Kaus Politik dan Politik Kaus
A
A
A
Masduri
Dosen pada Program Studi Akidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
UIN Sunan Ampel, Surabaya
POLITIK nasional memanas. Perebutan kursi RI-1 membuat elite politik sibuk memainkan manuver dan taktik untuk memperoleh simpati dan dukungan publik. Misalnya Prabowo Subianto, belakangan membuat ramai ruang publik kita dengan prediksi Indonesia bubar pada 2030. Pernyataan Prabowo tersebut membuat gaduh publik, dari yang apresiatif sampai mereka yang sinis.
Setelah Prabowo membuat gaduh ruang publik kita, kini kelompok oposisi Presiden Jokowi menghadirkan tanda pagar #2019 GantiPresiden sebagai antitesa terhadap kampanye “Lanjutkan Jokowi Dua Periode”.
#2019GantiPresiden sebagai gerakan politik tak hanya hadir dalam ruang maya di media sosial, namun juga bertebaran di dunia nyata lewat berbagai cetakan kaus.
Kaus adalah pakaian, namun ketika berkelindan ke dalam dunia politik, kaus tak sebatas pakaian sebagaimana umumnya dipahami dan digunakan oleh masyarakat. Lebih dari itu, kaus tersebut memainkan fungsi politiknya sebagai simbol dan gerakan kampanye. Simbol, kata Herbert Blumer, merupakan sesuatu yang khas dari manusia dalam melakukan interaksi sosial. Lewat simbol, setiap orang menghendaki makna yang diinginkannya hadir dalam pikiran publik.
Menurut John Dewey, pikiran (mind) ketika bekerja (termasuk melihat simbol) akan melibatkan beberapa tahapan. Antara lain melakukan pendefinisian (pemaknaan), menyeketsakan tindakan yang mungkin, mengimajinasikan konsekuensi tindakan, mengeliminasi tindakan yang kurang mungkin, dan pada akhirnya menyeleksi (memilih) tindakan yang paling optimal.
Memilih tindakan yang paling optimal adalah efek besar yang dikehendaki oleh setiap pemain simbol. Kaus bertagar #2019GantiPresiden pada akhirnya menghendaki gerakan optimal mengganti Presiden Jokowi lewat Pilpres 2019. Karenanya, kaus tersebut bukan kaus biasa. Ia telah menjelma menjadi kaus politik, yang setiap kali dikenakan menyiratkan pesan-pesan di balik kehadiran kaus tersebut. Karenanya, kehadiran kaus bertagar #2019GantiPresiden merupakan gerakan politik kaus menyambut Pilpres 2019. Sebagai gerakan politik, efek nya akan besar kalau upaya yang dilakukan berjalan secara simultan.
Respons Presiden Jokowi terhadap kaus bertagar #2019GantiPresiden, dengan menyebut itu tak bisa mengganti presiden karena yang bisa mengganti presiden adalah rakyat, dapat dimaknai sebagai bentuk kekhawatiran dan tindakan antisipatif untuk mengendalikan berkembangnya gerakan kaus bertagar #2019GantiPresiden. Sebab, jika dibiarkan, kaus benar-benar bisa mengganti presiden. Seperti sindiran Yusril Ihza Mahendra yang menyanggah pernyataan Jokowi dengan mempertanyakan, “Masa baju kotak-kotak bisa bikin orang jadi presiden?”
Dulu baju kotak-kotak adalah simbol politik Jokowi yang mampu mengantarkan dirinya menjadi wali kota, gubernur, bahkan sampai presiden. Karenanya, kehadiran kaus bisa juga mengganti presiden.
Kampanye Politik
Secara konten, yang membedakan kaus bertagar #2019GantiPresiden dengan kaus politik pada umumnya adalah isi pesan yang disampaikan. Kaus politik yang umumnya dibagikan secara gratis berisi gambar figur beserta fakta-fakta keunggulan kandidat tersebut. Berbeda dengan itu, kaus bertagar #2019GantiPresiden justru berisi serangan terhadap lawan politiknya, dalam hal ini Presiden Jokowi. Seruan mengganti presiden adalah bentuk serangan langsung terhadap Jokowi karena kepemimpinannya dianggap kurang sukses dan belum memuaskan rakyat di akar rumput.
Sayangnya, tagar #2019GantiPresiden dimulai oleh elite partai oposisi yang sejak awal memang tidak suka dengan Presiden Jokowi, bukan murni dari gerakan rakyat dari akar rumput. Meski mungkin untuk saat ini, pada kondisi di mana pragmatisme politik telah menjalar sampai ke akar rumput, berbicara tentang gerakan politik murni dari aspirasi rakyat di bawah adalah sesuatu yang ilusif. Sebab, anggapan umum, bahkan kenyatatannya, dalam politik tidak ada yang gratis. Karenanya, setiap gerakan politik, apa pun bentuknya, dari gerakan kaus ataupun bentuk gerakan relawan yang dipentaskan dalam ruang publik kita, sesungguhnya adalah bentuk kamuflase kemurnian, di dalamnya tetap mengalir dana politik sebagai modal dari gerakannya.
Kaus bertagar #2019GantiPresiden adalah gerakan politik konstitusional, sebab setiap lima tahun sekali diselenggarakan pilpres untuk memilih presiden kembali, baik dari figur petahana ataupun dari figur penantang. Hanya, bakal terasa tak elok kalau yang dikampanyekan adalah ABJ (asal bukan Jokowi). Model kampanye yang demikian menunjukkan kerendahan moralitas, yang justru bisa memancing kebencian publik. Gerakan politik kaus bertagar #2019GantiPresiden sampai saat ini belum memunculkan calon yang diunggulkan. Kalaupun Prabowo, sampai saat ini belum ada deklarasi pencapresannya secara resmi.
Sebenarnya, daripada menyerang lawan politik (dalam hal ini Jokowi), lebih baik mengumbar keunggulan figur jagoannya. Gerakan politik kaus yang menyerang dengan semangat mengganti presiden justru bisa menghadirkan kebencian dari rakyat. Logika kemanusiaan rakyat tetap bekerja dengan baik. Orang yang teraniaya itu lebih dicintai daripada yang menganiaya. Posisi Jokowi, sebagai orang diserang (dianiaya) pada bagian-bagian tertentu, justru bisa memancing emosi rakyat untuk lebih bersimpati dan mendukung Jokowi. Buktinya, sekarang juga muncul kaus bertagar #2019TetapJokowi sebagai gerakan politik melawan kaus bertagar #2019GantiPresiden.
Kita hanya berharap gerakan politik kaus tak menghadirkan kegaduhan politik. Kaus harus dikembalikan pada maknanya sebagai pakaian santai pada saat senggang dan berlibur. Semoga saja gerakan politik kaus ini adalah sebentuk euforia, cara kita menghibur diri dan menikmati politik.
Dosen pada Program Studi Akidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
UIN Sunan Ampel, Surabaya
POLITIK nasional memanas. Perebutan kursi RI-1 membuat elite politik sibuk memainkan manuver dan taktik untuk memperoleh simpati dan dukungan publik. Misalnya Prabowo Subianto, belakangan membuat ramai ruang publik kita dengan prediksi Indonesia bubar pada 2030. Pernyataan Prabowo tersebut membuat gaduh publik, dari yang apresiatif sampai mereka yang sinis.
Setelah Prabowo membuat gaduh ruang publik kita, kini kelompok oposisi Presiden Jokowi menghadirkan tanda pagar #2019 GantiPresiden sebagai antitesa terhadap kampanye “Lanjutkan Jokowi Dua Periode”.
#2019GantiPresiden sebagai gerakan politik tak hanya hadir dalam ruang maya di media sosial, namun juga bertebaran di dunia nyata lewat berbagai cetakan kaus.
Kaus adalah pakaian, namun ketika berkelindan ke dalam dunia politik, kaus tak sebatas pakaian sebagaimana umumnya dipahami dan digunakan oleh masyarakat. Lebih dari itu, kaus tersebut memainkan fungsi politiknya sebagai simbol dan gerakan kampanye. Simbol, kata Herbert Blumer, merupakan sesuatu yang khas dari manusia dalam melakukan interaksi sosial. Lewat simbol, setiap orang menghendaki makna yang diinginkannya hadir dalam pikiran publik.
Menurut John Dewey, pikiran (mind) ketika bekerja (termasuk melihat simbol) akan melibatkan beberapa tahapan. Antara lain melakukan pendefinisian (pemaknaan), menyeketsakan tindakan yang mungkin, mengimajinasikan konsekuensi tindakan, mengeliminasi tindakan yang kurang mungkin, dan pada akhirnya menyeleksi (memilih) tindakan yang paling optimal.
Memilih tindakan yang paling optimal adalah efek besar yang dikehendaki oleh setiap pemain simbol. Kaus bertagar #2019GantiPresiden pada akhirnya menghendaki gerakan optimal mengganti Presiden Jokowi lewat Pilpres 2019. Karenanya, kaus tersebut bukan kaus biasa. Ia telah menjelma menjadi kaus politik, yang setiap kali dikenakan menyiratkan pesan-pesan di balik kehadiran kaus tersebut. Karenanya, kehadiran kaus bertagar #2019GantiPresiden merupakan gerakan politik kaus menyambut Pilpres 2019. Sebagai gerakan politik, efek nya akan besar kalau upaya yang dilakukan berjalan secara simultan.
Respons Presiden Jokowi terhadap kaus bertagar #2019GantiPresiden, dengan menyebut itu tak bisa mengganti presiden karena yang bisa mengganti presiden adalah rakyat, dapat dimaknai sebagai bentuk kekhawatiran dan tindakan antisipatif untuk mengendalikan berkembangnya gerakan kaus bertagar #2019GantiPresiden. Sebab, jika dibiarkan, kaus benar-benar bisa mengganti presiden. Seperti sindiran Yusril Ihza Mahendra yang menyanggah pernyataan Jokowi dengan mempertanyakan, “Masa baju kotak-kotak bisa bikin orang jadi presiden?”
Dulu baju kotak-kotak adalah simbol politik Jokowi yang mampu mengantarkan dirinya menjadi wali kota, gubernur, bahkan sampai presiden. Karenanya, kehadiran kaus bisa juga mengganti presiden.
Kampanye Politik
Secara konten, yang membedakan kaus bertagar #2019GantiPresiden dengan kaus politik pada umumnya adalah isi pesan yang disampaikan. Kaus politik yang umumnya dibagikan secara gratis berisi gambar figur beserta fakta-fakta keunggulan kandidat tersebut. Berbeda dengan itu, kaus bertagar #2019GantiPresiden justru berisi serangan terhadap lawan politiknya, dalam hal ini Presiden Jokowi. Seruan mengganti presiden adalah bentuk serangan langsung terhadap Jokowi karena kepemimpinannya dianggap kurang sukses dan belum memuaskan rakyat di akar rumput.
Sayangnya, tagar #2019GantiPresiden dimulai oleh elite partai oposisi yang sejak awal memang tidak suka dengan Presiden Jokowi, bukan murni dari gerakan rakyat dari akar rumput. Meski mungkin untuk saat ini, pada kondisi di mana pragmatisme politik telah menjalar sampai ke akar rumput, berbicara tentang gerakan politik murni dari aspirasi rakyat di bawah adalah sesuatu yang ilusif. Sebab, anggapan umum, bahkan kenyatatannya, dalam politik tidak ada yang gratis. Karenanya, setiap gerakan politik, apa pun bentuknya, dari gerakan kaus ataupun bentuk gerakan relawan yang dipentaskan dalam ruang publik kita, sesungguhnya adalah bentuk kamuflase kemurnian, di dalamnya tetap mengalir dana politik sebagai modal dari gerakannya.
Kaus bertagar #2019GantiPresiden adalah gerakan politik konstitusional, sebab setiap lima tahun sekali diselenggarakan pilpres untuk memilih presiden kembali, baik dari figur petahana ataupun dari figur penantang. Hanya, bakal terasa tak elok kalau yang dikampanyekan adalah ABJ (asal bukan Jokowi). Model kampanye yang demikian menunjukkan kerendahan moralitas, yang justru bisa memancing kebencian publik. Gerakan politik kaus bertagar #2019GantiPresiden sampai saat ini belum memunculkan calon yang diunggulkan. Kalaupun Prabowo, sampai saat ini belum ada deklarasi pencapresannya secara resmi.
Sebenarnya, daripada menyerang lawan politik (dalam hal ini Jokowi), lebih baik mengumbar keunggulan figur jagoannya. Gerakan politik kaus yang menyerang dengan semangat mengganti presiden justru bisa menghadirkan kebencian dari rakyat. Logika kemanusiaan rakyat tetap bekerja dengan baik. Orang yang teraniaya itu lebih dicintai daripada yang menganiaya. Posisi Jokowi, sebagai orang diserang (dianiaya) pada bagian-bagian tertentu, justru bisa memancing emosi rakyat untuk lebih bersimpati dan mendukung Jokowi. Buktinya, sekarang juga muncul kaus bertagar #2019TetapJokowi sebagai gerakan politik melawan kaus bertagar #2019GantiPresiden.
Kita hanya berharap gerakan politik kaus tak menghadirkan kegaduhan politik. Kaus harus dikembalikan pada maknanya sebagai pakaian santai pada saat senggang dan berlibur. Semoga saja gerakan politik kaus ini adalah sebentuk euforia, cara kita menghibur diri dan menikmati politik.
(rhs)