Membangun Angkatan Udara yang Disegani
A
A
A
Marsekal Pertama TNI Jemi Trisonjaya, M.Tr. (Han)
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara
(Refleksi 72 Tahun TNI AU)
TAHUN ini, tepatnya tanggal 9 April, TNI Angkatan Udara (AU) memperingati hari ulang tahun yang ke-72. Perjalanan selama 72 tahun merupakan perjalanan panjang yang penuh tantangan. Selama itu pula TNI AU terus berusaha membangun dan mengembangkan kekuatan udara serta menjaga seluruh wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pembangunan dan pengembangan kekuatan udara berupa penambahan alutsista, fasilitas pendukungnya, dan peningkatan sumber daya manusia yang semuanya sudah tertuang dalam rencana strategis pembangunan kekuatan TNI AU setiap lima tahun. Tujuannya adalah untuk menjamin terwujudnya kekuatan dirgantara yang mampu menegakkan kedaulatan negara di udara.
Perjalanan Angkatan Udara dari awal berdirinya hingga sekarang tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa. Sejarah bangsa menunjukkan bahwa sejak berdirinya, Angkatan Udara telah menunjukkan prestasi dalam rangka menegakkan kedaulatan negara, mencegah dan menangkal serta menanggulangi setiap bentuk ancaman yang menggunakan media udara.
Pembentukan TNI AU
Tujuh puluh dua tahun lalu, tepatnya 9 April 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 6/SD/1946 yang berisi pembentukan Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara. Penetapan pemerintah itu memiliki arti penting bagi perkembangan Angkatan Udara.
Pertama, secara legal TNI AU telah memiliki kekuatan hukum yang kuat. Arti penting yang kedua, pemimpin AURI mengambil kebijakan penyusunan organisasi yang terstruktur secara baik dan jelas. Ketiga, ditetapkannya Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma menjadi kepala staf Angkatan Udara yang pertama dan diangkatnya Bapak R Soekarnaen Martokoesoemo serta A Adisutjipto sebagai wakil kepala staf Angkatan Udara mengandung arti bahwa TNI AU telah menjadi organisasi perang yang terorganisasi.
Dimilikinya organisasi perang yang terorganisir memudahkan Angkatan Udara dalam gerak tali komando yang sangat diperlukan di tengah masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Modal awal Angkatan Udara saat itu adalah pesawat-pesawat hasil rampasan dari tentara Jepang seperti jenis Cureng, Cukiu, Nishikoren, serta Hayabusha.
Kekuatan Macan Asia
Memasuki dekade 1950-an TNI AU melakukan konsolidasi dan pengembangan alutsista dengan menggantikan alutsista buatan Jepang. Kekuatan udara nasional memiliki pesawat yang lebih modern seperti C-47 Dakota, B-25 Mitchell, P-51 Mustang, Catalina, Piper Cub dan Auster. Di samping itu juga diserahterimakan bengkel pemeliharaan pesawat terbang, fasilitas pendidikan, dan fasilitas-fasilitas lainnya.
Pada masa ini Angkatan Udara melaksanakan berbagai operasi untuk menumpas pemberontakan yang mengancam kedaulatan NKRI seperti operasi penumpasan DI/TII, RMS, PRRI/Permesta. Hingga awal 1960-an, TNI AU mengalami popularitas yang tinggi. Negara tetangga pun menyebut TNI AU sebagai macan Asia.
Selain kedatangan rudal SAM -75, TNI AU saat itu juga diperkuat dengan ratusan pesawat dari berbagai jenis, antara lain heli MI-4, SM-1, Bell-47, S-58 T Sikorsky dan MI-6, pesawat latih T-34 A Mentor, L-29 Dolphin, pesawat angkut C-47 Dakota, IL-14, Hercules C-130, Antonov-12 dan C-140 Jet Star.
Tak hanya pesawat udara dan rudal, penempatan radar sebagai "mata-mata" untuk meng-cover wilayah Indonesia juga dikembangkan. Tercatat Radar Nysa, Radar Decca, dan Radar P-30 tergelar. Kekuatan udara ini digunakan untuk Operasi Dwikora, Trikora, dan operasi penumpasan Gerakan 30 September 1965.
Modernisasi Alutsista
Membangun Angkatan Udara yang kuat dan modern serta disegani tidak hanya melalui upaya pengembangan kekuatan, melainkan juga pembangunan kemampuan dan gelar kekuatan yang ideal untuk menangkal setiap ancaman. Dinamika perkembangan lingkungan strategis serta pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedirgantaraan saat ini memunculkan bentuk ancaman baru.
Potensi ancaman siber, bio-hazard, wahana tanpa awak, dan teknologi persenjataan menyebabkan tantangan yang dihadapi Angkatan Udara semakin berat. Untuk merebut kembali gelar macan Asia di usia TNI ke-72 memang dirasa cukup sulit mengingat kondisi alutsista Angkatan Udara saat ini masih jauh dari kekuatan udara ideal. Padahal dalam pelaksanaan tugas, seperti tertuang dalam UU No 34 Tahun 2004, dibutuhkan suatu postur TNI AU yang ideal.
Mengantisipasi berbagai tantangan terhadap dinamika tersebut, Angkatan Udara harus memiliki kemauan, tekad, dan komitmen untuk dapat mewujudkan hasil yang optimal dengan kekuatan dan kemampuan yang ada. Saat ini Angkatan Udara tengah berupaya meningkatkan kekuatan dan kemampuannya.
Dalam kaitan ini, kebijakan Kementerian Pertahanan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan TNI AU dalam mencapai kondisi kekuatan pokok minimum atau minimum essential force (MEF) sudah sangat tepat. Program pembangunan MEF disusun berdasarkan skala prioritas yang dilakukan dalam tiga tahap, yaitu MEF Rencana Strategis (Renstra) I, II, dan III.
Saat ini memasuki renstra ketiga, yaitu tahun 2015-2019 yang tinggal tersisa satu setengah tahun lagi, TNI AU akan mendatangkan pesawat generasi 4,5 untuk menggantikan pesawat F-5 yang sudah lama tidak terbang lagi. Selain itu TNI AU juga menambah radar ground control interception (GCI), pesawat angkut berat, pesawat CN-295 special mission, pesawat latih, dan pesawat tanpa awak pesawat multipurpose amphibious, serta fasilitas dan sarana prasarana lainnya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) juga terus dilakukan.
Melihat kondisi terkini TNI AU sebagai alat pertahanan di udara jelas tampak ada kemajuan bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Terlebih dengan kedatangan 24 pesawat F-16 C/D yang telah di-upgrade menjadi F-16 block 52ID. Keberadaan 24 unit pesawat F-16 ini merupakan bagian dari upaya pembangunan kekuatan untuk mewujudkan postur TNI AU.
Pembangunan Angkatan Udara terus dilanjutkan. Pada Renstra IV, ada rencana pengadaan pesawat sejenis F-16 tipe terbaru, pengadaan pesawat tanker dan pesawat AWACS serta melanjutkan pengadaan radar GCI dan membangun network centric warfare (NCW). Dengan demikian di pengujung Renstra IV diharapkan Angkatan Udara mampu memantapkan jati dirinya sebagai tentara profesional dengan alutsista yang modern.
Di HUT ke-72, TNI AU terus mengevaluasi dan membangun diri sehingga menjadi kekuatan udara yang berkelas dunia. Ini butuh dukungan berbagai pihak, termasuk perlu anggaran besar yang disesuaikan dengan kemampuan ekonomi negara. Angkatan Udara terus bekerja ke arah sana secara bertahap, tidak hanya membangun kekuatan alutsista, tetapi juga organisasinya serta SDM-nya.
TNI AU juga mendukung visi pemerintah saat ini, yakni "menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara" serta mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia di mana TNI AU memiliki kemampuan optimal untuk melaksanakan maritime air strike dan maritime air support.
Komitmen dukungan pada visi pemerintah ini dapat dilaksanakan dengan menghadirkan kekuatan udara sebagai superioritas udara ke tengah samudra dan di atas seluruh wilayah kedaulatan nasional. Kekuatan udara seperti itu sangat dibutuhkan untuk mewujudkan sistem pertahanan maritim yang kuat karena pertahanan maritim substansinya tidak hanya butuh kehadiran Angkatan Laut yang kuat saja, tetapi juga kekuatan udara yang hebat.
Memang, pembangunan kekuatan pertahanan tidaklah semata-mata ditujukan untuk berperang melawan kekuatan asing. Namun prinsip "siapa yang ingin damai, bersiaplah untuk berperang" memengaruhi pemikiran setiap negara untuk berusaha menjaga dirinya, baik dalam menghadapi perang yang sesungguhnya maupun sekadar membuat rasa gentar (deterrent effects) terhadap pesawat-pesawat yang akan melanggar wilayah udara NKRI.
Meski tidak ada ancaman dan apalagi perang udara dalam arti tradisional, kehadiran alutsista TNI AU yang modern akan menjadi sebuah kekuatan yang bisa mengangkat martabat dan kehormatan negara dan bangsa di wilayah sekitarnya. TNI AU sebagai matra udara yang sangat mengandalkan teknologi dalam sistem persenjataan dan pemeliharaan harus didukung oleh insan Angkatan Udara yang memiliki jiwa kesatria, militan, loyal, profesional, dan modern. Tujuannya agar mampu mewujudkan kesiapan operasional TNI AU yang optimal.
Bagi bangsa Indonesia yang berdiam dalam sebuah negara kepulauan terbesar di dunia ini, dengan letak yang strategis ditinjau dari segala aspek kehidupan, memiliki Angkatan Udara yang andal sebagai pilar utama kekuatan udara nasional merupakan hal yang penting dalam upaya mewujudkan daya tangkal guna mempertahankan negara dan segala isinya. Dirgahayu TNI Angkatan Udara. Swa bhuwana paksa.
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara
(Refleksi 72 Tahun TNI AU)
TAHUN ini, tepatnya tanggal 9 April, TNI Angkatan Udara (AU) memperingati hari ulang tahun yang ke-72. Perjalanan selama 72 tahun merupakan perjalanan panjang yang penuh tantangan. Selama itu pula TNI AU terus berusaha membangun dan mengembangkan kekuatan udara serta menjaga seluruh wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pembangunan dan pengembangan kekuatan udara berupa penambahan alutsista, fasilitas pendukungnya, dan peningkatan sumber daya manusia yang semuanya sudah tertuang dalam rencana strategis pembangunan kekuatan TNI AU setiap lima tahun. Tujuannya adalah untuk menjamin terwujudnya kekuatan dirgantara yang mampu menegakkan kedaulatan negara di udara.
Perjalanan Angkatan Udara dari awal berdirinya hingga sekarang tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa. Sejarah bangsa menunjukkan bahwa sejak berdirinya, Angkatan Udara telah menunjukkan prestasi dalam rangka menegakkan kedaulatan negara, mencegah dan menangkal serta menanggulangi setiap bentuk ancaman yang menggunakan media udara.
Pembentukan TNI AU
Tujuh puluh dua tahun lalu, tepatnya 9 April 1946, Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 6/SD/1946 yang berisi pembentukan Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara. Penetapan pemerintah itu memiliki arti penting bagi perkembangan Angkatan Udara.
Pertama, secara legal TNI AU telah memiliki kekuatan hukum yang kuat. Arti penting yang kedua, pemimpin AURI mengambil kebijakan penyusunan organisasi yang terstruktur secara baik dan jelas. Ketiga, ditetapkannya Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma menjadi kepala staf Angkatan Udara yang pertama dan diangkatnya Bapak R Soekarnaen Martokoesoemo serta A Adisutjipto sebagai wakil kepala staf Angkatan Udara mengandung arti bahwa TNI AU telah menjadi organisasi perang yang terorganisasi.
Dimilikinya organisasi perang yang terorganisir memudahkan Angkatan Udara dalam gerak tali komando yang sangat diperlukan di tengah masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Modal awal Angkatan Udara saat itu adalah pesawat-pesawat hasil rampasan dari tentara Jepang seperti jenis Cureng, Cukiu, Nishikoren, serta Hayabusha.
Kekuatan Macan Asia
Memasuki dekade 1950-an TNI AU melakukan konsolidasi dan pengembangan alutsista dengan menggantikan alutsista buatan Jepang. Kekuatan udara nasional memiliki pesawat yang lebih modern seperti C-47 Dakota, B-25 Mitchell, P-51 Mustang, Catalina, Piper Cub dan Auster. Di samping itu juga diserahterimakan bengkel pemeliharaan pesawat terbang, fasilitas pendidikan, dan fasilitas-fasilitas lainnya.
Pada masa ini Angkatan Udara melaksanakan berbagai operasi untuk menumpas pemberontakan yang mengancam kedaulatan NKRI seperti operasi penumpasan DI/TII, RMS, PRRI/Permesta. Hingga awal 1960-an, TNI AU mengalami popularitas yang tinggi. Negara tetangga pun menyebut TNI AU sebagai macan Asia.
Selain kedatangan rudal SAM -75, TNI AU saat itu juga diperkuat dengan ratusan pesawat dari berbagai jenis, antara lain heli MI-4, SM-1, Bell-47, S-58 T Sikorsky dan MI-6, pesawat latih T-34 A Mentor, L-29 Dolphin, pesawat angkut C-47 Dakota, IL-14, Hercules C-130, Antonov-12 dan C-140 Jet Star.
Tak hanya pesawat udara dan rudal, penempatan radar sebagai "mata-mata" untuk meng-cover wilayah Indonesia juga dikembangkan. Tercatat Radar Nysa, Radar Decca, dan Radar P-30 tergelar. Kekuatan udara ini digunakan untuk Operasi Dwikora, Trikora, dan operasi penumpasan Gerakan 30 September 1965.
Modernisasi Alutsista
Membangun Angkatan Udara yang kuat dan modern serta disegani tidak hanya melalui upaya pengembangan kekuatan, melainkan juga pembangunan kemampuan dan gelar kekuatan yang ideal untuk menangkal setiap ancaman. Dinamika perkembangan lingkungan strategis serta pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedirgantaraan saat ini memunculkan bentuk ancaman baru.
Potensi ancaman siber, bio-hazard, wahana tanpa awak, dan teknologi persenjataan menyebabkan tantangan yang dihadapi Angkatan Udara semakin berat. Untuk merebut kembali gelar macan Asia di usia TNI ke-72 memang dirasa cukup sulit mengingat kondisi alutsista Angkatan Udara saat ini masih jauh dari kekuatan udara ideal. Padahal dalam pelaksanaan tugas, seperti tertuang dalam UU No 34 Tahun 2004, dibutuhkan suatu postur TNI AU yang ideal.
Mengantisipasi berbagai tantangan terhadap dinamika tersebut, Angkatan Udara harus memiliki kemauan, tekad, dan komitmen untuk dapat mewujudkan hasil yang optimal dengan kekuatan dan kemampuan yang ada. Saat ini Angkatan Udara tengah berupaya meningkatkan kekuatan dan kemampuannya.
Dalam kaitan ini, kebijakan Kementerian Pertahanan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan TNI AU dalam mencapai kondisi kekuatan pokok minimum atau minimum essential force (MEF) sudah sangat tepat. Program pembangunan MEF disusun berdasarkan skala prioritas yang dilakukan dalam tiga tahap, yaitu MEF Rencana Strategis (Renstra) I, II, dan III.
Saat ini memasuki renstra ketiga, yaitu tahun 2015-2019 yang tinggal tersisa satu setengah tahun lagi, TNI AU akan mendatangkan pesawat generasi 4,5 untuk menggantikan pesawat F-5 yang sudah lama tidak terbang lagi. Selain itu TNI AU juga menambah radar ground control interception (GCI), pesawat angkut berat, pesawat CN-295 special mission, pesawat latih, dan pesawat tanpa awak pesawat multipurpose amphibious, serta fasilitas dan sarana prasarana lainnya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) juga terus dilakukan.
Melihat kondisi terkini TNI AU sebagai alat pertahanan di udara jelas tampak ada kemajuan bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Terlebih dengan kedatangan 24 pesawat F-16 C/D yang telah di-upgrade menjadi F-16 block 52ID. Keberadaan 24 unit pesawat F-16 ini merupakan bagian dari upaya pembangunan kekuatan untuk mewujudkan postur TNI AU.
Pembangunan Angkatan Udara terus dilanjutkan. Pada Renstra IV, ada rencana pengadaan pesawat sejenis F-16 tipe terbaru, pengadaan pesawat tanker dan pesawat AWACS serta melanjutkan pengadaan radar GCI dan membangun network centric warfare (NCW). Dengan demikian di pengujung Renstra IV diharapkan Angkatan Udara mampu memantapkan jati dirinya sebagai tentara profesional dengan alutsista yang modern.
Di HUT ke-72, TNI AU terus mengevaluasi dan membangun diri sehingga menjadi kekuatan udara yang berkelas dunia. Ini butuh dukungan berbagai pihak, termasuk perlu anggaran besar yang disesuaikan dengan kemampuan ekonomi negara. Angkatan Udara terus bekerja ke arah sana secara bertahap, tidak hanya membangun kekuatan alutsista, tetapi juga organisasinya serta SDM-nya.
TNI AU juga mendukung visi pemerintah saat ini, yakni "menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara" serta mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia di mana TNI AU memiliki kemampuan optimal untuk melaksanakan maritime air strike dan maritime air support.
Komitmen dukungan pada visi pemerintah ini dapat dilaksanakan dengan menghadirkan kekuatan udara sebagai superioritas udara ke tengah samudra dan di atas seluruh wilayah kedaulatan nasional. Kekuatan udara seperti itu sangat dibutuhkan untuk mewujudkan sistem pertahanan maritim yang kuat karena pertahanan maritim substansinya tidak hanya butuh kehadiran Angkatan Laut yang kuat saja, tetapi juga kekuatan udara yang hebat.
Memang, pembangunan kekuatan pertahanan tidaklah semata-mata ditujukan untuk berperang melawan kekuatan asing. Namun prinsip "siapa yang ingin damai, bersiaplah untuk berperang" memengaruhi pemikiran setiap negara untuk berusaha menjaga dirinya, baik dalam menghadapi perang yang sesungguhnya maupun sekadar membuat rasa gentar (deterrent effects) terhadap pesawat-pesawat yang akan melanggar wilayah udara NKRI.
Meski tidak ada ancaman dan apalagi perang udara dalam arti tradisional, kehadiran alutsista TNI AU yang modern akan menjadi sebuah kekuatan yang bisa mengangkat martabat dan kehormatan negara dan bangsa di wilayah sekitarnya. TNI AU sebagai matra udara yang sangat mengandalkan teknologi dalam sistem persenjataan dan pemeliharaan harus didukung oleh insan Angkatan Udara yang memiliki jiwa kesatria, militan, loyal, profesional, dan modern. Tujuannya agar mampu mewujudkan kesiapan operasional TNI AU yang optimal.
Bagi bangsa Indonesia yang berdiam dalam sebuah negara kepulauan terbesar di dunia ini, dengan letak yang strategis ditinjau dari segala aspek kehidupan, memiliki Angkatan Udara yang andal sebagai pilar utama kekuatan udara nasional merupakan hal yang penting dalam upaya mewujudkan daya tangkal guna mempertahankan negara dan segala isinya. Dirgahayu TNI Angkatan Udara. Swa bhuwana paksa.
(thm)