KPK dan Generasi Kuda Troya
A
A
A
Hariman Satria
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari
Terminologi kuda troya tidaklah dapat dilepaskan dari peristiwa perang Troya, yakni mengenai tipu daya yang dilakukan oleh pasukan Yunani untuk memasuki Kota Troya dan memenangi perang. Menurut sejarahnya, setelah pengepungan selama 10 tahun yang tidak membuahkan hasil, pasukan Yunani kemudian membangun sebuah kuda kayu raksasa dan memasukkan beberapa prajuritnya ke dalam. Sebagian besar pasukan Yunani berpura-pura berlayar pergi, dan orang-orang Troya menarik kuda kayu ini ke kota mereka sebagai lambang kemenangan.
Malamnya, pasukan Yunani keluar dari kuda kayu tersebut dan membuka pintu gerbang bagi pasukan Yunani lainnya, yang kembali mendatangi Kota Troya dengan memanfaatkan persembunyian malam. Pasukan Yunani akhirnya berhasil memasuki dan menghancurkan Kota Troya, sehingga mengakhiri perang.
Secara metaforis, istilah “kuda troya” kini ditafsirkan sebagai proses tipu daya yang membuat sasaran mengundang musuh ke tempat yang seharusnya terlindungi. Dalam dunia politik, istilah kuda troya ini sering digunakan untuk menyebut musuh dalam selimut atau tabiat seseorang yang menggunting dalam lipatan. Istilah kuda troya kemudian disentil kembali oleh Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Aris Budiman yang diungkapkannya kepada awak media pascapelantikan Deputi Bidang Penindakan KPK Brigjen Firli dan Direktur Penuntutan Supardi pada Jumat, 6 April 2017 di Jakarta.
Menurut Aris, semua bermula dari surel yang beredar di internal KPK bahwa tindakan Aris yang meminta penyidiknya untuk kembali bertugas sebagai kasatgas penyidikan di KPK seolah-olah dikonotasikan sebagai kuda troya alias memasukkan musuh dalam selimut.
Aris kemudian menumpahkan kekesalannya dengan menyatakan bahwa ada yang tidak benar dalam proses penyidikan kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP). Johanes Marliem ternyata hingga meninggal dunia tidak pernah diperiksa oleh KPK. Selain itu, perusahaan Marliem bernama Biomorf luput dari penggeledahan KPK pula.
Hanya ada dua kemungkinan dari informasi yang diungkapkan oleh perwira tinggi Polri tersebut, yakni benar atau salah alias jujur atau bohong. Karena itu, perlu verifikasi lebih jauh dari internal KPK mengenai isu-isu sensitif ini, sebab bisa saja menimbulkan kegaduhan dan mengganggu performa KPK dalam memberantas korupsi. Pertanyaan kemudian, benarkah ada generasi kuda troya di KPK? Bagaimana pula seharusnya masalah ini diselesaikan?
Menolak Kuda Troya
Tidak dapat dinafikan bahwa kelahiran KPK berhubungan dengan situasi dan kondisi negeri ini yang darurat korupsi pada periode pemerintahan Orde Baru. Kala itu korupsi merajalela dan bersemayam di semua cabang kekuasaan, entah itu di kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Pada saat bersamaan, lembaga penegak hukum konvensional seperti kejaksaan dan kepolisian malah menjadi bagian yang harus ikut dibersihkan dari praktik korupsi. Imbasnya, kepercayaan masyarakat berada di titik nadir.
Maka ketika reformasi bergulir pada 1998, salah satu agenda reformasi adalah memberantas kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Agar lebih terarah dan progresif maka dibutuhkan badan khusus sebagai pemberantas korupsi. Dibentuklah KPK. Tegasnya, KPK lahir di tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum lain, dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, untuk memberantas korupsi.
Pada awal KPK berdiri, pegawainya diambil dari kepolisian dan kejaksaan. Hal ini dilatari oleh fakta bahwa KPK yang masih terlampau muda usianya belum memiliki struktur anggaran dan pegawai yang kuat. Setelah itu, secara perlahan KPK mulai merekrut pegawai sendiri termasuk penyidik independen. Ketika merekrut pegawai, KPK menitikberatkan pada integritas dan kapasitas individu. Ini menjadi tolok ukur utama untuk menghindari masuknya orang-orang yang tidak berintegritas. Proses seleksi dibuat lebih transparan, akuntabel, dan terukur sehingga tidak ada orang titipan di dalamnya.
Meskipun demikian, KPK tetap perlu berhati-hati terutama dalam menerima penyidik dan penuntut umum dari kepolisian dan kejaksaan, sebab bukan tidak mungkin pegawai KPK yang berkarakter seperti Aris Budiman kembali masuk di KPK. Saya tidak mengatakan bahwa ia adalah bagian dari kuda troya, tetapi sikapnya yang berseberangan dengan instruksi pimpinan KPK menunjukkan bahwa ia tidak patuh. Selain itu, ada semacam pembangkangan.
Saya ingin menambahkan bahwa generasi kuda troya tidak hanya berpotensi terjadi pada pegawai, tetapi juga pada pimpinan KPK. Dalam hal ini, menolak kuda troya di KPK mesti dimulai dari pimpinan hingga pegawainya. Pimpinan KPK tidak boleh menjadi tunggangan orang-orang tertentu, termasuk presiden sekalipun.
Guna menghindari hadirnya generasi kuda troya di KPK, menurut pandangan saya ada tiga asas normatif yang dapat dijadikan filter. Pertama, Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu ditegaskan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Kedua, dalam Pasal 5 UU KPK. Di sana disebutkan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan pada: kepastian hukum; keterbukaan; akuntabilitas; kepentingan umum; dan proporsionalitas.
Ketiga, khusus kepada pimpinan KPK, untuk menghindari masuknya kuda troya maka harus dimulai dari proses seleksinya. Dalam hal ini, panitia seleksi pimpinan KPK haruslah orang yang lebih berintegritas dan memiliki pengalaman dalam proses pemberantasan korupsi. Ia juga harus memiliki wawasan yang mendalam, berjiwa negarawan, dan independen. Melalui pendekatan ini maka dapat diyakini bahwa panitia seleksi akan menghasilkan calon pimpinan KPK yang berintegritas dan berkualitas.
Tanggung Jawab Pimpinan
Cerita soal kelakuan Aris Budiman, sesungguhnya bukanlah hal baru di KPK. Ketika penyidik senior KPK, Novel Baswedan diserang secara membabi buta oleh penjahat yang tak dikenal, Aris tiba-tiba mengungkapkan bahwa Novel telah melakukan pencemaran nama baik kepada dirinya. Hal ini dilatari oleh surel yang beredar di KPK bahwa Aris dianggap kurang berintegritas. Aris kemudian melaporkan Novel ke Bareskrim Polri. Tidak sampai di situ saja, Aris bahkan menghadiri rapat dengan Pansus DPR terkait KPK tanpa izin dari pimpinannya.
Sejak kepemimpinan KPK Jilid I, belum ada penyidik atau direktur yang membangkang dari perintah pimpinan KPK. Kalaupun terjadi perbedaan pandangan antara penyidik atau direktur mengenai suatu perkara yang sedang ditangani, maka biasanya diselesaikan secara internal melalui pengawas internal.
Dalam periode kepemimpinan KPK Jilid IV ini, kelihatannya pengawasan dan kontrol pimpinan kepada pegawai, direktur dan penyidik sedikit mengalami penurunan. Bahkan terkesan ada perlawanan kepada pimpinan. Kita mengambil contoh misalnya, Aris Budiman yang tidak diizinkan oleh pimpinan KPK untuk menghadiri rapat dengan Pansus KPK, hingga kini masih bertugas dan seakan-akan masalahnya hilang bak ditelan bumi. Padahal secara sadar, ia telah melanggar kode etik di KPK.
Maka seharusnya ada sanksi tegas. Sanksi ini sangatlah urgen sebab dapat mencegah peristiwa serupa terjadi di masa mendatang. Secara teori, Anselm von Feuerbach mengenalkan ajaran psiclogische zwang, artinya bahwa hukuman harus memberikan rasa takut kepada seseorang sehingga mampu mencegah pelaku dan masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan yang serupa. Hal ini selaras dengan adagium latin berikut: poenae praesentis vitae magis sunt medicinales quam retributative.
Meskipun demikian, saya berpandangan bahwa apapun yang terjadi di internal KPK, semua menjadi tanggung jawab pimpinan. Artinya bahwa pimpinanlah yang harus menekankan dan mengarahkan pegawainya agar taat aturan dan kode etik. Ketika ada pegawai yang membangkang pada saat itulah pimpinan harus menegakkan aturan tanpa pandang bulu. Namun demikian, prosesnya tetap melalui pengawas internal.
Putusan pengawas internal kemudian akan disampaikan kepada pimpinan KPK untuk diputuskan. Dalam konteks itu, pimpinan KPK mengambil keputusan dengan prinsip kolektif kolegial. Hal ini secara implisit ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (5) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Bahwa pimpinan KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif.
Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bekerja secara kolektif adalah bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh pimpinan KPK. Termasuk juga dalam konteks ini adalah keputusan memberikan sanksi terhadap pegawai yang diduga telah melakukan pelanggaran kode etik. Jika sanksi akan dijatuhkan maka pimpinan KPK tetap harus bijaksana, sebagaimana dikatakan oleh Seneca, nemo prudens punit quia pecatum, sed ne pecatur, artinya bahwa seorang bijak tidak menghukum karena melakukan dosa, tetapi agar tidak lagi terjadi dosa.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari
Terminologi kuda troya tidaklah dapat dilepaskan dari peristiwa perang Troya, yakni mengenai tipu daya yang dilakukan oleh pasukan Yunani untuk memasuki Kota Troya dan memenangi perang. Menurut sejarahnya, setelah pengepungan selama 10 tahun yang tidak membuahkan hasil, pasukan Yunani kemudian membangun sebuah kuda kayu raksasa dan memasukkan beberapa prajuritnya ke dalam. Sebagian besar pasukan Yunani berpura-pura berlayar pergi, dan orang-orang Troya menarik kuda kayu ini ke kota mereka sebagai lambang kemenangan.
Malamnya, pasukan Yunani keluar dari kuda kayu tersebut dan membuka pintu gerbang bagi pasukan Yunani lainnya, yang kembali mendatangi Kota Troya dengan memanfaatkan persembunyian malam. Pasukan Yunani akhirnya berhasil memasuki dan menghancurkan Kota Troya, sehingga mengakhiri perang.
Secara metaforis, istilah “kuda troya” kini ditafsirkan sebagai proses tipu daya yang membuat sasaran mengundang musuh ke tempat yang seharusnya terlindungi. Dalam dunia politik, istilah kuda troya ini sering digunakan untuk menyebut musuh dalam selimut atau tabiat seseorang yang menggunting dalam lipatan. Istilah kuda troya kemudian disentil kembali oleh Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Aris Budiman yang diungkapkannya kepada awak media pascapelantikan Deputi Bidang Penindakan KPK Brigjen Firli dan Direktur Penuntutan Supardi pada Jumat, 6 April 2017 di Jakarta.
Menurut Aris, semua bermula dari surel yang beredar di internal KPK bahwa tindakan Aris yang meminta penyidiknya untuk kembali bertugas sebagai kasatgas penyidikan di KPK seolah-olah dikonotasikan sebagai kuda troya alias memasukkan musuh dalam selimut.
Aris kemudian menumpahkan kekesalannya dengan menyatakan bahwa ada yang tidak benar dalam proses penyidikan kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP). Johanes Marliem ternyata hingga meninggal dunia tidak pernah diperiksa oleh KPK. Selain itu, perusahaan Marliem bernama Biomorf luput dari penggeledahan KPK pula.
Hanya ada dua kemungkinan dari informasi yang diungkapkan oleh perwira tinggi Polri tersebut, yakni benar atau salah alias jujur atau bohong. Karena itu, perlu verifikasi lebih jauh dari internal KPK mengenai isu-isu sensitif ini, sebab bisa saja menimbulkan kegaduhan dan mengganggu performa KPK dalam memberantas korupsi. Pertanyaan kemudian, benarkah ada generasi kuda troya di KPK? Bagaimana pula seharusnya masalah ini diselesaikan?
Menolak Kuda Troya
Tidak dapat dinafikan bahwa kelahiran KPK berhubungan dengan situasi dan kondisi negeri ini yang darurat korupsi pada periode pemerintahan Orde Baru. Kala itu korupsi merajalela dan bersemayam di semua cabang kekuasaan, entah itu di kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Pada saat bersamaan, lembaga penegak hukum konvensional seperti kejaksaan dan kepolisian malah menjadi bagian yang harus ikut dibersihkan dari praktik korupsi. Imbasnya, kepercayaan masyarakat berada di titik nadir.
Maka ketika reformasi bergulir pada 1998, salah satu agenda reformasi adalah memberantas kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Agar lebih terarah dan progresif maka dibutuhkan badan khusus sebagai pemberantas korupsi. Dibentuklah KPK. Tegasnya, KPK lahir di tengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum lain, dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, untuk memberantas korupsi.
Pada awal KPK berdiri, pegawainya diambil dari kepolisian dan kejaksaan. Hal ini dilatari oleh fakta bahwa KPK yang masih terlampau muda usianya belum memiliki struktur anggaran dan pegawai yang kuat. Setelah itu, secara perlahan KPK mulai merekrut pegawai sendiri termasuk penyidik independen. Ketika merekrut pegawai, KPK menitikberatkan pada integritas dan kapasitas individu. Ini menjadi tolok ukur utama untuk menghindari masuknya orang-orang yang tidak berintegritas. Proses seleksi dibuat lebih transparan, akuntabel, dan terukur sehingga tidak ada orang titipan di dalamnya.
Meskipun demikian, KPK tetap perlu berhati-hati terutama dalam menerima penyidik dan penuntut umum dari kepolisian dan kejaksaan, sebab bukan tidak mungkin pegawai KPK yang berkarakter seperti Aris Budiman kembali masuk di KPK. Saya tidak mengatakan bahwa ia adalah bagian dari kuda troya, tetapi sikapnya yang berseberangan dengan instruksi pimpinan KPK menunjukkan bahwa ia tidak patuh. Selain itu, ada semacam pembangkangan.
Saya ingin menambahkan bahwa generasi kuda troya tidak hanya berpotensi terjadi pada pegawai, tetapi juga pada pimpinan KPK. Dalam hal ini, menolak kuda troya di KPK mesti dimulai dari pimpinan hingga pegawainya. Pimpinan KPK tidak boleh menjadi tunggangan orang-orang tertentu, termasuk presiden sekalipun.
Guna menghindari hadirnya generasi kuda troya di KPK, menurut pandangan saya ada tiga asas normatif yang dapat dijadikan filter. Pertama, Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu ditegaskan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Kedua, dalam Pasal 5 UU KPK. Di sana disebutkan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berasaskan pada: kepastian hukum; keterbukaan; akuntabilitas; kepentingan umum; dan proporsionalitas.
Ketiga, khusus kepada pimpinan KPK, untuk menghindari masuknya kuda troya maka harus dimulai dari proses seleksinya. Dalam hal ini, panitia seleksi pimpinan KPK haruslah orang yang lebih berintegritas dan memiliki pengalaman dalam proses pemberantasan korupsi. Ia juga harus memiliki wawasan yang mendalam, berjiwa negarawan, dan independen. Melalui pendekatan ini maka dapat diyakini bahwa panitia seleksi akan menghasilkan calon pimpinan KPK yang berintegritas dan berkualitas.
Tanggung Jawab Pimpinan
Cerita soal kelakuan Aris Budiman, sesungguhnya bukanlah hal baru di KPK. Ketika penyidik senior KPK, Novel Baswedan diserang secara membabi buta oleh penjahat yang tak dikenal, Aris tiba-tiba mengungkapkan bahwa Novel telah melakukan pencemaran nama baik kepada dirinya. Hal ini dilatari oleh surel yang beredar di KPK bahwa Aris dianggap kurang berintegritas. Aris kemudian melaporkan Novel ke Bareskrim Polri. Tidak sampai di situ saja, Aris bahkan menghadiri rapat dengan Pansus DPR terkait KPK tanpa izin dari pimpinannya.
Sejak kepemimpinan KPK Jilid I, belum ada penyidik atau direktur yang membangkang dari perintah pimpinan KPK. Kalaupun terjadi perbedaan pandangan antara penyidik atau direktur mengenai suatu perkara yang sedang ditangani, maka biasanya diselesaikan secara internal melalui pengawas internal.
Dalam periode kepemimpinan KPK Jilid IV ini, kelihatannya pengawasan dan kontrol pimpinan kepada pegawai, direktur dan penyidik sedikit mengalami penurunan. Bahkan terkesan ada perlawanan kepada pimpinan. Kita mengambil contoh misalnya, Aris Budiman yang tidak diizinkan oleh pimpinan KPK untuk menghadiri rapat dengan Pansus KPK, hingga kini masih bertugas dan seakan-akan masalahnya hilang bak ditelan bumi. Padahal secara sadar, ia telah melanggar kode etik di KPK.
Maka seharusnya ada sanksi tegas. Sanksi ini sangatlah urgen sebab dapat mencegah peristiwa serupa terjadi di masa mendatang. Secara teori, Anselm von Feuerbach mengenalkan ajaran psiclogische zwang, artinya bahwa hukuman harus memberikan rasa takut kepada seseorang sehingga mampu mencegah pelaku dan masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan yang serupa. Hal ini selaras dengan adagium latin berikut: poenae praesentis vitae magis sunt medicinales quam retributative.
Meskipun demikian, saya berpandangan bahwa apapun yang terjadi di internal KPK, semua menjadi tanggung jawab pimpinan. Artinya bahwa pimpinanlah yang harus menekankan dan mengarahkan pegawainya agar taat aturan dan kode etik. Ketika ada pegawai yang membangkang pada saat itulah pimpinan harus menegakkan aturan tanpa pandang bulu. Namun demikian, prosesnya tetap melalui pengawas internal.
Putusan pengawas internal kemudian akan disampaikan kepada pimpinan KPK untuk diputuskan. Dalam konteks itu, pimpinan KPK mengambil keputusan dengan prinsip kolektif kolegial. Hal ini secara implisit ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (5) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Bahwa pimpinan KPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif.
Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bekerja secara kolektif adalah bahwa setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh pimpinan KPK. Termasuk juga dalam konteks ini adalah keputusan memberikan sanksi terhadap pegawai yang diduga telah melakukan pelanggaran kode etik. Jika sanksi akan dijatuhkan maka pimpinan KPK tetap harus bijaksana, sebagaimana dikatakan oleh Seneca, nemo prudens punit quia pecatum, sed ne pecatur, artinya bahwa seorang bijak tidak menghukum karena melakukan dosa, tetapi agar tidak lagi terjadi dosa.
(pur)