Perempuan dan Keuangan Mikro
A
A
A
Mukhaer Pakkanna
Sekretaris MEK
PP Muhammadiyah dan Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta
KENDATI sudah lebih satu abad buku kumpulan surat Kartini yang terajut dalam Habis Gelap Tertbitlah Terang (Door Duisternis Tot Licht, 1911) dirilis, nasib kaum perempuan tetap saja dirundung masalah yang nyaris tak beringsut.
Cahaya yang dipancarkan oleh sosok Kartini lamat-lamat makin redup. Laporan pembangunan manusia yang disampaikan UNDP 2016, yang dilansir akhir Maret 2017, kembali meneguhkan ihwal itu. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia 2015 untuk perempuan hanya 0,660, tertinggal dari laki-laki yang sebesar 0,712.
Masalah kesetaraan adalah kunci pembangunan berkelanjutan. Perempuan tertinggal dalam rata-rata lama sekolah, jumlah yang tamat pendidikan menengah, pendapatan nasional per kapita, dan partisipasi kerja. Kesenjangan pendapatan dan partisipasi kerja antara laki-laki dan perempuan adalah paling mencolok.
Sejatinya, kesenjangan adalah produk diskriminasi di mana perlakuan ketidakadilan selalu diawetkan dalam setiap kebijakan publik dan domestik. Kesenjangan merupakan sub-altern dalam istilah Antonio Gramsci (1983) di mana perempuan selalu ditempatkan sebagai subordinat oleh kelompok yang berkuasa.
Maka kesenjangan sosial, termasuk kesenjangan pendapatan laki-laki dan perempuan, lebih dilatari adanya hambatan struktural yang membatasi, kurang memberi ruang memanfaatkan etalase kesempatan tersedia.
Biang Kemiskinan
Dalam pelbagai studi membedah persoalan kemiskinan, posisi tergawat berada di tangan kaum perempuan. Bahkan menurut Muhammad Yunus (pemenang Nobel 2009), kelaparan dan kemiskinan lebih merupakan masalah perempuan ketimbang laki-laki. Jika ada anggota keluarga yang harus mengalami kelaparan, hukum tidak tertulis mengatakan, ibulah yang pertama mengalaminya.
Bagaimana dengan posisi laki-laki? Studi Kabeer (2008) di Bangladesh dan Pakistan menunjukkan, konteks pemberian pinjaman (kredit) kepada laki-laki cenderung meneruskan atau bahkan memperparah ketidakadilan gender dalam rumah tangga (domestik).
Artinya kebijakan itu menguatkan posisi laki-laki dengan memberi mereka sumber daya di mana mereka mampu mencegah keikutsertaan para istri mereka untuk terlibat dalam aktivitas perolehan pendapatan.
Bila dibandingkan dengan laki-laki, kaum perempuan acapkali kurang menyadari dan menggali potensi kewirausahaan yang mereka miliki. Hal ini disebabkan ketidakadilan gender telah menjadi penghambat mengakses sumber daya yang diperlukan (Kabeer, 2008; Mahmud, 2003).
Di sinilah kredit mikro perempuan berperan mengarahkan sumber daya keuangan. Dengan pengelolaan kredit mikro oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang berkinerja sehat (financial sustainability) dan menjangkau seluruh strata masyarakat (outreach), program kredit mikro dapat menjadi dasar bagi para perempuan menghadapi pelbagai ketidakadilan gender.
Tentu, selain sehat dan menjangkau, LKM harus mampu melakukan proses pemberdayaan, yakni mencakup proses enabling (kemampuan menciptakan iklim yang memungkinkan potensi perempuan berkembang), empowering (kemampuan menguatkan potensi atau daya yang dimiliki perempuan), dan advocation (kemampuan melakukan perlindungan dan pemihakan kepada perempuan di perdesaan).
Keuangan Mikro
Riset yang penulis lakukan di Kabupaten Tangerang, Banten (2015-2016), yang mengaitkan antara keuangan mikro dan kaum perempuan perdesaan mengonfirmasi bahwa keuangan mikro yang dimotori LKM memiliki fleksibilitas dalam menjangkau nasabah perdesaan, dibanding lembaga keuangan lainnya.
Salah satunya adalah memanfaatkan modal sosial (social capital) berbasis pendekatan kelompok masyarakat sebagai pengganti collateral. Studi penulis mengategorisasikan nasabah perempuan dengan laki-laki. Terdapat bukti, nasabah perempuan lebih memanfaatkan pinjaman dengan baik, yang didukung tingkat pengembalian pinjaman lebih disiplin dibanding nasabah laki-laki. Hanya kelemahannya, nasabah perempuan kurang memiliki tingkat pendidikan dan pelatihan.
Demikian pula tingkat pengembalian program-program mikro kredit bertargetkan perempuan rata-rata mencapai di atas 98,8%. Merujuk pada riset Rajivan (2003), tingkat pengembalian suatu program kredit mikro untuk perempuan di Indonesia mencapai sebesar 95%, sementara program lain yang bertarget group laki-laki hanya 82% persentasenya. Institusi keuangan mikro yang melayani jenis usaha kecil dan jenis usaha yang tidak menentu (pedagang kaki lima) ternyata dapat menekan "biaya tinggi" dalam pelayanan.
Kesulitan ekonomi yang diterima perempuan miskin, dengan tetap bekerja keras tanpa mengeluh, kendati harus menguras hampir seluruh waktu dan energi mereka. Perempuan miskin belum sepenuhnya dapat melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya yang tersedia.
Namun tingkat kemandirian keuangan LKM yang dijadikan studi kasus oleh penulis ternyata belum berpengaruh signifikan menaikkan tingkat kesejahteraan anggota. Ihwal ini dilatari, pertama, tingkat pinjaman, pendapatan, dan pengeluaran anggota relatif rendah. Kedua, kapasitas institusi LKM yang membuat aturan, prosedur, dan mekanisme yang ketat membuat keleluasaan anggota menjadi terbatas sehingga anggota LKM sangat berhati-hati dalam meningkatkan kapasitas usahanya dan lebih memilih usaha yang risiko rendah.
Oleh karena itu, keuangan mikro yang diharapkan kaum perempuan dalam meningkatkan kapasitas dirinya adalah keuangan mikro yang dikelola dengan menyeimbangkan pendekatan welfarist (kesejahteraan) dan institutionalist (kelembagaan), yakni selain mampu meningkatkan kesejahteraan anggota yang paling miskin, juga secara kelembagaan, LKM harus sehat dan mandiri.
Bekerja efektifnya LKM seperti itu di perdesaan, secara otomatis mampu mereduksi kesenjangan pendapatan antara perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, perempuan semakin terberdayakan dalam ruang publik. Akhirnya spirit Hari Kartini makin terwujud.
Sekretaris MEK
PP Muhammadiyah dan Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta
KENDATI sudah lebih satu abad buku kumpulan surat Kartini yang terajut dalam Habis Gelap Tertbitlah Terang (Door Duisternis Tot Licht, 1911) dirilis, nasib kaum perempuan tetap saja dirundung masalah yang nyaris tak beringsut.
Cahaya yang dipancarkan oleh sosok Kartini lamat-lamat makin redup. Laporan pembangunan manusia yang disampaikan UNDP 2016, yang dilansir akhir Maret 2017, kembali meneguhkan ihwal itu. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia 2015 untuk perempuan hanya 0,660, tertinggal dari laki-laki yang sebesar 0,712.
Masalah kesetaraan adalah kunci pembangunan berkelanjutan. Perempuan tertinggal dalam rata-rata lama sekolah, jumlah yang tamat pendidikan menengah, pendapatan nasional per kapita, dan partisipasi kerja. Kesenjangan pendapatan dan partisipasi kerja antara laki-laki dan perempuan adalah paling mencolok.
Sejatinya, kesenjangan adalah produk diskriminasi di mana perlakuan ketidakadilan selalu diawetkan dalam setiap kebijakan publik dan domestik. Kesenjangan merupakan sub-altern dalam istilah Antonio Gramsci (1983) di mana perempuan selalu ditempatkan sebagai subordinat oleh kelompok yang berkuasa.
Maka kesenjangan sosial, termasuk kesenjangan pendapatan laki-laki dan perempuan, lebih dilatari adanya hambatan struktural yang membatasi, kurang memberi ruang memanfaatkan etalase kesempatan tersedia.
Biang Kemiskinan
Dalam pelbagai studi membedah persoalan kemiskinan, posisi tergawat berada di tangan kaum perempuan. Bahkan menurut Muhammad Yunus (pemenang Nobel 2009), kelaparan dan kemiskinan lebih merupakan masalah perempuan ketimbang laki-laki. Jika ada anggota keluarga yang harus mengalami kelaparan, hukum tidak tertulis mengatakan, ibulah yang pertama mengalaminya.
Bagaimana dengan posisi laki-laki? Studi Kabeer (2008) di Bangladesh dan Pakistan menunjukkan, konteks pemberian pinjaman (kredit) kepada laki-laki cenderung meneruskan atau bahkan memperparah ketidakadilan gender dalam rumah tangga (domestik).
Artinya kebijakan itu menguatkan posisi laki-laki dengan memberi mereka sumber daya di mana mereka mampu mencegah keikutsertaan para istri mereka untuk terlibat dalam aktivitas perolehan pendapatan.
Bila dibandingkan dengan laki-laki, kaum perempuan acapkali kurang menyadari dan menggali potensi kewirausahaan yang mereka miliki. Hal ini disebabkan ketidakadilan gender telah menjadi penghambat mengakses sumber daya yang diperlukan (Kabeer, 2008; Mahmud, 2003).
Di sinilah kredit mikro perempuan berperan mengarahkan sumber daya keuangan. Dengan pengelolaan kredit mikro oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang berkinerja sehat (financial sustainability) dan menjangkau seluruh strata masyarakat (outreach), program kredit mikro dapat menjadi dasar bagi para perempuan menghadapi pelbagai ketidakadilan gender.
Tentu, selain sehat dan menjangkau, LKM harus mampu melakukan proses pemberdayaan, yakni mencakup proses enabling (kemampuan menciptakan iklim yang memungkinkan potensi perempuan berkembang), empowering (kemampuan menguatkan potensi atau daya yang dimiliki perempuan), dan advocation (kemampuan melakukan perlindungan dan pemihakan kepada perempuan di perdesaan).
Keuangan Mikro
Riset yang penulis lakukan di Kabupaten Tangerang, Banten (2015-2016), yang mengaitkan antara keuangan mikro dan kaum perempuan perdesaan mengonfirmasi bahwa keuangan mikro yang dimotori LKM memiliki fleksibilitas dalam menjangkau nasabah perdesaan, dibanding lembaga keuangan lainnya.
Salah satunya adalah memanfaatkan modal sosial (social capital) berbasis pendekatan kelompok masyarakat sebagai pengganti collateral. Studi penulis mengategorisasikan nasabah perempuan dengan laki-laki. Terdapat bukti, nasabah perempuan lebih memanfaatkan pinjaman dengan baik, yang didukung tingkat pengembalian pinjaman lebih disiplin dibanding nasabah laki-laki. Hanya kelemahannya, nasabah perempuan kurang memiliki tingkat pendidikan dan pelatihan.
Demikian pula tingkat pengembalian program-program mikro kredit bertargetkan perempuan rata-rata mencapai di atas 98,8%. Merujuk pada riset Rajivan (2003), tingkat pengembalian suatu program kredit mikro untuk perempuan di Indonesia mencapai sebesar 95%, sementara program lain yang bertarget group laki-laki hanya 82% persentasenya. Institusi keuangan mikro yang melayani jenis usaha kecil dan jenis usaha yang tidak menentu (pedagang kaki lima) ternyata dapat menekan "biaya tinggi" dalam pelayanan.
Kesulitan ekonomi yang diterima perempuan miskin, dengan tetap bekerja keras tanpa mengeluh, kendati harus menguras hampir seluruh waktu dan energi mereka. Perempuan miskin belum sepenuhnya dapat melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya yang tersedia.
Namun tingkat kemandirian keuangan LKM yang dijadikan studi kasus oleh penulis ternyata belum berpengaruh signifikan menaikkan tingkat kesejahteraan anggota. Ihwal ini dilatari, pertama, tingkat pinjaman, pendapatan, dan pengeluaran anggota relatif rendah. Kedua, kapasitas institusi LKM yang membuat aturan, prosedur, dan mekanisme yang ketat membuat keleluasaan anggota menjadi terbatas sehingga anggota LKM sangat berhati-hati dalam meningkatkan kapasitas usahanya dan lebih memilih usaha yang risiko rendah.
Oleh karena itu, keuangan mikro yang diharapkan kaum perempuan dalam meningkatkan kapasitas dirinya adalah keuangan mikro yang dikelola dengan menyeimbangkan pendekatan welfarist (kesejahteraan) dan institutionalist (kelembagaan), yakni selain mampu meningkatkan kesejahteraan anggota yang paling miskin, juga secara kelembagaan, LKM harus sehat dan mandiri.
Bekerja efektifnya LKM seperti itu di perdesaan, secara otomatis mampu mereduksi kesenjangan pendapatan antara perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, perempuan semakin terberdayakan dalam ruang publik. Akhirnya spirit Hari Kartini makin terwujud.
(maf)