Cap Go Meh dan Multikulturalisme

Sabtu, 03 Maret 2018 - 08:00 WIB
Cap Go Meh dan Multikulturalisme
Cap Go Meh dan Multikulturalisme
A A A
Tom Saptaatmaja
Teolog, Penulis Artikel Perihal Tionghoa

Imlek merupakan tahun ba­ru paling unik karena di­ra­ya­kan selama 15 hari. Pada Ju­m­at, 16 Februari 2018, pem­b­ukaan Imlek 2569 sudah di­ra­ya­kan, sedangkan pen­ut­up­an­nya dilakukan pada hari ke-15 atau biasa disebut Cap Go Meh yang jatuh pada 2 atau 3 Maret 2018. Biasanya Cap Go Meh men­jadi festival kebudayaan atau perayaan keberagaman.

Di Jakarta tempo ”doeloe”, mi­­salnya, semua kelompok su­ku se­perti Arab, Jawa, dan ke­lom­pok lain muncul dalam aca­ra pa­wai Cap Go Meh. Generasi Tiong­hoa yang sudah tua boleh ja­di bi­sa berkisah tentang pesta ke­ber­samaan yang rukun dan gu­yub pa­da zaman dulu. Di­se­r­tai per­tun­jukan barongsai dan atrak­si liong, Cap Go Meh di Ja­kar­ta juga di­jadikan sarana un­tuk menolak ba­la seperti banjir, ba­dai, dan ben­cana alam lain, ser­ta me­mo­hon berkah bagi ke­se­lamatan dan kesejahteraan Indonesia.

Di kota-kota Surabaya atau Sing­kawang, sebelum peristiwa G30S/PKI 1965, Cap Go Meh ju­ga biasa dirayakan oleh segenap ­ele­men masyarakat baik Tiong­hoa maupun bukan. Semua beramai-ramai menyatu dalam ke­meriahan atraksi budaya. Po­kok­nya kemeriahan Cap Go Meh bisa dinikmati bersama oleh semua warga bangsa. Per­be­daan tak dipermasalahkan. Dan, itulah yang terjadi selama ra­tusan tahun di bumi Nu­san­tara sebelum keluar Inpres No­mor 14/1967 yang melarang Im­l­ek Cap Go Meh.

Cap Go Meh bisa dijadikan sak­­­si bahwa pernah ada har­mo­ni da­lam silang budaya antara et­­nis Tionghoa dan etnis-etnis lain di bumi Nusantara selama ber­­tahun-tahun. Perbedaan war­­na kulit tak pernah memicu kon­­flik rasial. Masing-masing ta­hu dan menghargai posisi yang lain. Da­lam konteks ini, et­nis Tionghoa se­lain menyerap da­ri yang lain, juga mem­be­ri­kan kon­tri­bu­si ser­ta sa­­l­ing me­menga­ruhi.

Simak saja da­lam ke­hi­dup­­an se­hari-hari, di­sa­dari atau ti­d­ak ada pe­nga­ruh Tiong­hoa. Dalam hal ma­kanan, mi­s­­­a­lnya tak ter­bi­­l­­ang ba­nyaknya ma­kan­an Chi­na yang kini menjadi ma­­kan­an fa­vo­rit banyak orang se­­per­ti mi, ke­cap, tahu, atau bak­­so. De­mi­kian halnya de­ngan s­o­to. Ma­kan­an yang ju­ga khas Chi­na itu telah men­jadi bagian dari ma­­kanan ma­sya­rakat In­do­ne­­sia. Di­sesuai­kan dengan li­dah orang In­do­ne­sia, lalu lahir va­­ri­an soto. Maka, ma­ri me­nyam­­but baik berbagai fes­tival ke­­b­u­da­yaan, termasuk fes­tival ku­­li­ner dalam rangka Cap Go Meh ta­hun ini.

Terkait perayaan Cap Go Meh, biasanya berbagai ke­luar­ga Tionghoa menyantap ma­kan­­an khas, yakni lontong Cap Go Meh. Jelas lontong ini me­ru­pa­kan hasil dari percampuran bu­daya China dengan Jawa. Se­lain lontong itu, jelas ada b­a­nyak hal yang merupakan hasil dari percampuran atau per­si­lang­an budaya antara China dan bu­daya lokal, sebagaimana bisa dibaca dalam buku karya De­n­nis Lombard, Nusa Jawa: Silang Bu­daya (Jakarta: Gramedia Pus­ta­ka Utama, 1996).
Cocok dengan Multikulturalisme
Jika dikaji, semua bentuk per­silangan itu cocok dengan wa­cana multikulturalisme yang d­alam dua dekade ini sering di­bi­ca­rakan baik di level akademis mau­pun di media kita.
Mu­lt­i­kul­­tu­ralisme adalah se­buah pah­am yang mengakui ada­nya per­b­e­da­an dalam ke­se­ta­ra­an baik secara ­in­dividual mau­pun ke­lompok da­lam kerangka ke­­bu­dayaan. Mul­tikulturalisme di In­donesia per­tama-tama me­mang meng­am­bil inspirasi dari Will Kym­licka (Liberalism Com­mu­nity and Cu­l­ture, 1989). Bing­kai ke­bu­da­ya­an ditaruh pada ke­sa­daran tiap orang untuk me­ra­jut hidup yang baik di tengah fak­ta ke­be­ra­gaman yang tak ter­ban­tahkan di te­ngah masyarakat.
Jadi multikulturalisme d­a­pat digambarkan sebagai se­buah mozaik yang sangat besar ter­diri dari semua kebudayaan dari semua komponen bangsa ini. Sebagai sebuah konsep, mul­ti­kulturalisme menjadi da­sar bagi tumbuhnya ma­sya­ra­kat sipil yang demokratis demi ter­wujudnya keteraturan sosial se­h­ingga bisa menjamin rasa aman bagi masyarakat untuk ke­mudian menjamin ke­lan­ca­r­an tata kehidupan masyarakat itu sendiri.

Karena itu, dari perayaan se­p­er­ti Cap Go Meh kita yang ber­asal dari latar belakang etnis dan agama berbeda se­sung­guh­nya sedang diajak me­lakukan pem­be­lajaran mul­ti­kul­tural. Mak­sud­nya, dari kenya­ta­an Cap Go Meh yang te­lah menjadi pe­ra­ya­an semua orang dari ber­­bagai latar belakang itu kita mau men­coba terus mem­ba­ngun ke­sa­daran sosial bahwa ki­ta tidak mung­kin lagi bisa m­e­no­lak ke­be­ragaman atau ke­ma­je­mukan. Ke­sadaran semacam ini ber­di­men­si etis bahwa dalam praksis hi­dup kita (terlebih pas­ca­pe­ra­ya­an Cap Go Meh) kita akan s­e­lalu menaruh hormat ke­pa­da yang lain dan yang be­r­be­da. Michel de Certeau me­nye­but­­nya heterologi (Heterologies: Dis­­course on the Other, Man­ches­­ter University Press, 1986).

Saling Memperkaya
Dengan demikian, kita akan men­jadi orang yang selalu bisa ber­lapang dada dalam me­ne­ri­ma yang lain dengan segala per­b­e­daan dan keberadaannya. Ki­ta tidak akan alergi pada per­be­d­a­an, karena perbedaan adalah ka­runia Sang Pencipta agar kita se­mua bisa saling mengenal, sa­ling memperkaya, saling mem­ba­ngun kerja sama bagi ter­wu­jud­nya kesejahteraan bersama.
Bethany Bryson (2006), pro­fesor dari Universitas Virginia, AS, mengungkapkan, dalam se­buah masyarakat multibudaya (se­perti masyarakat kita), masing-masing elemen atau kom­ponen tidak bisa saling me­nge­cualikan (mutually exclu­sive), tapi harus saling mengisi dan saling mengapresiasi. Da­lam masyarakat yang punya se­ma­ngat multikulturalisme, rasa su­perior pada pihak lain adalah se­buah pamali. Gagasan ini jelas co­cok dengan slogan ”Bhinneka Tung­gal Ika”. Slogan ini diambil dari Kakawin Sutasoma karya Em­pu Tantular (1380, yang leng­kapnya tertulis ”Bhinneka tung­gal ika, tan hana dharma meng­rwa” (Berbeda-beda cara ber­aga­ma, tetapi semuanya satu).

Belakangan, di Indonesia yang menjadi rumah bagi kita, ma­rak dengan berbagai anasir yang alergi, bahkan anti ter­ha­dap perbedaan. Terlebih men­je­lang pilkada serentak tahun ini, juga Pemilu 2019, ada sebagian ka­langan yang justru me­man­faat­kan politik identitas atau SARA (suku, agama, ras dan an­targolongan). Berita hoa ks dan ujaran kebencian menjadi da­gang­an, bahkan ”orang gila” di­man­faatkan untuk menebar te­r­or dan melakukan serangan ke ber­bagai tokoh agama. Ada upa­ya sistematis untuk mengadu dom­ba sesama anak bangsa.

Jelas semua itu berten­tang­an dengan multikulturalisme, Bhin­neka Tunggal Ika dan d­e­mo­­krasi yang tengah kita ba­ngun. Semoga Cap Go Meh kali ini bisa jadi pengingat lagi bah­wa NKRI hanya bisa maju, se­jah­tera, dan damai jika setiap ke­lompok suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sung­guh mau saling menghargai per­bedaan dengan ikhlas se­hing­ga masing-masing lebih fo­kus untuk memberikan kon­tri­bu­si positif bagi kemajuan bang­sa. Bersatu kita teguh, ber­c­e­rai kita runtuh.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0730 seconds (0.1#10.140)