Mengkaji Puisi Sukmawati
A
A
A
Salmah Naelofaria
Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan
PUISI Sukmawati yang membangkitkan jejak kepedulian religi itu kini menjadi pembicaraan masyarakat. Berbagai tingkatan sosial dan usia memperbincangkannya. Karya balasan lahir di mana-mana.
Tetiba rakyat menjadi penyair dadakan yang memiliki kekuatan luar biasa dalam melahirkan kata, tak peduli rentetan itu melukai atau tidak. Kenapa emosi itu membuncah?
Seharusnya puisi adalah sederetan kata yang penuh dengan sense dan amanat yang luar biasa. Larik-larik yang mengundang daya bayang, meski tidak tercampur dengan seribu bahasa. Namun, ada apa dengan puisi Sukmawati itu? Seorang budayawati yang menuai kontroversi hanya karena pergumulan diksi?
Puisi itu bebas, pun dia adalah karya sastra yang bisa melahirkan dan mengakibatkan multitafsir. Seorang penulis bebas mengungkapkan apa yang dia rasakan, tidak lepas dari teori puisi itu sendiri yang memberikan kesempatan kepada kita untuk menumpahkan imaji visual, imaji auditif, maupun imaji taktil (perasaan).
Ungkapan itu bebas ditulis dalam rangkaian kata apa saja, denotatif dan konotatif yang bersahut-sahutan. Tapi sayang, tanpa diksi segala lamunan dan daya bayang yang diinginkan akan menghilangkan nilai estetik dari sebuah puisi.
Diksi adalah nyawa dari sebuah puisi. Pemilihan kata yang dilakukan tidak sekadar kata yang bisa mewakili perasaan, tapi kata yang bisa membawa pembaca maupun pendengar berada pada situasi yang kita harapkan. Feeling dalam puisi ditentukan oleh kelihaian penulisnya dalam menata diksi.
Mari kita buka kembali lirik dalam larik puisi Sukmawati tersebut. Terdapat kalimat “Aku tak tahu syariat Islam”. Sebagai negara yang multikultural dan memiliki ragam kepercayaan tentu hal ini menjadi pertanyaan. Kenapa harus menyinggung label agama? Bertepatan agama tersebut adalah cakupan mayoritas negeri ini. Sarat makna tentu saja terjadi, tak ada hujan tak ada angin tetiba pada awal puisi tersebut ada kata Islam.
Ketika diklarifikasi sang pembaca puisi tersebut menjawab bahwa dia memilih susunan larik tersebut mengingat bahwa tidak semua wanita Indonesia mengenal aturan Islam. Lalu muncul lagi pertanyaan, kenapa harus agama Islam, bukankah masih banyak lagi agama lain di negeri ini?
Jika ditelaah pemilihan kata (diksi) tidak mengenal syariat Islam, menumbuhkan penafsiran bahwa sah-sah saja seseorang itu tidak mengenal syariat Islam. Bukankah syariat itu adalah hal pokok dalam agama? Aturan hukum yang menetapkan peraturan hidup manusia. Lalu sebenarnya apa tujuan penulis mengukuhkan ketidaktahuannya terhadap hal terpenting dari agama?
Makna puisi bisa juga lahir saat kita lihat larik berikutnya. “Yang ku tahu sari konde Ibu Indonesia sangatlah indah “. Di sini, penulis memuji melebihi makna dari larik sebelumnya. Terdapat perbandingan antara dua pengetahuan yang dimiliki dan tidak dimiliki oleh penulis, yakni tahu konde ibu Indonesia dan tidak tahu syariat Islam.
Benar jika deretan ini menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda. Sepenting itukah sari konde? Atau sebesar itukah ketidakpedulian terhadap syariat? Sensitivitas terhadap agama pun tidak dapat dihindarkan. Andaikata Sukmawati mau menegaskan secara rinci maksud dari diksi yang mengundang tanda tanya tersebut, maka alangkah indahnya pertanggungjawabannya.
Larik berikutnya tidak kalah aneh, terdapat imaji penulis yang menyampaikan bahwa “Yang kutahu sari konde Ibu Indonesia sangatlah indah, lebih cantik dari cadar dirimu”. Bukankah “cadar” adalah bagian dari umat Islam? Cadar adalah pakaian penutup wajah yang dipakai oleh muslimah berjilbab sebagai penutup diri dan auratnya.
Kembali diperbandingkan keindahannya dengan konde pada Ibu Indonesia. Sesungguhnya siapa Ibu Indonesia itu sendiri? Apakah hanya mereka yang memakai konde disebut Ibu Indonesia? Lalu bercadar tidak lebih indah dari berkonde? Pembaca semakin heran dengan ukuran keindahan di mata penulis puisi.
Perbandingan yang tidak homogenitas, perbandingan yang terkesan dipaksakan. Menyinggung sekelompok umat yang menjalankan syariat tanpa memperlihatkan konde dan menampar muslimah yang menambahkan cadar sebagai penutup dirinya dari kejahatan yang dapat mengganggu keimanannya.
Apakah perbandingan yang selalu condong ke agama ini bersifat menyudutkan atau menyerang satu golongan tertentu? Sebagai bangsa demokrasi yang sedang diwarnai pesta politik, tentu lumrah jika ada yang berpikir demikian. Itulah sebab mengapa puisi viral ini sangat rentan terhadap penafsiran yang berdampak pada wacana dan kekuasaan.
Larik yang mengundang pergumulan pendapat berikutnya adalah “yang ku tahu suara kidung Ibu Indonesia sangatlah elok, lebih merdu dari alunan azanmu “. Lagi-lagi muncul label agama yang menyisakan tanya berikutnya.
Kenapa diksinya melancong lagi ke suara azan. Apalagi dalam kalimat ini terdapat kata “mu “ yang artinya kepemilikan. Kita sadari bahwa satu-satunya pemilik azan ini adalah Allah SWT. Adakah larik ini ditujukan kepada pencipta semesta? Jika benar, sungguh penulis begitu berani membanding-bandingkan azan yang sangat mulia dengan hal lain yang tidak pernah ada dalam syariat-Nya.
Tidak heran jika masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam, mengabaikan apresiasi penulis dari puisi ini. Imaji mereka tidak sukses merasakan sense dari penulis sendiri. Bertolak belakang dengan batin, merasa diremehkan, dan tentunya tidak bisa memahami letak bahasa figuratif putri mantan presiden pertama Indonesia ini.
Azan adalah istilah yang sangat sakral, simbolis, dan panggilan suci oleh Allah kepada hambanya. Haruskah kita membuat skala penilaian bunyi yang suci tersebut dengan bunyi lain yang dimaksudkan penulis puisi? Sungguh sangat sarat makna.
Seharusnya puisi melahirkan ketenangan, memberikan wawasan, dan memperhalus budi pekerti. Hal tersebut adalah hakikat dari karya sastra yang sebenarnya. Sastra dipelajari seluruh lapisan pendidikan di muka bumi karena sastra adalah seni yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia.
Puisi adalah bagian dari sastra, yang menjadi penguat jiwa di saat kata-kata konkret bertebaran menumpuk di belahan pikiran dunia. Alunan kata pada puisi adalah nyawa yang mampu melahirkan nyawa-nyawa lain. Kehidupan jiwa yang tidak kalah penting dari kehidupan jasmani kekar berkelakar.
Mari kita jadikan puisi sebagai ajang seni dan mengasah imaji, bukan sebagai gergaji yang memotong diri sendiri.
Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan
PUISI Sukmawati yang membangkitkan jejak kepedulian religi itu kini menjadi pembicaraan masyarakat. Berbagai tingkatan sosial dan usia memperbincangkannya. Karya balasan lahir di mana-mana.
Tetiba rakyat menjadi penyair dadakan yang memiliki kekuatan luar biasa dalam melahirkan kata, tak peduli rentetan itu melukai atau tidak. Kenapa emosi itu membuncah?
Seharusnya puisi adalah sederetan kata yang penuh dengan sense dan amanat yang luar biasa. Larik-larik yang mengundang daya bayang, meski tidak tercampur dengan seribu bahasa. Namun, ada apa dengan puisi Sukmawati itu? Seorang budayawati yang menuai kontroversi hanya karena pergumulan diksi?
Puisi itu bebas, pun dia adalah karya sastra yang bisa melahirkan dan mengakibatkan multitafsir. Seorang penulis bebas mengungkapkan apa yang dia rasakan, tidak lepas dari teori puisi itu sendiri yang memberikan kesempatan kepada kita untuk menumpahkan imaji visual, imaji auditif, maupun imaji taktil (perasaan).
Ungkapan itu bebas ditulis dalam rangkaian kata apa saja, denotatif dan konotatif yang bersahut-sahutan. Tapi sayang, tanpa diksi segala lamunan dan daya bayang yang diinginkan akan menghilangkan nilai estetik dari sebuah puisi.
Diksi adalah nyawa dari sebuah puisi. Pemilihan kata yang dilakukan tidak sekadar kata yang bisa mewakili perasaan, tapi kata yang bisa membawa pembaca maupun pendengar berada pada situasi yang kita harapkan. Feeling dalam puisi ditentukan oleh kelihaian penulisnya dalam menata diksi.
Mari kita buka kembali lirik dalam larik puisi Sukmawati tersebut. Terdapat kalimat “Aku tak tahu syariat Islam”. Sebagai negara yang multikultural dan memiliki ragam kepercayaan tentu hal ini menjadi pertanyaan. Kenapa harus menyinggung label agama? Bertepatan agama tersebut adalah cakupan mayoritas negeri ini. Sarat makna tentu saja terjadi, tak ada hujan tak ada angin tetiba pada awal puisi tersebut ada kata Islam.
Ketika diklarifikasi sang pembaca puisi tersebut menjawab bahwa dia memilih susunan larik tersebut mengingat bahwa tidak semua wanita Indonesia mengenal aturan Islam. Lalu muncul lagi pertanyaan, kenapa harus agama Islam, bukankah masih banyak lagi agama lain di negeri ini?
Jika ditelaah pemilihan kata (diksi) tidak mengenal syariat Islam, menumbuhkan penafsiran bahwa sah-sah saja seseorang itu tidak mengenal syariat Islam. Bukankah syariat itu adalah hal pokok dalam agama? Aturan hukum yang menetapkan peraturan hidup manusia. Lalu sebenarnya apa tujuan penulis mengukuhkan ketidaktahuannya terhadap hal terpenting dari agama?
Makna puisi bisa juga lahir saat kita lihat larik berikutnya. “Yang ku tahu sari konde Ibu Indonesia sangatlah indah “. Di sini, penulis memuji melebihi makna dari larik sebelumnya. Terdapat perbandingan antara dua pengetahuan yang dimiliki dan tidak dimiliki oleh penulis, yakni tahu konde ibu Indonesia dan tidak tahu syariat Islam.
Benar jika deretan ini menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda. Sepenting itukah sari konde? Atau sebesar itukah ketidakpedulian terhadap syariat? Sensitivitas terhadap agama pun tidak dapat dihindarkan. Andaikata Sukmawati mau menegaskan secara rinci maksud dari diksi yang mengundang tanda tanya tersebut, maka alangkah indahnya pertanggungjawabannya.
Larik berikutnya tidak kalah aneh, terdapat imaji penulis yang menyampaikan bahwa “Yang kutahu sari konde Ibu Indonesia sangatlah indah, lebih cantik dari cadar dirimu”. Bukankah “cadar” adalah bagian dari umat Islam? Cadar adalah pakaian penutup wajah yang dipakai oleh muslimah berjilbab sebagai penutup diri dan auratnya.
Kembali diperbandingkan keindahannya dengan konde pada Ibu Indonesia. Sesungguhnya siapa Ibu Indonesia itu sendiri? Apakah hanya mereka yang memakai konde disebut Ibu Indonesia? Lalu bercadar tidak lebih indah dari berkonde? Pembaca semakin heran dengan ukuran keindahan di mata penulis puisi.
Perbandingan yang tidak homogenitas, perbandingan yang terkesan dipaksakan. Menyinggung sekelompok umat yang menjalankan syariat tanpa memperlihatkan konde dan menampar muslimah yang menambahkan cadar sebagai penutup dirinya dari kejahatan yang dapat mengganggu keimanannya.
Apakah perbandingan yang selalu condong ke agama ini bersifat menyudutkan atau menyerang satu golongan tertentu? Sebagai bangsa demokrasi yang sedang diwarnai pesta politik, tentu lumrah jika ada yang berpikir demikian. Itulah sebab mengapa puisi viral ini sangat rentan terhadap penafsiran yang berdampak pada wacana dan kekuasaan.
Larik yang mengundang pergumulan pendapat berikutnya adalah “yang ku tahu suara kidung Ibu Indonesia sangatlah elok, lebih merdu dari alunan azanmu “. Lagi-lagi muncul label agama yang menyisakan tanya berikutnya.
Kenapa diksinya melancong lagi ke suara azan. Apalagi dalam kalimat ini terdapat kata “mu “ yang artinya kepemilikan. Kita sadari bahwa satu-satunya pemilik azan ini adalah Allah SWT. Adakah larik ini ditujukan kepada pencipta semesta? Jika benar, sungguh penulis begitu berani membanding-bandingkan azan yang sangat mulia dengan hal lain yang tidak pernah ada dalam syariat-Nya.
Tidak heran jika masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam, mengabaikan apresiasi penulis dari puisi ini. Imaji mereka tidak sukses merasakan sense dari penulis sendiri. Bertolak belakang dengan batin, merasa diremehkan, dan tentunya tidak bisa memahami letak bahasa figuratif putri mantan presiden pertama Indonesia ini.
Azan adalah istilah yang sangat sakral, simbolis, dan panggilan suci oleh Allah kepada hambanya. Haruskah kita membuat skala penilaian bunyi yang suci tersebut dengan bunyi lain yang dimaksudkan penulis puisi? Sungguh sangat sarat makna.
Seharusnya puisi melahirkan ketenangan, memberikan wawasan, dan memperhalus budi pekerti. Hal tersebut adalah hakikat dari karya sastra yang sebenarnya. Sastra dipelajari seluruh lapisan pendidikan di muka bumi karena sastra adalah seni yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia.
Puisi adalah bagian dari sastra, yang menjadi penguat jiwa di saat kata-kata konkret bertebaran menumpuk di belahan pikiran dunia. Alunan kata pada puisi adalah nyawa yang mampu melahirkan nyawa-nyawa lain. Kehidupan jiwa yang tidak kalah penting dari kehidupan jasmani kekar berkelakar.
Mari kita jadikan puisi sebagai ajang seni dan mengasah imaji, bukan sebagai gergaji yang memotong diri sendiri.
(whb)