PSI Akan Ajukan Uji Materi Undang-Undang MD3 ke MK
A
A
A
JAKARTA - Gelombang penolakan terus disuarakan sejumlah elemen masyarakat menyikapi revisi Undang-Undang MD3 (MPR, DPD, DPR dan DPRD) yang disahkan DPR. Penolakan juga dilakukan DPP Partai Solidaritas Indonesia (PPI).
PSI melalui Jaringan Advokasi Rakyat (Jangkar Solidaritas) akan mengajukan uji materi atau gugatan UU MD3 ke Mahkamah Kontitusi (MK). Gugatan itu akan didaftarkan pada Jumat 23 Februari 2018 mendatang.
Gugatan ini juga diajukan setelah mengetahui hasil polling di akun media sosial PSI yang menyatakan 91% responden mendukung pengajuan gugatan tersebut. Karena desakan publik yang tercermin dari hasil polling, PSI mewakili kepentingan anggota dan publik akan ke MK.
Ketua Umum PSI, Grace Natalie menganggap gugatan itu dilayangkan karena UU MD3 hasil revisi tersebut menciderai demokrasi. "Para anggota DPR itu memperlihatkan watak mereka yang menutup diri terhadap suara kritis rakyat sebagai konstituen," ujar Grace dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/2/2018).
Sementara itu, Kamaruddin dari Jangkar Solidaritas menyoroti bahwa Pasal 122 huruf k dapat membuat rakyat takut untuk mengkritik DPR di tengah kinerja mereka yang terpuruk.
"Bahwa pada prinsipnya kami sepakat semua kehormatan dan nama baik seseorang manusia harus kita hormati. Semua kehormatan dan nama baik seluruh rakyat kita jaga, apalagi kehormatan dan nama baik DPR. Tetapi jangan sampai anggota DPR seluruh Indonesia memakai lembaga kehormatan perwakilan rakyat Indonesia untuk mengkriminalkan rakyatnya sendiri," jelas dia.
Bagi PSI, sejumlah pasal kontroversial dalam revisi UU MD3 yang disahkan DPR dan pemerintah akan menjadikan DPR sebagai lembaga yang adikuasa, antikritik, dan kebal hukum.
Beberapa pasal kontroversial tersebut adalah Pasal 73, mengenai permintaan DPR kepada Polri untuk memanggil paksa, bahkan dapat dengan penyanderaan, setiap orang yang menolak memenuhi panggilan para anggota dewan, serta Polri wajib memenuhi permintaan tersebut. Pasal 122 huruf k, mengenai wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum kepada siapapun yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.
Selanjutnya, Pasal 245 yang menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana HARUS mendapat persetujuan presiden dan pertimbangan MKD.
Kamaruddin melanjutkan, pihaknya berharap alat kelengkapan DPR tidak melakukan upaya-upaya secara sistematis dan terstruktur dengan memakai institusi negara untuk melakukan kriminalisasi terhadap suarat-suara rakyat yang kritis.
Lebih lanjut, PSI juga melihat Pasal 73 revisi UU MD3 berpeluang menyeret kepolisian ke ranah politik sekaligus merendahkan fungsi kepolisian dalam melakukan penegakan hukum menjadi sekadar alat untuk menjalankan keputusan politik.
“Bila pemanggilan paksa oleh DPR terjadi, masyarakat atau pemohon akan tidak berani mengontrol perilaku DPR yang telah dipilih rakyat itu sendiri. Pemanggilan ini adalah bentuk pembungkaman suara kritis rakyat terhadap DPR atas kinerja mereka yang buruk. Pasal ini berpotensi digunakan untuk mempidanakan suara-suara rakyat yang sedang memperjuangkan hak mereka,” kata Kamaruddin.
Bagi PSI, seharusnya DPR sebagai lembaga publik perlu membangun sistem yang membuka akses seluas-luasnya bagi publik untuk mengetahui, memberi masukan, aspirasi dan kritik terhadap kinerja anggota dan lembaga DPR. Selain itu, langkah DPR dalam revisi UU MD3 ini merupakan sebuah langkah mundur bagi demokrasi, yang semakin membuat lembaga tersebut makin tidak dipercaya masyarakat.
Menyangkut Pasal 245 ayat (1) yang mengatur tentang hak imunitas anggota DPR, ini juga melawan konstitusi. Sebab, hak imunitas anggota DPR di sana berlaku untuk semua tindakan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota DPR.
“Padahal hak imunitas diberikan oleh Konstitusi kepada anggota DPR hanya terkait dengan tugas anggota DPR,” kata Kamaruddin.
Untuk pengajuan gugatan materi ini, PSI mengundang 122 pengacara bergabung. Angka 122 diambil dari Pasal 122 yang dianggap mewakili kekeliruan revisi UU MD3. Para pengacara yang ingin bergabung dapat mendaftar ke [email protected].
PSI melalui Jaringan Advokasi Rakyat (Jangkar Solidaritas) akan mengajukan uji materi atau gugatan UU MD3 ke Mahkamah Kontitusi (MK). Gugatan itu akan didaftarkan pada Jumat 23 Februari 2018 mendatang.
Gugatan ini juga diajukan setelah mengetahui hasil polling di akun media sosial PSI yang menyatakan 91% responden mendukung pengajuan gugatan tersebut. Karena desakan publik yang tercermin dari hasil polling, PSI mewakili kepentingan anggota dan publik akan ke MK.
Ketua Umum PSI, Grace Natalie menganggap gugatan itu dilayangkan karena UU MD3 hasil revisi tersebut menciderai demokrasi. "Para anggota DPR itu memperlihatkan watak mereka yang menutup diri terhadap suara kritis rakyat sebagai konstituen," ujar Grace dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/2/2018).
Sementara itu, Kamaruddin dari Jangkar Solidaritas menyoroti bahwa Pasal 122 huruf k dapat membuat rakyat takut untuk mengkritik DPR di tengah kinerja mereka yang terpuruk.
"Bahwa pada prinsipnya kami sepakat semua kehormatan dan nama baik seseorang manusia harus kita hormati. Semua kehormatan dan nama baik seluruh rakyat kita jaga, apalagi kehormatan dan nama baik DPR. Tetapi jangan sampai anggota DPR seluruh Indonesia memakai lembaga kehormatan perwakilan rakyat Indonesia untuk mengkriminalkan rakyatnya sendiri," jelas dia.
Bagi PSI, sejumlah pasal kontroversial dalam revisi UU MD3 yang disahkan DPR dan pemerintah akan menjadikan DPR sebagai lembaga yang adikuasa, antikritik, dan kebal hukum.
Beberapa pasal kontroversial tersebut adalah Pasal 73, mengenai permintaan DPR kepada Polri untuk memanggil paksa, bahkan dapat dengan penyanderaan, setiap orang yang menolak memenuhi panggilan para anggota dewan, serta Polri wajib memenuhi permintaan tersebut. Pasal 122 huruf k, mengenai wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum kepada siapapun yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.
Selanjutnya, Pasal 245 yang menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana HARUS mendapat persetujuan presiden dan pertimbangan MKD.
Kamaruddin melanjutkan, pihaknya berharap alat kelengkapan DPR tidak melakukan upaya-upaya secara sistematis dan terstruktur dengan memakai institusi negara untuk melakukan kriminalisasi terhadap suarat-suara rakyat yang kritis.
Lebih lanjut, PSI juga melihat Pasal 73 revisi UU MD3 berpeluang menyeret kepolisian ke ranah politik sekaligus merendahkan fungsi kepolisian dalam melakukan penegakan hukum menjadi sekadar alat untuk menjalankan keputusan politik.
“Bila pemanggilan paksa oleh DPR terjadi, masyarakat atau pemohon akan tidak berani mengontrol perilaku DPR yang telah dipilih rakyat itu sendiri. Pemanggilan ini adalah bentuk pembungkaman suara kritis rakyat terhadap DPR atas kinerja mereka yang buruk. Pasal ini berpotensi digunakan untuk mempidanakan suara-suara rakyat yang sedang memperjuangkan hak mereka,” kata Kamaruddin.
Bagi PSI, seharusnya DPR sebagai lembaga publik perlu membangun sistem yang membuka akses seluas-luasnya bagi publik untuk mengetahui, memberi masukan, aspirasi dan kritik terhadap kinerja anggota dan lembaga DPR. Selain itu, langkah DPR dalam revisi UU MD3 ini merupakan sebuah langkah mundur bagi demokrasi, yang semakin membuat lembaga tersebut makin tidak dipercaya masyarakat.
Menyangkut Pasal 245 ayat (1) yang mengatur tentang hak imunitas anggota DPR, ini juga melawan konstitusi. Sebab, hak imunitas anggota DPR di sana berlaku untuk semua tindakan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota DPR.
“Padahal hak imunitas diberikan oleh Konstitusi kepada anggota DPR hanya terkait dengan tugas anggota DPR,” kata Kamaruddin.
Untuk pengajuan gugatan materi ini, PSI mengundang 122 pengacara bergabung. Angka 122 diambil dari Pasal 122 yang dianggap mewakili kekeliruan revisi UU MD3. Para pengacara yang ingin bergabung dapat mendaftar ke [email protected].
(kri)