Soal Revisi UU 23/1999 tentang BI, Begini Pendapat Ketua Baleg DPR
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Legislasi (Baleg) DPR mengebut proses revisi Undang Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI).
Kendati demikian, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, MH Said Abdullah mengatakan secara umum kontruksi draf revisi UU BI yang muncul ke publik masih dangkal lantaran belum menjawab tantangan ekonomi, terutama sektor keuangan nasional di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, sambung dia, sangat wajar jika revisi UU BI ini direspons negatif dari para pelaku pasar dengan setimen negatif terhadap nilai tukar rupiah.
"Bila kita cermati problema kita memang ada di sektor fiskal, rasio pajak stagnan malah turun, kita mengalami deindustrialisasi, defisit perdagangan, membesarnya impor, terutama pangan dan energi, serta tingginya angka Incremental Capital Output Rasio (ICOR) bila dibandingkan dengan negara tetangga. Hal hal ini yang justru memberikan tekanan pada sektor moneter," tutur Said Abdullah di Jakarta, Senin (7/9/2020).( )
Dia menilai momentum revisi UU BI ini tidak pas karena kondisi ekonomi nasional terancam resesi.
Resesi ini diperkirakannya akan berjalan hingga tahun 2020 bila melihat pertumbuhan covid-19 yang masih tinggi hingga positive rate menyentuh 18% per 1 September 2020 kemarin. “Saya berharap seluruh sumber daya kita dikerahkan untuk memulihkan ekonomi nasional yang bakal mengalami resesi,” ujarnya. (Baca juga: Paslon Menang tapi Langgar Protokol Kesehatan, Pelantikan Terancam Ditunda)
Dia menilai beberapa pasal pengaturan di draf revisi UU BI ini malah berpotensi menimbulkan masalah masalah baru. Misalnya tentang keberadaan Dewan Moneter.
Padahal, lanjut dia, dalam UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), Indonesia telah memiliki Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Bahkan komposisi KSSK ini telah merepresentasikan kelembagaan sebagaimana yang di maksud oleh Dewan Moneter. Menteri Keuangan adalah Koordinator KSSK.
“Jangkauan kewenangan KSSK malah tidak saja sektor moneter, tapi keseluruhan sektor keuangan yang berpotensi menimbulkan krisis sistem keuangan,” tutur politikus PDIP ini,
Kendati demikian, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, MH Said Abdullah mengatakan secara umum kontruksi draf revisi UU BI yang muncul ke publik masih dangkal lantaran belum menjawab tantangan ekonomi, terutama sektor keuangan nasional di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, sambung dia, sangat wajar jika revisi UU BI ini direspons negatif dari para pelaku pasar dengan setimen negatif terhadap nilai tukar rupiah.
"Bila kita cermati problema kita memang ada di sektor fiskal, rasio pajak stagnan malah turun, kita mengalami deindustrialisasi, defisit perdagangan, membesarnya impor, terutama pangan dan energi, serta tingginya angka Incremental Capital Output Rasio (ICOR) bila dibandingkan dengan negara tetangga. Hal hal ini yang justru memberikan tekanan pada sektor moneter," tutur Said Abdullah di Jakarta, Senin (7/9/2020).( )
Dia menilai momentum revisi UU BI ini tidak pas karena kondisi ekonomi nasional terancam resesi.
Resesi ini diperkirakannya akan berjalan hingga tahun 2020 bila melihat pertumbuhan covid-19 yang masih tinggi hingga positive rate menyentuh 18% per 1 September 2020 kemarin. “Saya berharap seluruh sumber daya kita dikerahkan untuk memulihkan ekonomi nasional yang bakal mengalami resesi,” ujarnya. (Baca juga: Paslon Menang tapi Langgar Protokol Kesehatan, Pelantikan Terancam Ditunda)
Dia menilai beberapa pasal pengaturan di draf revisi UU BI ini malah berpotensi menimbulkan masalah masalah baru. Misalnya tentang keberadaan Dewan Moneter.
Padahal, lanjut dia, dalam UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), Indonesia telah memiliki Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
Bahkan komposisi KSSK ini telah merepresentasikan kelembagaan sebagaimana yang di maksud oleh Dewan Moneter. Menteri Keuangan adalah Koordinator KSSK.
“Jangkauan kewenangan KSSK malah tidak saja sektor moneter, tapi keseluruhan sektor keuangan yang berpotensi menimbulkan krisis sistem keuangan,” tutur politikus PDIP ini,