Memaknai Teguran Presiden
A
A
A
Nurkhamid Alfi
Profesional pada Power & Infrastruktur, Alumni Universitas Muhammadiyah Surakarta
MASIH terngiang bagaimana marahnya Presiden Jokowi saat membuka rapat kerja Kementerian Perdagangan di Istana Merdeka pada 31 Januari lalu. Bahkan Presiden sampai mengancam akan membubarkan atase perdagangan dan Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) jika ke depannya tidak ada perubahan signifikan. Ancaman ini bisa ditangkap sebagai sinyal kegelisahan Presiden mengingat infrastruktur yang sedang dibangun dan telah menelan dana triliunan akan “mangkrak” dan menjadikan overheating economy karena kurang memberikan nilai tambah pada pertumbuhan ekonomi.
Latar belakang dari kemarahan itu adalah volume perdagangan Indonesia dalam percaturan dunia tidak kunjung membaik, bahkan menurun jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga dan investasi ke dalam negeri juga belum menggembirakan walaupun pemerintah telah menerbitkan belasan paket kebijakan ekonomi yang sebagian besar bertujuan mempermudah perizinan kegiatan investasi. Pemerintah juga telah berjibaku membangun fasilitas investasi berupa ketersediaan infrastruktur yang dilakukan secara masif.
Kegelisahan pemerintah sangat masuk akal karena jika kedua program tersebut, yakni volume ekspor dan investasi, tidak mencapai target, bisa dipastikan perekonomian Indonesia akan menjadi masalah. Ekspor dan investasi menjadi tumpuan dan strategi Presiden Jokowi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga capaiannya tidak melulu di angka konservatif. Di samping itu menurunkan tingkat kemiskinan dengan menambah jumlah lapangan kerja. Itulah sebabnya Presiden Jokowi mengarahkan segala kemampuannya untuk mendukung tercapainya peningkatan volume ekspor serta masuknya investor asing dalam memperkuat mata rantai produksi dan kapasitasnya di dalam negeri.
Ujung tombak dari berhasil tidaknya target itu adalah kemampuan Departemen Perdagangan dan atase perdagangan luar negeri dalam menjalankan peran agen negara pada percaturan dagang internasional.
Akselerasi Industri Manufaktur
Seperti diketahui bahwa tolok ukur utama keberhasilan pada ekonomi makro adalah tingkat pertumbuhan ekonomi, jumlah pengangguran, keseimbangan neraca pembayaran, dan laju inflasi. Negara akan stabil perekonomiannya jika mampu menata unsur-unsur ekonomi makro tersebut secara baik.
Sayangnya untuk sampai sekarang Indonesia masih banyak mengalami kendala. Pertumbuhan ekonomi yang ditarget sebesar 5,4% di tahun 2018 masih mengandalkan konsumsi rumah tangga. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dalam lima tahun terakhir, sumbangan konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) rata-rata masih tinggi, mencapai 57%. Ini pertumbuhan yang rapuh dan mengkhawatirkan karena tidak diimbangi dengan capaian kinerja industri manufaktur. Memang ada kenaikan capaian dari tahun ke tahun di industri manufaktur, tetapi tidak signifikan.
Bahkan tumbuhnya ekspor Indonesia tidak didasarkan pada mata-rantai peningkatan industri manufaktur yang stabil, tetapi disebabkan lonjakan harga komoditas. Ketidakstabilan ini bisa dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Pada 2016 nilai tambah industri manufaktur menyumbang 20,5% terhadap PDB, naik 2,4% dari 2015 yang mencapai 18,1%. Tapi di periode triwulan III/2017 bahkan tergerus menjadi 19,9%. Hal ini yang dikhawatirkan banyak pihak sebagai sinyal adanya tren menuju deindustrialisasi.
Di samping itu capaian industri manufaktur juga tidak berkualitas karena output -nya masih didominasi produk-produk berteknologi rendah yang tecermin dari besarnya sumbangan industri makanan terhadap total ekspor hasil industri. Struktur ekspor barang kita adalah 70% dari tambang dan kebun yang tidak ada nilai tambahnya dan 30% yang berbentuk produk manufaktur, termasuk di dalamnya industri makanan. Hal ini berbeda kualitasnya daripada negara tetangga kita, termasuk Vietnam sekalipun yang baru saja muncul dalam percaturan dagang dunia, tetapi mampu mengekspor barang berupa manufaktur sekitar 76% dari volume ekspornya.
Vietnam ini negara yang dijadikan contoh oleh Presiden Jokowi sehingga selalu memantik amarahnya. Bukan Singapura atau Thailand dan Malaysia yang terlalu maju untuk kita. Seperti yang dipublikasikan Center for Public Policy Transformation, sebuah lembaga riset independen, Vietnam telah memulai memperbaiki iklim investasi dan industri dengan menciptakan sistem pelayanan terpadu sejak 1994 yang disebut sebagai One Door Department.
Akselerasi industri manufaktur adalah keniscayaan karena mampu menjadi kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas secara berkesinambungan. Dengan industri manufaktur, pertumbuhan akan merata dan stabil serta penyerapan tenaga kerja lebih besar sehingga konsumsi rumah tangga bisa turut terakselerasi.
Dalam rangka penguatan industri manufaktur, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah menghindari adanya stagnasi karena kurangnya insentif dan lingkungan pasar yang tidak mendukung. Oleh karena itu pembentukan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) sangat penting dan strategis bagi pemerintah untuk memberikan perlakukan khusus agar industri baru bisa berkembang sebagaimana mestinya.
Hal yang sama juga terjadi pada dunia investasi. Presiden pantas marah terhadap jajarannya. Upaya Presiden untuk meningkatkan minat investasi belum maksimal karena pertumbuhan investasi dalam dua tahun terakhir cenderung stagnan. Pada 2017 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat adanya penanaman modal baru untuk investasi mencapai Rp692,8 triliun dengan penanaman modal asing (PMA) sebesar 430,5 triliun. Atau meningkat 13,1% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tapi hal ini tidak menggembirakan. Karena pertumbuhan investasi justru cenderung turun daripada tahun sebelumnya. Pada 2010 investasi tumbuh 20,5%. Bahkan pernah terjadi lonjakan investasi pada 2013 sebesar 27,3%.
Persaingan dalam merebut investor asing bahkan lebih rumit bila dibandingkan dengan peningkatan volume ekspor. Seperti yang dilansir Bank Dunia, ada 3 negara ASEAN baru yang pertumbuhannya akan cepat, bahkan mencapai 7%, yakni Kamboja, Laos, dan Myanmar. Kalkulasi tersebut berdasarkan peningkatan infrastruktur dan diversifikasi ekonomi yang mereka lakukan belakangan ini untuk menjadi the new emerging market. Mereka akan mengikuti Vietnam yang telah berhasil mengubah ekonominya dengan memikat investasi asing demi menopang kapasitas ekspor mereka. Ketiganya telah menggandeng China yang meningkatkan investasi mulai dari infrastruktur, jaringan transportasi hingga properti.
Setelah menanggalkan sistem pemerintahan junta militer, Myanmar melakukan liberalisasi ekonomi dan mengadopsi reformasi pasar seiring dengan transisi menuju demokrasi. Dan China merupakan mitra dagang terbesar dengan membangun zona ekonomi khusus, pembangkit listrik, dan pelabuhan di pantai barat. Sementara Laos, sesuai dengan data dari Global Construction Review, baru saja melanjutkan proyek kereta api dengan China di Laos Utara dengan kontrak sebesar Rp75 triliun. Adapun Kamboja menjadi daya tarik khusus bagi produsen China yang merelokasi pabriknya sehingga dengan mudah melakukan ekspor di pasar ASEAN.
Pada acara ASEAN Investment Forum pada 2011, sejatinya persaingan antarnegara ASEAN untuk menarik minat investor asing dimulai. Forum itu bukan ajang membagi “kue” investasi dari negara maju, tetapi menciptakan free flow of investment dengan memetakan terlebih dahulu adanya arus masuk modal melalui foreign direct investment. Mereka berlomba dengan usaha promosi investasi, pelayanan investasi, afer-care for investment sampai pada insentif fiskal dan nonfiskal.
Oleh karenanya pengaturan yang lebih serius akan tata-kelola ekonomi secara keseluruhan sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan lemahnya daya saing ekspor dan investasi ke dalam negeri agar tidak terjadi implikasi buruk pada pembangunan nasional.
Profesional pada Power & Infrastruktur, Alumni Universitas Muhammadiyah Surakarta
MASIH terngiang bagaimana marahnya Presiden Jokowi saat membuka rapat kerja Kementerian Perdagangan di Istana Merdeka pada 31 Januari lalu. Bahkan Presiden sampai mengancam akan membubarkan atase perdagangan dan Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) jika ke depannya tidak ada perubahan signifikan. Ancaman ini bisa ditangkap sebagai sinyal kegelisahan Presiden mengingat infrastruktur yang sedang dibangun dan telah menelan dana triliunan akan “mangkrak” dan menjadikan overheating economy karena kurang memberikan nilai tambah pada pertumbuhan ekonomi.
Latar belakang dari kemarahan itu adalah volume perdagangan Indonesia dalam percaturan dunia tidak kunjung membaik, bahkan menurun jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga dan investasi ke dalam negeri juga belum menggembirakan walaupun pemerintah telah menerbitkan belasan paket kebijakan ekonomi yang sebagian besar bertujuan mempermudah perizinan kegiatan investasi. Pemerintah juga telah berjibaku membangun fasilitas investasi berupa ketersediaan infrastruktur yang dilakukan secara masif.
Kegelisahan pemerintah sangat masuk akal karena jika kedua program tersebut, yakni volume ekspor dan investasi, tidak mencapai target, bisa dipastikan perekonomian Indonesia akan menjadi masalah. Ekspor dan investasi menjadi tumpuan dan strategi Presiden Jokowi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga capaiannya tidak melulu di angka konservatif. Di samping itu menurunkan tingkat kemiskinan dengan menambah jumlah lapangan kerja. Itulah sebabnya Presiden Jokowi mengarahkan segala kemampuannya untuk mendukung tercapainya peningkatan volume ekspor serta masuknya investor asing dalam memperkuat mata rantai produksi dan kapasitasnya di dalam negeri.
Ujung tombak dari berhasil tidaknya target itu adalah kemampuan Departemen Perdagangan dan atase perdagangan luar negeri dalam menjalankan peran agen negara pada percaturan dagang internasional.
Akselerasi Industri Manufaktur
Seperti diketahui bahwa tolok ukur utama keberhasilan pada ekonomi makro adalah tingkat pertumbuhan ekonomi, jumlah pengangguran, keseimbangan neraca pembayaran, dan laju inflasi. Negara akan stabil perekonomiannya jika mampu menata unsur-unsur ekonomi makro tersebut secara baik.
Sayangnya untuk sampai sekarang Indonesia masih banyak mengalami kendala. Pertumbuhan ekonomi yang ditarget sebesar 5,4% di tahun 2018 masih mengandalkan konsumsi rumah tangga. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dalam lima tahun terakhir, sumbangan konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) rata-rata masih tinggi, mencapai 57%. Ini pertumbuhan yang rapuh dan mengkhawatirkan karena tidak diimbangi dengan capaian kinerja industri manufaktur. Memang ada kenaikan capaian dari tahun ke tahun di industri manufaktur, tetapi tidak signifikan.
Bahkan tumbuhnya ekspor Indonesia tidak didasarkan pada mata-rantai peningkatan industri manufaktur yang stabil, tetapi disebabkan lonjakan harga komoditas. Ketidakstabilan ini bisa dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Pada 2016 nilai tambah industri manufaktur menyumbang 20,5% terhadap PDB, naik 2,4% dari 2015 yang mencapai 18,1%. Tapi di periode triwulan III/2017 bahkan tergerus menjadi 19,9%. Hal ini yang dikhawatirkan banyak pihak sebagai sinyal adanya tren menuju deindustrialisasi.
Di samping itu capaian industri manufaktur juga tidak berkualitas karena output -nya masih didominasi produk-produk berteknologi rendah yang tecermin dari besarnya sumbangan industri makanan terhadap total ekspor hasil industri. Struktur ekspor barang kita adalah 70% dari tambang dan kebun yang tidak ada nilai tambahnya dan 30% yang berbentuk produk manufaktur, termasuk di dalamnya industri makanan. Hal ini berbeda kualitasnya daripada negara tetangga kita, termasuk Vietnam sekalipun yang baru saja muncul dalam percaturan dagang dunia, tetapi mampu mengekspor barang berupa manufaktur sekitar 76% dari volume ekspornya.
Vietnam ini negara yang dijadikan contoh oleh Presiden Jokowi sehingga selalu memantik amarahnya. Bukan Singapura atau Thailand dan Malaysia yang terlalu maju untuk kita. Seperti yang dipublikasikan Center for Public Policy Transformation, sebuah lembaga riset independen, Vietnam telah memulai memperbaiki iklim investasi dan industri dengan menciptakan sistem pelayanan terpadu sejak 1994 yang disebut sebagai One Door Department.
Akselerasi industri manufaktur adalah keniscayaan karena mampu menjadi kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas secara berkesinambungan. Dengan industri manufaktur, pertumbuhan akan merata dan stabil serta penyerapan tenaga kerja lebih besar sehingga konsumsi rumah tangga bisa turut terakselerasi.
Dalam rangka penguatan industri manufaktur, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah menghindari adanya stagnasi karena kurangnya insentif dan lingkungan pasar yang tidak mendukung. Oleh karena itu pembentukan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) sangat penting dan strategis bagi pemerintah untuk memberikan perlakukan khusus agar industri baru bisa berkembang sebagaimana mestinya.
Hal yang sama juga terjadi pada dunia investasi. Presiden pantas marah terhadap jajarannya. Upaya Presiden untuk meningkatkan minat investasi belum maksimal karena pertumbuhan investasi dalam dua tahun terakhir cenderung stagnan. Pada 2017 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat adanya penanaman modal baru untuk investasi mencapai Rp692,8 triliun dengan penanaman modal asing (PMA) sebesar 430,5 triliun. Atau meningkat 13,1% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tapi hal ini tidak menggembirakan. Karena pertumbuhan investasi justru cenderung turun daripada tahun sebelumnya. Pada 2010 investasi tumbuh 20,5%. Bahkan pernah terjadi lonjakan investasi pada 2013 sebesar 27,3%.
Persaingan dalam merebut investor asing bahkan lebih rumit bila dibandingkan dengan peningkatan volume ekspor. Seperti yang dilansir Bank Dunia, ada 3 negara ASEAN baru yang pertumbuhannya akan cepat, bahkan mencapai 7%, yakni Kamboja, Laos, dan Myanmar. Kalkulasi tersebut berdasarkan peningkatan infrastruktur dan diversifikasi ekonomi yang mereka lakukan belakangan ini untuk menjadi the new emerging market. Mereka akan mengikuti Vietnam yang telah berhasil mengubah ekonominya dengan memikat investasi asing demi menopang kapasitas ekspor mereka. Ketiganya telah menggandeng China yang meningkatkan investasi mulai dari infrastruktur, jaringan transportasi hingga properti.
Setelah menanggalkan sistem pemerintahan junta militer, Myanmar melakukan liberalisasi ekonomi dan mengadopsi reformasi pasar seiring dengan transisi menuju demokrasi. Dan China merupakan mitra dagang terbesar dengan membangun zona ekonomi khusus, pembangkit listrik, dan pelabuhan di pantai barat. Sementara Laos, sesuai dengan data dari Global Construction Review, baru saja melanjutkan proyek kereta api dengan China di Laos Utara dengan kontrak sebesar Rp75 triliun. Adapun Kamboja menjadi daya tarik khusus bagi produsen China yang merelokasi pabriknya sehingga dengan mudah melakukan ekspor di pasar ASEAN.
Pada acara ASEAN Investment Forum pada 2011, sejatinya persaingan antarnegara ASEAN untuk menarik minat investor asing dimulai. Forum itu bukan ajang membagi “kue” investasi dari negara maju, tetapi menciptakan free flow of investment dengan memetakan terlebih dahulu adanya arus masuk modal melalui foreign direct investment. Mereka berlomba dengan usaha promosi investasi, pelayanan investasi, afer-care for investment sampai pada insentif fiskal dan nonfiskal.
Oleh karenanya pengaturan yang lebih serius akan tata-kelola ekonomi secara keseluruhan sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan lemahnya daya saing ekspor dan investasi ke dalam negeri agar tidak terjadi implikasi buruk pada pembangunan nasional.
(pur)