Cap Go Meh dan Multikulturalisme
A
A
A
Tom Saptaatmaja
Teolog, Penulis Artikel Perihal Tionghoa
Imlek merupakan tahun baru paling unik karena dirayakan selama 15 hari. Pada Jumat, 16 Februari 2018, pembukaan Imlek 2569 sudah dirayakan, sedangkan penutupannya dilakukan pada hari ke-15 atau biasa disebut Cap Go Meh yang jatuh pada 2 atau 3 Maret 2018. Biasanya Cap Go Meh menjadi festival kebudayaan atau perayaan keberagaman.
Di Jakarta tempo ”doeloe”, misalnya, semua kelompok suku seperti Arab, Jawa, dan kelompok lain muncul dalam acara pawai Cap Go Meh. Generasi Tionghoa yang sudah tua boleh jadi bisa berkisah tentang pesta kebersamaan yang rukun dan guyub pada zaman dulu. Disertai pertunjukan barongsai dan atraksi liong, Cap Go Meh di Jakarta juga dijadikan sarana untuk menolak bala seperti banjir, badai, dan bencana alam lain, serta memohon berkah bagi keselamatan dan kesejahteraan Indonesia.
Di kota-kota Surabaya atau Singkawang, sebelum peristiwa G30S/PKI 1965, Cap Go Meh juga biasa dirayakan oleh segenap elemen masyarakat baik Tionghoa maupun bukan. Semua beramai-ramai menyatu dalam kemeriahan atraksi budaya. Pokoknya kemeriahan Cap Go Meh bisa dinikmati bersama oleh semua warga bangsa. Perbedaan tak dipermasalahkan. Dan, itulah yang terjadi selama ratusan tahun di bumi Nusantara sebelum keluar Inpres Nomor 14/1967 yang melarang Imlek Cap Go Meh.
Cap Go Meh bisa dijadikan saksi bahwa pernah ada harmoni dalam silang budaya antara etnis Tionghoa dan etnis-etnis lain di bumi Nusantara selama bertahun-tahun. Perbedaan warna kulit tak pernah memicu konflik rasial. Masing-masing tahu dan menghargai posisi yang lain. Dalam konteks ini, etnis Tionghoa selain menyerap dari yang lain, juga memberikan kontribusi serta saling memengaruhi.
Simak saja dalam kehidupan sehari-hari, disadari atau tidak ada pengaruh Tionghoa. Dalam hal makanan, misalnya tak terbilang banyaknya makanan China yang kini menjadi makanan favorit banyak orang seperti mi, kecap, tahu, atau bakso. Demikian halnya dengan soto. Makanan yang juga khas China itu telah menjadi bagian dari makanan masyarakat Indonesia. Disesuaikan dengan lidah orang Indonesia, lalu lahir varian soto. Maka, mari menyambut baik berbagai festival kebudayaan, termasuk festival kuliner dalam rangka Cap Go Meh tahun ini.
Terkait perayaan Cap Go Meh, biasanya berbagai keluarga Tionghoa menyantap makanan khas, yakni lontong Cap Go Meh. Jelas lontong ini merupakan hasil dari percampuran budaya China dengan Jawa. Selain lontong itu, jelas ada banyak hal yang merupakan hasil dari percampuran atau persilangan budaya antara China dan budaya lokal, sebagaimana bisa dibaca dalam buku karya Dennis Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996).
Cocok dengan Multikulturalisme
Jika dikaji, semua bentuk persilangan itu cocok dengan wacana multikulturalisme yang dalam dua dekade ini sering dibicarakan baik di level akademis maupun di media kita.
Multikulturalisme adalah sebuah paham yang mengakui adanya perbedaan dalam kesetaraan baik secara individual maupun kelompok dalam kerangka kebudayaan. Multikulturalisme di Indonesia pertama-tama memang mengambil inspirasi dari Will Kymlicka (Liberalism Community and Culture, 1989). Bingkai kebudayaan ditaruh pada kesadaran tiap orang untuk merajut hidup yang baik di tengah fakta keberagaman yang tak terbantahkan di tengah masyarakat.
Jadi multikulturalisme dapat digambarkan sebagai sebuah mozaik yang sangat besar terdiri dari semua kebudayaan dari semua komponen bangsa ini. Sebagai sebuah konsep, multikulturalisme menjadi dasar bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang demokratis demi terwujudnya keteraturan sosial sehingga bisa menjamin rasa aman bagi masyarakat untuk kemudian menjamin kelancaran tata kehidupan masyarakat itu sendiri.
Karena itu, dari perayaan seperti Cap Go Meh kita yang berasal dari latar belakang etnis dan agama berbeda sesungguhnya sedang diajak melakukan pembelajaran multikultural. Maksudnya, dari kenyataan Cap Go Meh yang telah menjadi perayaan semua orang dari berbagai latar belakang itu kita mau mencoba terus membangun kesadaran sosial bahwa kita tidak mungkin lagi bisa menolak keberagaman atau kemajemukan. Kesadaran semacam ini berdimensi etis bahwa dalam praksis hidup kita (terlebih pascaperayaan Cap Go Meh) kita akan selalu menaruh hormat kepada yang lain dan yang berbeda. Michel de Certeau menyebutnya heterologi (Heterologies: Discourse on the Other, Manchester University Press, 1986).
Saling Memperkaya
Dengan demikian, kita akan menjadi orang yang selalu bisa berlapang dada dalam menerima yang lain dengan segala perbedaan dan keberadaannya. Kita tidak akan alergi pada perbedaan, karena perbedaan adalah karunia Sang Pencipta agar kita semua bisa saling mengenal, saling memperkaya, saling membangun kerja sama bagi terwujudnya kesejahteraan bersama.
Bethany Bryson (2006), profesor dari Universitas Virginia, AS, mengungkapkan, dalam sebuah masyarakat multibudaya (seperti masyarakat kita), masing-masing elemen atau komponen tidak bisa saling mengecualikan (mutually exclusive), tapi harus saling mengisi dan saling mengapresiasi. Dalam masyarakat yang punya semangat multikulturalisme, rasa superior pada pihak lain adalah sebuah pamali. Gagasan ini jelas cocok dengan slogan ”Bhinneka Tunggal Ika”. Slogan ini diambil dari Kakawin Sutasoma karya Empu Tantular (1380, yang lengkapnya tertulis ”Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mengrwa” (Berbeda-beda cara beragama, tetapi semuanya satu).
Belakangan, di Indonesia yang menjadi rumah bagi kita, marak dengan berbagai anasir yang alergi, bahkan anti terhadap perbedaan. Terlebih menjelang pilkada serentak tahun ini, juga Pemilu 2019, ada sebagian kalangan yang justru memanfaatkan politik identitas atau SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Berita hoa ks dan ujaran kebencian menjadi dagangan, bahkan ”orang gila” dimanfaatkan untuk menebar teror dan melakukan serangan ke berbagai tokoh agama. Ada upaya sistematis untuk mengadu domba sesama anak bangsa.
Jelas semua itu bertentangan dengan multikulturalisme, Bhinneka Tunggal Ika dan demokrasi yang tengah kita bangun. Semoga Cap Go Meh kali ini bisa jadi pengingat lagi bahwa NKRI hanya bisa maju, sejahtera, dan damai jika setiap kelompok suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sungguh mau saling menghargai perbedaan dengan ikhlas sehingga masing-masing lebih fokus untuk memberikan kontribusi positif bagi kemajuan bangsa. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Teolog, Penulis Artikel Perihal Tionghoa
Imlek merupakan tahun baru paling unik karena dirayakan selama 15 hari. Pada Jumat, 16 Februari 2018, pembukaan Imlek 2569 sudah dirayakan, sedangkan penutupannya dilakukan pada hari ke-15 atau biasa disebut Cap Go Meh yang jatuh pada 2 atau 3 Maret 2018. Biasanya Cap Go Meh menjadi festival kebudayaan atau perayaan keberagaman.
Di Jakarta tempo ”doeloe”, misalnya, semua kelompok suku seperti Arab, Jawa, dan kelompok lain muncul dalam acara pawai Cap Go Meh. Generasi Tionghoa yang sudah tua boleh jadi bisa berkisah tentang pesta kebersamaan yang rukun dan guyub pada zaman dulu. Disertai pertunjukan barongsai dan atraksi liong, Cap Go Meh di Jakarta juga dijadikan sarana untuk menolak bala seperti banjir, badai, dan bencana alam lain, serta memohon berkah bagi keselamatan dan kesejahteraan Indonesia.
Di kota-kota Surabaya atau Singkawang, sebelum peristiwa G30S/PKI 1965, Cap Go Meh juga biasa dirayakan oleh segenap elemen masyarakat baik Tionghoa maupun bukan. Semua beramai-ramai menyatu dalam kemeriahan atraksi budaya. Pokoknya kemeriahan Cap Go Meh bisa dinikmati bersama oleh semua warga bangsa. Perbedaan tak dipermasalahkan. Dan, itulah yang terjadi selama ratusan tahun di bumi Nusantara sebelum keluar Inpres Nomor 14/1967 yang melarang Imlek Cap Go Meh.
Cap Go Meh bisa dijadikan saksi bahwa pernah ada harmoni dalam silang budaya antara etnis Tionghoa dan etnis-etnis lain di bumi Nusantara selama bertahun-tahun. Perbedaan warna kulit tak pernah memicu konflik rasial. Masing-masing tahu dan menghargai posisi yang lain. Dalam konteks ini, etnis Tionghoa selain menyerap dari yang lain, juga memberikan kontribusi serta saling memengaruhi.
Simak saja dalam kehidupan sehari-hari, disadari atau tidak ada pengaruh Tionghoa. Dalam hal makanan, misalnya tak terbilang banyaknya makanan China yang kini menjadi makanan favorit banyak orang seperti mi, kecap, tahu, atau bakso. Demikian halnya dengan soto. Makanan yang juga khas China itu telah menjadi bagian dari makanan masyarakat Indonesia. Disesuaikan dengan lidah orang Indonesia, lalu lahir varian soto. Maka, mari menyambut baik berbagai festival kebudayaan, termasuk festival kuliner dalam rangka Cap Go Meh tahun ini.
Terkait perayaan Cap Go Meh, biasanya berbagai keluarga Tionghoa menyantap makanan khas, yakni lontong Cap Go Meh. Jelas lontong ini merupakan hasil dari percampuran budaya China dengan Jawa. Selain lontong itu, jelas ada banyak hal yang merupakan hasil dari percampuran atau persilangan budaya antara China dan budaya lokal, sebagaimana bisa dibaca dalam buku karya Dennis Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996).
Cocok dengan Multikulturalisme
Jika dikaji, semua bentuk persilangan itu cocok dengan wacana multikulturalisme yang dalam dua dekade ini sering dibicarakan baik di level akademis maupun di media kita.
Multikulturalisme adalah sebuah paham yang mengakui adanya perbedaan dalam kesetaraan baik secara individual maupun kelompok dalam kerangka kebudayaan. Multikulturalisme di Indonesia pertama-tama memang mengambil inspirasi dari Will Kymlicka (Liberalism Community and Culture, 1989). Bingkai kebudayaan ditaruh pada kesadaran tiap orang untuk merajut hidup yang baik di tengah fakta keberagaman yang tak terbantahkan di tengah masyarakat.
Jadi multikulturalisme dapat digambarkan sebagai sebuah mozaik yang sangat besar terdiri dari semua kebudayaan dari semua komponen bangsa ini. Sebagai sebuah konsep, multikulturalisme menjadi dasar bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang demokratis demi terwujudnya keteraturan sosial sehingga bisa menjamin rasa aman bagi masyarakat untuk kemudian menjamin kelancaran tata kehidupan masyarakat itu sendiri.
Karena itu, dari perayaan seperti Cap Go Meh kita yang berasal dari latar belakang etnis dan agama berbeda sesungguhnya sedang diajak melakukan pembelajaran multikultural. Maksudnya, dari kenyataan Cap Go Meh yang telah menjadi perayaan semua orang dari berbagai latar belakang itu kita mau mencoba terus membangun kesadaran sosial bahwa kita tidak mungkin lagi bisa menolak keberagaman atau kemajemukan. Kesadaran semacam ini berdimensi etis bahwa dalam praksis hidup kita (terlebih pascaperayaan Cap Go Meh) kita akan selalu menaruh hormat kepada yang lain dan yang berbeda. Michel de Certeau menyebutnya heterologi (Heterologies: Discourse on the Other, Manchester University Press, 1986).
Saling Memperkaya
Dengan demikian, kita akan menjadi orang yang selalu bisa berlapang dada dalam menerima yang lain dengan segala perbedaan dan keberadaannya. Kita tidak akan alergi pada perbedaan, karena perbedaan adalah karunia Sang Pencipta agar kita semua bisa saling mengenal, saling memperkaya, saling membangun kerja sama bagi terwujudnya kesejahteraan bersama.
Bethany Bryson (2006), profesor dari Universitas Virginia, AS, mengungkapkan, dalam sebuah masyarakat multibudaya (seperti masyarakat kita), masing-masing elemen atau komponen tidak bisa saling mengecualikan (mutually exclusive), tapi harus saling mengisi dan saling mengapresiasi. Dalam masyarakat yang punya semangat multikulturalisme, rasa superior pada pihak lain adalah sebuah pamali. Gagasan ini jelas cocok dengan slogan ”Bhinneka Tunggal Ika”. Slogan ini diambil dari Kakawin Sutasoma karya Empu Tantular (1380, yang lengkapnya tertulis ”Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mengrwa” (Berbeda-beda cara beragama, tetapi semuanya satu).
Belakangan, di Indonesia yang menjadi rumah bagi kita, marak dengan berbagai anasir yang alergi, bahkan anti terhadap perbedaan. Terlebih menjelang pilkada serentak tahun ini, juga Pemilu 2019, ada sebagian kalangan yang justru memanfaatkan politik identitas atau SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Berita hoa ks dan ujaran kebencian menjadi dagangan, bahkan ”orang gila” dimanfaatkan untuk menebar teror dan melakukan serangan ke berbagai tokoh agama. Ada upaya sistematis untuk mengadu domba sesama anak bangsa.
Jelas semua itu bertentangan dengan multikulturalisme, Bhinneka Tunggal Ika dan demokrasi yang tengah kita bangun. Semoga Cap Go Meh kali ini bisa jadi pengingat lagi bahwa NKRI hanya bisa maju, sejahtera, dan damai jika setiap kelompok suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sungguh mau saling menghargai perbedaan dengan ikhlas sehingga masing-masing lebih fokus untuk memberikan kontribusi positif bagi kemajuan bangsa. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
(mhd)