Stunting dan Ancaman Generasi Bangsa
A
A
A
ANGGIA ERMARINI
Ketua Umum PP Fatayat NU
Memiliki sumber daya manusia yang berkualitas adalah tujuan besar yang paling esensial bagi suatu negara. Dalam upaya pencapaian misi ter sebut, dokumen yang termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025, secara tegas menyebutkan bahwa salah satu kebijakan terpenting negara adalah memberikan keleluasaan dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Visi itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM) adalah pembangunan manusia Indonesia sebagai subjek (human capital), objek (human resources) dan penikmat pembangunan, yang mencakup seluruh siklus hidup manusia sejak dalam kan dungan sampai akhir hidupnya.
Bicara tentang kualitas SDM menjadi krusial tatkala di hadapkan pada fakta bonus demografi yang akan dialami bangsa ini. Bonus demografi adalah kondisi di mana usia produktif mencapai angka tertinggi. Harusnya usia ini menjadi penyumbang bagi progresivitas arah pembangunan.
Lain halnya jika yang terjadi sebaliknya, yakni ketika angka demografis usia produktif ini justru menjadi beban negara karena kualitas manusianya yang tidak memadai. Akibatnya, timbul ketergantungan dan memperlambat laju pembangunan.
Data statistik menunjukkan jumlah anak Indonesia 2015 mencapai 47 juta anak laki-laki dan 44,9 juta anak perempuan, pada 2035 mereka akan memasuki usia produktif dan bersaing dalam dunia kerja di era pasar bebas. Maka, hajat besar negara ini untuk menciptakan generasi yang berkualitas harus diterjemahkan secara nyata dalam program.
Karena jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kualitas SDM Indonesia masih jauh tertinggal. Fakta ini terlihat antara lain dari rendahnya, bahkan menurunnya, peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Laporan Human Development Report 2016 mencatat, IPM Indonesia pada 2015 berada di peringkat 113, turun dari posisi 110 di 2014 dari 188 negara.
Selain itu, tingkat kecerdasan anak Indonesia dalam bidang membaca, matematika, dan sains tercatat berada di posisi 64 dari 65 negara yang diteliti pada tahun 2012 oleh Organisation for Economic Cooperation and Development Programme for International Student Assessment (OECD PISA).
Anak Indonesia tertinggal jauh dari anak Singapura (posisi 2), Vietnam (posisi 17), Thailand (posisi 50) dan Malaysia (posisi 52). Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Salah satu penyebabnya adalah kasus stunting dan ini yang harus menjadi perhatian khusus semua pihak. Kasus stunting terus menjadi keprihatinan karena 37% atau sekitar 9 juta anak Indonesia mengalami stunting .
Ini adalah kondisi kekurangan gizi dalam jangka waktu lama yang menyebabkan anak gagal tumbuh kembang dan mengalami gangguan metabolisme. Akibatnya anak stunting secara fisik lebih pendek dari anak seusianya, imunitas rendah sehingga gampang sakit, dan memiliki IQ rendah pula.
Secara tidak langsung kondisi stunting ini memang luar biasa mengancam. Selain soal makanan bergizi yang harus dipenuhi pada 1.000 hari pertama kehidupan, faktor keluarga, pola asuh, dan lingkungan yang sehat turut menyumbang akan berhasilnya capaian pencegahan stunting .
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa terdapat 23,2% kehamilan di usia 10-19 tahun. Perkawinan dan kehamilan di usia tersebut terbukti memiliki risiko sangat besar melahirkan bayi stunting. Ibu yang menikah di usia 15-19 tahun saja 42,2% di antaranya melahirkan balita pendek.
Semakin muda usia perkawinan, semakin besar risiko melahirkan bayi stunting. Kasus stunting yang terjadi di keluarga miskin sebesar 48,4% dan pada keluarga kaya sebesar 29,0%. Maka, di titik inilah pe merintah harus berupaya melalui jalur apa pun untuk bisa memutus rantai kemiskinan yang berdampak pada tingginya angka stunting .
Akibat stunting tidak hanya dialami oleh anak yang bersangkutan saja, tetapi efeknya meluas sampai pada tingkat negara seperti diterangkan di atas. Pada tingkat individu stunting berdampak pada terhambatnya perkembangan otak dan fisik, rentan terhadap penyakit, ketika dewasa mudah menderita kegemukan sehingga rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit tidak menular (hipertensi, diabetes, jantung, dll).
Akibat lainnya adalah sulit berprestasi sehingga daya saing individu rendah. Di tingkat masyarakat dan negara, stunting kemudian menghambat pertumbuhan eko nomi, meningkatkan angka kemiskinan dan kesakitan sehingga beban negara meningkat, ketimpangan sosial dan menurunkan daya saing dengan negara lain.
Berdasar pada masalah di atas, Fatayat NU mengapresiasi upaya serius pemerintah dan terus berkomitmen untuk mendukung upaya pemerintah dalam menanggulangi kasus stunting. Fatayat NU mendorong kebijakan negara melalui program prioritasnya agar lebih sensitif terhadap masalah gizi dengan mengadvokasi para policy makers untuk berpihak pada masalah kualitas hidup anak Indonesia dengan memasukkan salah satunya isu stunting pada program-program prioritas. Termasuk reviu (peninjauan kembali) atas kebijakan penggunaan dana desa. Karena angka tinggi stunting ini terjadi di wilayah perdesaan dan dialami oleh mayoritas masyarakat miskin. Maka itu, adanya program dana desa menjadi sangat strategis. Secara internal, kasus stunting menjadi salah satu rekomendasi Munas Konbes Alim Ulama di Lombok tahun 2017.
Dalam rekomendasi tersebut disebutkan bahwa stunting adalah kasus yang urgen untuk segera ditangani bersama. Di sisi lain, Fatayat NU membentuk forum dai-daiyah peduli stunting di mana mereka bertugas untuk menyampaikan materi stunting dalam dakwahnya.
Ditambah dengan aksi ketuk warga melek stunting yang dilakukan oleh kader Barisan Nasional Fatayat NU yang dibentuk di 8 provinsi dan 13 kabupaten/kota. Sebagai organisasi perempuan yang berbasis keagamaan, Fatayat NU menggandeng para tokoh agama dari lintas iman untuk bersama-sama berikhtiar menanggulangi kasus ini melalui pendekatan ajaran agama masing-masing. Tujuannya satu, yaitu agar pemimpin Indonesia di masa mendatang adalah generasi dengan kualitas SDM yang baik.
Ketua Umum PP Fatayat NU
Memiliki sumber daya manusia yang berkualitas adalah tujuan besar yang paling esensial bagi suatu negara. Dalam upaya pencapaian misi ter sebut, dokumen yang termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025, secara tegas menyebutkan bahwa salah satu kebijakan terpenting negara adalah memberikan keleluasaan dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Visi itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM) adalah pembangunan manusia Indonesia sebagai subjek (human capital), objek (human resources) dan penikmat pembangunan, yang mencakup seluruh siklus hidup manusia sejak dalam kan dungan sampai akhir hidupnya.
Bicara tentang kualitas SDM menjadi krusial tatkala di hadapkan pada fakta bonus demografi yang akan dialami bangsa ini. Bonus demografi adalah kondisi di mana usia produktif mencapai angka tertinggi. Harusnya usia ini menjadi penyumbang bagi progresivitas arah pembangunan.
Lain halnya jika yang terjadi sebaliknya, yakni ketika angka demografis usia produktif ini justru menjadi beban negara karena kualitas manusianya yang tidak memadai. Akibatnya, timbul ketergantungan dan memperlambat laju pembangunan.
Data statistik menunjukkan jumlah anak Indonesia 2015 mencapai 47 juta anak laki-laki dan 44,9 juta anak perempuan, pada 2035 mereka akan memasuki usia produktif dan bersaing dalam dunia kerja di era pasar bebas. Maka, hajat besar negara ini untuk menciptakan generasi yang berkualitas harus diterjemahkan secara nyata dalam program.
Karena jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kualitas SDM Indonesia masih jauh tertinggal. Fakta ini terlihat antara lain dari rendahnya, bahkan menurunnya, peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI). Laporan Human Development Report 2016 mencatat, IPM Indonesia pada 2015 berada di peringkat 113, turun dari posisi 110 di 2014 dari 188 negara.
Selain itu, tingkat kecerdasan anak Indonesia dalam bidang membaca, matematika, dan sains tercatat berada di posisi 64 dari 65 negara yang diteliti pada tahun 2012 oleh Organisation for Economic Cooperation and Development Programme for International Student Assessment (OECD PISA).
Anak Indonesia tertinggal jauh dari anak Singapura (posisi 2), Vietnam (posisi 17), Thailand (posisi 50) dan Malaysia (posisi 52). Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Salah satu penyebabnya adalah kasus stunting dan ini yang harus menjadi perhatian khusus semua pihak. Kasus stunting terus menjadi keprihatinan karena 37% atau sekitar 9 juta anak Indonesia mengalami stunting .
Ini adalah kondisi kekurangan gizi dalam jangka waktu lama yang menyebabkan anak gagal tumbuh kembang dan mengalami gangguan metabolisme. Akibatnya anak stunting secara fisik lebih pendek dari anak seusianya, imunitas rendah sehingga gampang sakit, dan memiliki IQ rendah pula.
Secara tidak langsung kondisi stunting ini memang luar biasa mengancam. Selain soal makanan bergizi yang harus dipenuhi pada 1.000 hari pertama kehidupan, faktor keluarga, pola asuh, dan lingkungan yang sehat turut menyumbang akan berhasilnya capaian pencegahan stunting .
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa terdapat 23,2% kehamilan di usia 10-19 tahun. Perkawinan dan kehamilan di usia tersebut terbukti memiliki risiko sangat besar melahirkan bayi stunting. Ibu yang menikah di usia 15-19 tahun saja 42,2% di antaranya melahirkan balita pendek.
Semakin muda usia perkawinan, semakin besar risiko melahirkan bayi stunting. Kasus stunting yang terjadi di keluarga miskin sebesar 48,4% dan pada keluarga kaya sebesar 29,0%. Maka, di titik inilah pe merintah harus berupaya melalui jalur apa pun untuk bisa memutus rantai kemiskinan yang berdampak pada tingginya angka stunting .
Akibat stunting tidak hanya dialami oleh anak yang bersangkutan saja, tetapi efeknya meluas sampai pada tingkat negara seperti diterangkan di atas. Pada tingkat individu stunting berdampak pada terhambatnya perkembangan otak dan fisik, rentan terhadap penyakit, ketika dewasa mudah menderita kegemukan sehingga rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit tidak menular (hipertensi, diabetes, jantung, dll).
Akibat lainnya adalah sulit berprestasi sehingga daya saing individu rendah. Di tingkat masyarakat dan negara, stunting kemudian menghambat pertumbuhan eko nomi, meningkatkan angka kemiskinan dan kesakitan sehingga beban negara meningkat, ketimpangan sosial dan menurunkan daya saing dengan negara lain.
Berdasar pada masalah di atas, Fatayat NU mengapresiasi upaya serius pemerintah dan terus berkomitmen untuk mendukung upaya pemerintah dalam menanggulangi kasus stunting. Fatayat NU mendorong kebijakan negara melalui program prioritasnya agar lebih sensitif terhadap masalah gizi dengan mengadvokasi para policy makers untuk berpihak pada masalah kualitas hidup anak Indonesia dengan memasukkan salah satunya isu stunting pada program-program prioritas. Termasuk reviu (peninjauan kembali) atas kebijakan penggunaan dana desa. Karena angka tinggi stunting ini terjadi di wilayah perdesaan dan dialami oleh mayoritas masyarakat miskin. Maka itu, adanya program dana desa menjadi sangat strategis. Secara internal, kasus stunting menjadi salah satu rekomendasi Munas Konbes Alim Ulama di Lombok tahun 2017.
Dalam rekomendasi tersebut disebutkan bahwa stunting adalah kasus yang urgen untuk segera ditangani bersama. Di sisi lain, Fatayat NU membentuk forum dai-daiyah peduli stunting di mana mereka bertugas untuk menyampaikan materi stunting dalam dakwahnya.
Ditambah dengan aksi ketuk warga melek stunting yang dilakukan oleh kader Barisan Nasional Fatayat NU yang dibentuk di 8 provinsi dan 13 kabupaten/kota. Sebagai organisasi perempuan yang berbasis keagamaan, Fatayat NU menggandeng para tokoh agama dari lintas iman untuk bersama-sama berikhtiar menanggulangi kasus ini melalui pendekatan ajaran agama masing-masing. Tujuannya satu, yaitu agar pemimpin Indonesia di masa mendatang adalah generasi dengan kualitas SDM yang baik.
(zik)