Asa Indonesia Jaya
A
A
A
Jazuli Juwaini Ketua Fraksi PKS DPR RI
SENGKARUT perdebatan bahwa Indonesia akan musnah pada 2030 seperti digambarkan dalam novel Ghost Fleet karya pengamat politik dan kebijakan ternama asal Amerika Serikat, Peter Warren Singer dan August Cole, tidak boleh membuat kita larut pada debat yang tidak produktif. Namanya juga novel atau karya fiksi, betapapun ia didasarkan pada riset atau kalkulasi intelijen misalnya, kita bangsa Indonesia punya kuasa untuk menentukan nasib sendiri. Itulah yang diajarkan para pendiri bangsa, para pejuang kemerdekaan, dalam lintas sejarah bangsa Indonesia yang begitu cemerlang.
Indonesia punya modal besar sebagai sebuah negara untuk memimpin dunia. Sayangnya harus kita akui modal besar itu belum mampu dikelola secara optimal untuk mencapai kemajuan yang diharapkan sebagai pemimpin dunia. Indonesia masih lebih banyak berkutat pada urusan internal, menyelesaikan berbagai problematika sosial-ekonomi (disparitas/kesenjangan, eksperimentasi politik demokrasi, dan konflik sosial/ komunal). Sebaliknya, Indonesia belum berorientasi ke luar (outward looking) dengan mengambil peran lebih besar dalam dinamika hubungan internasional melalui lobi dan penguatan pengaruhnya secara global.
Pelajaran Sejarah
Sejarah memberikan pelajaran yang berharga bahwa Indonesia tidak dibangun dengan cara yang mudah, tapi dengan penuh pengorbanan (pikiran, jiwa, dan raga) para pejuang. Hal ini menunjukkan Indonesia diperoleh bukan dengan pemberian atau jasa baik pihak mana pun, melainkan dengan perjuangan dan pengorbanan rakyatnya sendiri. Indonesia bukan persemakmuran dan tidak mengikut sistem negara mana pun. Indonesia bukan proxy negara adidaya mana pun.
Indonesia punya sistemnya sendiri, punya kepribadian sendiri, dan punya cara sendiri dalam mengatur negara. Itulah mengapa Bung Karno dengan penuh percaya diri mengatakan, “tidak ada negara yang persis sama, setiap negara punya identitas dan karakternya sendiri-sendiri.”
Pun sejak awal Indonesia merdeka yang usianya baru seumur jagung, tahun 1960, Bung Karno Sang Proklamator dengan lantang berani menawarkan di hadapan bangsa-bangsa dunia tentang konsepsi bangsa Indonesia Pancasila dalam sebuah pidato berjudul To Buid The World A New (Membangun Dunia Kembali).
Pidato dengan durasi sekitar 90 menit itu telah menggemparkan dunia. Pasalnya, isi pidato yang disampaikan dengan penuh semangat dan berapi-api itu menelanjangi habis-habisan sistem atau konsep yang dibangun oleh Barat selama berabad-abad serta dampaknya pada keberlangsungan dunia, lalu dengan gagah Bung Karno menawarkan konsepsi Pancasila yang dikatakannya mampu mewujudkan dunia yang damai.
Bung Karno seolah ingin mengatakan kepada bangsa-bangsa dunia: Ini konsepsiku, mana punyamu? Dan, proklamator kita berbicara pada momentum yang tepat, saat dunia kehilangan jati diri dan arah untuk menciptakan tata dunia yang berkeadilan, humanis, aman, dan damai. Dunia saat itu terpolarisasi dalam dua kutub/blok (Barat dan Timur) yang masing-masing sibuk berkontestasi menanamkan dominasi dalam pola relasi yang menang-kalah (win-lose).
Itulah sekelumit kisah sejarah kebesaran bangsa kita. Mungkin bagi sebagian orang, sejarah tidak ada gunanya. Yang penting, bagaimana kondisi kita saat ini dan bagaimana menyongsong masa depan. Orang yang berpikiran demikian lupa, akar-akar kemajuan suatu bangsa hanya bisa ditemukan dalam dan hanya jika kita bisa menghargai sejarah. Dari situ kita menggali, menemukan, dan menemukenali apa yang benar-benar merupakan keunggulan (leverage) bangsa Indonesia.
Setidaknya ada empat titik kisar sejarah yang membangun dan membentuk watak kemajuan bangsa Indonesia. Pertama, kebangkitan pertama Indonesia pada 1908 yang ditandai lahirnya pergerakan Indonesia. Kedua, kebangkitan kedua pada 1928 yang ditandai dengan kebangkitan pemuda dan kebulatan tekad untuk mewujudkan persatuan Indonesia. Ketiga, proklamasi kemerdekaan pada 1945 sekaligus pembentukan fondasi negara Indonesia merdeka beberapa waktu setelahnya. Dan keempat, adalah momentum reformasi 1998 yang mengukuhkan Indonesia sebagai negara demokratis.
Titik kisar sejarah negara Indonesia tersebut menempatkan sumber daya manusia Indonesia sebagai sentral/sentrum dari proses perubahan dan pembangunan. Itu artinya, seluruh peristiwa sejarah yang terjadi, selalu menempatkan pikiran, gagasan, jiwa, dan raga sumber daya manusia Indonesia sebagai aktor utama. Maka itu, salah besar jika ada yang mengatakan bahwa sumber daya manusia Indonesia itu lemah, bermental inlander, malas, dan stereotipe jelek lainnya. Sebaliknya, sejatinya kita mewarisi gen pejuang, pendiri republik, pendobrak pembangunan dari orang-orang besar dengan gagasan dan konsepsi besar.
Membalik Keadaan
Ketakutan dan harapan adalah dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Kemajuan suatu bangsa sejatinya bergerak dinamis di antara dua sisi itu: harapan yang berarti optimisme dan ketakutan yang berarti kesadaran akan ancaman. Dua-duanya adalah alarm sistem yang menggerakkan kita menyongsong masa depan. Di sini kita bisa memilih respons positif dalam menyikapi prediksi 2030 Indonesia akan musnah.
Ini semua adalah persoalan pola pikir, mentalitas, dan keseluruhan kualitas sumber daya manusia dalam merespons tantangan perubahan. Sejarah Indonesia adalah sejarah manusia besar dengan konsepsi dan gagasan besar. Maka itu, bangsa Indonesia punya semua syarat untuk menjadi pemenang dan berjaya pada 2030 atau bahkan sebelum tahun itu.
Tantangan terbesar bangsa Indonesia hari ini adalah bagaimana mengukuhkan dan menggerakkan potensi sumber daya manusia Indonesia agar tetap dan terus berpikir dan berjiwa besar, dan ini adalah tugas para pemimpin.
Kita memerlukan pemimpin dengan kualitas kepemimpinan yang kuat dan memahami persoalan Indonesia secara utuh dan mendalam (tidak parsial dan artifisial) serta mampu mengoordinasikan seluruh potensi kekuatan yang ada secara baik. Pemimpin yang memiliki kesadaran sejarah bahwa Indonesia dibangun oleh orang-orang besar dengan gagasan (konsepsi) besar, yang bukan saja siap berkontestasi dengan bangsa-bangsa dunia, melainkan juga siap berkontribusi bagi peradaban dunia.
Pemilu 2019 sudah di depan mata, rakyat akan menentukan pemimpin di tingkat nasional. Semoga pemimpin terpilih punya kapasitas untuk membangkitkan marwah kejayaan Indonesia, 5-10 tahun yang akan datang.
SENGKARUT perdebatan bahwa Indonesia akan musnah pada 2030 seperti digambarkan dalam novel Ghost Fleet karya pengamat politik dan kebijakan ternama asal Amerika Serikat, Peter Warren Singer dan August Cole, tidak boleh membuat kita larut pada debat yang tidak produktif. Namanya juga novel atau karya fiksi, betapapun ia didasarkan pada riset atau kalkulasi intelijen misalnya, kita bangsa Indonesia punya kuasa untuk menentukan nasib sendiri. Itulah yang diajarkan para pendiri bangsa, para pejuang kemerdekaan, dalam lintas sejarah bangsa Indonesia yang begitu cemerlang.
Indonesia punya modal besar sebagai sebuah negara untuk memimpin dunia. Sayangnya harus kita akui modal besar itu belum mampu dikelola secara optimal untuk mencapai kemajuan yang diharapkan sebagai pemimpin dunia. Indonesia masih lebih banyak berkutat pada urusan internal, menyelesaikan berbagai problematika sosial-ekonomi (disparitas/kesenjangan, eksperimentasi politik demokrasi, dan konflik sosial/ komunal). Sebaliknya, Indonesia belum berorientasi ke luar (outward looking) dengan mengambil peran lebih besar dalam dinamika hubungan internasional melalui lobi dan penguatan pengaruhnya secara global.
Pelajaran Sejarah
Sejarah memberikan pelajaran yang berharga bahwa Indonesia tidak dibangun dengan cara yang mudah, tapi dengan penuh pengorbanan (pikiran, jiwa, dan raga) para pejuang. Hal ini menunjukkan Indonesia diperoleh bukan dengan pemberian atau jasa baik pihak mana pun, melainkan dengan perjuangan dan pengorbanan rakyatnya sendiri. Indonesia bukan persemakmuran dan tidak mengikut sistem negara mana pun. Indonesia bukan proxy negara adidaya mana pun.
Indonesia punya sistemnya sendiri, punya kepribadian sendiri, dan punya cara sendiri dalam mengatur negara. Itulah mengapa Bung Karno dengan penuh percaya diri mengatakan, “tidak ada negara yang persis sama, setiap negara punya identitas dan karakternya sendiri-sendiri.”
Pun sejak awal Indonesia merdeka yang usianya baru seumur jagung, tahun 1960, Bung Karno Sang Proklamator dengan lantang berani menawarkan di hadapan bangsa-bangsa dunia tentang konsepsi bangsa Indonesia Pancasila dalam sebuah pidato berjudul To Buid The World A New (Membangun Dunia Kembali).
Pidato dengan durasi sekitar 90 menit itu telah menggemparkan dunia. Pasalnya, isi pidato yang disampaikan dengan penuh semangat dan berapi-api itu menelanjangi habis-habisan sistem atau konsep yang dibangun oleh Barat selama berabad-abad serta dampaknya pada keberlangsungan dunia, lalu dengan gagah Bung Karno menawarkan konsepsi Pancasila yang dikatakannya mampu mewujudkan dunia yang damai.
Bung Karno seolah ingin mengatakan kepada bangsa-bangsa dunia: Ini konsepsiku, mana punyamu? Dan, proklamator kita berbicara pada momentum yang tepat, saat dunia kehilangan jati diri dan arah untuk menciptakan tata dunia yang berkeadilan, humanis, aman, dan damai. Dunia saat itu terpolarisasi dalam dua kutub/blok (Barat dan Timur) yang masing-masing sibuk berkontestasi menanamkan dominasi dalam pola relasi yang menang-kalah (win-lose).
Itulah sekelumit kisah sejarah kebesaran bangsa kita. Mungkin bagi sebagian orang, sejarah tidak ada gunanya. Yang penting, bagaimana kondisi kita saat ini dan bagaimana menyongsong masa depan. Orang yang berpikiran demikian lupa, akar-akar kemajuan suatu bangsa hanya bisa ditemukan dalam dan hanya jika kita bisa menghargai sejarah. Dari situ kita menggali, menemukan, dan menemukenali apa yang benar-benar merupakan keunggulan (leverage) bangsa Indonesia.
Setidaknya ada empat titik kisar sejarah yang membangun dan membentuk watak kemajuan bangsa Indonesia. Pertama, kebangkitan pertama Indonesia pada 1908 yang ditandai lahirnya pergerakan Indonesia. Kedua, kebangkitan kedua pada 1928 yang ditandai dengan kebangkitan pemuda dan kebulatan tekad untuk mewujudkan persatuan Indonesia. Ketiga, proklamasi kemerdekaan pada 1945 sekaligus pembentukan fondasi negara Indonesia merdeka beberapa waktu setelahnya. Dan keempat, adalah momentum reformasi 1998 yang mengukuhkan Indonesia sebagai negara demokratis.
Titik kisar sejarah negara Indonesia tersebut menempatkan sumber daya manusia Indonesia sebagai sentral/sentrum dari proses perubahan dan pembangunan. Itu artinya, seluruh peristiwa sejarah yang terjadi, selalu menempatkan pikiran, gagasan, jiwa, dan raga sumber daya manusia Indonesia sebagai aktor utama. Maka itu, salah besar jika ada yang mengatakan bahwa sumber daya manusia Indonesia itu lemah, bermental inlander, malas, dan stereotipe jelek lainnya. Sebaliknya, sejatinya kita mewarisi gen pejuang, pendiri republik, pendobrak pembangunan dari orang-orang besar dengan gagasan dan konsepsi besar.
Membalik Keadaan
Ketakutan dan harapan adalah dua sisi dari sekeping mata uang yang sama. Kemajuan suatu bangsa sejatinya bergerak dinamis di antara dua sisi itu: harapan yang berarti optimisme dan ketakutan yang berarti kesadaran akan ancaman. Dua-duanya adalah alarm sistem yang menggerakkan kita menyongsong masa depan. Di sini kita bisa memilih respons positif dalam menyikapi prediksi 2030 Indonesia akan musnah.
Ini semua adalah persoalan pola pikir, mentalitas, dan keseluruhan kualitas sumber daya manusia dalam merespons tantangan perubahan. Sejarah Indonesia adalah sejarah manusia besar dengan konsepsi dan gagasan besar. Maka itu, bangsa Indonesia punya semua syarat untuk menjadi pemenang dan berjaya pada 2030 atau bahkan sebelum tahun itu.
Tantangan terbesar bangsa Indonesia hari ini adalah bagaimana mengukuhkan dan menggerakkan potensi sumber daya manusia Indonesia agar tetap dan terus berpikir dan berjiwa besar, dan ini adalah tugas para pemimpin.
Kita memerlukan pemimpin dengan kualitas kepemimpinan yang kuat dan memahami persoalan Indonesia secara utuh dan mendalam (tidak parsial dan artifisial) serta mampu mengoordinasikan seluruh potensi kekuatan yang ada secara baik. Pemimpin yang memiliki kesadaran sejarah bahwa Indonesia dibangun oleh orang-orang besar dengan gagasan (konsepsi) besar, yang bukan saja siap berkontestasi dengan bangsa-bangsa dunia, melainkan juga siap berkontribusi bagi peradaban dunia.
Pemilu 2019 sudah di depan mata, rakyat akan menentukan pemimpin di tingkat nasional. Semoga pemimpin terpilih punya kapasitas untuk membangkitkan marwah kejayaan Indonesia, 5-10 tahun yang akan datang.
(mhd)