Pengamat: Loyalitas Kader Perempuan Harus Jadi Faktor Insentif Partai
A
A
A
DEPOK - Dosen Ilmu Politik FISIP UI Dr Sri Budi Eko Wardhani (Dhani) mengeluhkan minimnya perempuan yang duduk di jajaran kepemimpinan puncak-puncak di parpol-parpol. Sejauh ini ada dua ketua umum, yakni dari PDIP dan PSI yang merupakan kader perempuan. Tetapi di partai lain tidak satupun yang duduk sebagai sekjen sekalipun.
“Ini menutup peluang perempuan untuk memengaruhi kebijakan parpol untuk pro kesetaraan gender,” ujar Sri Eko Wardhani di hadapan peserta Pendidikan Kader Khusus Perempuan Nasional (PKKPN) Angkatan 1 PDIP di Wisma Kinasih, Depok, Minggu (11/3/2018).
“Sementara kita tahu bahwa perempuan hampir tidak ada yang jadi kutu loncat, loyalitasnya tinggi. Faktor ini harusnya menjadi faktor keunggulan kader perempuan apalagi faktor loyalitas adalah paling pokok di dalam politik,” imbuh Dhani.
Kader perempuan, kata dia, memiliki keunggulan loyalitas tetapi sering tidak menjadi faktor insentif untuk promosi. Karena itu, Dhani berharap partai menciptakan kebijakan afirmasi terkait dua hal yaitu ekonomi berupa bantuan keuangan dan politik yaitu agar perempuan diberi nomor-nomor yang berpeluang terpilih (electable) di dapil basis partai.
“Kebijakan affirmasi oleh UU hanya akan efektif jika digenapi dengan kebijakan affirmasi internal parpol,” ucapnya.
Menurut Dhani, PDIP paling berpeluang untuk menambah perempuan di parlemen di berbagai tingkat tetapi jangan karena proses natural (elektabilitas yang meningkat). “PDI Perjuangan akan bisa mewujudkan politik berkeadaban apabila makin banyak perempuan di politik. Sekaranglah momentum tersebut,” tegasnya.
Di tempat sama, Sekretaris Badiklatpus Eva K Sundari mengatakan, berdasarkan hasil Pemilu 2014 lalu tingkat keterpilihan kader perempuan di DPR memang masih jauh dari harapan yakni sebanyak 97 perempuan atau 17,32% dari 560 kursi DPR yang diperebutkan 12 parpol peserta Pemilu 2014 di 77 daerah pemilihan (dapil).
Persentase itu jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya mengalami penurunan. Pada Pemilu 2009 yang juga menggunakan sistem proporsional terbuka atau suara terbanyak mencapai 18,3% (103 kursi).
“Ini menutup peluang perempuan untuk memengaruhi kebijakan parpol untuk pro kesetaraan gender,” ujar Sri Eko Wardhani di hadapan peserta Pendidikan Kader Khusus Perempuan Nasional (PKKPN) Angkatan 1 PDIP di Wisma Kinasih, Depok, Minggu (11/3/2018).
“Sementara kita tahu bahwa perempuan hampir tidak ada yang jadi kutu loncat, loyalitasnya tinggi. Faktor ini harusnya menjadi faktor keunggulan kader perempuan apalagi faktor loyalitas adalah paling pokok di dalam politik,” imbuh Dhani.
Kader perempuan, kata dia, memiliki keunggulan loyalitas tetapi sering tidak menjadi faktor insentif untuk promosi. Karena itu, Dhani berharap partai menciptakan kebijakan afirmasi terkait dua hal yaitu ekonomi berupa bantuan keuangan dan politik yaitu agar perempuan diberi nomor-nomor yang berpeluang terpilih (electable) di dapil basis partai.
“Kebijakan affirmasi oleh UU hanya akan efektif jika digenapi dengan kebijakan affirmasi internal parpol,” ucapnya.
Menurut Dhani, PDIP paling berpeluang untuk menambah perempuan di parlemen di berbagai tingkat tetapi jangan karena proses natural (elektabilitas yang meningkat). “PDI Perjuangan akan bisa mewujudkan politik berkeadaban apabila makin banyak perempuan di politik. Sekaranglah momentum tersebut,” tegasnya.
Di tempat sama, Sekretaris Badiklatpus Eva K Sundari mengatakan, berdasarkan hasil Pemilu 2014 lalu tingkat keterpilihan kader perempuan di DPR memang masih jauh dari harapan yakni sebanyak 97 perempuan atau 17,32% dari 560 kursi DPR yang diperebutkan 12 parpol peserta Pemilu 2014 di 77 daerah pemilihan (dapil).
Persentase itu jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya mengalami penurunan. Pada Pemilu 2009 yang juga menggunakan sistem proporsional terbuka atau suara terbanyak mencapai 18,3% (103 kursi).
(kri)