Calon Kepala Daerah Tersandung Korupsi, KPU Diminta Revisi PKPU
A
A
A
JAKARTA - Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) meminta kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera mengambil tindakan terhadap banyaknya kasus korupsi yang menjerat sejumlah Calon Kepala Daerah (Cakada) di seluruh Indonesia.
Pasalnya, meski telah berstatus tersangka para cakada tersebut masih bisa bebas berlaga di bursa pilkada sesuai aturan yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan gubernur, wali kota dan bupati.
Executive Director Perludem, Titi Anggraini mengatakan, KPU memiliki kewenangan atribusi untuk menjabarkan sejumlah aturan yang tertuang di UU Nomor 8 Tahun 2015 yang selama ini menjadi penyebab polemik melalui Peraturan KPU (PKPU) Pencalonan (PKPU 3/2017 jo PKPU 15/2017).
"Dalam pasal 53 tertulis bahwa calon kepala daerah tidak bisa mundur dari bursa pilkada jika sudah ditetapkan sebagai paslon oleh KPU," ujar Titi di Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (16/3/2018).
"Jika mereka mundur maka parpol juga akan mendapatkan hukuman pidana karena melanggar aturan. Ini yang menjadi sumber sengkarut masalah saat ini," tambahnya.
Titi menjelaskan, pada pasal berikutnya yakni Pasal 54 diatur bahwa para cakada tersebut dapat diganti jika memenuhi dua syarat. Kedua syarat tersebut adalah jika calon meninggal dunia atau calon tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen.
Dalam aturan tersebut tidak dijabarkan, tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen itu seperti apa. Selanjutnya, KPU menjabarkan dalam PKPU 3/2017 jo PKPU 15/2017 dengan menerjemahkan bahwa calon yang meninggal dunia atau tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen dapat dibuktikan surat dokter dari RS pemerintah.
"Jika KPU saja bisa menjabarkan pasal tersebut, maka KPU juga bisa menambahkan bahwa tindak korupsi termasuk tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen. Korupsi itu tindakan tercela. Korupsi itu kejahatan terorisme terhadap publik, ini optimus crime ya itulah korupsi. Idealnya didiskualifikasi atau dihapus dari pencalonan," tuturnya.
Menurut Titi, pilihan menambahkan penjabaran dalam peraturan menjadi jalan tengah jika memang Perppu yang diminta dari KPK tidak dapat dipenuhi dengan berbagai alasan.
"Kami mendukung sepenuhnya dikeluarkannya Perppu yang diminta oleh KPK, namun jika memang langkah itu tidak memungkinkan dipenuhi ya kami mengusulkan KPU untuk melakukan revisi pada PKPU," tandasnya.
Pasalnya, meski telah berstatus tersangka para cakada tersebut masih bisa bebas berlaga di bursa pilkada sesuai aturan yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan gubernur, wali kota dan bupati.
Executive Director Perludem, Titi Anggraini mengatakan, KPU memiliki kewenangan atribusi untuk menjabarkan sejumlah aturan yang tertuang di UU Nomor 8 Tahun 2015 yang selama ini menjadi penyebab polemik melalui Peraturan KPU (PKPU) Pencalonan (PKPU 3/2017 jo PKPU 15/2017).
"Dalam pasal 53 tertulis bahwa calon kepala daerah tidak bisa mundur dari bursa pilkada jika sudah ditetapkan sebagai paslon oleh KPU," ujar Titi di Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (16/3/2018).
"Jika mereka mundur maka parpol juga akan mendapatkan hukuman pidana karena melanggar aturan. Ini yang menjadi sumber sengkarut masalah saat ini," tambahnya.
Titi menjelaskan, pada pasal berikutnya yakni Pasal 54 diatur bahwa para cakada tersebut dapat diganti jika memenuhi dua syarat. Kedua syarat tersebut adalah jika calon meninggal dunia atau calon tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen.
Dalam aturan tersebut tidak dijabarkan, tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen itu seperti apa. Selanjutnya, KPU menjabarkan dalam PKPU 3/2017 jo PKPU 15/2017 dengan menerjemahkan bahwa calon yang meninggal dunia atau tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen dapat dibuktikan surat dokter dari RS pemerintah.
"Jika KPU saja bisa menjabarkan pasal tersebut, maka KPU juga bisa menambahkan bahwa tindak korupsi termasuk tidak mampu melaksanakan tugas secara permanen. Korupsi itu tindakan tercela. Korupsi itu kejahatan terorisme terhadap publik, ini optimus crime ya itulah korupsi. Idealnya didiskualifikasi atau dihapus dari pencalonan," tuturnya.
Menurut Titi, pilihan menambahkan penjabaran dalam peraturan menjadi jalan tengah jika memang Perppu yang diminta dari KPK tidak dapat dipenuhi dengan berbagai alasan.
"Kami mendukung sepenuhnya dikeluarkannya Perppu yang diminta oleh KPK, namun jika memang langkah itu tidak memungkinkan dipenuhi ya kami mengusulkan KPU untuk melakukan revisi pada PKPU," tandasnya.
(maf)