Budaya Sontoloyo
A
A
A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
KAMUS The Random House Dictionary of English Language (terbitan New York, Amerika Serikat) mencatat empat pengertian tentang vandalisme. Khusus mengenai tulisan dengan tema ini, kita kutip salah satu pengertian vandalisme yang termaktub dalam kamus tersebut. Vandalisme adalah deliberately mischievous or malicious destruction or damage of property (perusakan secara sengaja terhadap harta benda yang dilakukan secara ganas dan menimbulkan kerugian).
Menurut definisi ini, perbuatan mencoret-coret tembok rumah hunian, tembok toko, tembok kantor, tembok sekolah, tembok universitas, papan reklame, papan nama, dan tembok kota yang dilakukan secara sengaja oleh seseorang atau sekelompok orang sudah termasuk perbuatan dan tindakan vandalistis.
Karena perbuatan demikian sudah mengakibatkan pengotoran dan perusakan yang menimbulkan kerugian properti pada pihak lain. Inilah fenomena yang terjadi secara luas di banyak kota di Indonesia dewasa ini.
Vandalisme di banyak kota di Tanah Air cenderung terus meningkat fenomenanya dari waktu ke waktu dan situasinya sudah sangat memprihatinkan, mengesalkan, menjengkelkan, dan mendongkolkan. Grafiti atau corat-coret di dinding dan tembok kota benar-benar sangat mengganggu, mengurangi, dan mengotori keindahan kota.
Vandalisme merupakan fenomena "budaya" anak-anak muda di kota-kota urban. Para pelaku vandalisme menggunakan ungkapan bahasa khas atau ekspresi frasa tersendiri yang hanya dimengerti kalangan mereka atau komunitas mereka sendiri.
Mereka menulis di tembok rumah hunian, tembok kantor, tembok toko, tembok sekolah, dan tembok pagar di kota-kota dengan bahasa yang mereka pahami dan menurut selera mereka sendiri. Mereka mengekspresikan perilaku kebiasaan atau budaya khas mereka dengan corat-coret, melumuri dan mengotori keelokan dan keindahan kota.
Mereka menggunakan cat tebal sehingga tidak mudah dibersihkan. Bahkan ada tembok rumah hunian, tembok kantor, atau tembok toko yang baru selesai dicat, dicoret-coret oleh pelaku vandalisme. Mereka memiliki grup sendiri-sendiri dan “perang” antargeng terjadi dengan menuliskan ekspresi kata-kata persaingan untuk melawan ekspresi kata-kata yang sebelumnya ditulis oleh kelompok lawan. Dengan perasaan kesal, jengkel, dan dongkol, para pemiliknya terpaksa mengecat ulang tembok yang dicoret-coret oleh para pekaku vandalisme itu.
Sebagai kota besar dengan jumlah penduduk yang besar pula, Jakarta tidak terlepas dari tindakan vandalistis yang kebanyakan dilakukan anak-anak muda. Dengan caranya sendiri yang di luar jalur kebiasaan dan ketertiban umum, mereka ingin mengekspresikan identitas, eksistensi, perilaku kebiasaan, dan sosok budaya kaum muda.
Tembok rumah hunian, tembok kantor, tembok toko, tembok sekolah, dan tembok pagar di hampir semua kawasan di Kota Jakarta tercemar dan dikotori corat-coret yang diperbuat oleh pelaku vandalisme. Pelaku vandalisme biasanya melakukan aksinya pada tengah malam atau dini hari sehingga perbuatan mereka tidak terpantau dan tidak terlihat oleh pihak penjaga ketertiban dan keamanan.
Mereka merasa senang, gembira, dan puas sekali dengan melakukan tindakan vandalisme itu karena mereka sudah merasa bisa mengekspresikan budaya mereka tanpa merasa risih dan bersalah bahwa perbuatan seperti itu sebenarnya mengotori dan merusak properti pihak lain.
Seperti halnya di kota-kota lain di Indonesia, Yogyakarta yang dikenal sebagai kota budaya dan kota pelajar-mahasiswa juga terkena polusi corat-coret oleh para pelaku vandalisme. Kota ramah budaya yang dijuluki Yogya Berhati Nyaman ini tercoreng keasrian, keelokan, dan keindahannya akibat pencemaran corat-coret yang terdapat di hampir segenap sudut kota gara-gara aksi dan ulah pelaku vandalisme.
Di suatu tembok di Yogyakarta saya menemukan corat-coret atau tulisan dengan inisial QRZ (= qisruh?), MTZ, TST, TQZ, dan ekspresi-ekspresi lain yang sejenis. Ada pula tulisan “oestadz”, “bule”, dan lain-lain. Fenomena yang paling memprihatinkan, memilukan, dan sekaligus memalukan adalah tulisan kata kotor dan jorok yang berbunyi “fuck “ yang terdapat di suatu tembok universitas besar di Yogyakarta.
Tidak diketahui siapa pelakunya, bisa jadi remaja luar yang “menyusup” ke dalam kampus di malam hari dan menuliskan kata kotor dan jorok itu tanpa diketahui oleh satpam kampus yang sedang bertugas. Sebab para pelaku vandalisme melakukan aksi mereka pada malam hari (dini hari) agar tidak tertangkap tangan.
Di Yogyakarta secara berkala dilaksanakan Gerakan Yogya Bersih Vandalisme yang digagas dan diinisiasi oleh Kepala Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta. Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta juga memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Kebersihan yang isinya menetapkan bahwa pelaku vandalisme akan dikenai sanksi, yaitu denda Rp50 juta dan hukuman kurungan maksimal 3 bulan.
Perda ini bagus di atas kertas, tetapi belum dilaksanakan dalam arti yang sesungguhnya. Pernah diberitakan di media massa, pelaku vandalisme di Yogyakarta tertangkap tangan, tetapi tidak dikenai sanksi sesuai dengan bunyi dan butir-butir ketentuan yang tertera dalam perda. Para pekaku vandalisme tersebut hanya diberi pembinaan karena para pelakunya masih remaja dan berstatus pelajar.
Pada 1986-1988 saya mengambil program S-2 di Universitas Columbia (New York) dan 1991-1995 mengambil program S-3 di Universitas McGill (Montreal, Kanada). Di samping belajar, saya juga mengamati kehidupan kaum muda dalam budaya vandalisme di kedua kota besar itu.
Di New York, vandalisme banyak ditemukan di tembok-tembok kota dengan berbagai ekspresi yang beragam. Subway (kereta api bawah tanah) di New York menjadi sasaran empuk bagi para pelaku vandalisme. Adapun di Montreal, vandalisme tidak begitu banyak ditemukan. Dalam skala sangat kecil, di Kuwait City (ibu kota Kuwait) juga ditemukan vandalisme yang dilakukan anak-anak muda.
Saya beberapa kali berkunjung ke Kuala Lumpur dan Singapura. Menarik sekali, Singapura dan Kuala Lumpur bersih dari vandalisme dalam bentuk corat-coret atau grafiti. Bisakah kota-kota di Indonesia mencontoh Singapura dan Kuala Lumpur yang bersih dari budaya vandalisme? Budaya vandalisme adalah budaya sontoloyo yang harus dikikis dan diberantas!
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
KAMUS The Random House Dictionary of English Language (terbitan New York, Amerika Serikat) mencatat empat pengertian tentang vandalisme. Khusus mengenai tulisan dengan tema ini, kita kutip salah satu pengertian vandalisme yang termaktub dalam kamus tersebut. Vandalisme adalah deliberately mischievous or malicious destruction or damage of property (perusakan secara sengaja terhadap harta benda yang dilakukan secara ganas dan menimbulkan kerugian).
Menurut definisi ini, perbuatan mencoret-coret tembok rumah hunian, tembok toko, tembok kantor, tembok sekolah, tembok universitas, papan reklame, papan nama, dan tembok kota yang dilakukan secara sengaja oleh seseorang atau sekelompok orang sudah termasuk perbuatan dan tindakan vandalistis.
Karena perbuatan demikian sudah mengakibatkan pengotoran dan perusakan yang menimbulkan kerugian properti pada pihak lain. Inilah fenomena yang terjadi secara luas di banyak kota di Indonesia dewasa ini.
Vandalisme di banyak kota di Tanah Air cenderung terus meningkat fenomenanya dari waktu ke waktu dan situasinya sudah sangat memprihatinkan, mengesalkan, menjengkelkan, dan mendongkolkan. Grafiti atau corat-coret di dinding dan tembok kota benar-benar sangat mengganggu, mengurangi, dan mengotori keindahan kota.
Vandalisme merupakan fenomena "budaya" anak-anak muda di kota-kota urban. Para pelaku vandalisme menggunakan ungkapan bahasa khas atau ekspresi frasa tersendiri yang hanya dimengerti kalangan mereka atau komunitas mereka sendiri.
Mereka menulis di tembok rumah hunian, tembok kantor, tembok toko, tembok sekolah, dan tembok pagar di kota-kota dengan bahasa yang mereka pahami dan menurut selera mereka sendiri. Mereka mengekspresikan perilaku kebiasaan atau budaya khas mereka dengan corat-coret, melumuri dan mengotori keelokan dan keindahan kota.
Mereka menggunakan cat tebal sehingga tidak mudah dibersihkan. Bahkan ada tembok rumah hunian, tembok kantor, atau tembok toko yang baru selesai dicat, dicoret-coret oleh pelaku vandalisme. Mereka memiliki grup sendiri-sendiri dan “perang” antargeng terjadi dengan menuliskan ekspresi kata-kata persaingan untuk melawan ekspresi kata-kata yang sebelumnya ditulis oleh kelompok lawan. Dengan perasaan kesal, jengkel, dan dongkol, para pemiliknya terpaksa mengecat ulang tembok yang dicoret-coret oleh para pekaku vandalisme itu.
Sebagai kota besar dengan jumlah penduduk yang besar pula, Jakarta tidak terlepas dari tindakan vandalistis yang kebanyakan dilakukan anak-anak muda. Dengan caranya sendiri yang di luar jalur kebiasaan dan ketertiban umum, mereka ingin mengekspresikan identitas, eksistensi, perilaku kebiasaan, dan sosok budaya kaum muda.
Tembok rumah hunian, tembok kantor, tembok toko, tembok sekolah, dan tembok pagar di hampir semua kawasan di Kota Jakarta tercemar dan dikotori corat-coret yang diperbuat oleh pelaku vandalisme. Pelaku vandalisme biasanya melakukan aksinya pada tengah malam atau dini hari sehingga perbuatan mereka tidak terpantau dan tidak terlihat oleh pihak penjaga ketertiban dan keamanan.
Mereka merasa senang, gembira, dan puas sekali dengan melakukan tindakan vandalisme itu karena mereka sudah merasa bisa mengekspresikan budaya mereka tanpa merasa risih dan bersalah bahwa perbuatan seperti itu sebenarnya mengotori dan merusak properti pihak lain.
Seperti halnya di kota-kota lain di Indonesia, Yogyakarta yang dikenal sebagai kota budaya dan kota pelajar-mahasiswa juga terkena polusi corat-coret oleh para pelaku vandalisme. Kota ramah budaya yang dijuluki Yogya Berhati Nyaman ini tercoreng keasrian, keelokan, dan keindahannya akibat pencemaran corat-coret yang terdapat di hampir segenap sudut kota gara-gara aksi dan ulah pelaku vandalisme.
Di suatu tembok di Yogyakarta saya menemukan corat-coret atau tulisan dengan inisial QRZ (= qisruh?), MTZ, TST, TQZ, dan ekspresi-ekspresi lain yang sejenis. Ada pula tulisan “oestadz”, “bule”, dan lain-lain. Fenomena yang paling memprihatinkan, memilukan, dan sekaligus memalukan adalah tulisan kata kotor dan jorok yang berbunyi “fuck “ yang terdapat di suatu tembok universitas besar di Yogyakarta.
Tidak diketahui siapa pelakunya, bisa jadi remaja luar yang “menyusup” ke dalam kampus di malam hari dan menuliskan kata kotor dan jorok itu tanpa diketahui oleh satpam kampus yang sedang bertugas. Sebab para pelaku vandalisme melakukan aksi mereka pada malam hari (dini hari) agar tidak tertangkap tangan.
Di Yogyakarta secara berkala dilaksanakan Gerakan Yogya Bersih Vandalisme yang digagas dan diinisiasi oleh Kepala Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta. Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta juga memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Kebersihan yang isinya menetapkan bahwa pelaku vandalisme akan dikenai sanksi, yaitu denda Rp50 juta dan hukuman kurungan maksimal 3 bulan.
Perda ini bagus di atas kertas, tetapi belum dilaksanakan dalam arti yang sesungguhnya. Pernah diberitakan di media massa, pelaku vandalisme di Yogyakarta tertangkap tangan, tetapi tidak dikenai sanksi sesuai dengan bunyi dan butir-butir ketentuan yang tertera dalam perda. Para pekaku vandalisme tersebut hanya diberi pembinaan karena para pelakunya masih remaja dan berstatus pelajar.
Pada 1986-1988 saya mengambil program S-2 di Universitas Columbia (New York) dan 1991-1995 mengambil program S-3 di Universitas McGill (Montreal, Kanada). Di samping belajar, saya juga mengamati kehidupan kaum muda dalam budaya vandalisme di kedua kota besar itu.
Di New York, vandalisme banyak ditemukan di tembok-tembok kota dengan berbagai ekspresi yang beragam. Subway (kereta api bawah tanah) di New York menjadi sasaran empuk bagi para pelaku vandalisme. Adapun di Montreal, vandalisme tidak begitu banyak ditemukan. Dalam skala sangat kecil, di Kuwait City (ibu kota Kuwait) juga ditemukan vandalisme yang dilakukan anak-anak muda.
Saya beberapa kali berkunjung ke Kuala Lumpur dan Singapura. Menarik sekali, Singapura dan Kuala Lumpur bersih dari vandalisme dalam bentuk corat-coret atau grafiti. Bisakah kota-kota di Indonesia mencontoh Singapura dan Kuala Lumpur yang bersih dari budaya vandalisme? Budaya vandalisme adalah budaya sontoloyo yang harus dikikis dan diberantas!
(maf)