KPK dan Generasi Kuda Troya

Rabu, 11 April 2018 - 07:10 WIB
KPK dan Generasi Kuda Troya
KPK dan Generasi Kuda Troya
A A A
Hariman Satria
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari

Terminologi kuda troya tidaklah da­pat dilepaskan dari peristiwa perang Troya, yakni mengenai tipu daya yang dilakukan oleh pa­su­kan Yunani untuk memasuki Kota Troya dan memenangi pe­rang. Menurut sejarahnya, se­te­lah pengepungan selama 10 ta­hun yang tidak membuahkan ha­sil, pasukan Yunani kemu­dian membangun sebuah kuda kayu raksasa dan memasukkan be­berapa prajuritnya ke dalam. Sebagian besar pasukan Yunani berpura-pura berlayar pergi, dan orang-orang Troya me­narik kuda kayu ini ke kota me­reka sebagai lambang keme­nangan.

Malamnya, pasukan Yunani keluar dari kuda kayu tersebut dan membuka pintu gerbang bagi pasukan Yunani lainnya, yang kembali mendatangi Kota Troya dengan memanfaatkan persembunyian malam. Pa­su­kan Yunani akhirnya berhasil me­masuki dan meng­han­cur­kan Kota Troya, sehingga meng­­akhiri perang.

Secara metaforis, istilah “kuda troya” kini ditafsirkan sebagai proses tipu daya yang membuat sasaran meng­un­dang musuh ke tempat yang se­harusnya terlindungi. Dalam du­nia politik, istilah kuda troya ini sering digunakan untuk me­nyebut musuh dalam selimut atau tabiat seseorang yang meng­gunting dalam lipatan. Is­tilah kuda troya kemudian di­sentil kembali oleh Direktur Pe­nyidikan Komisi Pe­m­be­ran­tas­an Korupsi (KPK) Aris Budiman yang diungkapkannya kepada awak media pascapelantikan De­puti Bidang Penindakan KPK Brigjen Firli dan Direktur Pe­­nuntutan Supardi pada Ju­mat, 6 April 2017 di Jakarta.

Menurut Aris, semua ber­mula dari surel yang beredar di internal KPK bahwa tindakan Aris yang meminta pe­­nyi­dik­nya untuk kembali bertugas se­bagai kasatgas penyidikan di KPK seolah-olah dikono­ta­si­kan se­ba­gai kuda troya alias me­ma­suk­kan musuh dalam se­limut.
Aris kemudian me­num­pahkan kekesalannya dengan menyatakan bahwa ada yang tidak benar dalam proses pen­yi­dikan kasus korupsi KTP elek­tro­nik (e-KTP). Johanes Mar­­liem ternyata hingga me­ning­gal dunia tidak pernah di­periksa oleh KPK. Selain itu, per­usa­ha­an Marliem bernama Bio­morf luput dari peng­ge­le­dahan KPK pula.

Hanya ada dua ke­mung­kin­an dari informasi yang diung­kap­kan oleh perwira tinggi Polri tersebut, yakni benar atau salah alias jujur atau bohong. Karena itu, perlu verifikasi lebih jauh dari internal KPK mengenai isu-isu sensitif ini, sebab bisa saja menimbulkan kegaduhan dan mengganggu performa KPK da­lam mem­berantas korupsi. Per­tanyaan kemudian, benarkah ada generasi kuda troya di KPK? Bagaimana pula seharusnya masalah ini diselesaikan?

Menolak Kuda Troya
Tidak dapat dinafikan bah­wa kelahiran KPK ber­hu­bu­ngan dengan situasi dan kon­disi negeri ini yang darurat ko­rupsi pada periode pe­me­rintahan Orde Baru. Kala itu korupsi me­ra­jalela dan ber­se­mayam di se­mua cabang ke­kuasaan, entah itu di kalangan eksekutif, legis­la­tif, maupun yudikatif. Pada saat ber­sa­maan, lembaga pe­ne­gak hu­kum konvensional se­per­ti ke­jaksaan dan kepolisian ma­lah menjadi bagian yang harus ikut dibersihkan dari praktik ko­rupsi. Imbasnya, ke­per­ca­ya­an masyarakat berada di titik nadir.

Maka ketika reformasi ber­gulir pada 1998, salah satu agen­da reformasi adalah mem­be­rantas kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Agar lebih terarah dan progresif maka di­butuhkan badan khusus se­ba­gai pemberantas korupsi. Di­ben­tuklah KPK. Tegasnya, KPK lahir di tengah ketidak­per­ca­ya­an masyarakat terhadap ins­ti­tusi penegak hukum lain, da­lam hal ini kepolisian, ke­jak­saan, dan pengadilan, untuk mem­be­ran­tas korupsi.

Pada awal KPK berdiri, pe­ga­wai­nya diambil dari kepolisian dan kejaksaan. Hal ini dilatari oleh fakta bahwa KPK yang ma­sih terlampau muda usianya be­lum memiliki struktur ang­gar­an dan pegawai yang kuat. Se­te­lah itu, secara perlahan KPK mulai merekrut pegawai sen­diri termasuk penyidik inde­pen­den. Ketika merekrut pe­gawai, KPK menitikberatkan pada in­tegritas dan kapasitas individu. Ini menjadi tolok ukur utama untuk menghindari ma­suknya orang-orang yang tidak ber­in­tegritas. Proses seleksi dibuat le­bih transparan, akun­ta­bel, dan ter­ukur sehingga tidak ada orang titipan di dalam­nya.

Meskipun de­mi­kian, KPK tetap perlu berhati-hati ter­uta­ma dalam menerima penyidik dan pe­nuntut umum dari ke­polisian dan kejaksaan, sebab bukan tidak mungkin pegawai KPK yang berkarakter seperti Aris Budiman kembali masuk di KPK. Saya tidak mengatakan bahwa ia adalah bagian dari kuda troya, tetapi sikapnya yang berseberangan dengan instruksi pimpinan KPK me­nun­jukkan bahwa ia tidak pa­tuh. Selain itu, ada semacam pembangkangan.

Saya ingin menambahkan bahwa generasi kuda troya tidak hanya berpotensi terjadi pada pegawai, tetapi juga pada pim­pinan KPK. Dalam hal ini, menolak kuda troya di KPK mesti dimulai dari pimpinan hing­ga pegawainya. Pimpinan KPK tidak boleh menjadi tung­gangan orang-orang tertentu, termasuk presiden sekalipun.

Guna menghindari ha­dir­nya generasi kuda troya di KPK, menurut pandangan saya ada tiga asas normatif yang dapat dijadikan filter. Pertama, Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002 ten­tang Komisi Pemberan­tas­an Korupsi (KPK) perlu dite­gas­kan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melak­sa­nakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan ma­na­pun. Kedua, dalam Pasal 5 UU KPK. Di sana disebutkan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK ber­asas­kan pada: kepastian hukum; keter­bu­kaan; akuntabilitas; kepen­ti­ngan umum; dan prop­or­sio­na­litas.

Ketiga, khusus kepada pim­pinan KPK, untuk meng­hin­dari masuknya kuda troya ma­ka ha­rus dimulai dari proses selek­sinya. Dalam hal ini, pa­nitia seleksi pimpinan KPK ha­ruslah orang yang lebih ber­in­tegritas dan memiliki penga­laman da­lam proses pem­be­rantasan ko­rup­si. Ia juga harus memiliki wawasan yang men­dalam, ber­jiwa negarawan, dan in­de­pen­den. Melalui pen­de­kat­an ini maka dapat diyakini bahwa pa­ni­tia seleksi akan meng­hasilkan calon pimpinan KPK yang ber­integritas dan berkualitas.

Tanggung Jawab Pimpinan
Cerita soal kelakuan Aris Bu­di­man, sesungguhnya bu­kan­lah hal baru di KPK. Ketika pe­nyidik senior KPK, Novel Bas­wedan diserang secara mem­babi buta oleh penjahat yang tak di­kenal, Aris tiba-tiba meng­ung­kapkan bahwa Novel telah melakukan pencemaran nama baik kepada dirinya. Hal ini dilatari oleh surel yang beredar di KPK bahwa Aris dianggap ku­rang berintegritas. Aris k­e­mu­dian melaporkan Novel ke Ba­res­krim Polri. Tidak sampai di situ saja, Aris bahkan meng­hadiri rapat dengan Pan­sus DPR ter­kait KPK tanpa izin dari pim­pinannya.

Sejak kepemimpinan KPK Jilid I, belum ada penyidik atau direktur yang membangkang dari perintah pimpinan KPK. Ka­laupun terjadi perbedaan pan­da­ngan antara pe­nyidik atau di­rek­tur mengenai suatu perkara yang sedang di­ta­ngani, maka bia­­sanya di­selesaikan secara in­ternal melalui peng­awas in­ternal.

Dalam periode ke­pe­mim­pin­an KPK Jilid IV ini, keli­hat­annya pengawasan dan kontrol pimpinan kepada pegawai, di­rek­tur dan penyidik sedikit me­ng­alami penurunan. Bah­kan ter­kesan ada perlawanan ke­pa­da pimpinan. Kita meng­ambil contoh misalnya, Aris Budiman yang tidak diizinkan oleh pim­pin­an KPK untuk meng­hadiri ra­pat dengan Pan­sus KPK, hing­ga kini masih ber­tugas dan se­akan-akan ma­sa­lahnya hilang bak ditelan bumi. Padahal se­cara sadar, ia telah melanggar kode etik di KPK.

Maka seharusnya ada sanksi tegas. Sanksi ini sa­ngat­lah urgen sebab dapat men­ce­gah peristiwa serupa terjadi di masa mendatang. Secara teori, An­selm von Feuerbach menge­nal­kan ajaran psiclogische zwang, artinya bahwa hu­kum­an harus memberikan rasa ta­kut kepada seseorang sehingga mampu men­cegah pelaku dan ma­sya­ra­kat untuk tidak me­la­kukan per­buatan yang serupa. Hal ini selaras dengan adagium latin berikut: poenae praesentis vitae magis sunt medicinales quam re­tributative.

Meskipun demikian, saya berpandangan bahwa apapun yang terjadi di internal KPK, semua menjadi tanggung jawab pimpinan. Artinya bahwa pim­pinanlah yang harus me­ne­kan­kan dan mengarahkan pe­ga­wai­nya agar taat aturan dan kode etik. Ketika ada pegawai yang membangkang pada saat itulah pimpinan harus me­negakkan aturan tanpa pan­dang bulu. Namun demikian, pro­sesnya tetap melalui peng­a­was inter­nal.

Putusan peng­a­was internal kemudian akan di­sampaikan kepada pimpinan KPK untuk diputuskan. Dalam konteks itu, pimpinan KPK mengambil ke­pu­tusan dengan prinsip kolek­tif kolegial. Hal ini secara im­plisit ditegaskan da­lam Pasal 21 ayat (5) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Bahwa pim­pinan KPK seba­gai­mana di­mak­sud pada ayat (2) bekerja secara kolektif.

Dalam penjelasannya, di­se­butkan bahwa yang dimaksud dengan bekerja secara kolektif adalah bahwa setiap pengam­bil­an keputusan harus dise­tujui dan diputuskan secara bersa­ma-sama oleh pimpinan KPK. Termasuk juga dalam konteks ini adalah keputusan mem­be­ri­kan sanksi terhadap pegawai yang diduga telah melakukan pelanggaran kode etik. Jika sanksi akan dija­tuhkan maka pimpinan KPK tetap harus bi­jak­sana, seba­gaimana dikata­kan oleh Se­neca, nemo prudens punit quia pecatum, sed ne pe­ca­tur, artinya bahwa seorang bijak tidak menghukum karena me­la­ku­kan dosa, tetapi agar tidak lagi ter­jadi dosa.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6749 seconds (0.1#10.140)