Offside Regulasi Tenaga Kerja Asing

Rabu, 25 April 2018 - 08:15 WIB
Offside Regulasi Tenaga...
Offside Regulasi Tenaga Kerja Asing
A A A
Agung Hermansyah
Praktisi Hukum di Kantor Konsultan Hukum, Legal Drafter, dan Advokat LEGALITY, Padang


REGULASI
peng­gu­na­an tenaga kerja asing (TKA) yang baru telah diterbit­kan Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden Nomor 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Perpres TKA). Melalui perpres ini, pe­merintah berharap bisa mem­permudah TKA masuk ke In­do­nesia yang berujung pada pe­ning­katan investasi dan per­baik­an perekonomian nasional.

Memasuki era pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), ASEAN Free Trade (AFTA), dan NAFTA saat ini, ma­suknya investasi ke Indo­nesia bersamaan dengan ma­suk­nya TKA dalam kegiatan per­ekon­o­mi­an memang tidak bisa di­hi­n­darkan. Data Ke­men­terian Ke­te­nagakerjaan menya­takan pada 2017 terdapat 74.000 TKA di Indonesia.

Perpres Offside

Diterbitkannya Perpres No­mor 20/2018 ini merupakan representatif dari keinginan Presiden Jokowi yang meminta agar izin bagi TKA hendak masuk ke Indonesia dipermudah. Hal ini sebagaimana disampai­kannya pada saat membuka rapat terbatas terkait penataan TKA di Kantor Presiden, Kom­pleks Istana Kepresidenan, Jakarta (6/3/2018).

TKA yang masuk ke Indonesia harus di­permudah prosedurnya, baik dalam pengajuan rencana peng­­gunaan tenaga kerja asing (RPTKA), izin pe­nem­patan te­na­ga asing (IPTA), maupun visa tinggal terbatas (vitas).
Keinginan Presiden Jokowi mempermudah prosedur peng­gunaan TKA di Indonesia terlihat jelas dari konsiderans “menimbang” huruf a perpres tersebut yang menyebutkan: bahwa untuk mendukung per­eko­nomian nasional dan per­luasan kesempatan kerja me­lalui peningkatan investasi, perlu pengaturan kembali per­izinan penggunaan tenaga ker­ja asing.

Secara eksplisit, dasar per­tim­bangan penggunaan TKA sebagaimana tercantum dalam konsiderans menimbang hu­ruf a perpres tersebut sangat bias dengan kepentingan in­ves­tor asing. Memperluas ke­sem­patan kerja bisa jadi ha­nyalah modus belaka.

Selain itu, perpres ini juga memberikan aturan tambahan baru terkait pemberi kerja yang tidak wajib memiliki RPTKA tatkala mempe­ker­ja­kan TKA de­ngan sya­rat-syarat seba­gai­mana ter­cantum da­lam Pa­sal 10 ayat (1), yakni (a) pemegang sa­ham yang menjabat se­ba­gai anggota direksi atau anggota dewan ko­mi­saris pada pem­beri kerja TKA; (b) pegawai diploma­tik dan konsuler pada kan­tor per­wa­kil­an negara asing; atau (c) TKA pada jenis pe­kerjaan yang dibu­tuh­kan oleh pe­merintah.

Dimasukkannya pe­me­gang saham sebagai anggota direksi atau anggota dewan komisaris ke dalam kategori tidak wajib memiliki RPTKA jelas telah melanggar keten­tuan per­aturan perundang-undangan lebih tinggi. Padahal Undang-Undang Nomor 13/ 2003 (UU Ketena­ga­ker­jaan) sebagai­ma­na diatur da­lam Pa­sal 42 ayat (3) mengatur RPTKA hanya tidak berlaku bagi per­wakilan negara asing yang memper­gu­nakan tenaga kerja asing se­ba­gai pegawai diplo­matik dan kon­suler. Itu artinya, selain per­­wakilan asing wajib me­mi­liki RPTKA.

Penggunaan TKA menjadi wajar ketika yang menanam mo­dal adalah perusahaan asing sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 25/2007 (UU Penanaman Modal) yang menyebutkan per­usahaan penanam modal asing berhak meng­­gunakan tenaga ahli warga negara asing untuk ja­bat­an dan keahlian tertentu se­suai dengan ketentuan peraturan per­un­dang-undangan. Na­mun, peng­gunaan TKA pada jenis peker­jaan yang dibu­tuh­kan pe­me­rintah yang masuk dalam ka­tegori tidak wajib me­miliki RPTKA sebagaimana di­atur da­lam perpres tersebut sa­ngat tidak wajar.

Pertanyaannya, jenis pe­kerjaan pemerintah mana yang membutuhkan penggunaan TKA? Sejauh ini penggunaan TKA diatur dalam UU Ketenagakerjaan hanya untuk jabatan tertentu yang membutuhkan keahlian khusus, yang mana sumber daya manusia (SDM) dalam negeri atau pekerja lokal belum memadai untuk me­menuhi jabatan tersebut. Tidak logis jika ada pekerjaan pe­merintah yang membutuhkan TKA.

Penggunaan TKA sebagai pegawai kontrak pun tetap melanggar ketentuan UU. Kon­figurasi UU Nomor 5/2014 (UU ASN) menyatakan hanya warga negara Indonesia memenuhi syarat tertentulah yang dapat bekerja pada instansi peme­rin­tahan, baik itu sebagai PNS maupun pegawai kontrak.

Khittah Konstitusional Ketenagakerjaan

Khittah konstitusional ke­te­nagakerjaan di Indo­n­esia se­bagaimana termaktub dalam Pa­sal 27 ayat (2) UUD 1945 me­nye­but­kan bahwa menda­pat­kan pekerjaan yang layak me­ru­pa­kan hak asasi warga negara In­donesia dan pe­me­rin­tah ber­­ke­wa­jib­an me­menuhi hak asasi ter­se­but.

Ketentuan Pasal a quo se­ca­ra implisit meng­an­dung asas na­sio­na­litas, yaitu pe­­me­rintah harus men­jamin ke­ter­sediaan lapa­ng­an kerja dan penghi­dupan yang layak bagi warga ne­gara In­do­ne­sia. Dengan de­mikian, warga ne­gara In­do­nesialah yang ha­rus di­per­ha­tikan dan di­prio­ri­taskan dalam kesempatan ker­ja dalam ne­geri, bukan TKA.

Keinginan Presiden Jokowi mempermudah masuknya TKA ke Indonesia yang disertai de­ngan langkah nyata me­ne­r­bitkan perpres penggunaan TKA sangat berbanding ter­balik dengan kebijakan ter­ha­dap tenaga kerja lokal. Me­nye­lisik jauh ke belakang, peme­rin­tah melalui Menteri Ketenagaker­jaan Hanif Dhakiri me­nya­takan tidak sanggup bila harus sendirian mencetak lapangan kerja hingga 2019.

Hal ini di­sebabkan lantaran ke­ter­ba­tas­an anggaran (Rp3,8 triliun per tahun). Kementerian Ke­te­na­gakerjaan (Kemenaker) juga menyatakan hanya akan ber­tindak sebagai koordinator da­lam program pemerintah itu dengan mengoordinasikan se­mua pihak untuk mencetak la­pangan kerja.
Berbagai insentif yang di­berikan pemerintah mulai dari dihapuskannya syarat ber­ba­hasa Indonesia, semakin long­garnya jabatan (pekerjaan) yang boleh diberikan kepada TKA hingga dimudahkannya prosedur perizinan peng­gu­naan TKA sangat jauh me­ning­galkan hakikat penggunaan TKA, yang pada dasarnya di­tu­jukan untuk proses alih teknologi (transfer of skill) dan alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge).

Selain itu, tidak adanya ke­bijakan dari pemerintah me­ng­akomodasi tenaga kerja lokal juga merupakan suatu bentuk ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib pekerja lokal. Membiarkan para pekerja lokal berkompetisi secara mandiri dengan TKA dalam kesem­pat­an kerja tanpa adanya proteksi dari pemerintah sama saja de­ngan “bunuh diri”.

Sebab, para pekerja lokal dengan segala ke­terbatasan dan kekurangannya akan habis digilas oleh TKA yang unggul dari segi ilmu pe­ngetahuan dan teknologi. Meskipun sekarang era pa­sar bebas, harus tetap ada pro­teksi dari pemerintah terhadap pekerja lokal ketika bersaing dengan TKA di dalam negeri.

Amanat konstitusi sebagai­mana termaktub dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 mengamanatkan kepada pe­me­rintah untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah da­rah Indonesia, termasuk per­lin­dungan terhadap tenaga ker­ja Indonesia dimana pun ia berada, baik itu dalam bekerja dan/atau mencari kerja tanpa terkecuali.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0638 seconds (0.1#10.140)