Pilpres dan Langkah Kuda Elite Parpol
A
A
A
Adi Prayitno
Direktur Eksekutif Parameter Politik,
Dosen FISIP UIN Jakarta
AROMA Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 terasa mulai menyengat. Manuver elite partai politik (parpol) kian agresif dan intensif. Mereka mulai saling serang, berebut klaim, hingga berbalas sindiran yang tampak vulgar. Ibarat permainan catur, “langkah kuda” pun dilakukan, tidak hanya monoton pada satu alur politik. Berbagai faksi kepentingan saling menjajaki kemungkinan koalisi. Inilah tontonan politik maha-elite (high politics) yang pesan politiknya kerap tak menjejak bumi. Sukar dipahami khalayak biasa.
Tak mudah memang membaca pesan politik dari langkah kuda yang dilakukan elite parpol. Semuanya serbateka-teki dan menyimpan ragam makna politik. Misalnya, soal Prabowo Subianto yang sudah didapuk maju di pilpres, tapi tak menutup kemungkinan dia bakal berpasangan dengan Joko Widodo (Jokowi). Pertemuan dengan Luhut Binsar Panjaitan tentu bukan semata reuni biasa sahabat lama. Begitupun pernyataan Ketua Umum PPP Romahurmuziy soal Partai Gerindra yang menyodorkan Prabowo sebagai cawapres Jokowi menyiratkan ketidakpastian pola koalisi. Konfigurasi pilpres semakin kabur dan acak.
Pada ujung spektrum lain Gerindra juga tiada henti memamerkan keintiman dengan PKS sebagai sekutu utama. PKS menyodorkan sembilan nama cawapres sebagai syarat koalisi. Dilema bagi Prabowo karena elektabilitas cawapres PKS sangat rendah di tengah upaya Prabowo mencari pendulum suara guna memangkas disparitas elektoral dengan Jokowi. Belakangan PKS juga mulai membuka diri dengan Demokrat.
Di luar itu, ada pergerakan politik yang terus mencoba memunculkan poros lain di luar Istana dan Hambalang. Demokrat, PAN, dan PKB kerap berbalas narasi soal kemungkinan terbentuknya poros alternatif. Apalagi, usaha Muhaimin Iskandar, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Zulkifli Hasan untuk menjadi cawapres Jokowi tak kunjung ada titik terang.
Skenario Pilpres
Meski penjajakan koalisi masih acak, pilpres bisa ditakar dengan tiga skenario. Pertama, tanding ulang (revans) Jokowi dan Prabowo. Istilah revans akrab dalam dunia olahraga tapi kerap dipakai dalam dunia politik. Kali ini Prabowo merasa mampu mengalahkah Jokowi.
Skenario tanding ulang bisa terwujud jika Prabowo berhasil mengantongi dukungan PKS guna menggenapi 20% syarat pencapresan.
Meski kerap digoda kekuasaan, Gerindra dan PKS tetap mempertontonkan soliditas yang sukar dicerai. Persekutuan keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Bagi Gerindra dan PKS, pemilu bukan semata kalah menang, bukan pula soal kemudahan mengakses jabatan politik, tapi lebih pada penegasan warna ideologi, dignity, serta menjaga marwah partai.
Kedua, munculnya capres alternatif yang dinakhodai Demokrat. Skenario kedua ini dapat terwujud jika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepenuh hati merangkul dua parpol lain sebagai tambahan amunisi menggenapi 20% presidential threshold.
Bacaan realistisnya Demokrat masih bisa meyakinkan PKB dan PAN sebagai tandem koalisi karena kedua parpol itu belum menentukan sikap politik apapun. SBY cukup lihai meracik parpol yang berserakan dengan apik seperti yang pernah dilakukan pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Sementara PKB lebih pragmatis, yang penting bisa mendapat teman koalisi untuk memajukan Muhaimin Iskandar.
Ketiga, meski susah terwujud, kemungkinan muncul capres tunggal masih terbuka karena mayoritas parpol berhasrat ingin merapat ke Jokowi. Godaan agar Prabowo berkenan menjadi cawapres Jokowi bukan pepesan kosong belaka. Skenario ketiga masih bisa terwujud di tengah kecenderungan karakter parpol yang berorientasi mengejar jabatan politik dalam berkoalisi.
Steven B Wolinetzs dalam Beyond the Catch All Party (2002) menegaskan karakter parpol turut menentukan arah koalisi. Parpol yang bertujuan mengejar jabatan dalam koalisi disebut office seeking party. Parpol semacam ini motivasi utamanya adalah kekuasaan serta abai terhadap komitmen kebijakan.
Di antara tiga skenario di atas, yang paling mungkin terjadinya adalah revans Jokowi dan Prabowo. Banyak temuan survei mengonfirmasi bahwa hanya Prabowo yang bisa menyaingi Jokowi. Di sisi lain, pendukung kedua pihak sulit bersatu akibat perpecahan yang terjadi sejak empat tahun lalu.
Posisi Vital Cawapres
Banyak pihak menengarai pilpres mudah ditebak hasilnya jika terjadi tanding ulang antara Jokowi dan Prabowo. Jokowi diprediksi menang mudah karena unggul di segala bidang. Meski begitu, politik selalu menyuguhkan hentakan tak terduga. Banyak anomali yang kerap terjadi di luar dugaan akal sehat serta kejutan di luar perkiraan lembaga survei.
Versi survei, elektabilitas Jokowi selalu unggul tapi belum menjamin kemenangan karena perolehan suaranya stabil di angka 50%. Dalam logika survei, elektabilitas petahana harus meraup angka minimal 65% dengan tingkat kepuasan terhadap kinerja di atas 70% untuk mengunci kemenangan. Angka survei ini menunjukkan Jokowi belum aman.
Itu artinya Jokowi harus mencari cawapres yang bisa mendongkrak elektabilitas di tengah kepungan isu populisme Islam. Model koalisi tradisional kombinasi Jawa dan luar Jawa maupun perkawinan silang nasionalis dan islamis masih relevan dipertimbangkan di tengah menguatnya sentimen agama.
Karena itu, bisa dipahami jika Jokowi hingga saat ini belum bisa menentukan posisi cawapres karena belum ada sosok yang bisa memenuhi kriteria ideal yang diinginkan. Sementara duplikasi Jusuf Kalla (JK) yang memenuhi unsur ideal itu masih sulit didapatkan.
Komposisi ideal langgam politik lawas ini juga berlaku bagi Prabowo jika ingin memangkas defisit elektabilitas dengan Jokowi. Pada titik inilah posisi cawapres dirasa sangat vital untuk memastikan kemenangan.
Jika tujuannya hanya ingin menang, Jokowi dan Prabowo cukup merangkul cawapres dengan elektabilitas yang tinggi. Tak peduli nasionalis, Islam, Jawa, maupun luar Jawa. Akan tetapi, pilpres bukan semata memenangkan pertarungan elektoral, melainkan lebih sebagai upaya menjaga keseimbangan entitas politik yang beragam.
Direktur Eksekutif Parameter Politik,
Dosen FISIP UIN Jakarta
AROMA Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 terasa mulai menyengat. Manuver elite partai politik (parpol) kian agresif dan intensif. Mereka mulai saling serang, berebut klaim, hingga berbalas sindiran yang tampak vulgar. Ibarat permainan catur, “langkah kuda” pun dilakukan, tidak hanya monoton pada satu alur politik. Berbagai faksi kepentingan saling menjajaki kemungkinan koalisi. Inilah tontonan politik maha-elite (high politics) yang pesan politiknya kerap tak menjejak bumi. Sukar dipahami khalayak biasa.
Tak mudah memang membaca pesan politik dari langkah kuda yang dilakukan elite parpol. Semuanya serbateka-teki dan menyimpan ragam makna politik. Misalnya, soal Prabowo Subianto yang sudah didapuk maju di pilpres, tapi tak menutup kemungkinan dia bakal berpasangan dengan Joko Widodo (Jokowi). Pertemuan dengan Luhut Binsar Panjaitan tentu bukan semata reuni biasa sahabat lama. Begitupun pernyataan Ketua Umum PPP Romahurmuziy soal Partai Gerindra yang menyodorkan Prabowo sebagai cawapres Jokowi menyiratkan ketidakpastian pola koalisi. Konfigurasi pilpres semakin kabur dan acak.
Pada ujung spektrum lain Gerindra juga tiada henti memamerkan keintiman dengan PKS sebagai sekutu utama. PKS menyodorkan sembilan nama cawapres sebagai syarat koalisi. Dilema bagi Prabowo karena elektabilitas cawapres PKS sangat rendah di tengah upaya Prabowo mencari pendulum suara guna memangkas disparitas elektoral dengan Jokowi. Belakangan PKS juga mulai membuka diri dengan Demokrat.
Di luar itu, ada pergerakan politik yang terus mencoba memunculkan poros lain di luar Istana dan Hambalang. Demokrat, PAN, dan PKB kerap berbalas narasi soal kemungkinan terbentuknya poros alternatif. Apalagi, usaha Muhaimin Iskandar, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Zulkifli Hasan untuk menjadi cawapres Jokowi tak kunjung ada titik terang.
Skenario Pilpres
Meski penjajakan koalisi masih acak, pilpres bisa ditakar dengan tiga skenario. Pertama, tanding ulang (revans) Jokowi dan Prabowo. Istilah revans akrab dalam dunia olahraga tapi kerap dipakai dalam dunia politik. Kali ini Prabowo merasa mampu mengalahkah Jokowi.
Skenario tanding ulang bisa terwujud jika Prabowo berhasil mengantongi dukungan PKS guna menggenapi 20% syarat pencapresan.
Meski kerap digoda kekuasaan, Gerindra dan PKS tetap mempertontonkan soliditas yang sukar dicerai. Persekutuan keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Bagi Gerindra dan PKS, pemilu bukan semata kalah menang, bukan pula soal kemudahan mengakses jabatan politik, tapi lebih pada penegasan warna ideologi, dignity, serta menjaga marwah partai.
Kedua, munculnya capres alternatif yang dinakhodai Demokrat. Skenario kedua ini dapat terwujud jika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepenuh hati merangkul dua parpol lain sebagai tambahan amunisi menggenapi 20% presidential threshold.
Bacaan realistisnya Demokrat masih bisa meyakinkan PKB dan PAN sebagai tandem koalisi karena kedua parpol itu belum menentukan sikap politik apapun. SBY cukup lihai meracik parpol yang berserakan dengan apik seperti yang pernah dilakukan pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Sementara PKB lebih pragmatis, yang penting bisa mendapat teman koalisi untuk memajukan Muhaimin Iskandar.
Ketiga, meski susah terwujud, kemungkinan muncul capres tunggal masih terbuka karena mayoritas parpol berhasrat ingin merapat ke Jokowi. Godaan agar Prabowo berkenan menjadi cawapres Jokowi bukan pepesan kosong belaka. Skenario ketiga masih bisa terwujud di tengah kecenderungan karakter parpol yang berorientasi mengejar jabatan politik dalam berkoalisi.
Steven B Wolinetzs dalam Beyond the Catch All Party (2002) menegaskan karakter parpol turut menentukan arah koalisi. Parpol yang bertujuan mengejar jabatan dalam koalisi disebut office seeking party. Parpol semacam ini motivasi utamanya adalah kekuasaan serta abai terhadap komitmen kebijakan.
Di antara tiga skenario di atas, yang paling mungkin terjadinya adalah revans Jokowi dan Prabowo. Banyak temuan survei mengonfirmasi bahwa hanya Prabowo yang bisa menyaingi Jokowi. Di sisi lain, pendukung kedua pihak sulit bersatu akibat perpecahan yang terjadi sejak empat tahun lalu.
Posisi Vital Cawapres
Banyak pihak menengarai pilpres mudah ditebak hasilnya jika terjadi tanding ulang antara Jokowi dan Prabowo. Jokowi diprediksi menang mudah karena unggul di segala bidang. Meski begitu, politik selalu menyuguhkan hentakan tak terduga. Banyak anomali yang kerap terjadi di luar dugaan akal sehat serta kejutan di luar perkiraan lembaga survei.
Versi survei, elektabilitas Jokowi selalu unggul tapi belum menjamin kemenangan karena perolehan suaranya stabil di angka 50%. Dalam logika survei, elektabilitas petahana harus meraup angka minimal 65% dengan tingkat kepuasan terhadap kinerja di atas 70% untuk mengunci kemenangan. Angka survei ini menunjukkan Jokowi belum aman.
Itu artinya Jokowi harus mencari cawapres yang bisa mendongkrak elektabilitas di tengah kepungan isu populisme Islam. Model koalisi tradisional kombinasi Jawa dan luar Jawa maupun perkawinan silang nasionalis dan islamis masih relevan dipertimbangkan di tengah menguatnya sentimen agama.
Karena itu, bisa dipahami jika Jokowi hingga saat ini belum bisa menentukan posisi cawapres karena belum ada sosok yang bisa memenuhi kriteria ideal yang diinginkan. Sementara duplikasi Jusuf Kalla (JK) yang memenuhi unsur ideal itu masih sulit didapatkan.
Komposisi ideal langgam politik lawas ini juga berlaku bagi Prabowo jika ingin memangkas defisit elektabilitas dengan Jokowi. Pada titik inilah posisi cawapres dirasa sangat vital untuk memastikan kemenangan.
Jika tujuannya hanya ingin menang, Jokowi dan Prabowo cukup merangkul cawapres dengan elektabilitas yang tinggi. Tak peduli nasionalis, Islam, Jawa, maupun luar Jawa. Akan tetapi, pilpres bukan semata memenangkan pertarungan elektoral, melainkan lebih sebagai upaya menjaga keseimbangan entitas politik yang beragam.
(kri)