Paskah: Dari Bruegel ke Dostoyevsky
A
A
A
Stevanus Subagijo
Peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta
Jika menjelang Hari Raya Paskah sempat ke Kunsthistorisches Museum di Wina Austria, kita akan tertegun berlama-lama pada mahakarya pelukis Belanda, Pieter Bruegel the Elder (Pieter Bruegel si Penatua) berjudul The Procession to Calvary (1564). Ada juga yang menamai The Way to Calvary. Cobalah mengintipnya di Wikipedia.
Tanpa Harapan?
Lanskap lukisan menurut Philip McCouat dalam Journal of Art in Society (2017) secara umum mengisahkan kecamuk prosesi penyaliban Yesus ke Kalvari nama lain dari Golgota. Uniknya, ini bukan lukisan realis saat Yesus disesah hingga disalib oleh elite agama-penguasa yang menentang bersama rezim Romawi kala itu. Dalam lukisan itu, Romawi diperankan prajurit Spanyol yang menyalibkan Yesus dan menindas kaum Flemish.
Bruegel terinspirasi dari pendudukan Spanyol atas Flanders, Belgia sekarang, dan mencangkokkan kisah duka itu dalam narasi besar penyaliban Yesus. Menurut McCouat, lukisan itu jika dipilah-pilah melahirkan 12 tema lukisan berbeda, yang jika disatukan menjadi The Procession to Calvary. Ada ratusan orang dalam lukisan itu mulai dari Yesus, muridNya, Ibu, dan keluargaNya, orang-orang Flemish, termasuk prajurit Spanyol dan kedua penjahat yang ikut disalibkan. Lukisan ini mengilhami buku Michael Francis Gibson The Mill and The Cross yang kemudian difilmkan Lech Majewski dari Polandia.
Lukisan Bruegel menampilkan kekelaman dunia dan sepertinya penyaliban Yesus adalah akhir dan tanpa harapan. Dari Bruegel, kita pindah ke pelukis Eugene Burnand dari Swiss. Jika Bruegel menampilkan mosaik luar prosesi kekejaman itu, Burnand sebaliknya mosaik di loteng atas pascapenyaliban. Lewat lukisan Le Samedi Saint, Hari Sabtu Suci (1907), ia mengisahkan titik paling gamang iman Kristen ketika Tuhan dalam diri Yesus mati terkubur dan semua harapan punah. Wajah kesebelas murid Yesus dalam warna gelap dan suram tampak depresi, murung, kalah, dan tak percaya apa yang telah terjadi pada Jumat Agung. Semua sukacita, kebaikan, tanda Ilahi, dan mukjizat runtuh oleh kehinaan palang salib, tertawaan, dan lu¬dahan Romawi serta kebencian penguasa.
Apa yang ditampilkan dalam dua lukisan mahakarya tersebut dalam kacamata Paskah adalah lukisan belum selesai. Tepat seperti yang dikatakan rohaniwan besar dari Amerika Serikat belum lama wafat, Billy Graham pada khotbah Paskah tahun 1964, sia-sialah kita jika Kristus berhenti pada hari Sabtu, titik kematian itu. Tapi di tangan Tuhan, tidak ada kesia-siaan final yang mustahil bisa menjadi mungkin. Tuhan pencipta surga begitu mudah, keluar-masuk rumahNya sendiri. Semudah itu pula jika Ia masuk ke alam kubur dan membangkitkan yang mati termasuk diri-Nya.
Wartawan dan penulis buku Philip Yancey (2017) melakukan ziarah rohani pada karya sastrawan besar Rusia, Leo Tolstoy (1828-1910). Tolstoy setengah benar, tahan terhadap upaya “memikul salibnya” sendiri, tapi akhirnya meninggal mengenaskan di stasiun kereta api desa. Memang ia berusaha mempraktikkan Kitab Suci sebagai standar hidup tertinggi, istri dan anak-anaknya pun harus berkorban. Tolstoy pula yang berusaha hidup suci, membebaskan pembantu, membagikan hak cipta, memberikan tanah luas, mengenakan pakaian petani, membuat sepatu sendiri, berhenti merokok dan minuman keras, sampai membiayai kaum Doukhobor yang tertindas pindah ke Kanada.
Menjauh dari ketenaran, keluarga, kediaman, juga identitasnya sebagai sastrawan besar yang dipunyai Rusia bahkan dunia. Keinginan hidup baik Tolstoy di depan Tuhan menekannya dan berujung bak kedua lukisan di atas. Namun, Tuhan tidak tinggal diam, Jumat Agung penyaliban dan Sabtu kematian harus berlanjut, tak ada yang sia-sia dalam kehidupan dan karya Tolstoy. Penerus ideologi Tolstoy antara lain Gandhi dan Martin Luther King Jr menjadi bukti sejarah.
Nyata Bangkit
Sayang sekali, Tolstoy tak pernah tukar pikiran dengan rekan sastrawan besar Rusia yang lain, yakni Fyodor Dostoyevsky (1821-1881). Tolstoy memang gigih berupaya menjadi benar di depan Tuhan, tapi akhirnya roboh akibat kelelahan moral. Apa hikmah itu semua? Upaya Tolstoy menyelamatkan dirinya sendiri agar bisa diperkenan Tuhan gagal total. Sebaliknya, melalui Yesus yang disalib, mati dan bangkit itu menghapuskan pasal “kegigihan hidup layak agar diterimaNya” ala Tolstoy. Beda dengan Dostoyevsky yang meyakini penuh bahwa manusia gagal menjadi layak di hadapan Tuhan. Hanya dengan menerima penebusan Kristus saja sebagai anugerahNya, pendamaian dengan Tuhan terjadi, manusia dilayakkan.
Sayangnya, Dostoyevsky meski bergelimang anugerah Tuhan justru mudah terjatuh, menggampangkan anugerah itu dengan menyia-nyiakan hidup dan kesehatannya, mabuk serta berjudi. Sindrom anemia mereka yang telah ditebus. Tak ada yang sempurna memang. Namun benang merahnya jelas, gigih agar hidup memenuhi syarat di hadapan Tuhan tidak menjamin bisa diperoleh, tapi tetap perlu diperjuangkan. Ini harus dicangkok dengan menerima anugerah penebusan salib Kristus sebagai pendamaian antara dunia-manusia yang berdosa dengan Tuhan menjadi jalan final satu-satunya. Apalagi yang menebus ialah Tuhan sendiri yang berinkarnasi dalam diri Yesus yang disalibkan itu.
Lewat mahakarya seni lukis dan sastra, umat Kristen dan gereja diingatkan kembali bahwa pada hari Paskah problem kedekilan mendasar hati manusia bukanlah otomatis terselesaikan seperti kata Langdon Gilkey dalam Shantung Compound (1966) mengutip Reinhold Niebuhr. Justru di situlah pertempuran utama antara kesombongan manusia dan anugerah Tuhan terjadi. Merayakan Paskah membutuhkan penyangkalan diri bukan seperti resep sekuler aktualisasi diri. Ia seperti tokoh Alyosha dalam novel terbaik Dostoyevsky, The Brothers Karamazov (1879) yang tunajawaban bagi masalah dunia, tapi sa¬ngat paham tentang kasih Tuhan.
Paskah adalah kasih terbesar Tuhan menebus dosa manusia yang tak mungkin dibersihkan oleh diri sendiri, tanpa campur tangan anugerahNya. Tidak seperti kedua lukisan yang seperti dibilang bahwa kematian adalah akhir. Tuhan punya skenario lain. Billy Graham pernah ditanya Konrad Adenaeur Kanselir Jerman pertama, hal apa yang terpenting dalam dunia? Kanselir menjawab sendiri, kebangkitan Kristus, di sana ada harapan untuk dunia. Namun, jika Yesus terkubur di bawah nisan, dirinya tak akan melihat secercah harapan sedikit pun di cakrawala. Paskah adalah jalan pulang bagi setiap manusia yang tak lain adalah Si Anak Hilang dalam perumpamaan yang dikisahkan Yesus. Paskah menikam jiwa terdalam manusia yang bernatur dosa dan compang-camping dalam membuat hidupnya baik dan layak dimataNya.
Penyaliban, kematian, dan kebangkitan Yesus menjadi kesempatan untuk pulang dan menerima kasih Tuhan. Hal yang tanpa memperhitungkan dosa dan kesalahan kita karena semuanya telah ditebus oleh diriNya sendiri. Salib lambang kutuk dosa dan kematian dijalaniNya, tapi kebangkitanNya pada hari ketiga mengubah total alam semesta dalam hubungan umat Kristen dan gereja dengan Tuhan.
Kita tidak lagi menatap hidup seperti lukisan Bruegel dan Burnand tidak juga seperti Tolstoy, tapi seperti Alyosha-nya Dostoyevsky yang sangat tahu kasih Tuhan. Jadi tujuan hidup ialah membalas anugerah dan kebaikan Ilahi lewat Paskah ini. Mengikuti jejak filsuf-psikolog eksistensial Rollo May, yang tanpa sengaja menghadiri Paskah di gereja Kristen Ortodoks Timur Yunani. Ikut meneriakkan sukacita agung, “Christos Anesti !”, “Kristus telah bangkit !”. Kita membalasnya, “Alithos Anesti !”, “Sungguh, Ia telah bangkit!” Selamat Paskah.
Peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta
Jika menjelang Hari Raya Paskah sempat ke Kunsthistorisches Museum di Wina Austria, kita akan tertegun berlama-lama pada mahakarya pelukis Belanda, Pieter Bruegel the Elder (Pieter Bruegel si Penatua) berjudul The Procession to Calvary (1564). Ada juga yang menamai The Way to Calvary. Cobalah mengintipnya di Wikipedia.
Tanpa Harapan?
Lanskap lukisan menurut Philip McCouat dalam Journal of Art in Society (2017) secara umum mengisahkan kecamuk prosesi penyaliban Yesus ke Kalvari nama lain dari Golgota. Uniknya, ini bukan lukisan realis saat Yesus disesah hingga disalib oleh elite agama-penguasa yang menentang bersama rezim Romawi kala itu. Dalam lukisan itu, Romawi diperankan prajurit Spanyol yang menyalibkan Yesus dan menindas kaum Flemish.
Bruegel terinspirasi dari pendudukan Spanyol atas Flanders, Belgia sekarang, dan mencangkokkan kisah duka itu dalam narasi besar penyaliban Yesus. Menurut McCouat, lukisan itu jika dipilah-pilah melahirkan 12 tema lukisan berbeda, yang jika disatukan menjadi The Procession to Calvary. Ada ratusan orang dalam lukisan itu mulai dari Yesus, muridNya, Ibu, dan keluargaNya, orang-orang Flemish, termasuk prajurit Spanyol dan kedua penjahat yang ikut disalibkan. Lukisan ini mengilhami buku Michael Francis Gibson The Mill and The Cross yang kemudian difilmkan Lech Majewski dari Polandia.
Lukisan Bruegel menampilkan kekelaman dunia dan sepertinya penyaliban Yesus adalah akhir dan tanpa harapan. Dari Bruegel, kita pindah ke pelukis Eugene Burnand dari Swiss. Jika Bruegel menampilkan mosaik luar prosesi kekejaman itu, Burnand sebaliknya mosaik di loteng atas pascapenyaliban. Lewat lukisan Le Samedi Saint, Hari Sabtu Suci (1907), ia mengisahkan titik paling gamang iman Kristen ketika Tuhan dalam diri Yesus mati terkubur dan semua harapan punah. Wajah kesebelas murid Yesus dalam warna gelap dan suram tampak depresi, murung, kalah, dan tak percaya apa yang telah terjadi pada Jumat Agung. Semua sukacita, kebaikan, tanda Ilahi, dan mukjizat runtuh oleh kehinaan palang salib, tertawaan, dan lu¬dahan Romawi serta kebencian penguasa.
Apa yang ditampilkan dalam dua lukisan mahakarya tersebut dalam kacamata Paskah adalah lukisan belum selesai. Tepat seperti yang dikatakan rohaniwan besar dari Amerika Serikat belum lama wafat, Billy Graham pada khotbah Paskah tahun 1964, sia-sialah kita jika Kristus berhenti pada hari Sabtu, titik kematian itu. Tapi di tangan Tuhan, tidak ada kesia-siaan final yang mustahil bisa menjadi mungkin. Tuhan pencipta surga begitu mudah, keluar-masuk rumahNya sendiri. Semudah itu pula jika Ia masuk ke alam kubur dan membangkitkan yang mati termasuk diri-Nya.
Wartawan dan penulis buku Philip Yancey (2017) melakukan ziarah rohani pada karya sastrawan besar Rusia, Leo Tolstoy (1828-1910). Tolstoy setengah benar, tahan terhadap upaya “memikul salibnya” sendiri, tapi akhirnya meninggal mengenaskan di stasiun kereta api desa. Memang ia berusaha mempraktikkan Kitab Suci sebagai standar hidup tertinggi, istri dan anak-anaknya pun harus berkorban. Tolstoy pula yang berusaha hidup suci, membebaskan pembantu, membagikan hak cipta, memberikan tanah luas, mengenakan pakaian petani, membuat sepatu sendiri, berhenti merokok dan minuman keras, sampai membiayai kaum Doukhobor yang tertindas pindah ke Kanada.
Menjauh dari ketenaran, keluarga, kediaman, juga identitasnya sebagai sastrawan besar yang dipunyai Rusia bahkan dunia. Keinginan hidup baik Tolstoy di depan Tuhan menekannya dan berujung bak kedua lukisan di atas. Namun, Tuhan tidak tinggal diam, Jumat Agung penyaliban dan Sabtu kematian harus berlanjut, tak ada yang sia-sia dalam kehidupan dan karya Tolstoy. Penerus ideologi Tolstoy antara lain Gandhi dan Martin Luther King Jr menjadi bukti sejarah.
Nyata Bangkit
Sayang sekali, Tolstoy tak pernah tukar pikiran dengan rekan sastrawan besar Rusia yang lain, yakni Fyodor Dostoyevsky (1821-1881). Tolstoy memang gigih berupaya menjadi benar di depan Tuhan, tapi akhirnya roboh akibat kelelahan moral. Apa hikmah itu semua? Upaya Tolstoy menyelamatkan dirinya sendiri agar bisa diperkenan Tuhan gagal total. Sebaliknya, melalui Yesus yang disalib, mati dan bangkit itu menghapuskan pasal “kegigihan hidup layak agar diterimaNya” ala Tolstoy. Beda dengan Dostoyevsky yang meyakini penuh bahwa manusia gagal menjadi layak di hadapan Tuhan. Hanya dengan menerima penebusan Kristus saja sebagai anugerahNya, pendamaian dengan Tuhan terjadi, manusia dilayakkan.
Sayangnya, Dostoyevsky meski bergelimang anugerah Tuhan justru mudah terjatuh, menggampangkan anugerah itu dengan menyia-nyiakan hidup dan kesehatannya, mabuk serta berjudi. Sindrom anemia mereka yang telah ditebus. Tak ada yang sempurna memang. Namun benang merahnya jelas, gigih agar hidup memenuhi syarat di hadapan Tuhan tidak menjamin bisa diperoleh, tapi tetap perlu diperjuangkan. Ini harus dicangkok dengan menerima anugerah penebusan salib Kristus sebagai pendamaian antara dunia-manusia yang berdosa dengan Tuhan menjadi jalan final satu-satunya. Apalagi yang menebus ialah Tuhan sendiri yang berinkarnasi dalam diri Yesus yang disalibkan itu.
Lewat mahakarya seni lukis dan sastra, umat Kristen dan gereja diingatkan kembali bahwa pada hari Paskah problem kedekilan mendasar hati manusia bukanlah otomatis terselesaikan seperti kata Langdon Gilkey dalam Shantung Compound (1966) mengutip Reinhold Niebuhr. Justru di situlah pertempuran utama antara kesombongan manusia dan anugerah Tuhan terjadi. Merayakan Paskah membutuhkan penyangkalan diri bukan seperti resep sekuler aktualisasi diri. Ia seperti tokoh Alyosha dalam novel terbaik Dostoyevsky, The Brothers Karamazov (1879) yang tunajawaban bagi masalah dunia, tapi sa¬ngat paham tentang kasih Tuhan.
Paskah adalah kasih terbesar Tuhan menebus dosa manusia yang tak mungkin dibersihkan oleh diri sendiri, tanpa campur tangan anugerahNya. Tidak seperti kedua lukisan yang seperti dibilang bahwa kematian adalah akhir. Tuhan punya skenario lain. Billy Graham pernah ditanya Konrad Adenaeur Kanselir Jerman pertama, hal apa yang terpenting dalam dunia? Kanselir menjawab sendiri, kebangkitan Kristus, di sana ada harapan untuk dunia. Namun, jika Yesus terkubur di bawah nisan, dirinya tak akan melihat secercah harapan sedikit pun di cakrawala. Paskah adalah jalan pulang bagi setiap manusia yang tak lain adalah Si Anak Hilang dalam perumpamaan yang dikisahkan Yesus. Paskah menikam jiwa terdalam manusia yang bernatur dosa dan compang-camping dalam membuat hidupnya baik dan layak dimataNya.
Penyaliban, kematian, dan kebangkitan Yesus menjadi kesempatan untuk pulang dan menerima kasih Tuhan. Hal yang tanpa memperhitungkan dosa dan kesalahan kita karena semuanya telah ditebus oleh diriNya sendiri. Salib lambang kutuk dosa dan kematian dijalaniNya, tapi kebangkitanNya pada hari ketiga mengubah total alam semesta dalam hubungan umat Kristen dan gereja dengan Tuhan.
Kita tidak lagi menatap hidup seperti lukisan Bruegel dan Burnand tidak juga seperti Tolstoy, tapi seperti Alyosha-nya Dostoyevsky yang sangat tahu kasih Tuhan. Jadi tujuan hidup ialah membalas anugerah dan kebaikan Ilahi lewat Paskah ini. Mengikuti jejak filsuf-psikolog eksistensial Rollo May, yang tanpa sengaja menghadiri Paskah di gereja Kristen Ortodoks Timur Yunani. Ikut meneriakkan sukacita agung, “Christos Anesti !”, “Kristus telah bangkit !”. Kita membalasnya, “Alithos Anesti !”, “Sungguh, Ia telah bangkit!” Selamat Paskah.
(rhs)