Asa Indonesia Jaya

Kamis, 12 April 2018 - 08:00 WIB
Asa Indonesia Jaya
Asa Indonesia Jaya
A A A
Jazuli Juwaini Ketua Fraksi PKS DPR RI

SENGKARUT per­de­batan bahwa Indo­nesia akan musnah pada 2030 seperti digambarkan dalam novel Ghost Fleet karya pengamat politik dan ke­bijak­an ternama asal Amerika Serikat, Peter Warren Singer dan August Cole, tidak boleh membuat kita larut pada debat yang tidak produk­tif. Nama­nya juga novel atau karya fiksi, betapapun ia didasarkan pada riset atau kalkulasi intelijen misalnya, kita bangsa Indo­nesia punya kuasa untuk menen­tu­kan nasib sendiri. Itulah yang di­ajar­kan para pendiri bangsa, para pejuang kemerdekaan, dalam lintas sejarah bangsa Indonesia yang begitu cemerlang.

Indonesia punya modal besar sebagai sebuah negara untuk memimpin dunia. Sayang­nya harus kita akui modal besar itu belum mampu dikelola secara optimal untuk mencapai ke­majuan yang diharapkan sebagai pemimpin dunia. Indonesia ma­sih lebih banyak berkutat pada urusan internal, menyelesaikan ber­bagai problematika sosial-ekonomi (disparitas/ke­sen­jangan, eksperimentasi politik demokrasi, dan konflik sosial/ komunal). Sebaliknya, Indo­nesia belum berorientasi ke luar (outward looking) dengan meng­ambil peran lebih besar dalam dinamika hubungan inte­rnasi­o­nal melalui lobi dan penguatan pengaruhnya se­cara global.

Pelajaran Sejarah
Sejarah memberikan pela­jar­an yang berharga bahwa Indo­nesia tidak dibangun de­ngan cara yang mudah, tapi dengan penuh pengorbanan (pikiran, jiwa, dan raga) para pejuang. Hal ini me­nunjukkan Indonesia diperoleh bukan de­ngan pemberian atau jasa baik pihak mana pun, melainkan dengan perjuangan dan pe­ngor­banan rakyatnya sendiri. Indonesia bukan persemak­mur­an dan tidak mengikut sis­tem ne­gara mana pun. Indo­nesia bukan proxy negara adidaya mana pun.
Indonesia punya sistemnya sendiri, punya kepribadian sendiri, dan punya cara sendiri dalam mengatur negara. Itulah mengapa Bung Karno dengan penuh percaya diri menga­ta­kan, “tidak ada negara yang per­sis sama, setiap negara punya iden­titas dan karakternya sen­diri-sendiri.”
Pun sejak awal Indonesia merdeka yang usianya baru se­umur jagung, tahun 1960, Bung Karno Sang Prokla­ma­tor de­ngan lantang berani me­nawar­kan di hadapan bangsa-bangsa dunia tentang konsepsi bangsa Indonesia Pancasila dalam sebuah pidato berjudul To Buid The World A New (Mem­bangun Dunia Kembali).

Pidato dengan durasi se­kitar 90 menit itu telah meng­gem­parkan dunia. Pasal­nya, isi pidato yang disampaikan de­ngan penuh se­ma­ngat dan be­r­api-api itu mene­lanjangi habis-habisan sistem atau konsep yang dibangun oleh Barat se­lama berabad-abad serta dam­pak­nya pada keber­lang­­sung­an dunia, lalu de­ngan ga­gah Bung Karno me­­nawar­kan kon­sepsi Pan­casila yang di­kata­­kan­nya mam­pu me­wujudkan du­nia yang damai.

Bung Karno se­olah ingin me­nga­ta­kan kepada bangsa-bangsa dunia: Ini konsep­si­ku, mana punya­mu? Dan, prokla­ma­tor kita ber­bicara pada mo­men­tum yang tepat, saat dunia kehilang­an jati diri dan arah untuk menciptakan tata dunia yang ber­keadilan, hu­manis, aman, dan damai. Dunia saat itu ter­polarisasi dalam dua kutub/blok (Barat dan Timur) yang masing-masing sibuk berkontestasi me­na­nam­kan dominasi dalam pola relasi yang menang-kalah (win-lose).

Itulah sekelumit kisah sejarah kebesaran bangsa kita. Mungkin bagi sebagian orang, sejarah tidak ada gunanya. Yang penting, bagaimana kon­disi kita saat ini dan bagaimana menyongsong masa depan. Orang yang berpikiran demi­kian lupa, akar-akar kemajuan suatu bangsa hanya bisa dite­mu­kan dalam dan ha­nya jika kita bisa meng­har­gai sejarah. Dari situ kita menggali, mene­mukan, dan menemukenali apa yang benar-benar me­rupa­kan keunggulan (leverage) bang­sa Indonesia.

Setidaknya ada empat titik kisar sejarah yang membangun dan membentuk watak ke­maju­an bangsa Indonesia. Pertama, kebangkitan pertama Indo­nesia pada 1908 yang ditandai lahirnya pergerakan Indonesia. Kedua, kebangkitan kedua pada 1928 yang ditandai dengan kebangkitan pemuda dan ke­bulatan tekad untuk me­wujud­kan persatuan Indo­nesia. Ke­tiga, proklamasi ke­merdekaan pada 1945 se­kali­gus pem­ben­tukan fondasi ne­gara Indonesia merdeka bebe­rapa waktu se­telahnya. Dan ke­empat, adalah momentum reformasi 1998 yang mengu­kuh­kan Indonesia sebagai ne­gara demokratis.

Titik kisar sejarah negara Indonesia tersebut menem­pat­kan sumber daya manusia Indonesia sebagai sentral/sen­trum dari proses perubahan dan pembangunan. Itu artinya, seluruh peristiwa sejarah yang terjadi, selalu menempatkan pikiran, gagasan, jiwa, dan raga sumber daya manusia Indo­nesia sebagai aktor utama. Maka itu, salah besar jika ada yang me­ngatakan bahwa sumber daya manusia Indonesia itu lemah, bermental inlander, malas, dan stereotipe jelek lainnya. Se­balik­nya, sejatinya kita me­warisi gen pejuang, pendiri republik, pen­dobrak pem­bangunan dari orang-orang besar dengan gagas­an dan kon­sepsi besar.

Membalik Keadaan
Ketakutan dan harapan adalah dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Ke­maju­an suatu bangsa sejatinya ber­gerak dinamis di antara dua sisi itu: harapan yang berarti optimisme dan ketakutan yang berarti kesadaran akan ancam­an. Dua-duanya adalah alarm sistem yang menggerakkan kita me­nyongsong masa depan. Di sini kita bisa memilih respons positif dalam menyikapi prediksi 2030 Indonesia akan musnah.

Ini semua adalah persoalan pola pikir, mentalitas, dan ke­se­luru­han kualitas sumber daya manusia dalam meres­pons tantangan perubahan. Sejarah Indonesia adalah sejarah manusia besar dengan konsepsi dan gagasan besar. Maka itu, bangsa Indonesia pu­nya semua syarat untuk men­jadi pemenang dan berjaya pa­da 2030 atau bahkan se­be­lum tahun itu.
Tantangan terbesar bangsa Indonesia hari ini adalah bagai­mana me­ngu­kuhkan dan meng­gerakkan potensi sum­ber daya manusia Indo­nesia agar tetap dan terus berpikir dan berjiwa be­sar, dan ini ada­lah tugas para pemimpin.

Kita memerlukan pe­mim­pin dengan kua­li­tas kepe­mim­pin­an yang kuat dan mema­hami per­soalan Indonesia se­cara utuh dan men­dalam (tidak parsial dan arti­fisial) serta mampu me­ngoor­dinasikan se­luruh po­tensi ke­kuatan yang ada secara baik. Pemimpin yang memiliki ke­sadaran se­jarah bahwa Indonesia di­bangun oleh orang-orang besar dengan gagasan (konsepsi) besar, yang bukan saja siap berkontestasi dengan bangsa-bangsa dunia, melain­kan juga siap ber­kontribusi bagi per­adab­an dunia.

Pemilu 2019 sudah di depan mata, rakyat akan menen­tu­kan pemimpin di tingkat nasional. Semoga pemimpin terpilih pu­nya kapasitas untuk mem­bang­k­itkan marwah ke­jaya­an Indo­nesia, 5-10 tahun yang akan datang.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0812 seconds (0.1#10.140)