Perlindungan Data adalah Perlindungan Hak Asasi

Jum'at, 27 April 2018 - 09:00 WIB
Perlindungan Data adalah...
Perlindungan Data adalah Perlindungan Hak Asasi
A A A
Hanafi Rais
Wakil Ketua Komisi I DPR-Fraksi PAN

Terkuaknya skandal Facebook dan Cam­bridge Analytica baru-baru ini men­jadi peringatan keras bagi kita bahwa penggunaan data pri­badi secara ilegal bisa ber­dam­pak fatal. Beberapa hari terakhir makin jelas bahwa Cambridge Analytica, sebuah perusahaan analisis data, mendapat akses terhadap data milik lebih dari 87 juta pengguna Facebook. Data itu dikumpulkan, dipertukar­kan, dan disimpan oleh pihak ketiga di luar Facebook. Semua dilakukan tanpa ada persetuju­an dari penggunanya. Harus diingat, data itu bukan dicuri atau diretas. Namun, diberikan secara sadar oleh Facebook kepada pihak ketiga. Praktik ini membenarkan adagium di dunia maya, yaitu ketika segala sesuatu diberikan secara gratis, maka sebenarnya kitalah yang menjadi produknya.

Skandal Facebook dan Cambridge Analytica memang baru terjadi di Amerika Serikat. Aparat hukum di sana pun kini sedang berupaya mencari pihak yang bertanggung jawab ter­hadap praktik kecurangan itu. Pertanyaannya, apa yang akan kita lakukan bila ternyata praktik penggunaan data pribadi itu terjadi di Indonesia? Apakah kita akan menunggu terjadi masalah terlebih dahulu tanpa mengantisipasinya jauh-jauh hari?

Mungkin saja-dan ini ha­rapan saya-praktik pen­jual­an data pribadi penduduk Indo­nesia belum dilakukan masif seperti yang telah dilakukan Facebook dan Cambridge Analytica. Tapi, bila kita mau jujur, melihat dalam kehidupan kita sehari-hari, sebenarnya praktik pencurian data pribadi sudah lama terjadi. Berapa banyak di antara kita yang tiba-tiba dikagetkan dengan tawar­an produk via telepon, baik itu produk asuransi, kartu kredit, atau pinjaman uang. Para telemarketer itu bisa dengan rinci menyebut nama kita, bank tempat kita membuka rekening tabungan, bahkan sampai ada yang mengetahui status per­nikahan serta jumlah anak kita.

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi su­dah ada dalam antrean Pro­gram Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2014-2019. Akan tetapi, pem­bahasan RUU Perlin­dung­an Data Pri­badi di pemerintah sebenarnya sudah di­laku­kan sejak 2012, sebelum pe­me­­rin­tah pe­riode ini men­­jabat. Bah­kan pada 2013, su­dah ada dis­kusi pu­blik termasuk pengum­pulan materi penyu­sun­an awal naskah akademik.

Dalam kondisi kekosongan hu­kum ini, kita harus meng­apresiasi peme­rin­tah yang sudah berinisiatif menerbitkan aturan, yakni da­lam bentuk Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkom­info) Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindung­an Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik. Sejauh ini hanya itulah regulasi yang spesifik mengatur tentang perlindungan data pri­badi. Regulasi sekelas per­men ini tidak punya daya hukum kuat, sekaligus juga hanya meng­atur pihak-pihak yang berada di bawah binaan Menkominfo, yakni ranah informatika dan transaksi elektronik (ITE).

Dalam era big data se­perti sekarang, pe­milik library data ter­besar sama seperti juragan kaya raya. Sekarang ini makin rele­van istilah, data adalah mata uang baru di dunia. Lewat ber­bagai aplikasi yang kita pa­sang di gawai maupun peranti elek­tronik, data kita akan ter­kum­pul. Mulai dari tempat-tempat yang biasa kita kunjungi via aplikasi Google Maps atau ide-ide yang biasa kita cari lewat mesin pencari di internet dan bahkan kebiasaan makan kita yang terkumpul lewat aplikasi pesanan ma­kan­an online. Se­­makin banyak data kita di­ketahui orang, semakin rentan kita menjadi sasaran me­reka. Baik itu untuk ber­jualan barang, hingga aspirasi politik.

Penambangan data oleh penyedia jasa informasi dan tran­saksi elektronika saat ini memang tidak terhin­darkan. Segala aktivitas kita di dunia maya mening­galkan jejak digital yang bisa diolah menjadi tambang data, pada akhirnya menjadi referensi micro targeting pengiklan.

Lantaran perkembangan zaman seperti itulah kita harus punya perangkat hukum yang mumpuni agar suatu saat nanti data elektronik kita tidak di­salahgunakan. Agar para calon pedagang data itu jera, tidak berani main-main memper­jual­belikan data tanpa se­penge­tahu­an kita. Bukan tidak mung­kin, beberapa raksasa internet, seperti Google, Face­book, Twitter, dan berbagai jejaring sosial itu nanti akan meng­gunakan data kita untuk ke­perluan yang tidak semes­ti­nya. Tanpa sepengetahuan kita pula.

Aktivitas pengumpulan data memang bukan kegiatan ilegal, selama itu dilakukan sepenge­tahu­an pemilik data. Dalam aturan nanti, haruslah ditegas­kan demikian. Selain itu, server atau fasilitas apa pun yang dig­unakan sebagai tempat pe­nyimpanan data pribadi harus berada di Indonesia sehingga bisa dijangkau oleh hukum kita. Lalu, pengumpul data maupun pihak-pihak ketiga yang ingin mengakses data itu harus juga berbadan hukum Indonesia se­hingga menjadi subjek hukum kita.

Lebih lanjut dalam RUU Perlindungan Data Pribadi nanti, harapan saya tidak hanya akan mengatur aktivitas peng­umpulan data dari sektor usaha Informasi dan transaksi elek­tronik saja. Tapi untuk spek­trum yang lebih luas lagi, misal­nya untuk pelaku usaha bidang perbankan, asuransi, bahkan urusan kesehatan. Karena semua pihak penyedia jasa, pada umumnya meminta profil atau data pribadi kita selaku konsumen mereka. Kadang kala dengan alasan demi pening­kat­an layanan, mereka menem­pat­kan klausul tambahan di bagian bawah perjanjian kerja dengan konsumennya. Biasanya ber­bunyi, data konsumen akan di­bagi kepada pihak ketiga. Celakanya lagi, klausul tam­bahan itu malah menjadi klausul wajib yang tanpanya perjanjian tidak akan berlaku. Tidak ada jaminan bahwa pihak ketiga yang diserahkan data pribadi itu sesuai dengan kese­dia­an ma­sya­rakat selaku pe­milik data.

Oleh karena itu, mari kita semua pahami skandal Face­book dan Cambridge Analytica sebagai peringatan keras. Seharusnya, bila pemerintah memang punya keberpihakan terhadap perlindungan data secara komprehensif, segera­kan saja pembahasan RUU itu bersama DPR. Karena parlemen dan pemerintah, kita bersama mempunyai political will yang sama untuk merealisasikan ma­salah ini. Sambil kita berharap dalam masa kekosongan hu­kum yang hanya diisi oleh permenkominfo ini tidak terjadi penjual-beli data seperti halnya terjadi di Amerika Serikat sana.

Sudah waktunya kita duduk bersama, parlemen dan peme­rintah membahas aturan per­lin­dungan data pribadi. Karena data pribadi kita adalah harta kita. Hak asasi kita.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1017 seconds (0.1#10.140)