Soliditas TNI, Polri, dan BIN
A
A
A
Sabartain Simatupang
Akademisi Universitas Pertahanan Indonesia dan Alumnus Magister Manajemen Pertahanan KSKN UI
POLEMIK yang memanas terkait isu pembelian senjata dan amunisi ilegal oleh institusi non-TNI yang disampaikan secara tidak resmi oleh panglima TNI pada awal Oktober 2017 telah menimbulkan perdebatan tentang friksi hubungan kelembagaan di antara TNI, Polri, dan Badan Intelijen Negara (BIN). Akhirnya polemik ini mendapat atensi yang serius dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk kemudian memerintahkan menkopolhukam untuk menyelesaikannya.
Pada pembukaan Rapat Pimpinan TNI-Polri pada 23 Januari 2018, Presiden Jokowi kembali menekankan agar pimpinan TNI dan Polri sampai ke tingkat bawah tetap kompak dalam pelaksanaan tugasnya. Dua institusi perlu bersinergi untuk mengamankan Pilkada Serentak 2018 dan Pemilihan Presiden 2019.
Momentum pergantian panglima TNI tentu dapat juga dijadikan tantangan tersendiri bagi pejabat baru Marsekal Hadi Tjahjanto untuk melanjutkan soliditas TNI-Polri. Ulasan berikut mencoba menguraikan secara kritis kondisi perkembangan keamanan nasional di masa tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK. Sejauh mana kebijakan reformasi sektor keamanan sudah tercapai dan bagaimana sebaiknya hubungan TNI, Polri, dan BIN dibenahi agar friksi tersebut tidak terulang kembali.
Reformasi Sektor Keamanan
Reformasi Sektor Keamanan (Security Sector Reform) merupakan salah satu tuntutan yang mengemuka sejak masa awal reformasi pada 1998. Dihadapkan dengan perkembangan ancaman yang semakin kompleks dewasa ini, kehadiran negara untuk menindaklanjuti penataan sistem keamanan nasional semakin mendesak. Penyelenggaraan keamanan nasional yang komprehensif seyogianya diatur melalui suatu sistem keamanan nasional.
Pelaksanaannya dimulai dari proses penetapan perkiraan bentuk dan jenis ancaman keamanan yang akan dihadapi. Barulah kemudian ditentukan unsur-unsur penyelenggara keamanan nasional yang dikerahkan untuk menghadapi dan mengatasinya. Setelah itu dilakukan rencana aksi berupa langkah-langkah yang akan ditempuh pemerintah. Tindakan ini dilaksanakan secara terarah, terpadu, dan bersinergi sehingga jelas komando dan pengendaliannya sesuai bentuk dan eskalasi ancamannya.
Pada kenyataannya sampai saat ini pemerintah, parlemen, dan kelompok-kelompok masyarakat madani belum berhasil menyatukan persepsi dan komitmennya mewujudkan penataan sistem keamanan nasional tersebut. Padahal, di tengah perkembangan ancaman yang semakin intensif muncul dan polanya semakin kompleks (asimetrik, proxy, dan hybrid), pemerintah diharapkan segera tanggap dan tepat mengambil tindakan dalam mengatasinya.
Belum tertangani ancaman yang satu, lalu muncul ancaman yang lain. Dalam hal ini pemerintah dikhawatirkan akan kedodoran, lamban, dan tidak terpadu untuk segera mengambil tindakan yang diperlukan. Kenyataan inilah yang tergambar pada masa pemerintahan Jokowi-JK dalam menangani setiap fenomena ancaman yang terjadi.
Ancaman dan Penanganannya
Beberapa bentuk ancaman yang menonjol selama tiga tahun lebih masa pemerintahan Jokowi-JK dapat dipetakan dari mulai skala kedaerahan sampai tingkat nasional, dan bahkan internasional. Bisa disebutkan antara lain konflik sosial (di beberapa daerah dan di Jakarta), kebakaran hutan dan lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan, dan aksi kelompok teror di sejumlah daerah.
Di samping itu, muncul tindak kejahatan narkoba (napza) dan korupsi yang semakin intensif melibatkan generasi muda dan elite politik/pejabat, illegal logging, mining, dan fishing, kasus kejahatan anak/ remaja yang semakin sadis, terjadinya insiden pelanggaran batas ZEE Indonesia oleh kapal-kapal nelayan asing (terutama China), pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh pesawat asing, merebaknya kasus vaksin dan obat palsu yang meresahkan, dan kasus penculikan serta penyanderaan ABK WNI oleh kelompok teror Abu Sayyaf.
Ada berbagai kegiatan operasi yang dilakukan pemerintah secara sektoral dan temporer untuk mengatasi semua ancaman yang terjadi tersebut. Pada kenyataannya setiap instansi dan kementerian terkait bereaksi sesuai tupoksinya, tanpa ada ketegasan komando dan pengendalian strategis (dari Presiden).
Dari pengalaman ini terlihat jelas betapa pemerintah sebenarnya memerlukan suatu legal standing, national institution, dan grand strategy bagi suatu sistem keamanan tingkat nasional yang menjadi landasan bersikap dan bertindak.
Sebagai contoh dalam penanganan aksi terorisme, pelibatan TNI bersama Polri masih saja mengundang kontroversi sehingga pengaturan lebih lanjut terhadap dua aktor keamanan ini belum juga sinkron dalam pembahasan revisi Undang-Undang Antiterorisme. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa dalam bertindak pemerintah belum optimal untuk mengerahkan semua potensi nasional secara bersinergi untuk mengatasi setiap ancaman yang muncul selama ini, termasuk dalam menghadapi ancaman terorisme.
Perlu Pembenahan
Melihat kenyataan ini, pemerintah dan parlemen sudah saatnya memiliki persepsi, atensi, dan komitmen yang sama terhadap urgensi perlunya suatu legal standing bagi pengaturan sistem keamanan secara nasional berupa UU Keamanan Nasional.
Peraturan ini dapat diposisikan menjadi “induk atau payung hukum” terhadap semua perundang-undangan yang sudah mengatur beberapa institusi pemerintahan pusat dan daerah (terutama TNI dan Polri) serta masyarakat dalam mengatasi semua bentuk ancaman nasional (M AS Hikam, 2016).
Dengan ada peraturan perundangan ini, pemerintah pusat dan daerah serta kelompok masyarakat dapat menjalankan perannya bersama-sama. Demikianlah halnya hubungan kelembagaan di antara aktor-aktor pelaksana fungsi pertahanan dan keamanan (khususnya TNI, Polri, dan BIN) perlu dibenahi kembali.
Ironisnya, bagaimana pengaturan kerja samanya dan pengorganisasian yang dilakukan agar sinkron, terintegrasi, dan optimal ternyata sampai sekarang masih belum tuntas. Masih banyak celah-celah tumpang tindih atau kegiatan-kegiatan yang tidak terkoordinasi selama ini terjadi di antara tiga lembaga ini. Bila tidak disinkronkan dengan baik, akan menimbulkan friksi-friksi hubungan yang tidak baik dan cenderung ego sektoral.
Aspek pengawasan terhadap dua institusi Polri dan BIN juga sampai sekarang belum jelas, sinkron, dan tuntas bagaimana pengaturannya. Untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas keamanan masing-masing lembaga secara internal perlu dilakukan pengawasan administrasi dan keuangan oleh suatu kementerian atau lembaga independen. TNI yang selama ini sudah jelas mendapat pengawasan tersebut dari Kementerian Pertahanan, tapi tidak demikian halnya dengan Polri.
Karena itu, faktanya sampai saat ini terdapat kesenjangan pengawasan karena Polri belum mendapat pengawasan yang optimal dari suatu kementerian (baru berupa pengawasan temporer dari Kompolnas). Sementara itu, BIN secara kelembagaan langsung bertanggung jawab kepada presiden tanpa ada pengawasan yang jelas oleh instansi tertentu. Kondisi ini secara psikologis memengaruhi hubungan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi yang baik di antara TNI, Polri, dan BIN.
Dengan demikian, sesungguhnya suatu UU Keamanan Nasional (Kamnas) sudah sangat urgen bagi keperluan menata hubungan kelembagaan di antara aktor-aktor pelaksana fungsi keamanan dan pertahanan ke depan. Nanti perangkat perundangan ini diharapkan dapat menyinergikan semua peraturan yang sudah ada secara terpadu dan terarah. Dalam UU tersebut diselenggarakan siskamnas sebagai suatu strategi raya (grand strategy) di tingkat nasional.
Berdasarkan undang-undang inilah berikutnya aturan pelaksanaan kerja sama termasuk dalam hal teknis menyangkut pengadaan senjata api bagi tiga lembaga di atas dapat dibenahi secara sinkron dan sinergis.
Sebagai panglima TNI yang baru, Marsekal Hadi Tjahjanto mendapatkan tantangan tersendiri ke depan untuk bersama-sama kepala Polri dan BIN dapat membenahi hubungan kelembagaan ini. Semoga soliditas TNI, Polri, dan BIN sebagaimana yang diharapkan benar-benar bisa terwujud secara optimal.
Akademisi Universitas Pertahanan Indonesia dan Alumnus Magister Manajemen Pertahanan KSKN UI
POLEMIK yang memanas terkait isu pembelian senjata dan amunisi ilegal oleh institusi non-TNI yang disampaikan secara tidak resmi oleh panglima TNI pada awal Oktober 2017 telah menimbulkan perdebatan tentang friksi hubungan kelembagaan di antara TNI, Polri, dan Badan Intelijen Negara (BIN). Akhirnya polemik ini mendapat atensi yang serius dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk kemudian memerintahkan menkopolhukam untuk menyelesaikannya.
Pada pembukaan Rapat Pimpinan TNI-Polri pada 23 Januari 2018, Presiden Jokowi kembali menekankan agar pimpinan TNI dan Polri sampai ke tingkat bawah tetap kompak dalam pelaksanaan tugasnya. Dua institusi perlu bersinergi untuk mengamankan Pilkada Serentak 2018 dan Pemilihan Presiden 2019.
Momentum pergantian panglima TNI tentu dapat juga dijadikan tantangan tersendiri bagi pejabat baru Marsekal Hadi Tjahjanto untuk melanjutkan soliditas TNI-Polri. Ulasan berikut mencoba menguraikan secara kritis kondisi perkembangan keamanan nasional di masa tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK. Sejauh mana kebijakan reformasi sektor keamanan sudah tercapai dan bagaimana sebaiknya hubungan TNI, Polri, dan BIN dibenahi agar friksi tersebut tidak terulang kembali.
Reformasi Sektor Keamanan
Reformasi Sektor Keamanan (Security Sector Reform) merupakan salah satu tuntutan yang mengemuka sejak masa awal reformasi pada 1998. Dihadapkan dengan perkembangan ancaman yang semakin kompleks dewasa ini, kehadiran negara untuk menindaklanjuti penataan sistem keamanan nasional semakin mendesak. Penyelenggaraan keamanan nasional yang komprehensif seyogianya diatur melalui suatu sistem keamanan nasional.
Pelaksanaannya dimulai dari proses penetapan perkiraan bentuk dan jenis ancaman keamanan yang akan dihadapi. Barulah kemudian ditentukan unsur-unsur penyelenggara keamanan nasional yang dikerahkan untuk menghadapi dan mengatasinya. Setelah itu dilakukan rencana aksi berupa langkah-langkah yang akan ditempuh pemerintah. Tindakan ini dilaksanakan secara terarah, terpadu, dan bersinergi sehingga jelas komando dan pengendaliannya sesuai bentuk dan eskalasi ancamannya.
Pada kenyataannya sampai saat ini pemerintah, parlemen, dan kelompok-kelompok masyarakat madani belum berhasil menyatukan persepsi dan komitmennya mewujudkan penataan sistem keamanan nasional tersebut. Padahal, di tengah perkembangan ancaman yang semakin intensif muncul dan polanya semakin kompleks (asimetrik, proxy, dan hybrid), pemerintah diharapkan segera tanggap dan tepat mengambil tindakan dalam mengatasinya.
Belum tertangani ancaman yang satu, lalu muncul ancaman yang lain. Dalam hal ini pemerintah dikhawatirkan akan kedodoran, lamban, dan tidak terpadu untuk segera mengambil tindakan yang diperlukan. Kenyataan inilah yang tergambar pada masa pemerintahan Jokowi-JK dalam menangani setiap fenomena ancaman yang terjadi.
Ancaman dan Penanganannya
Beberapa bentuk ancaman yang menonjol selama tiga tahun lebih masa pemerintahan Jokowi-JK dapat dipetakan dari mulai skala kedaerahan sampai tingkat nasional, dan bahkan internasional. Bisa disebutkan antara lain konflik sosial (di beberapa daerah dan di Jakarta), kebakaran hutan dan lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan, dan aksi kelompok teror di sejumlah daerah.
Di samping itu, muncul tindak kejahatan narkoba (napza) dan korupsi yang semakin intensif melibatkan generasi muda dan elite politik/pejabat, illegal logging, mining, dan fishing, kasus kejahatan anak/ remaja yang semakin sadis, terjadinya insiden pelanggaran batas ZEE Indonesia oleh kapal-kapal nelayan asing (terutama China), pelanggaran wilayah udara Indonesia oleh pesawat asing, merebaknya kasus vaksin dan obat palsu yang meresahkan, dan kasus penculikan serta penyanderaan ABK WNI oleh kelompok teror Abu Sayyaf.
Ada berbagai kegiatan operasi yang dilakukan pemerintah secara sektoral dan temporer untuk mengatasi semua ancaman yang terjadi tersebut. Pada kenyataannya setiap instansi dan kementerian terkait bereaksi sesuai tupoksinya, tanpa ada ketegasan komando dan pengendalian strategis (dari Presiden).
Dari pengalaman ini terlihat jelas betapa pemerintah sebenarnya memerlukan suatu legal standing, national institution, dan grand strategy bagi suatu sistem keamanan tingkat nasional yang menjadi landasan bersikap dan bertindak.
Sebagai contoh dalam penanganan aksi terorisme, pelibatan TNI bersama Polri masih saja mengundang kontroversi sehingga pengaturan lebih lanjut terhadap dua aktor keamanan ini belum juga sinkron dalam pembahasan revisi Undang-Undang Antiterorisme. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa dalam bertindak pemerintah belum optimal untuk mengerahkan semua potensi nasional secara bersinergi untuk mengatasi setiap ancaman yang muncul selama ini, termasuk dalam menghadapi ancaman terorisme.
Perlu Pembenahan
Melihat kenyataan ini, pemerintah dan parlemen sudah saatnya memiliki persepsi, atensi, dan komitmen yang sama terhadap urgensi perlunya suatu legal standing bagi pengaturan sistem keamanan secara nasional berupa UU Keamanan Nasional.
Peraturan ini dapat diposisikan menjadi “induk atau payung hukum” terhadap semua perundang-undangan yang sudah mengatur beberapa institusi pemerintahan pusat dan daerah (terutama TNI dan Polri) serta masyarakat dalam mengatasi semua bentuk ancaman nasional (M AS Hikam, 2016).
Dengan ada peraturan perundangan ini, pemerintah pusat dan daerah serta kelompok masyarakat dapat menjalankan perannya bersama-sama. Demikianlah halnya hubungan kelembagaan di antara aktor-aktor pelaksana fungsi pertahanan dan keamanan (khususnya TNI, Polri, dan BIN) perlu dibenahi kembali.
Ironisnya, bagaimana pengaturan kerja samanya dan pengorganisasian yang dilakukan agar sinkron, terintegrasi, dan optimal ternyata sampai sekarang masih belum tuntas. Masih banyak celah-celah tumpang tindih atau kegiatan-kegiatan yang tidak terkoordinasi selama ini terjadi di antara tiga lembaga ini. Bila tidak disinkronkan dengan baik, akan menimbulkan friksi-friksi hubungan yang tidak baik dan cenderung ego sektoral.
Aspek pengawasan terhadap dua institusi Polri dan BIN juga sampai sekarang belum jelas, sinkron, dan tuntas bagaimana pengaturannya. Untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas keamanan masing-masing lembaga secara internal perlu dilakukan pengawasan administrasi dan keuangan oleh suatu kementerian atau lembaga independen. TNI yang selama ini sudah jelas mendapat pengawasan tersebut dari Kementerian Pertahanan, tapi tidak demikian halnya dengan Polri.
Karena itu, faktanya sampai saat ini terdapat kesenjangan pengawasan karena Polri belum mendapat pengawasan yang optimal dari suatu kementerian (baru berupa pengawasan temporer dari Kompolnas). Sementara itu, BIN secara kelembagaan langsung bertanggung jawab kepada presiden tanpa ada pengawasan yang jelas oleh instansi tertentu. Kondisi ini secara psikologis memengaruhi hubungan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi yang baik di antara TNI, Polri, dan BIN.
Dengan demikian, sesungguhnya suatu UU Keamanan Nasional (Kamnas) sudah sangat urgen bagi keperluan menata hubungan kelembagaan di antara aktor-aktor pelaksana fungsi keamanan dan pertahanan ke depan. Nanti perangkat perundangan ini diharapkan dapat menyinergikan semua peraturan yang sudah ada secara terpadu dan terarah. Dalam UU tersebut diselenggarakan siskamnas sebagai suatu strategi raya (grand strategy) di tingkat nasional.
Berdasarkan undang-undang inilah berikutnya aturan pelaksanaan kerja sama termasuk dalam hal teknis menyangkut pengadaan senjata api bagi tiga lembaga di atas dapat dibenahi secara sinkron dan sinergis.
Sebagai panglima TNI yang baru, Marsekal Hadi Tjahjanto mendapatkan tantangan tersendiri ke depan untuk bersama-sama kepala Polri dan BIN dapat membenahi hubungan kelembagaan ini. Semoga soliditas TNI, Polri, dan BIN sebagaimana yang diharapkan benar-benar bisa terwujud secara optimal.
(maf)