Pinisi sebagai Komoditas Ekonomi
A
A
A
Setyadi Sulaiman
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
UNESCO menetapkan kapal pinisi asal Sulawesi Selatan sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia. Rasa bangga dirasakan tidak hanya oleh masyarakat Sulawesi Selatan, tapi juga seluruh rakyat Indonesia. Penetapan ini menandai dua hal: pengakuan internasional atas warisan teknologi tradisional Indonesia serta peluang pengembangan teknologi berbasis budaya lokal sebagai komoditas ekonomi.
Pengakuan internasional atas pinisi semakin mengukuhkan Indonesia sebagai negara maritim yang sedang berjuang mewujudkan mimpi menjadi poros maritim dunia. Peradaban dan budaya maritim sudah menjadi karakter Indonesia. Dengan posisi geopolitik, geostrategis, serta potensi kelautannya, negara berpenduduk 256 juta jiwa ini pernah sangat berjaya di masa lalu dan pinisi menjadi saksi kejayaan tersebut. Selain membawa masyarakat berlayar mengelilingi dunia, mengarungi lautan ke barat Samudra Hindia hingga Madagaskar dan ke timur hingga Pulau Paskah, pinisi juga berhasil meramaikan dunia perdagangan maritim Nusantara.
Teknologi Berbasis Budaya Lokal
Kapal yang telah diproduksi masyarakat Bugis-Makassar sejak abad ke-14 ini menjadi contoh pengembangan teknologi berbasis budaya lokal. Karlina Supelli (2016) mendefinisikannya sebagai upaya “memampukan” (enabling) kekuatan atau potensi teknologi lokal sehingga semakin kuat, aktual, menyejahterakan serta memiliki nilai tambah bagi masyarakat luas. Definisi tersebut membuka kembali wacana relasi teknologi dan kebudayaan yang sempat didengungkan Sumitro Djojohadikusumo, Soedjatmoko, YB Mangunwijaya—terangkum dalam buku Teknologi dan Dampak Kebudayaannya (1987).
Dengan luasnya pengaruh teknologi dalam sendi kehidupan masyarakat, Djojohadikusumo mengajukan pertanyaan, dapatkah peranan dan fungsi teknologi diarahkan pada pencapaian kesejahteraan manusia? Menjawab hal tersebut Soedjatmoko berupaya melihat peranan kebudayaan dalam menjinakkan teknologi dalam kerangka pembangunan. Merujuk pada industrialisasi yang tak sepenuhnya berhasil mengatasi masalah pengangguran di banyak negeri yang sedang berkembang, Soedjatmoko menyarankan agar negara dunia ketiga memilih untuk mempergunakan teknologi menengah (intermediate technologies) sebagai alternatif terbaik. Teknologi menengah memungkinkan negara dunia ketiga mampu mengembangkan teknik-teknik produksi yang padat karya dan secara teknis akan sangat bermanfaat bagi penguatan emansipasi masyarakat.
Saran lain diberikan YB Mangunwijaya. Menurutnya, mau tidak mau masyarakat harus aktif berhadapan dan mengolah segala apa yang berkaitan dengan teknologi. Masyarakat harus bersikap gamblang, paham apa yang harus diperbuat serta bertanggung jawab, baik terhadap pribadi masing-masing maupun kepada generasi mendatang. Oleh karenanya perlu dibedakan secara tegas teknologi sebagai ide (in abstracto ) dengan teknologi sebagai realitas (in concreto). Sebagai ide, teknologi dapat diciptakan secanggih apa pun sesuai dengan perkembangan zaman. Namun sebagai realitas, teknologi harus mampu memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat, juga menjaga nilai-nilai tradisi dalam setiap pengembangannya.
Dalam konteks itulah keterkaitan erat teknologi dan kebudayaan dapat dipahami. Perihal kaitan erat keduanya, kebudayaan mendorong percepatan kemajuan teknologi, sedangkan teknologi memacu dinamika kehidupan dalam semua aspek ekonomi, bisnis, perdagangan; sosial, politik; agama dan peribadatan. Kemajuan teknologi membawa dampak nyata pada perkembangan kebudayaan. Sebaliknya kebudayaan memacu inovasi teknologi untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan masyarakat. Sementara kebudayaan membawa dampak besar terhadap penciptaan teknologi, masyarakat memetik manfaat dari kemajuan teknologi, khususnya bagi perciptaan kehidupan yang lebih mudah, nyaman, dan menyenangkan (Alhumami, 2016).
Rumusan konseptual tersebut dapat digunakan untuk memahami konteks pengembangan teknologi berbasis budaya lokal seperti kasus pinisi. Proses pengembangan teknologi perlu dilakukan, tetapi tidak harus mereduksi budaya lokal. Strategi pengembangan teknologi perlu dimulai dengan mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses penciptaan inovasi. Dengan dasar ini, setiap inovasi baru yang dihasilkan tidak akan kering dari nilai-nilai budaya lokal. Masyarakat di Desa Ara, Bontobahari, Bulukumba, Makassar, ataupun di Pulau Sangeang, Sumbawa keduanya menjadi pusat pembuatan pinisi berhasil menjaga prinsip tersebut. Mereka membuat kapal dengan beragam inovasi, tetapi tidak sama sekali menanggalkan nilai-nilai tradisi.
Komoditas Ekonomi
Penemuan beragam inovasi tersebut membuat pinisi menjadi komoditas ekonomi. Sudah banyak investor asing yang bergerak cepat menangkap peluang ekonomi melalui pinisi. Menggunakan tenaga kerja masyarakat lokal, mereka melakukan inovasi pembuatan pinisi. Dari cara pengerjaan dan bahan-bahannya, kapal itu 100% pinisi tradisional, tetapi mesinnya tergolong modern, bahkan dengan beragam fasilitas canggih. Menaiki pinisi saat ini seperti halnya berada di hotel berbintang, memberikan kenyamanan serta menawarkan keindahan bagi penumpang.
Di satu sisi kita patut bangga ketika pinisi diakui dunia internasional sebagai komoditas ekonomi yang memiliki prospek cerah. Distribusi penjualan pinisi telah menjangkau banyak negara di dunia. Hal ini seyogianya menjadi modal pemerintah dalam upaya mewujudkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia yang salah satunya dilakukan melalui pengembangan wisata bahari. Dengan modal keindahan alam laut yang tersebar di banyak pulau, pemerintah dapat mengoptimalkan potensi pinisi demi merealisasi visi tersebut.
Namun di sisi lain kita patut resah. Selama ini yang memanfaatkan potensi pinisi umumnya pengusaha asing, jarang sekali peluang itu ditangkap pengusaha Indonesia. Kalaupun pengusaha lokal memutuskan berbisnis usaha pinisi, umumnya mereka kalah bersaing, baik secara modal maupun konsep kapal.
Dengan dasar ini pemerintah perlu mendorong pengusaha Indonesia untuk lebih mengoptimalkan potensi pinisi sebagai komoditas ekonomi. Jika persoalannya adalah modal semua mafhum mahalnya kayu sebagai bahan pembuatan pinisi, perlu ada regulasi khusus sehingga tidak memberatkan para pengusaha Indonesia. Atau ketika yang dihadapi adalah fakta tergerusnya pinisi oleh kapal-kapal besi yang justru disubsidi untuk mendukung program tol laut, perlakuan adil dan proporsional harus menjadi prinsip kerja pemerintah.
Selain akan mendukung program pemerintah atas pengembangan wisata bahari, langkah optimalisasi pinisi sebagai komoditas ekonomi juga diperlukan sebagai upaya menjaga keluhuran budaya Indonesia sekaligus memperkuat jati diri bangsa.
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
UNESCO menetapkan kapal pinisi asal Sulawesi Selatan sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia. Rasa bangga dirasakan tidak hanya oleh masyarakat Sulawesi Selatan, tapi juga seluruh rakyat Indonesia. Penetapan ini menandai dua hal: pengakuan internasional atas warisan teknologi tradisional Indonesia serta peluang pengembangan teknologi berbasis budaya lokal sebagai komoditas ekonomi.
Pengakuan internasional atas pinisi semakin mengukuhkan Indonesia sebagai negara maritim yang sedang berjuang mewujudkan mimpi menjadi poros maritim dunia. Peradaban dan budaya maritim sudah menjadi karakter Indonesia. Dengan posisi geopolitik, geostrategis, serta potensi kelautannya, negara berpenduduk 256 juta jiwa ini pernah sangat berjaya di masa lalu dan pinisi menjadi saksi kejayaan tersebut. Selain membawa masyarakat berlayar mengelilingi dunia, mengarungi lautan ke barat Samudra Hindia hingga Madagaskar dan ke timur hingga Pulau Paskah, pinisi juga berhasil meramaikan dunia perdagangan maritim Nusantara.
Teknologi Berbasis Budaya Lokal
Kapal yang telah diproduksi masyarakat Bugis-Makassar sejak abad ke-14 ini menjadi contoh pengembangan teknologi berbasis budaya lokal. Karlina Supelli (2016) mendefinisikannya sebagai upaya “memampukan” (enabling) kekuatan atau potensi teknologi lokal sehingga semakin kuat, aktual, menyejahterakan serta memiliki nilai tambah bagi masyarakat luas. Definisi tersebut membuka kembali wacana relasi teknologi dan kebudayaan yang sempat didengungkan Sumitro Djojohadikusumo, Soedjatmoko, YB Mangunwijaya—terangkum dalam buku Teknologi dan Dampak Kebudayaannya (1987).
Dengan luasnya pengaruh teknologi dalam sendi kehidupan masyarakat, Djojohadikusumo mengajukan pertanyaan, dapatkah peranan dan fungsi teknologi diarahkan pada pencapaian kesejahteraan manusia? Menjawab hal tersebut Soedjatmoko berupaya melihat peranan kebudayaan dalam menjinakkan teknologi dalam kerangka pembangunan. Merujuk pada industrialisasi yang tak sepenuhnya berhasil mengatasi masalah pengangguran di banyak negeri yang sedang berkembang, Soedjatmoko menyarankan agar negara dunia ketiga memilih untuk mempergunakan teknologi menengah (intermediate technologies) sebagai alternatif terbaik. Teknologi menengah memungkinkan negara dunia ketiga mampu mengembangkan teknik-teknik produksi yang padat karya dan secara teknis akan sangat bermanfaat bagi penguatan emansipasi masyarakat.
Saran lain diberikan YB Mangunwijaya. Menurutnya, mau tidak mau masyarakat harus aktif berhadapan dan mengolah segala apa yang berkaitan dengan teknologi. Masyarakat harus bersikap gamblang, paham apa yang harus diperbuat serta bertanggung jawab, baik terhadap pribadi masing-masing maupun kepada generasi mendatang. Oleh karenanya perlu dibedakan secara tegas teknologi sebagai ide (in abstracto ) dengan teknologi sebagai realitas (in concreto). Sebagai ide, teknologi dapat diciptakan secanggih apa pun sesuai dengan perkembangan zaman. Namun sebagai realitas, teknologi harus mampu memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat, juga menjaga nilai-nilai tradisi dalam setiap pengembangannya.
Dalam konteks itulah keterkaitan erat teknologi dan kebudayaan dapat dipahami. Perihal kaitan erat keduanya, kebudayaan mendorong percepatan kemajuan teknologi, sedangkan teknologi memacu dinamika kehidupan dalam semua aspek ekonomi, bisnis, perdagangan; sosial, politik; agama dan peribadatan. Kemajuan teknologi membawa dampak nyata pada perkembangan kebudayaan. Sebaliknya kebudayaan memacu inovasi teknologi untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan masyarakat. Sementara kebudayaan membawa dampak besar terhadap penciptaan teknologi, masyarakat memetik manfaat dari kemajuan teknologi, khususnya bagi perciptaan kehidupan yang lebih mudah, nyaman, dan menyenangkan (Alhumami, 2016).
Rumusan konseptual tersebut dapat digunakan untuk memahami konteks pengembangan teknologi berbasis budaya lokal seperti kasus pinisi. Proses pengembangan teknologi perlu dilakukan, tetapi tidak harus mereduksi budaya lokal. Strategi pengembangan teknologi perlu dimulai dengan mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses penciptaan inovasi. Dengan dasar ini, setiap inovasi baru yang dihasilkan tidak akan kering dari nilai-nilai budaya lokal. Masyarakat di Desa Ara, Bontobahari, Bulukumba, Makassar, ataupun di Pulau Sangeang, Sumbawa keduanya menjadi pusat pembuatan pinisi berhasil menjaga prinsip tersebut. Mereka membuat kapal dengan beragam inovasi, tetapi tidak sama sekali menanggalkan nilai-nilai tradisi.
Komoditas Ekonomi
Penemuan beragam inovasi tersebut membuat pinisi menjadi komoditas ekonomi. Sudah banyak investor asing yang bergerak cepat menangkap peluang ekonomi melalui pinisi. Menggunakan tenaga kerja masyarakat lokal, mereka melakukan inovasi pembuatan pinisi. Dari cara pengerjaan dan bahan-bahannya, kapal itu 100% pinisi tradisional, tetapi mesinnya tergolong modern, bahkan dengan beragam fasilitas canggih. Menaiki pinisi saat ini seperti halnya berada di hotel berbintang, memberikan kenyamanan serta menawarkan keindahan bagi penumpang.
Di satu sisi kita patut bangga ketika pinisi diakui dunia internasional sebagai komoditas ekonomi yang memiliki prospek cerah. Distribusi penjualan pinisi telah menjangkau banyak negara di dunia. Hal ini seyogianya menjadi modal pemerintah dalam upaya mewujudkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia yang salah satunya dilakukan melalui pengembangan wisata bahari. Dengan modal keindahan alam laut yang tersebar di banyak pulau, pemerintah dapat mengoptimalkan potensi pinisi demi merealisasi visi tersebut.
Namun di sisi lain kita patut resah. Selama ini yang memanfaatkan potensi pinisi umumnya pengusaha asing, jarang sekali peluang itu ditangkap pengusaha Indonesia. Kalaupun pengusaha lokal memutuskan berbisnis usaha pinisi, umumnya mereka kalah bersaing, baik secara modal maupun konsep kapal.
Dengan dasar ini pemerintah perlu mendorong pengusaha Indonesia untuk lebih mengoptimalkan potensi pinisi sebagai komoditas ekonomi. Jika persoalannya adalah modal semua mafhum mahalnya kayu sebagai bahan pembuatan pinisi, perlu ada regulasi khusus sehingga tidak memberatkan para pengusaha Indonesia. Atau ketika yang dihadapi adalah fakta tergerusnya pinisi oleh kapal-kapal besi yang justru disubsidi untuk mendukung program tol laut, perlakuan adil dan proporsional harus menjadi prinsip kerja pemerintah.
Selain akan mendukung program pemerintah atas pengembangan wisata bahari, langkah optimalisasi pinisi sebagai komoditas ekonomi juga diperlukan sebagai upaya menjaga keluhuran budaya Indonesia sekaligus memperkuat jati diri bangsa.
(kri)