Mitigas Gempa, Sudahkah Jakarta?
A
A
A
RIDHO MARPAUNG
Praktisi Riset Iklan Adstensity
Awal Maret 2018 masyarakat luas, khususnya warga Jakarta, ramai membahas tentang informasi potensi gempa bumi megathrust magnitudo dari skala 6 hingga 8,7 di Selatan Jawa yang guncangannya bisa merusak Jakarta.
Topik pembicaraan ini berkembang dari hasil diskusi acara Sarasehan Ikatan Alumni Akademi Meteorologi dan Geofisika (Ikamega) yang bertajuk "Gempa Bumi Megathrust Magnitudo 8,7, Siapkah Jakarta?" pada Kamis (1/3/2018). Kehebohan ini mengemuka tentu karena Jakarta merupakan sentral aktivitas dari berbagai bidang di Indonesia, mulai dari pusat pemerintahan, perdagangan dan keuangan, dan masih banyak lainnya.
Meski demikian, sudah hampir satu bulan dari acara diskusi tersebut, namun hingga saat ini belum ada sosialisasi dan tindak lanjut secara terintegrasi, konkret dan menyeluruh dari para pemangku kepentingan dalam menyikapi hasil diskusi tersebut. Sejarah mencatat beberapa gempa besar pernah mengguncang Jakarta.
Pertama, gempa yang terjadi pada 5 Januari 1699 yang dipicu oleh letusan Gunung Salak yang merenggut setidaknya 28 orang meninggal, 21 rumah, dan 29 lumbung hancur di Batavia (nama Jakarta kala itu).
Yang kedua pada 10 Oktober 1834, gempa tidak memakan korban jiwa, namun membuat kerusakan cukup besar pada rumah-rumah dan gedung-gedung di Batavia. Peristiwa ketiga pada 2 September 2009, gempa 7,3 Skala Richter mengguncang Tasikmalaya dan getarannya sampai Jakarta mengakibatkan setidaknya 27 orang cedera di Jakarta.
Mitigasi Gempa
Dengan merujuk pada sejarah dan juga peringatan dari para ahli dan peneliti termasuk BMKG, maka sudah semestinya pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta serius memperhatikan mitigasi gempa. Pemerintah pusat sebenarnya telah memiliki dokumen Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia yang dikeluarkan oleh Pusat Studi Gempa Nasional (Pus-GeN) di bawah koordinasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR). Terakhir, dokumen peta bahaya gempa Indonesia dikeluarkan adalah per tahun 2017.
Meski demikian, pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta juga perlu "menggandeng" para ahli dan peneliti di bidangnya untuk memastikan dokumen peta tersebut sudah cukup mendetail, sehingga pemerintah dan masyarakat memiliki gambaran yang jelas tentang potensi risiko yang ada.
Pemetaan dan kajian yang sudah jelas tentu akan membantu pemerintah dan pemilik bangunan serta kontraktor dalam mengenal area tempat bangunan berada. Hal ini juga tentunya akan meningkatkan kesadaran untuk mitigasi. Sosialisasi terhadap hasil kajian penting disampaikan kepada mas yarakat sehingga masyarakat mempunyai pengetahuan yang ideal terhadap kondisi daerahnya.
Urgensi Audit Bangunan
Ada dua hal dari sudut pandang penulis selaku praktisi riset iklan yang perlu juga diperhatikan terkait mitigasi gempa ini. Pertama, urgensi memastikan audit bangunan di Ibu Kota telah efektif berjalan yang disertai penegakan aturan tentang kewajiban audit setiap lima tahun sekali untuk memperbarui sertifikat laik fungsi (SLF).
Aturan audit bangunan di antaranya telah mengatur bahwa gedung harus tahan gempa sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36/2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung.
Dalam hal ini pengawasan audit bangunan mesti dilengkapi pelaksanaan sanksi tegas. Juga perlu diberikan bagi pemilik bangunan yang tidak memiliki atau tidak melakukan audit berkala setiap lima tahun. Karenanya, iklan layanan masyarakat melalui media massa dan media sosial untuk mengomunikasikan audit bangunan ini perlu digencarkan dan menjadi sebuah kesadaran bagi para pelaku usaha dan pemilik bangunan serta penyewa bangunan.
Iklan layanan masyarakat itu juga bisa menyampaikan tentang ke sadaran akan pentingnya audit bangunan tersebut bagi keselamatan jiwa. Peringatan tentang sanksi bagi yang melanggar aturan audit juga bisa terus disosialisasikan. Beberapa sanksi berat yang diatur mengenai bangunan di antaranya diatur dalam Pasal 46 ayat 2 dan 3 UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung.
Ayat 2 mengatur bahwa setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam undang-undang ini diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak 15% dari nilai bangunan gedung, jika karenanya mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain yang mengakibatkan cacat seumur hi dup.
Adapun ayat 3 menyebut, setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam undang-undang ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak 20% dari nilai bangunan gedung, jika karenanya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
Kita perlu belajar dari peristiwa ambruknya selasar di Lantai Mezzanine Tower I Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 15 Januari 2018. Peristiwa tersebut mengakibatkan sekitar 77 korban luka-luka berat hingga ringan. Pengusutan terhadap penyebab pasti peristiwa ini, termasuk apakah ada unsur kelalaian, hingga kini belum jelas.
Data dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) Provinsi DKI Jakarta mencatat ada 800 gedung dengan tinggi lebih dari delapan lantai di Jakarta, dengan spesifikasi bangunan di mana penerbitan SLF-nya berada di PM-PTSP (Tirto.id , 18 Januari 2018).
Kedua, pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta perlu memikirkan antisipasi terhadap potensi dampak gempa dalam hal terjadi kerusakan besar di Jakarta.
Langkah-langkah opsi darurat perlu dimiliki, mengingat keberadaan Jakarta yang, setidaknya menjadi pusat pemerintahan dan sekaligus ekonomi di Indonesia. Antisipasi terhadap kerusakan infrastruktur, seperti listrik dan telekomunikasi, termasuk internet, juga perlu diperhatikan. Karenanya, pemerintah perlu memastikan sudah adanya standard operating procedure (SOP) dalam kondisi gempa di Jakarta.
SOP ini perlu dibuat oleh para pihak-pihak terkait sehingga potensi risiko gempa yang ada setidaknya sudah ada antisipasi dan standar langkah-langkah darurat yang akan dilakukan. SOP mitigasi bencana, termasuk gempa, mutlak perlu dimiliki oleh Jakarta, bahkan juga oleh daerah-daerah lain.
Kita memang tidak mengharapkan bencana tersebut terjadi, meski demikian kita juga perlu mendengarkan masukan dari para pakar juga peneliti dan "menggandeng" mereka dalam menyiapkan program mitigasi terhadap potensi risiko yang ada.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis
Praktisi Riset Iklan Adstensity
Awal Maret 2018 masyarakat luas, khususnya warga Jakarta, ramai membahas tentang informasi potensi gempa bumi megathrust magnitudo dari skala 6 hingga 8,7 di Selatan Jawa yang guncangannya bisa merusak Jakarta.
Topik pembicaraan ini berkembang dari hasil diskusi acara Sarasehan Ikatan Alumni Akademi Meteorologi dan Geofisika (Ikamega) yang bertajuk "Gempa Bumi Megathrust Magnitudo 8,7, Siapkah Jakarta?" pada Kamis (1/3/2018). Kehebohan ini mengemuka tentu karena Jakarta merupakan sentral aktivitas dari berbagai bidang di Indonesia, mulai dari pusat pemerintahan, perdagangan dan keuangan, dan masih banyak lainnya.
Meski demikian, sudah hampir satu bulan dari acara diskusi tersebut, namun hingga saat ini belum ada sosialisasi dan tindak lanjut secara terintegrasi, konkret dan menyeluruh dari para pemangku kepentingan dalam menyikapi hasil diskusi tersebut. Sejarah mencatat beberapa gempa besar pernah mengguncang Jakarta.
Pertama, gempa yang terjadi pada 5 Januari 1699 yang dipicu oleh letusan Gunung Salak yang merenggut setidaknya 28 orang meninggal, 21 rumah, dan 29 lumbung hancur di Batavia (nama Jakarta kala itu).
Yang kedua pada 10 Oktober 1834, gempa tidak memakan korban jiwa, namun membuat kerusakan cukup besar pada rumah-rumah dan gedung-gedung di Batavia. Peristiwa ketiga pada 2 September 2009, gempa 7,3 Skala Richter mengguncang Tasikmalaya dan getarannya sampai Jakarta mengakibatkan setidaknya 27 orang cedera di Jakarta.
Mitigasi Gempa
Dengan merujuk pada sejarah dan juga peringatan dari para ahli dan peneliti termasuk BMKG, maka sudah semestinya pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta serius memperhatikan mitigasi gempa. Pemerintah pusat sebenarnya telah memiliki dokumen Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia yang dikeluarkan oleh Pusat Studi Gempa Nasional (Pus-GeN) di bawah koordinasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR). Terakhir, dokumen peta bahaya gempa Indonesia dikeluarkan adalah per tahun 2017.
Meski demikian, pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta juga perlu "menggandeng" para ahli dan peneliti di bidangnya untuk memastikan dokumen peta tersebut sudah cukup mendetail, sehingga pemerintah dan masyarakat memiliki gambaran yang jelas tentang potensi risiko yang ada.
Pemetaan dan kajian yang sudah jelas tentu akan membantu pemerintah dan pemilik bangunan serta kontraktor dalam mengenal area tempat bangunan berada. Hal ini juga tentunya akan meningkatkan kesadaran untuk mitigasi. Sosialisasi terhadap hasil kajian penting disampaikan kepada mas yarakat sehingga masyarakat mempunyai pengetahuan yang ideal terhadap kondisi daerahnya.
Urgensi Audit Bangunan
Ada dua hal dari sudut pandang penulis selaku praktisi riset iklan yang perlu juga diperhatikan terkait mitigasi gempa ini. Pertama, urgensi memastikan audit bangunan di Ibu Kota telah efektif berjalan yang disertai penegakan aturan tentang kewajiban audit setiap lima tahun sekali untuk memperbarui sertifikat laik fungsi (SLF).
Aturan audit bangunan di antaranya telah mengatur bahwa gedung harus tahan gempa sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36/2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung.
Dalam hal ini pengawasan audit bangunan mesti dilengkapi pelaksanaan sanksi tegas. Juga perlu diberikan bagi pemilik bangunan yang tidak memiliki atau tidak melakukan audit berkala setiap lima tahun. Karenanya, iklan layanan masyarakat melalui media massa dan media sosial untuk mengomunikasikan audit bangunan ini perlu digencarkan dan menjadi sebuah kesadaran bagi para pelaku usaha dan pemilik bangunan serta penyewa bangunan.
Iklan layanan masyarakat itu juga bisa menyampaikan tentang ke sadaran akan pentingnya audit bangunan tersebut bagi keselamatan jiwa. Peringatan tentang sanksi bagi yang melanggar aturan audit juga bisa terus disosialisasikan. Beberapa sanksi berat yang diatur mengenai bangunan di antaranya diatur dalam Pasal 46 ayat 2 dan 3 UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung.
Ayat 2 mengatur bahwa setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam undang-undang ini diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak 15% dari nilai bangunan gedung, jika karenanya mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain yang mengakibatkan cacat seumur hi dup.
Adapun ayat 3 menyebut, setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam undang-undang ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak 20% dari nilai bangunan gedung, jika karenanya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
Kita perlu belajar dari peristiwa ambruknya selasar di Lantai Mezzanine Tower I Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 15 Januari 2018. Peristiwa tersebut mengakibatkan sekitar 77 korban luka-luka berat hingga ringan. Pengusutan terhadap penyebab pasti peristiwa ini, termasuk apakah ada unsur kelalaian, hingga kini belum jelas.
Data dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PM-PTSP) Provinsi DKI Jakarta mencatat ada 800 gedung dengan tinggi lebih dari delapan lantai di Jakarta, dengan spesifikasi bangunan di mana penerbitan SLF-nya berada di PM-PTSP (Tirto.id , 18 Januari 2018).
Kedua, pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta perlu memikirkan antisipasi terhadap potensi dampak gempa dalam hal terjadi kerusakan besar di Jakarta.
Langkah-langkah opsi darurat perlu dimiliki, mengingat keberadaan Jakarta yang, setidaknya menjadi pusat pemerintahan dan sekaligus ekonomi di Indonesia. Antisipasi terhadap kerusakan infrastruktur, seperti listrik dan telekomunikasi, termasuk internet, juga perlu diperhatikan. Karenanya, pemerintah perlu memastikan sudah adanya standard operating procedure (SOP) dalam kondisi gempa di Jakarta.
SOP ini perlu dibuat oleh para pihak-pihak terkait sehingga potensi risiko gempa yang ada setidaknya sudah ada antisipasi dan standar langkah-langkah darurat yang akan dilakukan. SOP mitigasi bencana, termasuk gempa, mutlak perlu dimiliki oleh Jakarta, bahkan juga oleh daerah-daerah lain.
Kita memang tidak mengharapkan bencana tersebut terjadi, meski demikian kita juga perlu mendengarkan masukan dari para pakar juga peneliti dan "menggandeng" mereka dalam menyiapkan program mitigasi terhadap potensi risiko yang ada.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis
(zik)