Tentang Putin

Rabu, 04 April 2018 - 08:00 WIB
Tentang Putin
Tentang Putin
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

VLADIMIR Putin memenangkan pemilihan umum yang ke-4 sebagai Presiden Rusia. Hal ini membuatnya menjadi seseorang yang paling lama memegang kekuasaan sejak tahun 2000 atau 18 tahun walaupun sempat berganti peran menjadi perdana menteri. Kekuasaanya itu membuat dirinya menjadi seseorang yang berkuasa paling panjang ke-2 setelah Joseph Stalin paska runtuhnya kekaisaran Rusia dan terlama sepanjang berdirinya Republik Rusia atau paska bubarnya Uni Soviet.

Ia tidak sendiri sebagai seseorang yang berkuasa paling panjang di Eropa dalam dua dekade terakhir. Kanselir Jerman Angela Markel (13 tahun) terpilih lagi di bulan Maret lalu untuk masa jabatan yang ke-4 kalinya sejak tahun 2005. Robert Pico Perdana Menteri Slovakia (12 tahun) juga berkuasa sejak 2006, sempat turun dua tahun dan terpilih lagi di tahun 2012 hingga sekarang dan beberapa pemimpin lain seperti Presiden Lithuania Daila Grybauskaite (9 tahun) dan bila kita memasukkan Turki sebagai bagian dari Eropa maka Presiden Erdogan (15 tahun) juga termasuk yang berkuasa dengan periode paling panjang sejak tahun 2003 walaupun berganti-ganti jabatan dari Perdana Menteri hingga menjadi Presiden.

Masing-masing pemimpin melekat atau dilekatkan dengan citra yang sesuai dengan konteks sosial-politiknya. Angela Markel dikenal sebagai seseorang yang pandai, dingin, dan bertangan besi. Erdogan ditampilkan sebagai pemimpin yang modern, bersih dan mewakili masyarakat Muslim yang moderat. Sementara Putin dianggap sebagai pemimpin yang maskulin, pintar, kuat dan tegas. Sangat naif apabila kita menganggap citra itu sebagai “fakta” atau malah ada yang menganggapnya sebagai kebenaran dan kemudian membanding-bandingkannya.

Dalam upaya untuk merebut legitimasi dan otoritas, tokoh atau para politisi akan berusaha untuk memenangkan dominasi simbolik untuk dapat meraih atau menjaga kekuasaan. Strategi ini menonjol dan terutama terjadi dalam masyarakat dengan sistim politik demokrasi. Sosiolog budaya Jeffrey Alexander mengatakan “Gaining power depends on the outcome of struggles for symbolic domination in the civil sphere. All politics, in that sense, is a performance aimed at accruing legitimacy in order to rely less on forceful coercion (Alexander, 2011), atau terjemahannya demikian “Perolehan kekuasaan bergantung pada hasil perjuangan dominasi simbolik dalam lingkup sipil. Semua politik dengan demikian merupakan suatu pertunjukkan dengan tujuan mengumpulkan legitimasi demi mengurangi penggunaan cara-cara pemaksaan”.

Lebih lanjut juga ditambahkan oleh Alexander bahwa “politisi juga berusaha untuk meyakinkan audiensnya bahwa dunia yang lebih baik akan menghasilkan atau adalah hasil dari kepemimpinannya, memberi alasan mengapa kemudian ia patut memimpin.” Dari situ dapat dikatakan bahwa aktor politik menggunakan pemahaman mereka akan kultur masyarakat demi memperkuat kekuasaannya, baik itu dalam konteks rezim demokrasi maupun otoriter.

Pertarungan dominasi simbolik itu tidak hanya bertujuan untuk kepentingan di dalam negeri tetapi juga sebagai bagian dari menjangkau audiens di luar negeri. Gambaran ini sangat jelas terjadi dalam konteks hubungan antara Rusia dan dunia Barat (Uni-Eropa/Amerika Serikat).

Barat memproyeksikan Putin sebagai sosok yang otoriter, tidak mau kompromi, koruptor, anti-demokrasi dan sederet gambaran negatif lainnya. Putin dianggap haus akan kekuasaan dan memiliki rencana untuk memperluas kekuasaannya hingga di luar batas Rusia. Beberapa kasus terkait konflik dengan Crimea, Ukraina, tewasnya tokoh oposisi dan jurnalis, dan terakhir mengenai kematian bekas mata-mata Rusia dan anaknya di Inggris telah menimbulkan beragam krisis diplomatik dalam sepuluh tahun terakhir.

Meskipun mendapat tekanan dari Barat terutama dalam bentuk sanksi ekonomi, kekuatan politik Putin justru mampu membalikkan gambaran negatif Putin menjadi positif. Putin justru muncul sebagai seorang nasionalis yang anti kompromi terhadap Barat. Dunia Barat yang menggambarkan perekonomian Rusia mundur dan terbelakang justru menjadi gambaran positif atau netral karena diterima sebagai konsekuensi logis sanksi ekonomi Barat akibat perlawanan Rusia. Tidak heran apabila elektabilitas Putin selalu tinggi.

Putin memenangkan jabatan Presiden untuk pertama kalinya pada tahun 2000 dengan mendapat 51% suara. Ia memenangkan pemilihan presiden ke-2 dengan 71,9% suara di tahun 2004. Ia tidak dapat maju lagi sebagai capres di tahun 2008 karena pembatasan masa jabatan presiden hanya 2 kali dipilih dengan masa jabatan 6 tahun setiap perode. Ia kemudian memilih Dmitry Medvedev tahun itu untuk maju menjadi calon presiden dan terpilih juga dengan angka 71,2% di tahun 2008. Pada tahun itu Putin berganti jabatan sebagai Perdana Menteri. Ia kembali mencalonkan diri menjadi Presiden di tahun 2012 namun suara yang mendukungnya turun menjadi 63,8% dan pada pemilihan jabatan Presiden ke-2 minggu lalu ia memperoleh 75% .

Terlepas dari mesin politik yang mampu bekerja dengan baik memulihkan citra Putin menjadi positif hingga terpilih berkali-kali, kita tetap harus mengakui bahwa sistim politik di Rusia cenderung lebih tertutup dan otoriter. Ada terjadi pelanggaran HAM, korupsi, tidak imparsialnya pengadilan hingga sempitnya kebebasan berpendapat di Rusia. Namun demikian, saya setuju dengan argumentasi pendapat Robert Person (2016) bahwa hal itu masuk dalam kategori “defensive realist” yaitu upaya negara bukan untuk memaksimalkan kekuasaan tetapi lebih untuk memaksimalkan keamanan (to maximize security not power). Menurut pandangan defensive realist, tujuan suatu negara dalam sistem internasional adalah memastikan keamanan dan kelanggengan keberadaannya; suatu tujuan yang bisa gagal bila negara terlalu banyak mengejar kekuasaan semata sehingga memicu reaksi balik yang buruk.

Walaupun Rusia dan Uni-Eropa (EU) memiliki hubungan perdagangan yang baik (Rusia adalah mitra perdangangan EU ke-3 terbesar setelah AS dan Tiongkok), kedua negara tidak memiliki rasa saling percaya satu dengan yang lain. Rusia masih menganggap EU sebagai kepanjangan tangan dari AS dan EU juga menganggap Rusia tidak memiliki itikad baik untuk mendemokratisasikan sistem politik dan ekonominya. Rusia juga meragukan niat baik EU karena banyak negara-negara bekas Uni-Soviet yang berbatasan langsung dengan Rusia menjadi anggota EU dan NATO. NATO sendiri kemudian mendirikan pangkalan-pangkalan militer di negara-negara tersebut sehingga membuat Rusia merasa terancam. Keterlibatan Rusia dalam menahan laju ekspansi NATO terlihat jelas ketika parlemen Ukraina memutuskan untuk bergabung dengan EU dan NATO. Rusia membantu kelompok di Ukraina yang menolak keputusan itu dan membantu (dengan militer dan logistik) kepada mereka berkuasa atau setidak-tidaknya me“ngambang”kan kekuasaan di sana.

Dengan kata lain saya ingin mengatakan bahwa sikap Putin yang cenderung otoriter dan membuat sistem politik di Rusia cenderung tertutup adalah akibat dari sikap ekspansif Barat yaitu EU dan AS yang masih ingin terus memperluas kekuasaan dan pengaruh. Rusia dan Barat harus menemukan jalan untuk menumbuhkan rasa saling percaya di antara mereka dan menghilangkan sikap zero sum game dalam hubungannya.

Kita dapat melihat misalnya dalam kasus Taiwan di mana ada konsensus informal dari negara-negara EU untuk tidak mengakui Taiwan sebagai sebuah negara agar menghindari kemarahan Tiongkok. EU juga sebenarnya dapat melakukan hal serupa dengan tidak menerima begitu saja negara-negara bekas Soviet atau negara yang posisinya secara geopolitik mengancam Rusia untuk menjadi menjadi anggota EU demi hubungan jangka panjang yang langgeng.

Saya yakin apabila Putin diminta memilih mungkin ia akan lebih suka menjadi pemimpin negara di Kawasan Asia yang cenderung lebih menghormati kedaulatan masing-masing negara dibandingkan kawasan Eropa yang penuh ketegangan dan saling curiga. Meskipun negara-negara Asia, termasuk Asia Tenggara dan Indonesia masih banyak kekurangan dan ketertinggalan, setidaknya ada ruang untuk berkomunikasi dan menjaga kestabilan Kawasan untuk kepentingan bersama. (*)
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7191 seconds (0.1#10.140)