Budaya Sontoloyo

Jum'at, 06 April 2018 - 05:57 WIB
Budaya Sontoloyo
Budaya Sontoloyo
A A A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

KAMUS The Random House Dictionary of English Language (terbitan New York, Amerika Serikat) men­catat empat pengertian tentang vandalisme. Khusus mengenai tulisan dengan tema ini, kita kutip salah satu pengertian van­dalisme yang termaktub dalam kamus tersebut. Vandalisme adalah deliberately mischievous or malicious destruction or damage of property (perusakan secara sengaja terhadap harta benda yang dilakukan secara ganas dan menimbulkan kerugian).

Menurut definisi ini, per­buatan mencoret-coret tem­bok rumah hunian, tembok toko, tembok kantor, tembok seko­lah, tembok universitas, papan reklame, papan nama, dan tembok kota yang dilakukan secara sengaja oleh seseorang atau sekelompok orang sudah termasuk perbuatan dan tin­dakan vandalistis.

Karena per­buatan demikian sudah meng­akibatkan pengotoran dan perusakan yang menimbulkan ke­rugian properti pada pihak lain. Inilah fenomena yang terjadi secara luas di banyak kota di Indonesia dewasa ini.

Vandalisme di banyak kota di Tanah Air cenderung terus meningkat fenomenanya dari waktu ke waktu dan situasinya sudah sangat mem­priha­tin­kan, mengesalkan, menjeng­kel­kan, dan mendongkolkan. Grafiti atau corat-coret di din­ding dan tembok kota benar-benar sangat mengganggu, mengurangi, dan mengotori keindahan kota.

Vandalisme merupakan fenomena "budaya" anak-anak muda di kota-kota urban. Para pelaku vandalisme meng­guna­kan ungkapan bahasa khas atau ekspresi frasa tersendiri yang hanya dimengerti kalang­an mereka atau komunitas me­reka sendiri.

Mereka menulis di tembok rumah hunian, tem­bok kantor, tembok toko, tem­bok sekolah, dan tembok pagar di kota-kota dengan bahasa yang mereka pahami dan menurut selera mereka sendiri. Mereka mengekspresikan perilaku ke­biasaan atau budaya khas me­reka dengan corat-coret, melu­muri dan mengo­tori keelokan dan keindahan kota.

Mereka menggunakan cat tebal sehing­ga tidak mudah dibersihkan. Bah­kan ada tem­bok rumah hunian, tembok kantor, atau tembok toko yang baru selesai dicat, dicoret-coret oleh pelaku vandalisme. Mereka memiliki grup sendiri-sendiri dan “perang” antargeng terjadi dengan me­nuliskan ekspresi kata-kata per­saingan untuk melawan eks­presi kata-kata yang sebelum­nya ditulis oleh kelompok lawan. Dengan perasaan kesal, jengkel, dan dongkol, para pemiliknya ter­paksa mengecat ulang tem­bok yang dicoret-coret oleh para pekaku vandalisme itu.

Sebagai kota besar dengan jumlah penduduk yang besar pula, Jakarta tidak terlepas dari tindakan vandalistis yang ke­banyakan dilakukan anak-anak muda. Dengan caranya sen­diri yang di luar jalur ke­biasaan dan ketertiban umum, mereka ingin mengekspresi­kan identitas, eksistensi, perilaku kebiasaan, dan sosok budaya kaum muda.

Tembok rumah hunian, tembok kantor, tembok toko, tembok sekolah, dan tembok pagar di hampir semua kawasan di Kota Jakarta tercemar dan dikotori corat-coret yang diperbuat oleh pelaku vandalisme. Pelaku van­dalisme biasanya melaku­kan aksinya pada tengah malam atau dini hari sehingga perb­uatan mereka tidak ter­pantau dan tidak terlihat oleh pihak pen­jaga ketertiban dan ke­aman­an.

Mereka merasa senang, gem­bira, dan puas sekali dengan me­lakukan tin­dakan vandalisme itu karena mereka sudah me­rasa bisa mengekspresikan bu­daya mereka tanpa merasa risih dan bersalah bahwa perbuatan se­perti itu sebenarnya mengo­tori dan merusak properti pihak lain.

Seperti halnya di kota-kota lain di Indonesia, Yogyakarta yang dikenal sebagai kota bu­daya dan kota pelajar-maha­siswa juga terkena polusi corat-coret oleh para pelaku van­dal­isme. Kota ramah budaya yang dijuluki Yogya Berhati Nyaman ini tercoreng keasrian, ke­elok­an, dan keindahannya akibat pencemaran corat-coret yang terdapat di hampir segenap sudut kota gara-gara aksi dan ulah pelaku vandalisme.

Di suatu tembok di Yogyakarta saya menemukan corat-coret atau tulisan dengan inisial QRZ (= qisruh?), MTZ, TST, TQZ, dan ekspresi-ekspresi lain yang sejenis. Ada pula tulisan “oestadz”, “bule”, dan lain-lain. Fenomena yang paling mem­prihatinkan, memilukan, dan sekaligus memalukan adalah tulisan kata kotor dan jorok yang berbunyi “fuck “ yang ter­dapat di suatu tembok univer­sitas besar di Yogyakarta.

Tidak diketahui siapa pelakunya, bisa jadi remaja luar yang “me­nyusup” ke dalam kampus di malam hari dan menuliskan kata kotor dan jorok itu tanpa diketahui oleh satpam kampus yang sedang bertugas. Sebab para pelaku vandalisme me­laku­kan aksi mereka pada malam hari (dini hari) agar tidak tertangkap tangan.

Di Yogyakarta secara ber­kala dilaksanakan Gerakan Yogya Bersih Vandalisme yang digagas dan diinisiasi oleh Kepala Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta. Pemda Daerah Istimewa Yogya­karta juga me­miliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Keber­sih­an yang isinya menetapkan bahwa pelaku vandalisme akan dikenai sanksi, yaitu denda Rp50 juta dan hukuman ku­rung­an mak­simal 3 bulan.

Perda ini bagus di atas kertas, tetapi belum dilaksanakan dalam arti yang sesungguhnya. Pernah di­berita­kan di media massa, pelaku vandalisme di Yogya­karta tertangkap tangan, tetapi tidak dikenai sanksi sesuai dengan bunyi dan butir-butir ketentuan yang tertera dalam perda. Para pekaku vandalisme tersebut hanya diberi pem­binaan karena para pelakunya masih remaja dan berstatus pelajar.

Pada 1986-1988 saya meng­ambil program S-2 di Univer­sitas Columbia (New York) dan 1991-1995 meng­ambil pro­gram S-3 di Universitas McGill (Montreal, Kanada). Di sam­ping belajar, saya juga meng­amati kehidup­an kaum muda dalam budaya vandalisme di kedua kota besar itu.

Di New York, vandalisme banyak di­temukan di tembok-tembok kota dengan berbagai ekspresi yang beragam. Subway (kereta api bawah tanah) di New York menjadi sasaran empuk bagi para pelaku vandalisme. Ada­pun di Montreal, vandal­isme tidak begitu banyak ditemukan. Dalam skala sangat kecil, di Kuwait City (ibu kota Kuwait) juga ditemukan vandalisme yang dilakukan anak-anak muda.

Saya beberapa kali berkun­jung ke Kuala Lumpur dan Singa­pura. Menarik sekali, Singapura dan Kuala Lumpur bersih dari vandalisme dalam bentuk corat-coret atau grafiti. Bisakah kota-kota di Indonesia mencontoh Singapura dan Kuala Lumpur yang bersih dari budaya van­dal­isme? Budaya vandalisme adalah budaya sontoloyo yang harus dikikis dan diberantas!
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0945 seconds (0.1#10.140)