Beban Psikologis dan Intimidasi, LPSK: Tidak Mudah Menjadi Saksi
A
A
A
BANJARMASIN - Tidak mudah bagi seseorang untuk menjadi saksi dalam sebuah proses peradilan pidana, meski terkadang terlihat mudah. Sebab, saat dipanggil menjadi saksi, ada kesan kurang baik yang muncul di awal karena banyak yang beranggapan status saksi berpotensi ditingkatkan menjadi tersangka.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai berpendapat, ketakutan saat dipanggil menjadi saksi, lebih disebabkan pengalaman pada penanganan beberapa kasus sebelumnya. Padahal, antara status saksi dan tersangka itu merupakan dua hal yang berbeda.
“Saya sering mengatakan, tidak ada itu istilah dipanggil sebagai saksi, lalu kemudian ditingkatkan statusnya menjadi tersangka. Tapi, ini yang dipraktikkan dan sering terjadi sehingga membebani psikologis seseorang yang akan menjadi saksi,” kata Semendawai di hadapan mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Rabu (28/3/2018).
Selain Semendawai, turut menjadi pemateri dalam seminar nasional bertema, “Perlindungan Notaris sebagai Saksi dalam Proses Peradilan Pidana” itu, profesor ilmu hukum Universitas Lambung Mangkurat Hadin Muhjad dan Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Lambung Mangkurat Rahmida Erliyani.
Menurut Semendawai, dalam melaksanakan tugas sesuai UU Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK memastikan perlindungan bagi saksi, bukan menghindarkan mereka dari proses peradilan pidana. “LPSK memastikan hak-haknya tidak dilanggar karena LPSK hadir untuk mendukung proses peradilan pidana,” ujar dia.
Terkait notaris yang menjadi saksi dalam peradilan pidana, kata Semendawai, sangat dimungkinkan bagi mereka untuk mengakses perlindungan dari LPSK jika terdapat ancaman. “LPSK tidak masuk dalam ranah apakah notaris bisa dihadirkan sebagai saksi atau tidak, karena ada UU lain yang mengatur itu,” tutur dia.
Profesor Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat Hadin Muhjad menjelaskan, bagi notaris juga ada perlindungan yang diberikan melalui Majelis Kehormatan. Tetapi, perlindungan dimaksud bukan untuk menjaga mereka dari ancaman fisik atau psikologis, melainkan bagi marwah dari jabatan notaris itu sendiri.
Dengan demikian, lanjut dia, tidak ada tumpang tindih perlindungan dari LPSK maupun Majelis Kehormatan bagi notaris yang menjadi saksi dalam peradilan pidana. “Majelis bukan melindungi person, tetapi profesi notaris. Majelis akan menilai apakah notaris itu bekerja sesuai norma kenotariatan atau tidak,” katanya.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai berpendapat, ketakutan saat dipanggil menjadi saksi, lebih disebabkan pengalaman pada penanganan beberapa kasus sebelumnya. Padahal, antara status saksi dan tersangka itu merupakan dua hal yang berbeda.
“Saya sering mengatakan, tidak ada itu istilah dipanggil sebagai saksi, lalu kemudian ditingkatkan statusnya menjadi tersangka. Tapi, ini yang dipraktikkan dan sering terjadi sehingga membebani psikologis seseorang yang akan menjadi saksi,” kata Semendawai di hadapan mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Rabu (28/3/2018).
Selain Semendawai, turut menjadi pemateri dalam seminar nasional bertema, “Perlindungan Notaris sebagai Saksi dalam Proses Peradilan Pidana” itu, profesor ilmu hukum Universitas Lambung Mangkurat Hadin Muhjad dan Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Lambung Mangkurat Rahmida Erliyani.
Menurut Semendawai, dalam melaksanakan tugas sesuai UU Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK memastikan perlindungan bagi saksi, bukan menghindarkan mereka dari proses peradilan pidana. “LPSK memastikan hak-haknya tidak dilanggar karena LPSK hadir untuk mendukung proses peradilan pidana,” ujar dia.
Terkait notaris yang menjadi saksi dalam peradilan pidana, kata Semendawai, sangat dimungkinkan bagi mereka untuk mengakses perlindungan dari LPSK jika terdapat ancaman. “LPSK tidak masuk dalam ranah apakah notaris bisa dihadirkan sebagai saksi atau tidak, karena ada UU lain yang mengatur itu,” tutur dia.
Profesor Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat Hadin Muhjad menjelaskan, bagi notaris juga ada perlindungan yang diberikan melalui Majelis Kehormatan. Tetapi, perlindungan dimaksud bukan untuk menjaga mereka dari ancaman fisik atau psikologis, melainkan bagi marwah dari jabatan notaris itu sendiri.
Dengan demikian, lanjut dia, tidak ada tumpang tindih perlindungan dari LPSK maupun Majelis Kehormatan bagi notaris yang menjadi saksi dalam peradilan pidana. “Majelis bukan melindungi person, tetapi profesi notaris. Majelis akan menilai apakah notaris itu bekerja sesuai norma kenotariatan atau tidak,” katanya.
(pur)