalaman lapangan, diharapkan memperkuat Bulog.
Tak ada yang salah dengan alasan itu. Yang pasti, karena persoalan pangan yang menjadi tanggung jawab utama Bulog merupakan hal baru, Buwas harus banyak belajar dan menyerap banyak informasi, baik dari internal maupun stakeholders pangan lainnya. Persoalan pangan amat kompleks, bahkan multikompleks.
Melibatkan banyak pelaku. Sering kali persoalan yang terjadi, berada di luar kewenangan Bulog. Pangan juga erat terkait dengan pasar. Karakter pasar pangan amat sensitif. Kebijakan yang menciptakan ketidakpastian baru harus dihindari. Diperlukan keluwesan dalam bekerja dan bertindak.
Ramadan tinggal beberapa hari lagi, sementara saat ini harga-harga pangan masih bertahan tinggi. Keinginan Presiden Joko Widodo agar harga pangan turun menjelang Ramadan belum tercapai. Sebagai nakhoda baru Bulog, Buwas tidak punya kemewahan berlama-lama belajar. Dia harus segera mengonsolidasikan tim dan memetakan persoalan yang dihadapi.
PR memastikan pasokan dan menstabilkan harga pangan sebelum dan saat Ramadan perlu aksi segera. Tidak bisa menunggu. Mungkin karena ini di level eksekutif, pergantian dirut hanya diikuti pergantian direktur keuangan. Tentu agar tugas-tugas terkait persoalan pasokan dan stabilisasi harga pangan, tetap berjalan seperti yang ada.
Di luar perlunya memahami ketahanan pangan dengan segala dimensinya secara utuh, yang paling krusial adalah keharusan Buwas untuk mengenali tantangan Bulog yang berubah. Ini penting agar dia bisa bekerja optimal. Pertama, perubahan kebijakan pemerintah terkait tugas pelayanan publik (public service obligation).
Beras untuk rakyat miskin (raskin) yang berubah jadi rastra atau beras sejahtera, secara gradual diganti jadi bantuan pangan nontunai (BPNT). Jangkauan BPNT diperluas dari 1,2 juta keluarga penerima manfaat (KPM) pada 2017 menjadi 10 juta KPM pada Agustus 2018.
Perubahan ini membuat jumlah penerima rastra berkurang drastis: dari 14,2 juta rumah tangga tinggal 5,4 juta. Akibatnya, kuota penyaluran rastra berkurang drastis, dari 2,5-3 juta ton pada 2017 tinggal 960.000 ton pada Agustus 2018. Pengurangan itu membuat portofolio PSO yang ditangani Bulog cuma tinggal sepertiga.
Sejalan keinginan pemerintah untuk mengubah semua bantuan jadi transfer tunai secara daring, di tahun-tahun berikutnya jumlah PSO itu bakal terus menyusut dan hanya menyisakan daerah-daerah 3T: tertinggal, terisolasi, dan terluar. Saat itu terjadi rastra hanya tinggal cerita.
Bagi Bulog, perubahan itu jadi genting karena tugas-tugas PSO selama ini menyita hampir seluruh energi awak BUMN tersebut. Ketika tugas-tugas PSO dikempiskan, agar tetap eksis, mau tidak mau Bulog harus mengembangkan dan bisa bertumpu pada usaha komersial sendiri.
Masalahnya, kebijakan pemerintah yang bersifat ad hoc, pragmatis, dan berubah-ubah dalam tempo amat cepat, membuat manajemen sulit beradaptasi, apalagi harus mengembangkan usaha komersial. Meskipun telah dirintis sejak puluhan tahun lalu, divisi komersial belum bisa jadi andalan. Mungkin baru 15% dari seluruh usaha Bulog.
Lewat BPNT dan bantuan sosial rastra, secara teoretis tidak ada lagi penyaluran beras bersubsidi yang dalam setahun bisa mencapai 2,5-3,4 juta ton. Karena itu, jadi tidak relevan dan tidak logis menugaskan Bulog menyerap gabah/ beras produksi petani domestik, seperti yang diwajibkan pemerintah saat ini.
Akan dikemanakan beras serapan domestik itu? Beras selain bersifat bulky juga mudah rusak. Tanpa outlet penyaluran yang jelas dan pasti, menugaskan Bulog menyerap gabah/beras petani bisa dipastikan bakal membuat BUMN ini pelan-pelan bangkrut. Buwas mesti memahami betul hal ini.
Kedua, tugas Bulog semakin luas. Menurut Perpres 48/ 2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional, Bulog tidak hanya bertugas menjaga ketersediaan pangan, tapi juga harus mengamankan harga di tingkat produsen dan konsumen.
Cakupan pangan yang ditangani diperluas, yaitu beras, jagung, dan kedelai, serta (bersama BUMN lain bisa menangani) gula, minyak goreng, bawang merah, terigu, cabai, daging sapi, daging ayam, dan telur ayam. Bidang usaha tak hanya logistik, tapi juga diperluas ke produksi, perdagangan dan jasa, serta industri berbasis pangan.
Beras, kedelai, jagung, gula pasir, daging sapi, tepung terigu, dan minyak goreng bukan hal baru bagi Bulog. Sementara cabai, bawang merah, daging ayam ras, dan telur ayam merupakan komoditas baru. Sepanjang era Reformasi, Bulog pernah mendapatkan penugasan menangani pangan di luar beras, seperti daging sapi, bawang merah, dan kedelai. Namun, penugasan itu sifatnya hangat-hangat tahi ayam. Pemerintah ribut saat harga melonjak tinggi. Setelah harga turun, pemerintah lupa dan penugasan ditiadakan.
Selain itu, penugasan baru kepada Bulog untuk menstabilkan harga pelbagai pangan itu mengabaikan dua instrumen penting: harga (atas dan bawah) dan cadangan. Tanpa pengaturan harga (atas dan bawah) dan cadangan, menstabilkan harga pangan sulit dilakukan, bahkan sesuatu yang amat muskil. Itu artinya, meskipun tugas PSO terkait beras pelan-pelan telah ditiadakan, Bulog tetap dibebani fungsi-fungsi sosial yang menyangkut kepentingan dan pelayanan publik, sesuatu yang tidak masuk akal.
Bagai buah simalakama, situasi ini membuat manajemen Bulog berada pada posisi serbasalah. Bila fungsi-fungsi sosial bisa dipenuhi, manajemen bakal menuai pujian. Masalahnya, menunaikan fungsi-fungsi sosial itu potensial membuat Bulog merugi, bahkan bangkrut dalam jangka panjang. Sebaliknya, jika manajemen abai pada fungsi-fungsi sosial, dan lebih mengurusi fungsi komersial, maka Bulog bakal menuai kecaman publik (juga pemerintah).
Mendayung di antara dua situasi sulit itu membuat kursi yang diduduki Buwas amat panas: tiap saat bisa diganti. Diganti bukan semata karena tak becus, tapi karena kebijakan pemerintah yang membuat mereka terjerat situasi serbasulit.
(maf)