Poros ke-3: Alternatif atau Pelarian?
A
A
A
HM Romahurmuziy
Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) periode 2014-2019
BANYAK orang bertanya tentang kemungkinan poros ke-3. Hari ini 5 parpol sudah menyatakan dukungan pencalonan Jkw 2019 yaitu, urut perolehan kursi: PDIP, PG, PPP, Nasdem, dan Hanura. Adapun Gerindra dan PKS hampir pasti berkoalisi mengusung Prabowo. Maka hanya 3 parpol yang belum menentukan sikap soal Pilpres 2019, yakni: PD, PAN dan PKB. Maka pertanyaan tentang akan terwujudkah poros ke-3 sepatutnya ditujukkan pada ketiga partai itu. Karena hanya dan hanya jika mereka bertiga bergabung maka baru poros ke-3 akan terwujud.
Adakah Insentif untuk Mewujudkan Poros ke-3?
Dalam literatur politik AS dikenal istilah coat tail effect. Definisi paling sederhana adalah: seorang calon presiden yang populer akan memberikan efek positif kepada partai pengusungnya. Pengalaman Indonesia pada Pemilu 2004 dan 2009, efek itu tidak otomatis kepada semua partai pengusung.
Lihat saja SBY-effect hanya terjadi kepada PD tahun 2004 dan 2009. Sedangkan semua partai pengusung SBY, baik PKB, PAN maupun PPP justru mengalami reverse coat tail effect pada 2009. Senarai survey opini public akhir-akhir ini, menunjukkan bahwa Jokowi effect dan Prabowo effect hanya terjadi pada PDIP dan Gerindra saja.
Itulah mengapa pimpinan partai-partai politik berlomba-lomba menjadi RI2-nya. Dengan asumsi ada 10 parpol pengusung sementara yang tersedia hanya dua posisi RI2 Jokowi dan Prabowo jika dua poros, maka keberadaan poros ketiga seolah menjadi sangat diperlukan parpol yang belum menentukan sikap. Padahal masalahnya justru disitu.
Tersisa 3 parpol yang belum tentukan sikap: PD, PKB, PAN, namun posisi yang tersedia tinggal 2, yakni calon RI1 dan calon RI2. Berdasar perolehan kursi, adalah wajar jika PD mengunggulkan putra mahkota AHY untuk menjadi capres. Adapun PAN dan PKB, salah satu harus mengalah menjadi calon wapres.
Problemnya, apa iya Zulhas dan cak Imin yang sudah 20 tahun malang melintang di panggung politik nasional mau menanggalkan segudang pengalamannya kepada AHY yang sama sekali belum memiliki pengalaman manajerial sektor publik pada skala nasional? Yang kedua, siapa yang menjadi cawapres, Zulhas kah atau cak Imin?
Poros ke-3: Sarat Keinginan, Sempit Kemenangan
Pertarungan dalam politik terbagi dua: pertarungan untuk kemenangan, dan pertarungan untuk kehormatan. Poros ke-3 kalaupun muncul akan sulit meraih kemenangan. Berdasarkan berbagai survey mutakhir, sulit membayangkan kombinasi AHY, Zulhas atau cak Imin akan meraih kemenangan melawan paslon Jokowi atau Prabowo.
Jika kemudian poros ke-3 ditujukan hanya untuk menjaga kehormatan dalam mengkelindani teoricoat tail effect tadi, lantas maukah di antara cak Imin dan Zulhas untuk mengalah satu sama lain tidak menjadi cawapres? Jika jawabannya tidak, maka wacana Poros ke-3 hanyalah kembang-kembang politik sesaat. Bukan sebuah alternatif, bahkan juga bukan pelarian.
Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) periode 2014-2019
BANYAK orang bertanya tentang kemungkinan poros ke-3. Hari ini 5 parpol sudah menyatakan dukungan pencalonan Jkw 2019 yaitu, urut perolehan kursi: PDIP, PG, PPP, Nasdem, dan Hanura. Adapun Gerindra dan PKS hampir pasti berkoalisi mengusung Prabowo. Maka hanya 3 parpol yang belum menentukan sikap soal Pilpres 2019, yakni: PD, PAN dan PKB. Maka pertanyaan tentang akan terwujudkah poros ke-3 sepatutnya ditujukkan pada ketiga partai itu. Karena hanya dan hanya jika mereka bertiga bergabung maka baru poros ke-3 akan terwujud.
Adakah Insentif untuk Mewujudkan Poros ke-3?
Dalam literatur politik AS dikenal istilah coat tail effect. Definisi paling sederhana adalah: seorang calon presiden yang populer akan memberikan efek positif kepada partai pengusungnya. Pengalaman Indonesia pada Pemilu 2004 dan 2009, efek itu tidak otomatis kepada semua partai pengusung.
Lihat saja SBY-effect hanya terjadi kepada PD tahun 2004 dan 2009. Sedangkan semua partai pengusung SBY, baik PKB, PAN maupun PPP justru mengalami reverse coat tail effect pada 2009. Senarai survey opini public akhir-akhir ini, menunjukkan bahwa Jokowi effect dan Prabowo effect hanya terjadi pada PDIP dan Gerindra saja.
Itulah mengapa pimpinan partai-partai politik berlomba-lomba menjadi RI2-nya. Dengan asumsi ada 10 parpol pengusung sementara yang tersedia hanya dua posisi RI2 Jokowi dan Prabowo jika dua poros, maka keberadaan poros ketiga seolah menjadi sangat diperlukan parpol yang belum menentukan sikap. Padahal masalahnya justru disitu.
Tersisa 3 parpol yang belum tentukan sikap: PD, PKB, PAN, namun posisi yang tersedia tinggal 2, yakni calon RI1 dan calon RI2. Berdasar perolehan kursi, adalah wajar jika PD mengunggulkan putra mahkota AHY untuk menjadi capres. Adapun PAN dan PKB, salah satu harus mengalah menjadi calon wapres.
Problemnya, apa iya Zulhas dan cak Imin yang sudah 20 tahun malang melintang di panggung politik nasional mau menanggalkan segudang pengalamannya kepada AHY yang sama sekali belum memiliki pengalaman manajerial sektor publik pada skala nasional? Yang kedua, siapa yang menjadi cawapres, Zulhas kah atau cak Imin?
Poros ke-3: Sarat Keinginan, Sempit Kemenangan
Pertarungan dalam politik terbagi dua: pertarungan untuk kemenangan, dan pertarungan untuk kehormatan. Poros ke-3 kalaupun muncul akan sulit meraih kemenangan. Berdasarkan berbagai survey mutakhir, sulit membayangkan kombinasi AHY, Zulhas atau cak Imin akan meraih kemenangan melawan paslon Jokowi atau Prabowo.
Jika kemudian poros ke-3 ditujukan hanya untuk menjaga kehormatan dalam mengkelindani teoricoat tail effect tadi, lantas maukah di antara cak Imin dan Zulhas untuk mengalah satu sama lain tidak menjadi cawapres? Jika jawabannya tidak, maka wacana Poros ke-3 hanyalah kembang-kembang politik sesaat. Bukan sebuah alternatif, bahkan juga bukan pelarian.
(pur)