Buwas dan Tantangan Baru Bulog

Kamis, 03 Mei 2018 - 08:02 WIB
Buwas dan Tantangan Baru Bulog
Buwas dan Tantangan Baru Bulog
A A A
Khudori

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan (2010-sekarang), penulis buku "Ironi Negeri Beras"

PENUNJUKAN Budi Waseso sebagai di­rektur utama Pe­rum Bulog meng­gantikan Djarot Kusumayakti telah mengakhiri spekulasi siapa pucuk pimpinan baru Bulog. Akhir spekulasi ini penting un­tuk memastikan seluruh jajaran Bulog dalam bekerja dan meng­emban tugas-tugas penting yang sudah menunggu di depan mata.

Seperti yang disampaikan Kementerian BUMN, Buwas-panggilan Budi Waseso, yang berkarakter tegas, tidak kom­promi, pernah memimpin organisasi yang kompleks (BNN dan Bareskrim Polri), dan kaya pengalaman lapangan, diharap­kan memperkuat Bulog.

Tak ada yang salah dengan alasan itu. Yang pasti, karena per­s­oalan pangan yang men­jadi tanggung jawab utama Bulog merupakan hal baru, Buwas harus banyak belajar dan me­nyerap banyak informasi, baik dari internal maupun stake­holders pangan lainnya. Per­soal­an pangan amat kompleks, bahkan multikompleks.

Meli­bat­kan banyak pelaku. Sering kali persoalan yang terjadi, ber­ada di luar kewenangan Bulog. Pangan juga erat terkait de­ngan pasar. Karakter pasar pa­ngan amat sensitif. Kebijakan yang menciptakan ketidak­pasti­an baru harus dihindari. Diperlukan keluwesan dalam bekerja dan bertindak.

Ramadan tinggal beberapa hari lagi, sementara saat ini harga-harga pangan masih ber­tahan tinggi. Keinginan Presi­den Joko Widodo agar harga pa­ngan turun menjelang Rama­dan belum tercapai. Sebagai nakhoda baru Bulog, Buwas tidak punya keme­wah­an berlama-lama be­la­jar. Dia harus segera mengon­solidasi­kan tim dan memetakan per­soalan yang dihadapi.

PR memastikan pasokan dan men­­stabilkan harga pangan sebelum dan saat Ramadan perlu aksi se­gera. Tidak bisa me­nung­gu. Mungkin karena ini di level eksekutif, per­ganti­an dirut hanya diikuti per­ganti­an direktur ke­uang­an. Tentu agar tugas-tugas terkait per­soalan pasokan dan stabilisasi harga pa­ngan, tetap berjalan seperti yang ada.

Di luar perlunya me­mahami ketahanan pa­ngan dengan se­gala di­men­sinya secara utuh, yang paling krusial adalah ke­harusan Buwas untuk me­nge­nali tantangan Bulog yang ber­ubah. Ini penting agar dia bisa bekerja optimal. Pertama, per­ubahan kebijakan pemerintah terkait tugas pelayanan publik (public service obligation).

Beras untuk rakyat miskin (raskin) yang berubah jadi rastra atau beras sejahtera, secara gradual diganti jadi bantuan pangan nontunai (BPNT). Jangkauan BPNT diperluas dari 1,2 juta keluarga penerima manfaat (KPM) pada 2017 menjadi 10 juta KPM pada Agustus 2018.

Perubahan ini membuat jumlah penerima rastra ber­kurang drastis: dari 14,2 juta rumah tangga tinggal 5,4 juta. Akibatnya, kuota penyaluran rastra berkurang drastis, dari 2,5-3 juta ton pada 2017 tinggal 960.000 ton pada Agustus 2018. Pengurangan itu mem­buat portofolio PSO yang di­tangani Bulog cuma tinggal sepertiga.

Sejalan keinginan pemerintah untuk mengubah semua bantuan jadi transfer tunai secara daring, di tahun-tahun berikutnya jumlah PSO itu bakal terus menyusut dan hanya menyisakan daerah-daerah 3T: tertinggal, terisolasi, dan terluar. Saat itu terjadi rastra hanya tinggal cerita.

Bagi Bulog, perubahan itu jadi genting karena tugas-tugas PSO selama ini menyita hampir seluruh energi awak BUMN tersebut. Ketika tugas-tugas PSO dikempiskan, agar tetap eksis, mau tidak mau Bulog harus me­ngem­bang­kan dan bisa bertumpu pada usaha ko­mersial sendiri.

Masalahnya, kebijakan peme­rin­tah yang bersifat ad hoc, pragmatis, dan berubah-ubah da­lam tempo amat cepat, mem­buat manaje­men sulit beradaptasi, apa­lagi harus mengem­bangkan usaha ko­mersial. Meskipun telah dirintis sejak puluhan ta­hun lalu, divisi ko­mersial belum bisa jadi andalan. Mungkin baru 15% dari selu­ruh usaha Bulog.

Lewat BPNT dan bantu­an sosial rastra, secara teoretis tidak ada lagi penyaluran beras bersubsidi yang dalam setahun bisa mencapai 2,5-3,4 juta ton. Karena itu, jadi tidak relevan dan tidak logis menu­gas­kan Bulog me­nye­rap gabah/ beras pro­duksi pe­tani domes­tik, se­perti yang di­wajibkan peme­rin­tah saat ini.

Akan dike­ma­nakan beras se­rapan do­mes­­tik itu? Beras se­lain ber­sifat bulky juga mu­dah rusak. Tanpa outlet pe­nya­luran yang je­las dan pasti, me­nugas­kan Bulog menye­rap ga­bah/beras pe­tani bisa dipas­ti­kan bakal mem­buat BUMN ini pelan-pelan bang­krut. Buwas mesti me­mahami betul hal ini.

Kedua, tugas Bulog se­makin luas. Menurut Perpres 48/ 2016 tentang Penugasan kepada Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional, Bulog tidak hanya ber­tugas menjaga keter­sedia­an pangan, tapi juga harus menga­mankan harga di tingkat produsen dan kon­sumen.

Cakupan pa­ngan yang ditangani di­per­luas, yaitu beras, jagung, dan ke­de­lai, serta (bersama BUMN lain bisa me­nangani) gula, minyak goreng, bawang merah, terigu, cabai, da­ging sapi, daging ayam, dan telur ayam. Bidang usa­ha tak hanya logistik, tapi juga di­per­luas ke produksi, per­da­gang­an dan jasa, serta industri berbasis pangan.

Beras, kedelai, jagung, gula pasir, daging sapi, tepung terigu, dan minyak goreng bukan hal baru bagi Bulog. Sementara cabai, bawang merah, daging ayam ras, dan telur ayam merupakan komoditas baru. Sepanjang era Reformasi, Bulog pernah men­dapatkan penugasan mena­ngani pangan di luar beras, seperti daging sapi, bawang merah, dan kedelai. Namun, penugasan itu sifatnya hangat-hangat tahi ayam. Pemerintah ribut saat harga melonjak ting­gi. Setelah harga turun, peme­rintah lupa dan penugasan ditiadakan.

Selain itu, penugasan baru kepada Bulog untuk men­stabil­kan harga pelbagai pangan itu mengabaikan dua instrumen penting: harga (atas dan bawah) dan cadangan. Tanpa peng­atur­an harga (atas dan bawah) dan cadangan, menstabilkan harga pangan sulit dilakukan, bah­kan se­suatu yang amat muskil. Itu artinya, meskipun tugas PSO terkait beras pelan-pelan telah ditiadakan, Bulog tetap dibebani fungsi-fungsi sosial yang menyangkut kepen­ting­an dan pelayanan publik, sesuatu yang tidak masuk akal.

Bagai buah simalakama, si­tuasi ini membuat mana­jemen Bulog berada pada posisi ser­ba­salah. Bila fungsi-fungsi sosial bisa dipenuhi, manajemen ba­kal menuai pujian. Masalah­nya, menunaikan fungsi-fungsi sosial itu potensial mem­buat Bulog merugi, bah­kan bangkrut dalam jangka pan­jang. Sebalik­nya, jika ma­najemen abai pada fungsi-fungsi sosial, dan lebih meng­urusi fungsi komersial, maka Bulog bakal menuai ke­caman publik (juga pemerin­tah).

Mendayung di antara dua situasi sulit itu membuat kursi yang diduduki Buwas amat panas: tiap saat bisa diganti. Diganti bukan semata karena tak becus, tapi karena kebijak­an pemerintah yang membuat me­reka terjerat situasi ser­ba­sulit.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4850 seconds (0.1#10.140)