Mark dan Koran
A
A
A
Chief Executive Officer (CEO) Facebook Mark Zuckerberg memasang iklan di berbagai surat kabar di Inggris dan Amerika Serikat untuk meminta maaf kepada penggunanya.
Permintaan maaf ini buntut atas pembobolan data 50 juta pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica. Sebelumnya Facebook juga telah menyampaikan permintaan maaf melalui akun Facebook. Langkah Zuckerberg bisa disebut strategi untuk meredam bola liar yang bergulir pascaskandal itu terungkap.
Selain menghadapi tekanan publik, termasuk munculnya kecurigaan dari pemerintahan di Eropa dan Amerika Serikat (AS), sosial media terbesar di dunia tersebut harus kehilangan nilai pasar hingga USD50 miliar sejak tuduhan itu muncul. Namun, tampaknya permintaan maaf melalui Facebook belum bisa meredam keresahan masyarakat.
Ternyata Mark yang merupakan salah satu pendobrak evolusi teknologi informasi dunia tidak terlalu pede memberikan penjelasan melalui media digital. Permintaan maaf melalui dunia digital ternyata belum bisa meredam krisis yang terjadi di Facebook. Media sosial seperti Facebook ternyata belum cukup mumpuni meredam krisis yang terjadi pada perusahaan besar sekelas Facebook.
Tokoh "media digital" dunia pun masih butuh media konvensional seperti koran untuk meredam krisis ini. Ini menunjukkan bahwa koran atau surat kabar masih mempunyai taji memberikan pengaruh kepada masyarakat. Media sosial atau media digital yang banyak diramalkan akan menggantikan media konvensional (cetak maupun lainnya) hingga saat ini hanya sekadar seloroh.
Memang banyak media konvensional yang terguncang dengan kehadiran media digital. Namun, itu lebih banyak disebabkan karena media konvensional tidak mau menyesuaikan diri dengan perkembangan. Ketika zaman berubah atau teknologi informasi mengalami perubahan (kecil atau besar), media konvensional juga harus berani melakukan perubahan.
Artinya yang membunuh media konvensional di era digital saat ini bukan karena kehadiran media digital. Media konvensional pun banyak yang mengaku telah melakukan perubahan dengan berpindah atau menggunakan media digital, tapi tetap saja tumbang. Ini karena si media konvensional hanya melakukan perubahan dari sisi hardware .
Bukankah jika sekadar mengubah kertas koran menjadi e-paper hanya butuh tenaga IT saja? Begitu juga dengan membangun media digital baru, bukankah juga hanya membutuhkan tenaga IT? Satu hal yang selalu dilupakan adalah sisi software. Ketika mengubah hardware tanpa mengubah software-nya, maka akan percuma.
Apa itu software dalam hal ini? Adalah cara berpikir dan pandang tentang perubahan yang terjadi di dunia. Bahwa ketika media digital masuk ke dunia, maka pola masyarakat pun berubah. Nah, perubahan pola masyarakat ini tidak ditangkap oleh media konvensional. Masyarakat masih disuguhi menu-menu lama tanpa menyesuaikan perubahan tersebut.
Akibatnya, masyarakat yang mempunyai pola pikir dan pandang baru ini akan meninggalkan media konvensional yang tidak mengubah cara pikir dan pandangnya pula. Satu hal sering diabaikan media adalah konten yang menjadi inti atau roh dari media tersebut. Selama ini media konvensional hanya fokus pada perubahan perangkatnya.
Mereka terjebak hanya perubahan perangkatnya (hardware). Jika konten adalah hal penting, maka perlakukan konten seperti sesuatu yang penting. Jika pola pikir dan pandang masyarakat berubah, maka konten juga harus berubah mengikuti pola perkembangan masyarakat.
Jika ini dilakukan, media konvensional masih akan bertahan di era perubahan saat ini. Di sisi lain, media konvensional masih mempunyai kekuatan dari sisi kredibilitas dan integritas informasi. Karena informasi yang disajikan melalui proses yang matang sehingga semua pihak akan lebih percaya dengan informasi yang diolah media konvensional dibandingkan dengan media lainnya.
Seorang Mark yang merupakan tokoh perubahan di era digital saat ini pun masih percaya dengan koran untuk "membantu" meredam krisis yang sedang terjadi di perusahaannya. Masih banyak contoh lagi, betapa masyarakat masih membutuhkan media cetak.
Permintaan maaf ini buntut atas pembobolan data 50 juta pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica. Sebelumnya Facebook juga telah menyampaikan permintaan maaf melalui akun Facebook. Langkah Zuckerberg bisa disebut strategi untuk meredam bola liar yang bergulir pascaskandal itu terungkap.
Selain menghadapi tekanan publik, termasuk munculnya kecurigaan dari pemerintahan di Eropa dan Amerika Serikat (AS), sosial media terbesar di dunia tersebut harus kehilangan nilai pasar hingga USD50 miliar sejak tuduhan itu muncul. Namun, tampaknya permintaan maaf melalui Facebook belum bisa meredam keresahan masyarakat.
Ternyata Mark yang merupakan salah satu pendobrak evolusi teknologi informasi dunia tidak terlalu pede memberikan penjelasan melalui media digital. Permintaan maaf melalui dunia digital ternyata belum bisa meredam krisis yang terjadi di Facebook. Media sosial seperti Facebook ternyata belum cukup mumpuni meredam krisis yang terjadi pada perusahaan besar sekelas Facebook.
Tokoh "media digital" dunia pun masih butuh media konvensional seperti koran untuk meredam krisis ini. Ini menunjukkan bahwa koran atau surat kabar masih mempunyai taji memberikan pengaruh kepada masyarakat. Media sosial atau media digital yang banyak diramalkan akan menggantikan media konvensional (cetak maupun lainnya) hingga saat ini hanya sekadar seloroh.
Memang banyak media konvensional yang terguncang dengan kehadiran media digital. Namun, itu lebih banyak disebabkan karena media konvensional tidak mau menyesuaikan diri dengan perkembangan. Ketika zaman berubah atau teknologi informasi mengalami perubahan (kecil atau besar), media konvensional juga harus berani melakukan perubahan.
Artinya yang membunuh media konvensional di era digital saat ini bukan karena kehadiran media digital. Media konvensional pun banyak yang mengaku telah melakukan perubahan dengan berpindah atau menggunakan media digital, tapi tetap saja tumbang. Ini karena si media konvensional hanya melakukan perubahan dari sisi hardware .
Bukankah jika sekadar mengubah kertas koran menjadi e-paper hanya butuh tenaga IT saja? Begitu juga dengan membangun media digital baru, bukankah juga hanya membutuhkan tenaga IT? Satu hal yang selalu dilupakan adalah sisi software. Ketika mengubah hardware tanpa mengubah software-nya, maka akan percuma.
Apa itu software dalam hal ini? Adalah cara berpikir dan pandang tentang perubahan yang terjadi di dunia. Bahwa ketika media digital masuk ke dunia, maka pola masyarakat pun berubah. Nah, perubahan pola masyarakat ini tidak ditangkap oleh media konvensional. Masyarakat masih disuguhi menu-menu lama tanpa menyesuaikan perubahan tersebut.
Akibatnya, masyarakat yang mempunyai pola pikir dan pandang baru ini akan meninggalkan media konvensional yang tidak mengubah cara pikir dan pandangnya pula. Satu hal sering diabaikan media adalah konten yang menjadi inti atau roh dari media tersebut. Selama ini media konvensional hanya fokus pada perubahan perangkatnya.
Mereka terjebak hanya perubahan perangkatnya (hardware). Jika konten adalah hal penting, maka perlakukan konten seperti sesuatu yang penting. Jika pola pikir dan pandang masyarakat berubah, maka konten juga harus berubah mengikuti pola perkembangan masyarakat.
Jika ini dilakukan, media konvensional masih akan bertahan di era perubahan saat ini. Di sisi lain, media konvensional masih mempunyai kekuatan dari sisi kredibilitas dan integritas informasi. Karena informasi yang disajikan melalui proses yang matang sehingga semua pihak akan lebih percaya dengan informasi yang diolah media konvensional dibandingkan dengan media lainnya.
Seorang Mark yang merupakan tokoh perubahan di era digital saat ini pun masih percaya dengan koran untuk "membantu" meredam krisis yang sedang terjadi di perusahaannya. Masih banyak contoh lagi, betapa masyarakat masih membutuhkan media cetak.
(zik)